Kitab Sabilal Muhtadi: Warisan Fikih Klasik Nusantara Mazhab Syafi’i

Oleh: Saiful Hadi

Dalam khazanah keilmuan Islam Nusantara, Kitab Sabilal Muhtadi menempati posisi istimewa sebagai salah satu kitab fikih berbahasa Melayu Jawi yang paling berpengaruh. Kitab ini disusun oleh ulama besar asal Kalimantan Selatan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710–1812), seorang intelektual Muslim yang berkontribusi besar dalam pengembangan hukum Islam berbasis Mazhab Syafi’i di wilayah Banjar dan sekitarnya.

Latar Belakang dan Tujuan Penulisan

Syekh Arsyad menulis Sabilal Muhtadi dalam masa tuanya sebagai bentuk pengabdian intelektual kepada umat Islam di tanah kelahirannya. Ia melihat kebutuhan mendesak akan kitab fikih yang disusun secara sistematis namun mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Karena itu, ia memilih bahasa Melayu dengan tulisan Arab (Jawi), sehingga kitab ini dapat menjangkau lebih luas kalangan santri, ulama, dan masyarakat awam.

Nama Sabilal Muhtadi berarti “jalan bagi orang yang mendapat petunjuk”. Hal ini menggambarkan niat mulia sang penulis: menjadikan kitab ini sebagai panduan syariat yang lurus bagi umat Islam, terutama dalam hal ibadah dan muamalah.

Kandungan Kitab

Kitab ini merupakan ringkasan dan penyederhanaan dari dua karya besar Mazhab Syafi’i, yaitu Fath al-Wahhab karya Imam Zakariya al-Ansari dan Fath al-Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari. Dari sumber-sumber tersebut, Syekh Arsyad mengompilasikan dan menyajikan hukum-hukum fikih dalam bentuk yang lebih aplikatif sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Topik-topik yang dibahas mencakup thaharah, shalat, puasa, zakat, pernikahan, dan transaksi muamalah. Penjelasan Syekh Arsyad tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga kontekstual. Ia kerap menyisipkan penyesuaian terhadap adat dan praktik lokal, seperti dalam pembahasan zakat fitrah yang menyesuaikan dengan bahan pangan pokok masyarakat Banjar.

Gaya Bahasa dan Metodologi

Gaya bahasa kitab ini sopan, komunikatif, dan penuh adab kepada ulama terdahulu. Penulisan dalam bahasa Melayu klasik memberi sentuhan lokal yang kuat, sekaligus menjaga keautentikan ilmu fikih yang disampaikannya. Dengan pendekatan bertahap, pembaca dapat memahami hukum-hukum secara progresif, dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks.

Metodologi penulisan Sabilal Muhtadi menunjukkan karakter ulama salaf Nusantara: menjunjung tinggi otoritas fikih Mazhab Syafi’i, namun tetap bijak dalam menghadirkan penjelasan yang relevan dengan kondisi umat Islam lokal. Ini mencerminkan kemampuan Syekh Arsyad dalam menyelaraskan antara teks dan konteks.

Pengaruh dan Relevansi

Pengaruh Sabilal Muhtadi sangat luas. Kitab ini menjadi bacaan wajib di berbagai pesantren dan majelis taklim di Kalimantan, Sumatera, dan wilayah lain di Asia Tenggara. Bahkan, Masjid Raya Sabilal Muhtadin di Banjarmasin dinamai untuk menghormati kitab ini dan pengarangnya, menegaskan besarnya peran karya ini dalam kehidupan keislaman masyarakat Banjar.

Hingga hari ini, Sabilal Muhtadi tetap relevan. Ia menjadi contoh nyata dari bagaimana ulama Nusantara mampu menghadirkan karya ilmiah Islam yang kuat dalam dasar-dasarnya, namun tetap membumi dan menyentuh realitas lokal. Mempelajari kitab ini bukan hanya memperkaya pemahaman fikih, tetapi juga memperkuat penghargaan kita terhadap warisan intelektual Islam di bumi Nusantara.

Download PDF[Jilid 1  ##download##] | [Jilid 2  ##download##] 


  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BSI 7122653484 an. Saiful Hadi


Tiada Lagi Senyuman



Oleh: Saiful Hadi

Banyak orang mengenal Salahuddin al-Ayyubi (Saladin) sebagai pahlawan Islam yang berhasil merebut kembali Jerusalem (Al-Quds) dari tangan pasukan Salib dalam Perang Hittin tahun 1187 M. Namun tidak banyak yang tahu bahwa di balik kegemilangannya, ada sosok guru dan panutan yang membentuk kepribadiannya sejak awal yaitu Sultan Nuruddin Mahmud Zanki.

Sultan Nuruddin memerintah dari tahun 1146 hingga 1174 M. Ia dikenal sebagai pemimpin yang adil, zuhud, dan sangat peduli terhadap nasib umat Islam. Dialah yang meletakkan fondasi perjuangan melawan pasukan Salib di wilayah Syam dan Mesir, yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh murid dan jenderalnya, Salahuddin al-Ayyubi.

Salah satu kisah paling menyentuh hati dari kepemimpinannya adalah tentang senyuman yang tak jadi terukir dari bibirnya. Imam Abu Syamah al-Maqdisi rahimahullah meriwayatkan bahwa suatu hari Sultan Nuruddin menghadiri majelis ilmu, di mana para ulama membacakan hadits dari sanad yang sampai kepada beliau sendiri. Di antara hadits yang dibacakan adalah Hadits Musalsal bil Tabassum, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan senyum oleh setiap perawinya.

Sebagaimana tradisi dalam majelis hadits, para ulama memohon agar Sultan Nuruddin ikut tersenyum demi menyempurnakan sanad. Namun, dengan wajah penuh duka, sang sultan menolak. Ia berkata dengan suara dalam:

"إِنِّي لَأَسْتَحْيِي مِنَ اللهِ أَنْ أَبْتَسِمَ وَالمُسْلِمُونَ مُحَاصَرُونَ بِالدَّمِيَاطِ"

"Saya merasa malu kepada Allah jika Dia melihat saya tersenyum, sementara kaum Muslimin sedang terkepung oleh tentara Salib di Damiyath (Mesir)!" al-Raudhah fi Akhbar ad-Daulah, hlm. 143

Kala itu, Damiyath sedang dikepung pasukan Salib. Sementara sebagian umat Islam hidup dalam ketakutan, kelaparan, dan kehinaan, Sultan Nuruddin menolak memperlihatkan ekspresi bahagia, walau hanya sebatas senyum dalam majelis ilmu. Baginya, kegembiraan di tengah penderitaan umat adalah bentuk kelalaian.

Kisah ini bukan sekadar potret pribadi seorang sultan. Ia adalah cerminan kepemimpinan yang empatik dan penuh tanggung jawab. Seorang pemimpin yang tidak hanya memikirkan kemenangan politik, tetapi juga menyelaraskan jiwanya dengan nasib umat yang ia pimpin.

  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BSI 7122653484 an. Saiful Hadi


Hambali Sang Pembela Sunnah

Sumber viu

Oleh Saiful Hadi

Jagat perfilman Nusantara baru-baru ini dihebohkan dengan sebuah film kontroversial bertajuk Bidaah, garapan produser asal Malaysia, Erma Fatimah. Film ini tidak hanya menyajikan drama dan konflik, tetapi juga menyentil isu-isu sensitif seputar praktik keagamaan, membuatnya menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan.

Salah satu karakter yang mencuri perhatian dalam film tersebut adalah Hambali, sosok pemuda cerdas dan tegas yang baru saja kembali dari menimba ilmu di Yaman. Dengan semangat yang membara dan ilmu yang mumpuni, Hambali tampil sebagai penentang utama terhadap Walid, tokoh sentral dalam cerita yang mengajarkan ajaran-ajaran menyimpang dan berbalut kesesatan. Hambali tak segan berdiri di hadapan Walid dan para pengikutnya demi meluruskan pemahaman Islam yang hakiki, berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.

Tokoh Hambali ini bukan hanya fiktif, tetapi menjadi simbol perlawanan terhadap penyimpangan akidah dan penyimpangan ajaran Islam. Keberanian Hambali mengingatkan dengan sosok legendaris dalam sejarah Islam: Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu imam mazhab yang dikenal karena kegigihannya dalam mempertahankan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Di masa kekhalifahan Abbasiyah, beliau menghadapi tekanan luar biasa dari kelompok Mu’tazilah, yang mendapat dukungan kekuasaan dan memaksakan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq (makhluk), bukan kalamullah. Imam Ahmad dengan tegas menolak keyakinan tersebut, meski harus merasakan siksaan, penjara, bahkan ancaman kematian. Keteguhan beliau menjadi simbol kokohnya prinsip seorang ulama dalam membela kebenaran, walau nyawa taruhannya.

Dalam konteks film Bidaah, tokoh Hambali membawa semangat yang sama. Ia digambarkan sebagai representasi pemuda Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang tak tunduk pada tekanan sosial dan tak gentar menghadapi fitnah serta intimidasi demi menjaga kemurnian ajaran Islam. Film ini, meskipun mengundang kontroversi, membuka ruang diskusi penting tentang pentingnya memahami dan mempertahankan ajaran Islam dari penyimpangan, baik yang halus maupun terang-terangan.

Melalui tokoh Hambali, kita diajak untuk meneladani semangat ilmiah, keberanian dalam berdakwah, serta kepekaan terhadap penyimpangan dalam masyarakat. Sebab, dalam setiap zaman, selalu dibutuhkan figur seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan, dalam kisah fiksi ini, Hambali—yang tidak hanya berilmu, tetapi juga memiliki keberanian moral untuk mengatakan "ini salah" di saat mayoritas diam atau bahkan ikut-ikutan dalam kesesatan.

Dan film Bidaah, terlepas dari berbagai kontroversinya, berhasil menyulut kembali semangat untuk mengenal dan membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BSI 7122653484 an. Saiful Hadi



Tandan Kurma dan Gambaran Fase Bulan dalam Al-Qur’an


Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat bulan berubah bentuk dari waktu ke waktu. Bentuknya yang beragam, mulai dari bulan sabit hingga bulan purnama, adalah hasil dari pergerakannya dalam orbit mengelilingi bumi. Fenomena ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dengan gambaran yang sangat indah dan mendalam, yaitu perumpamaan bulan dengan tandan kurma yang tua (al-‘urjūn al-qadīm).

Fase Bulan dan Perumpamaannya dalam Al-Qur’an

Dalam Surah Ya-Sin ayat 39, Allah berfirman:

"Dan telah Kami tetapkan tempat-tempat bagi perjalanan bulan, hingga akhirnya ia kembali seperti tandan kurma yang tua." (QS. Ya-Sin: 39)

Ayat ini menggambarkan bagaimana bulan melewati berbagai fase dalam peredarannya. Dalam ilmu astronomi, bulan mengalami 8 fase utama dalam satu siklus bulan penuh, yang berlangsung sekitar 29,5 hari. Fase tersebut meliputi:

  1. Bulan Baru (New Moon) – Bulan tidak terlihat dari bumi.
  2. Bulan Sabit Muda (Waxing Crescent) – Bulan mulai tampak seperti sabit tipis.
  3. Kuartal Pertama (First Quarter) – Separuh bagian bulan terlihat dari bumi.
  4. Bulan Cembung (Waxing Gibbous) – Bulan semakin membesar menuju purnama.
  5. Bulan Purnama (Full Moon) – Bulan tampak bulat penuh dan bercahaya.
  6. Bulan Cembung Menuju Akhir (Waning Gibbous) – Cahaya bulan mulai berkurang.
  7. Kuartal Terakhir (Last Quarter) – Separuh bulan kembali terlihat.
  8. Bulan Sabit Tua (Waning Crescent) – Bulan tampak seperti sabit tipis sebelum menghilang dan kembali ke fase bulan baru.

Ayat ini secara khusus menyoroti fase terakhir bulan sebelum kembali ke fase awalnya, di mana bentuk bulan semakin tipis dan melengkung.

Tafsir Al-Wasith tentang Ayat Ini

Dalam Tafsir Al-Wasith, ayat ini dijelaskan dengan mendalam:

“Kemudian Allah menyebutkan tanda kebesaran-Nya yang lain, dengan firman-Nya: ‘Dan bulan, Kami tetapkan baginya manzilah-manzilah (tempat-tempat perjalanannya)...’"

Imam Tantawi dalam Tafsir Al-Wasith menjelaskan bahwa kata manazil (maksudnya adalah 28 tempat perjalanan bulan) menggambarkan bagaimana bulan bergerak melalui orbit yang telah ditetapkan Allah dengan ketelitian yang luar biasa. Setelah mencapai puncaknya dalam bentuk purnama, bulan perlahan-lahan mengalami pengurangan cahaya dan bentuknya semakin melengkung seperti tandan kurma yang tua.

Tafsir ini juga menyoroti perumpamaan yang digunakan:

“Perumpamaan ‘tandan kurma yang tua’ menggambarkan bentuk bulan yang semakin mengecil, melengkung, dan berwarna kuning, sebagaimana tandan kurma yang telah mengering dan kehilangan kesegarannya.”

Jadi, gambaran ini sangat akurat dalam menjelaskan bagaimana bulan di penghujung siklusnya tampak redup, tipis, dan melengkung, seolah kehilangan sinarnya seperti tandan kurma yang sudah lama dibiarkan mengering.

Mengapa Bulan Diibaratkan Seperti Tandan Kurma yang Tua?

Istilah al-‘urjūn al-qadīm dalam ayat tersebut merujuk pada tandan kurma yang sudah kering dan melengkung. Tandan ini dulunya segar dan lurus, tetapi seiring waktu menjadi tua, mengering, dan melengkung. Gambaran ini sangat cocok untuk mendeskripsikan bentuk bulan dalam fase terakhirnya sebelum kembali ke bulan baru:

  1. Tipis dan Melengkung – Bulan sabit tua tampak semakin tipis dan melengkung, mirip dengan tandan kurma yang sudah tua.
  2. Kering dan Pucat – Cahaya bulan di akhir peredarannya tampak redup dan lemah, sebagaimana tandan kurma yang telah kehilangan kesegarannya.
  3. Perubahan Bertahap – Seperti halnya tandan kurma yang mengalami proses pengeringan seiring waktu, bulan juga mengalami perubahan bertahap dalam fasenya.

Gambaran ini juga diperkuat oleh pendapat Al-Alusi dalam tafsirnya:

“Perumpamaan ini menunjukkan betapa telitinya Allah dalam mengatur perjalanan bulan, sehingga tidak ada satu pun dari peredarannya yang melampaui batas atau menyalahi ketetapan-Nya.”

Keindahan Bahasa Al-Qur’an dalam Menggambarkan Fenomena Alam

Perumpamaan yang digunakan dalam ayat ini menunjukkan keindahan dan kedalaman bahasa Al-Qur’an dalam menggambarkan fenomena alam. Alih-alih menggunakan istilah teknis, Al-Qur’an menyampaikan konsep ilmiah dengan cara yang sederhana, puitis, dan mudah dipahami oleh semua orang, termasuk masyarakat Arab di masa lalu yang akrab dengan pohon kurma.

Perumpamaan ini juga menunjukkan bahwa Al-Qur’an mengandung pengetahuan yang melampaui zamannya. Meskipun sains modern baru bisa menjelaskan pergerakan bulan dengan detail, konsep dasarnya telah disebutkan dalam Al-Qur’an lebih dari 1400 tahun yang lalu.

Kesimpulan

Fase bulan adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang dapat kita saksikan setiap malam. Dalam Al-Qur’an, fase terakhir bulan diibaratkan seperti tandan kurma yang tua—melengkung, tipis, dan mulai kehilangan cahayanya. Perumpamaan ini tidak hanya menggambarkan fenomena astronomi dengan akurat, tetapi juga menunjukkan keindahan bahasa Al-Qur’an yang penuh hikmah.

Sebagai manusia, kita dapat mengambil pelajaran dari siklus bulan ini. Seperti bulan yang terus berubah, hidup pun penuh dengan perubahan dan siklus. Dari fase terang hingga redup, dari kejayaan hingga kelemahan, semuanya mengikuti ketetapan Allah. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani setiap fase kehidupan dengan kesadaran akan kebesaran-Nya.

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam dan siang, serta matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja beribadah.”
(QS. Fussilat: 37)

 

  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BSI 7122653484 an. Saiful Hadi