Imam Syirazi, Tidak Pernah Haji Namun Menulis Rinci Tentang Haji




Oleh: Saiful Hadi

Haji merupakan rukun islam ke-lima yang diwajibkan bagi setiap muslim yang mampu, baik secara fisik maupun finansial, serta aman perjalanan untuk menuju ke sana. Perihal pelaksanaan haji ini, konon ada seorang ulama biarpun beliau telah menulis mengenai bab haji dalam karya-karyanya, namun beliau sendri belum pernah melaksanakan ibadah tersebut.

Tersebut salah satunya adalah Imam Syirazi. Beliau bernama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali al-Syirazi (w. 476 H) dan lahir di Kota Fairuzabad pada awal abad 10 Masehi. Diantara karya beliau yang sangat fenemonal adalah kitab al-Muhadzdzab, yang merupakan matan ensiklopedik tentang fikih Mazhab Syafi’i.

Biarpun beliau tidak pernah melaksanakan ibadah haji, beliau sanggup menjelaskan secara detil tata laksana ibadah haji sebagaimana yang telah beliua tuangkan dalam kitab-kitabnya, terutama al-Muhadzdzab. Saking detailnya penjelasan, bahkan sampai mengenai tata letak Kakbah dan tempat-tempat sekitarnya pun beliau uraikan.

Dalam menyelesaikan penulisan kitab tersebut, Imam al-Syirazi menulisnya selama empat belas tahun. Lamanya waktu untuk menyelesaikan kitab ini jelas menunjukkan betapa seriusnya ulama kita di zaman dahulu dalam menjalani karir keulamaan dan kesarjanaan. Konon, seperti dikisahkan dalam kitab “Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra” karya Imam Abdul Wahhab al-Subki (w. 771 AH/1370 AD), setiap menyesaikan satu fasal dalam kitab ini, Imam Syirazi melakukan salat sunah dua rakaat.

Kembali ke topik semula, lantas apa yang menyebabkan Imam Syirazzi tidak berhaji? Keterbatasan ekonomi menjadi faktor penyebab beliau tidak mampu menunaikan haji. Imam al-Dzahabi dalam dalam Siyar A’lam al-Nubala’ menceritakan bahwa untuk makan sehari-hari saja, Imam Syairazi memakan bubur tsarid yang dicampur dengan kuah sayuran. Ditengah situasi demikian beliau tetap sabar menerima keadaannya.

Kitab al-Muhadzab ini pada nantinya diberi syarahan atau uraian oleh Imam Nawawi (w. 676 H) yang diberi judul Majmuk Syarah al-Muhadzdzab. Ditangan Imam Nawawi, kitab al-Muhadzdzab yang hanya 140 halaman ini berubah menjadi kitab yang sangat tebal, dalam edisi Maktabat al-Irshad, syarah tersebur terbit dalam 23 (dua puluh tiga) jilid. 
  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI Syariah 1054184162 an. Saiful Hadi

Sang Penakluk Konstantinopel


Oleh: Saiful Hadi

Pemuda dalam bahasa Arab disebut dengan Al-Fata. Menurut Syech Yusuf Qardhawi pemuda itu bagaikan titik kulminasi matahari, yàng merupakan titik dengan energi panas tertinggi. Mungkin seperti itulah gambaran terbaik dari seorang pemuda. Dimana pada saat itulah dia memiliki energi yang paling tinggi, semangat juang yang membara, serta perasaan cinta yang menggelora.

Membuka lembaran-lembaran sejarah  seorang pemuda yang telah menggoncangkan dunia. Namanya tercatat dengan harum, dia adalah Sultan Muhammad Al-Fatih sang penakluk Konstantinopel, di usia 19 tahun beliau diangkat menjadi sultan dan ketika berusia 21 tahun beliau berhasil menundukkan konstantinopel.

Berbekal persenjataan baru nan canggih hasil rancangan Insinyur Orban, pada 2 april 1453 bersama 80.000 pasukan muslim beliau memulai serangan terhadap 8.000 pasukan kristen dibawah kepemimpinan Kaisar Konstantin XI, yang merupakan Kaisar Byzantium ke-57. Tepat pada tanggal 29 Mei 1453 Konstantinopel akhirnya menyerah dan takluk.

Awalnya banyak pihak yang meragukan kemampuan Sang Sultan muda, mengingat usianya yang masih sangat belia serta miskin pengalaman. Tapi siapa yang sangka, konstantinopel yang merupakan pusatnya Dunia Barat selama seribu tahun lebih dan sekaligus pertahanan kristen terhadap Islam akhirnya harus bertekuk lutut di hadapan seorang anak muda.

Demikianlah awal kisah Konstantinopel yang kemudian hari diganti namanya menjadi Istanbul yang berarti Kota Islam. Hagia Sophia yang sebelumnya berupa gereja dialih fungsi oleh sang Sultan Muda menjadi Masjid Hagia Sophia. Biarpun sempat diubah menjadi museum pada era Mustafa Kamal, namun alhamdulillah sekarang sudah kembali menjadi masjid yang diprakarsai oleh Presiden Turki Sekarang, Recep Tayib Erdogan. Dan semoga masjid-masjid dibelahan bumi Cordova juga kembali ke fungsi semula suatu saat nanti.

  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI Syariah 1054184162 an. Saiful Hadi