Oleh: Saiful Hadi
Seharusnya kita malu, ulama-ulama tempoe dulu ditengah keterbatasan sarana dan prasarana, namun mereka kaya akan karya. Keseharian mereka tidak lepas dari aktivitas belajar mengajar maupun menyusun karya tulis ilmiyah.
Misal saja seperti Imam At-Thabari, sang empu tafsir At-Thabari yang fenomenal itu, dalam riwayat disebutkan bahwa setiap harinya beliau menulis tidak kurang dari empat puluh lembar halaman, dan aktivitas itu beliau lakukan selama empat puluh tahun.
Jika kita kalkulasikan secara hitung-hitungan kasar, selama empat puluh tahun itu berarti beliau telah menulis sebanyak 576000 lembar, jika sebuah buku berisi 1000 lembar, berarti selama waktu tersebut beliau telah menyelesaikan karya tulis sebanyak 576 buku. Sungguh luar biasa, pada waktu itu tentu saja belum ada laptop, microsoft word, maupun printer, namun hanya alat tulis sederhana dan kertas dengan kualitas yang jauh tertinggal dibandingkan dengan yang kita lihat sekarang.
Dan yang masih membuat kita berdecak kagum, karya karya mereka masih ditelaah dan dijadikan rujukan sampai hari ini, padahal sang pengarang telah wafat beratus-ratus tahun yang lalu. Inilah yang namanya keberkahan yang merupakan buah dari keiklasan.
Jika kita buka kitab-kitab para ulama, mereka selalu menyebut dirinya sebagai al-fakir sebagai sikap tawadhu guna terhindar dari kesombongan. Mereka sadar bahwa ilmu merupakan anugrah yang patut untuk disyukuri, bukan sarana untuk berbangga-bangga diri.
Seharusnya kita yang hidup di abad modern ini merasa malu dengan mereka. Betapa tidak, berada di zaman yang penuh dengan limpahan fasilitas modern namun malah miskin karya. Kita terlalu manja, terkadang listrik padam dijadikan kambing hitam yang menghambat aktivitas kerja, padahal dulunya di bawah lentera berbahan bakar minyak mereka bisa melahirkan ratusan karya.
COMMENTS