Penafsiran Kalimat Istiwaa

Dalam Al-Quran terdapat ayat yang muhkam atau yang jelas maksudnya, selain itu juga terdapat ayat yang samar-samar pengertiannya. Sebagai contoh seperti dalam surat Thaahaa ayat 5,

"kemudian Dia berkehendak menuju langit"dan ayat"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang beristiwa di atas Arsy" (Qs. Thaahaa : 5)

Ayat tersebut tergolong sulit ditafsirkan. Sebagaimana yang di uraikan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, setidaknya Ada tiga pendapat para ulama dalam penafsiran ayat ini.

Pendapat pertama: yang dipegang oleh banyak imam: Kita membacanya dan mengimaninya, tetapi tidak menafsirkannya. Diriwayatkan dari Imam Malik rahimahullah bahwa beliau pernah ditanya seseorang tentang maksud firman Allah Ta'ala "(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang beristiwa di atas Arsy : maka beliau menjawab,"Bersemayam itu kita ketahui, tetapi cara bersemayam-Nya itu tak dapat dipahami oleh akai kita. Namun kita wajib mengimaninya. Menanyakan persoalan ini adalah bid'ah, dan kulihat engkau tidak bermaksud baik"

Pendapat kedua: yang dipegang oleh golongan musyabbihah: Kita membacanya dan menafsirkannya dengan makna yang sesuai dengan lahiriah bahasa Arab, yaitu bahwa istiwaa · artinya berada tinggi di atas sesuatu, atau artinya berdiri tegak. Pendapat ini batil, sebab itu termasuk sifat benda, dan Allah Ta'ala bersih dari sifat-sifat kebendaan.

Pendapat ketiga: yang dipegang sebagian ulama: Kita membacanya, menakwilkannya, serta mengalihkan maknanya kepada lahirnya. Dalam hal ini ada yang mengatakan maknanya adalah istawaa (menduduki, menguasai), seperti kata istawaa yang diucapkan oleh penyair:

قداستوى بشر على العراق # من غير سيف ودم مهراق
"Bisyr telah menduduki Irak tanpa perang dan Pertumpahan darah"

Ada pula yang mengatakan artinya adalah istawaa yang bermakna berada tinggi di atas, dan yang dimaksud-wallahu a'lam-adalah ketinggian urusan-Nya.

Ada pula yang mengatakan : istawaa dengan makna berkehendak menuju ke sana, yakni dengan penciptaan-Nya. Ini dipilih oleh ath-Thabari : tanpa menentukan caranya.

Rujukan: Tafsir Al-Munir Juz 1, Tafsir Surat al-Baqarah ayat 28-29

Pokemon: Poko'e Mondok

Dengan ini saya anjurkan kepada para bapak dan ibu kaum Muslim/Muslimah di Indonesia tidak perlu repot-repot menyekolahkan anak-anaknya ke negara-negara Arab kalau tujuannya hanya sekedar untuk mempelajari Islam, belajar Bahasa Arab atau mengaji kitab-kitab keislaman. Sekali lagi, kalau tujuannya hanya untuk belajar masalah ini (kalau punya tujuan lain ya lain lagi persoalannya), di Indonesia saja sudah cukup. Pondok-pondok pesantren, khususnya milik Nahdlatul Ulama (NU) sudah melimpah-ruah di kota maupun desa. Indonesia kini juga sudah surplus kiai, baik tua maupun muda, yang sangat mumpuni dalam masalah ini.

Lagi pula, untuk apa menyekolahkan anak jauh-jauh ke Arab untuk "belajar Islam" kalau pada akhirnya kelak ketika selesai sekolah malah menjadi "malin kundang" yang, atas nama "kemurnian Islam" dan "tegaknya tauhid", berani melawan orang tua, mengafirsesatkan mereka, membidahkan amalan-amalan keagamaan mereka dan seterusnya. Nanti Anda sendiri yang akan kerepotan lo: mau dibiarkan kurang ajar, mau digampar itu anak sendiri. Repot kan?

Bukan hanya melawan orang tua saja lo. Para ulama dan kiai yang kebetulan berbeda pemikiran juga dikapir-kapirkan oleh "anak kemarin sore" yang baru sunat ini. Tidak sebatas itu. Sebagian mereka bahkan tega untuk mengpitnah dan mengukapkan kata-kata kotor dengan beliau-beliau. Padahal beliau-beliau itu masya Allah ulama yang sangat rendah hati, alim dan saleh dalam segala hal. Kok tega ya mereka melakukan itu?

Terus? Sudah jauh-jauh sekolah dan "menuntut ilmu keislaman", pulang-pulang malah menjadi "provokator kebencian" yang anti-pati terhadap tetangga, non-Muslim dan bahkan terhadap sesama Muslim itu sendiri yang hanya secara kebetulan berbeda mazhab, pandangan, pemikiran, dan praktek keagamaan dengan mereka. Repot kan? Hidup di dunia yang warna-warni kok "kaku-regeng" kayak tiang listrik, tidak mau toleran dengan keragaman. Emang bumi ini milik engkong mereka apa?

Sudah cukup? Belum. Mereka juga mengharamkan bendera merah-putih, memusyrikkan penghormatan terhadapnya, mengthogutkan Pancasila dan Konstitusi, "menerakakan" para pejuang dan pahlawan bangsa. Wis embuh lah. Banyak pokoknya yang aneh-aneh dan "unyu-unyu" dari tingkah-polah mereka. Tapi sebagian lo, tidak semua alumni Timur Tengah yang belajar Islam bersikap seperti ini. Entar ada yang ngamuk-ngamuk lagi.

Nah, kalau mondok di pesantren-pesantren NU, nanti akan lain ceritanya. Anak-anak nanti diajari untuk mencitai ulama, mencintai bangsa, negara dan Tanah Air, menghormati orang tua, toleran terhadap sesama manusia, ramah terhadap tetangga, mencitai tradisi dan budaya bangsa. Pokoknya banyak deh yang baek-baek. Dan sudah barang tentu, para santri akan mendapatkan pelajaran-pelajaran keislaman yang "yahud" (tanpa "i"), keislaman yang ramah dan respek dengan kemajemukan pemikiran, keragaman mazhab, dan perbedaan pendapat. Yuk, kita semarakkan gerakan "cinta Pokemon".

Disadur dari Status Facebook Prof. Sumanto Al-Qurtuby

Suamiku adalah Guruku

Oleh: Irfan Siddiq

Melihat perkembangan artis Indonesia saat ini yg berpaling dari tanpa hijab menjadi anggun dengan hijab dan pakaian islami (misal;alysa soebandono,shiren sugkar), atau sebaliknya, dari berhijab menjadi umbar aurat lagi (kalau ada update berita tahu siapa itu), apakah itu tuntutan profesi ataupun bukan, hanya yang bersangkutan dan Allah Swt. yang tahu alasan mereka begitu.

Suamiku Guruku

Kalau secara nyata kita bisa mengambil maw'idah/pelajaran yang baik dari tingkah laku mereka bahwa sanya peran lelaki pedamping hidup adalah sangat penting dalam menuntun istrinya menjadi baik pula. Laki-laki yang beriman selalu menuntut pedampingnya menjadi beriman pula agar ia nyaman berada di dekatnya.

Dan ia juga sering memberikan persyaratan kepada pedampingnya kalau ingin selalu bersamanya, maka ikuti langkahnya. Karena, wanita oleh guru-guru agama sering diibaratkan seperti anak-anak dalam masa pertumbuhan.

Dia butuh tuntunan yang baik, butuh arahan yang tegas dan ilmu yang benar agar tidak tersesat dan tdk hidup berkembang menjadi seorang yang berjiwa "kerdil" lagi jahil. Begitu jua wanita, wanita yang cerdas dan ingin hidupnya terarah ke jalan yg benar pasti ia memilih "guru" yang betul-betul membimbingnya menuju dua kesenangan. Kesanangan dunia, dan syurga di akhirat.

@Bilik Dayah Darul Aman. 26/7/14
Dear my "student".

image: amnahakim photografi

Lautan Manusia Mengiringi Jenazah Abon Seulimum

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, kamis pagi (21/07/2016) tersiar kabar duka dari Dayah Ruhul Fata Seulimuem, Aceh Besar. Tgk. H. Mukhtar Luthfi bin Tgk. H. Abdul Wahhab yang akrab disapa dengan Abon Luthfi telah kembali ke pangkuan Ilahi.

Dalam waktu sekejab, suasana tempat duka telah menjadi lautan manusia, karena begitu ramainya masyarakat yang bertakziah dan mengiringi jenazah beliau. Kepergian ulama kharismatik ini menoreh duka yang mendalam bagi Aceh, dan merupakan musibah terbesar bagi umat ini. Sungguh para ‘ulama merupakan pelita bagi umat, dan kegelapan akan merajalela dengan kepergian mereka.

Keberadaan mereka sangat penting dalam membimbing dan mengarahkan umat ke jalan hidayah, dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para generasi as-salafush shalih. Mereka adalah orang-orang terpercaya, pewaris para Nabi, yang mengemban tugas besar menjaga agama ini dari berbagai penyelewengan dan penyimpangan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ؛ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً،

فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]


Pesan Imam Syafie Tentang Baju Baru

Lebaran di tanah air penuh dengan berbagai tradisi unik, mulai dari mudik hingga cari baju baru tuk sambut hari nan fitri. Memang tidak ada salahnya mengenai hal itu, akan tetapi tetap yang sewajarnya dan tidak berlebih-lebihan.

Berbincang mengenai baju baru, ada sebuah syair indah dari imam Syafie sebagai sebuah pesan penting agar kita bijaksana dalam berbusana. Berikut petikan syair beliua:

Kenakanlah pakaian yang bagus sesuai dgn kemampuanmu, dengan pakaian itu kamu menjadi gagah dan terhormat.
ودع التواضع في الثياب تخشنا ## فالله يعلم ما تسر وتكتم

Janganlah kamu tampil dgn pakaian yg kasar dgn dalih tawadhu, karena Allah mengetahui apa yg kamu kerjakan dan sembunyikan.
فرثاث ثوبك ﻻ يزيدك رفعة ## عند اﻹ له و انت عبد مجرم

Maka bajumu yg kusam itu tak akan menambah derajatmu di sisi Tuhanmu, selagi kamu masih menjadi seorang pendosa.
وجديد ثوبك ﻻ يضرك بعد ان ## تخشى اﻹ له و تتقي ما يحرم

Dan bajumu yg baru tak membahayakan dirimu, selagi dirimu menjadi orang yg ber-taqwa dan menjauhi perkara yg haram.

Sumber: PISS-KTB

Abi sama dengan Paman


Pengantar.
Abdul Somad menulis dalam bukunya berjudul: 37 Masalah Populer:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Dari Anas, sesungguhnya seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, di manakah bapakku?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Di neraka”. Ketika laki-laki itu pergi, Rasulullah Saw memanggilnya, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka”. (HR. Muslim).

Yang dimaksud dengan bapak dalam hadits ini adalah paman Rasulullah Saw, yaitu Abu Thalib. Bukan Abdullah. Karena orang Arab biasa menyebut paman dengan sebutan (أَبِي).
           
AZ mengomentari ini di salah satu radio di Pekanbaru pada hari Senin 25 November 2014. “Mana ada orang Arab memanggil Abi kepada pamannya. Bahasa Arab mana itu???!!!”. Sambil tertawa melecehkan. Seakan-akan Abdul Somad ngawur, tidak faham bahasa Arab.

Lalu dikomentari oleh murid AZ: “Ternyata lain ya bahasa Arab Mesir dengan bahasa Arab Madinah?!”. Membumbui pelecehan gurunya. Inilah yang melatarbelakangi Abdul Somad membuat tulisan ini sebagai:

Jawaban:
Allah Swt mengajarkan kepada kita, jika bersilang pendapat dalam suatu masalah, hendaklah kembali kepada al-Qur’an, Sunnah dan fatwa ulama yang benar. Bukan kepada hawa nafsu. Sekarang, mari kita lihat apa kata Allah Swt dalam al-Qur’an tentang penggunaana kata Abu/Abi untuk paman.

DALIL AL-QUR’AN DAN PENDAPAT KALANGAN SALAF.

وقد وجه من حيث اللغة بأن العرب تطلق لفظ الأب على العم إطلاقا شائعا وإن كان مجازا، وفي التنزيل ( أم كنتم شهداء إذ حضر يعقوب الموت إذ قال لبنيه ما تعبدون من بعدي قالوا نعبد آلهك وإله آبائك إبراهيم وإسماعيل وإسحاق) فأطلق على إسماعيل لفظ الأب وهو عم يعقوب كما أطلق على إبراهيم وهو جده.
Menurut bahasa, orang Arab menggunakan kata Abu/Abi untuk paman, penggunaan ini berlaku umum, meskipun maknanya majaz (kiasan). Dalam al-Qur’an disebutkan: “Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu (nenek moyangmu), Ibrahim, Ismail dan Ishaq”. (Qs. al-Baqarah [2]: 133). Digunakan kata Abu (Bapak/Ayah)) terhadap Isma’il, padahal Isma’il itu paman nabi Ya’qub. Ibrahim juga disebut Abu (Bapak/Ayah), padahal Ibrahim itu kakek”. (al-Hawy li al-Fatawa karya Imam as-Suyuthi: 3/318).

Selanjutnya Imam as-Suyuthi menyebutkan beberapa riwayat tentang penggunaan Kata Abu (Bapak/Ayah) untuk paman:

Riwayat Pertama:

أخرج ابن أبي حاتم عن ابن عباس أنه كان يقول الجد أب ويتلو (قالوا نعبد آلهك وإله آبائك الآية)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Kakek pun disebut Abu (Bapak/Ayah)”. Kemudian beliau membacakan ayat: “Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu (nenek moyangmu)”. (Qs. al-Baqarah [2]: 133).

Riwayat Kedua:

وأخرج عن أبي العالية في قوله وإله آبائك إبراهيم وإسماعيل قال سمي العم أبا.
Diriwayatkan dari Abu al-‘Aliyah tentang ayat: “dan Tuhan bapak-bapakmu (nenek moyangmu) Ibrahim, Ismail dan Ishaq”. Paman disebut Abu (Bapak/Ayah). (Qs. al-Baqarah [2]: 133).

وأخرج عن محمد بن كعب القرظي قال الخال والد والعم والد وتلا هذه الآية.

Riwayat Ketiga:
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ia berkata, “Paman dari pihak ibu disebut bapak/ayah, paman dari pihak bapak pun disebut bapak/ayah”. Kemudian beliau membacakan ayat di atas.
Imam as-Suyuthi menutup dengan:
فهذه أقوال السلف من الصحابة والتابعين في ذلك.
Ini adalah pendapat kalangan Salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in dalam masalah ini.

PENDAPAT AHLI BAHASA ARAB.
Berikut kita lihat pendapat Imam Muhammad bin Muhammad bin Abdirrazzaq al-Husaini Abu al-Faidh Murtadha az-Zabidi dalam kitabnya Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus:

قيل : هو اسْمُ عَمِّ إبراهِيمَ عليه وعلى محمّدٍ أفضلُ الصّلاة والسّلام في الآيةِ المذكورة وإنّمَا سُمِّيَ العَمُّ أباً وجَرى عليه القرآنُ العَظيم على عادةِ العربِ في ذلك لأنهم كثيراً ما يُطلِقُون الأبَ على العَمّ وأمّا أبُوه فإنه تارَخُ
 Ada pendapat yang mengatakan bahwa Azar adalah nama paman Nabi Ibrahim as yang terdapat dalam ayat. Paman disebut Abu (Bapak/Ayah), demikian menurut al-Qur’an dan tradisi kebiasaan orang-orang Arab tentang penyebutan itu, karena orang-orang Arab sering menggunakan kata Abu/Abi kepada paman. Sedangkan ayah kandungnya adalah Tarakh. (Taj al-‘Arus, hal.2454).

Fatwa Saudi Arabia:

أما إطلاق اسم الأب على العم على سبيل الاحترام والتكريم فجائز، وهو الذي جاء في القرآن، لكنه ليس أبا في النسب
Adapun penggunaan kata Abi untuk paman sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan, maka hukumnya boleh. Demikian terdapat dalam al-Qur’an. Tapi bukan bapak/ayah secara nasab. (al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’: 11/460).

Pendapat Syekh Ibnu Utsaimin Ulama Besar Saudi Arabia.

أنه يجوز إطلاق اسم الأب على العم تغليباً؛ لقوله تعالى: { وإسماعيل }.
Boleh menggunakan kata Abu/Abi untuk paman, karena kebiasaan/umum. Berdasarkan firman Allah: “dan Tuhan bapak-bapakmu (nenek moyangmu) Ibrahim, Ismail dan Ishaq”. Paman disebut Abu (Bapak/Ayah). (Qs. al-Baqarah [2]: 133).
(Tafsir al-‘Allamah Ibn ‘Utsaimin).

وأما إسماعيل فهو عمه لكن أطلق عليه لفظ الآباء من باب التغليب لأن العم صنو الأب كما قال النبي صلى الله عليه وسلم لعمر أما شعرت أن عم الرجل صنو أبيه يعني شريكه في الأصل والجذر والصنو هو عبارة عن النخلتين يكون أصلهما واحدا
Adapun Isma’il, maka dia adalah paman Ya’qub, tapi digunakan kata Abu/Abi (Bapak/Ayah) karena lafaz itu biasa digunakan. Karena paman itu bagian dari bapak/ayah, sebagaimana sabda Rasulullah Saw kepada Umar, “Apakah engkau tidak merasa bahwa paman seseorang itu bagian dari bapaknya”. Maksudnya adalah bagian dalam asal dan akar. Makna kata as-shanu adalah ungkapan tentang dua pohon kurma yang asalnya satu. (Syarh Riyad as-Shalihin, hal.784).

Pendapat Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri Pengajar Fiqh dan Tafsir di Masjid Nabawi:
يطلق لفظ الأب على العم تغليباً وتعظيماً .
Kata Abu/Abi digunakan untuk paman, menurut kebiasaan dan secara umum biasa digunakan. (Aisar at-Tafasir: 1/57).

CATATAN:
Pertama, dari dalil-dalil diatas, berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan pendapat para ulama dari berbagai cabang keilmuan, jelaslah bahwa kata Abu/Abi biasa digunakan untuk paman.  Bukan bahasa Arab aneh buatan Abdul Somad.

Kedua, bagi penceramah agar menyampaikan sesuatu dengan amanah, jangan melakukan pembohongan publik.  Karena tidak semua pendengar itu jahil bin bahlul.  Dan yang paling penting, kita semua akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt  tentang apa yang pernah kita sampaikan.

Ketiga, jangan sampai fanatik kepada orang tertentu membutakan mata kita untuk melihat kebenaran.

Keempat, Abdul Somad memang tidak se’alim Sibawaih dalam bahasa Arab. Tapi dia bisa juga menyelesaikan S1 di al-Azhar dalam waktu 3 tahun 10 bulan. Dari 20 mahasiswa seangkatannya di Darul Hadits-Maroko tahun 2004, dia mahasiswa pertama menyelesaikan S2, dengan tesis dalam bahasa Arab 300 halaman, selesai dalam waktu 1 tahun 11 bulan (Institut Darul Hadits hanya menerima 20 siswa jurusan hadits dalam satu tahun). Sedikit banyak dia bisa dan faham juga bahasa Arab, rupanya.

Kelima, kata Imam Syafi’i:
تَكَبَّرْ عَلَى الْمُتَكَبِّرِ مَرَّتَيْنِ
“Sombonglah engkau kepada orang yang sombong itu dua kali sombong”.
(Bariqah Mahmudiyyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyyah wa Syari’ah Nabawiyyah: 3/176).

Disadur dari Blog Pribadi Ust Abdul Somad