Benarkah Imam Syafi’i Melarang Taqlid?


Belakangan ini bermodalkan nash dari Imam Syafi’i yang dipahami secara serampangan, akhirnya lahir pemahaman yang melarang taqlid, bahkan anti mazhab. Untuk itu menjadi sangat penting untuk menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i sesuai dengan pemahaman yang benar. 

Kalangan anti mazhab dan anti taqlid biasanya membawa Nash-nash Imam Syafi’i sebagai senjata untuk mengukuhkan pendapat yang mereka yakini. Nash-nash dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Al-Muzani mengatakan dalam Muqaddimah kitabnya, Mukhtashar al-Muzani :
لاقربه على من اراده مع اعلاميه نهيه عن تقليده وتقليد غيره
Sesungguhnya telah aku mempermudah ilmu Syafi’i atas orang-orang yang menginginkannya serta ada pemberitahuan dari Syafi’i atas larangan taqlid kepada beliau dan kepada selainnya.[1]

2. Harmalah berkata, Imam Syafi’i mengatakan :
كلما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي صلى الله عليه وسلم أولى فلا تقلدوني
Manakala yang aku katakan, sedangkan perkataanku itu menyalahi hadits Nabi SAW yang shahih,  maka hadits Nabi SAW lebih diutamakan. Karena itu, jangan kamu taqlid kepadaku.[2]

3. Al-Muzani berkata, Imam Syafi’i mengatakan :
اذا وجدتم سنة فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد
Apabila kamu dapati sunnah, maka ikutilah sunnah dan jangan kamu berpaling kepada perkataan seseorang.[3]

Imam Harmalah salah seorang murid Imam Syafi’i, beliau lahir pada tahun 166 -243 H. Diantara kitab beliau karya beliau adalah al-Mabsuth dan al-Mukhtsahar. Menurut penjelasan dalam kitab Thabaqat al-Syafi’iyah karya Ibnu al-Subki, beliau ini termasuk mujtahid muntasib (ulama yang berijtihad pada furu’ fiqh, namun masih menggunakan ushul imamnya), meski kadang beliau keluar dari mazhab imamnya, baik ushul maupun furu’nya. Hal yang sama juga terjadi pada al-Muzani.[4] Sedangkan al-Muzani sebagaimana dimaklumi juga merupakan murid dari Imam Syafi’i. Beliau lahir pada tahun pada 175-264 H.[5] Al-Harmalah dan al-Muzani ini dikenal sebagai  perawi mazhab jadid Imam Syafi’i.[6] Alhasil kedua ulama yang mendengar langsung perkataan Imam Syafi’i ini adalah seorang mujtahid, meskipun kedua beliau ini bukan sekelas imam mujtahid sekaliber Imam Syafi’i dan lainnya yang merupakan mujtahid mustaqil.

Dengan demikian, kita bisa memaklumi kenapa Imam Syafi’i berkata kepada dua tokoh ini dan yang setingkat dengannya untuk tidak bertaqlid. Karena memang sebagaimana dimaklumi bahwa mujtahid tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid. Karena itu, nash-nash Imam Syafi’i di atas tidak boleh kita terapkan untuk orang awam yang tidak mampu berijtihad. Kebolehan bertaqlid orang awam kepada mujtahid adalah berdasarkan firman Allah berbunyi :
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya : Maka tanyalah kepada orang yang punya ilmu apabila kamu tidak mengetahuinya. (Q.S. al-Nahl : 43)
 
Al-Mawardi ketika menjelaskan hukum taqlid seorang ulama kepada ulama lainnya dengan perincian dan perbedaan pendapat tentangnya, beliau mengatakan, ini merupakan masalah taqlid mujtahid kepada mujtahid dan inilah maksud Imam Syafi’i  melarang taqlid kepada beliau dan taqlid kepada lainnya.[7]

Ketika Imam al-Nawawi mengutip pendapat Abu Ishaq dan Abu Ali As Sinji mengenai posisi mujtahid muntasib, dimana mereka dinisbatkan ke imam mazhab bukan karena taqlid, namun karena menggunakan metodologi imam mazhab dalam berijtihad, maka setelah itu beliau menyatakan bahwa apa yang disebutkan oleh kedua ulama ini sudah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada mereka dalam ijtihad oleh Imam Syafi’i sebagaimana dalam Muhktashar al-Muzani ada larangan Imam Syafi’i untuk taqlid kepadanya dan kepada selainnya.[8] Penjelasan al-Nawawi ini menunjukan bahwa pernyataan Imam al-Syafi’i yang disebut oleh  al-Muzani mengenai larangan untuk taqlid hanya sesuai  dengan mereka yang sampai pada tingkatan mujtahid muntasib, bukan ditujukan kepada orang awam yang tidak mungkin mampu menjadi mujtahid.

[1] Al-Muzani, Mukhtashar al-Muzani, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 7
[2] Ibnu ‘Asaakir, Tarikh al-Damsyiq, Maktabah Syamilah, Juz. VXI, Hal. 386
[3] Ibnu ‘Asaakir, Tarikh al-Damsyiq, Maktabah Syamilah, Juz. VXI, Hal. 386
[4] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 127, 128, 131 dan 102-103
[5] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 93-95
[6] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 14
[7] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 33
[8] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 76

Sumber: Kitab Kuneng

Hikmah Rasulullah Beristri Banyak

Hikmah Poligami

Kalangan di luar islam sering beranggapan bahwa banyaknya istrinya Rasulullah didasari atas kesenangan syahwat semata. Padahal jika kita mengkaji sejarah, Rasulullah berpoligami setelah istri pertamanya  Sayyidah Khadijah meninggal dunia, itupun setelah beliau memasuki usia lanjut sekitar 54 tahun. Umumnya, pada usia demikian hasrat birahi telah menurun, ditambah lagi, kebanyakan istri beliau adalah para janda.

Rasulullah beristri banyak, tidak lain adalah karena alasan kemanusian, dan tujuan-tujuan yang ada sangkut pautnya dengan dakwah islam. Diantara yang terpenting adalah sebagai kader yang akan menjadi pendidik wanita muslimah tentang hukum-hukum islam, khususnya yang berkaitan dengan wanita ataupun menyangkut tentang hubungan suami istri.

Adakalanya beliau menikah dengan tujuan untuk menerangkan hukum, misalkan seperti pernikahan beliau dengan Zainab Binti Jahsyi. Sebelumnya Zainab merupakan istri dari anak angkat beliau, dan setelah diceraikan, Rasulullah menikahi zainab dengan tujuan untuk menghapus kebiasaan mengangkat anak.

Selain itu, Rasulullah juga menikah dengan tujuan untuk memperat tali ikatan kabilah, sekaligus untuk menyebarkan islam kepada kabilah tersebut. Hal ini terlihat ketika beliau menikah dengan Juwairiyah binti al-Harits, bersebab pernikahan tersebut bani Mushthalaq menjadi masuk islam.
Berkaca pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah, sudah sepatutnya jika ingin berpoligami juga lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat sosial, bukan untuk sekedar memperturutkan kesenangan. Intinya, sistem poligami yang diajarkan dalam islam adalah solusi yang diterapkan untuk menggapai kemaslahatan umum dan khusus.

short link: bit.ly/hikmahpoligami

Patut Diteladani, Putra KH.Arifin Ilham Nikah Muda

Menikah di usia muda, dapat menikmati petualangan hidup dan bebas "berpacaran" bersama pasangan. Memang usia muda masih jauh dari kematangan jiwa dan pengalaman, namun, sungguh indah rasanya ketika bisa "matang" bersama seiring jalannya waktu. Disini saling belajar untuk berkompromi ketika menghadapi masalah yang membutuhkan keputusan sangat besar.

Di usia yang terbilang masih sangat muda, putra pertama KH Muhammad Arifin Ilham, Muhammad Alvin Faiz, 17 tahun, menikahi seorang mualaf beretnis Tionghoa, Larissa Chou yang berusia dua tahun lebih tua dari Alvin. Aqad nikah berlangsung di Masjid Az-Zikra, Sentul, Bogor, Jawa Barat, usai shalat Subuh, Sabtu, 3 Dzulqa’dah 1437 H (06/08/2016).

Seperti yang dilansir oleh hidayatullah.com melalui Jubir Az-Zikra, Ahamad Syuhada, “Pernikahan ini melalui suatu perjalanan dakwah yang cukup memukau. Karena pasangannya adalah seorang mualaf. Alvin sendiri menjadi sebab keislamannya akhwat itu, sebab yang dimaksud adalah, belakangan ini Alvin sering melakukan diskusi dengan Larissa mengenai ketuhanan sebatas apa yang ia ketahui".

Lantas kemudian, dengan taqdir Allah Subhanahu Wata’ala, Akhwat ini pun masuk Islam. Tidak lama berselang, ayah Larissa, Rudi Gunawan, juga menyatakan Islam setelah berdiskusi pula dengan Alvin. Disusul keislaman neneknya Larissa.

Syuhada juga menambahkan, Alvin menikah pada usia dini atas kesadarannya sendiri dengan beberapa alasan. “Alasan yang paling utama, ingin menjaga diri dari fitnah yang tentunya diharamkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala,” jelasnya. Pada usia 17 tahun, Alvin, katanya, melihat bahwa kehidupan remaja terutama teman-teman seusianya menuntut dirinya untuk lebih baik segera menikah.

Kisah Alvin bisa menjadi teladan bagi pemuda lainnya agar bisa menempuh jalan yang terbaik. Daripada berpacaran yang tidak jelas ujungnya, mending melaksanakan pernikahan yang jelas pahalanya.