Tiada Lagi Senyuman



Oleh: Saiful Hadi

Banyak orang mengenal Salahuddin al-Ayyubi (Saladin) sebagai pahlawan Islam yang berhasil merebut kembali Jerusalem (Al-Quds) dari tangan pasukan Salib dalam Perang Hittin tahun 1187 M. Namun tidak banyak yang tahu bahwa di balik kegemilangannya, ada sosok guru dan panutan yang membentuk kepribadiannya sejak awal yaitu Sultan Nuruddin Mahmud Zanki.

Sultan Nuruddin memerintah dari tahun 1146 hingga 1174 M. Ia dikenal sebagai pemimpin yang adil, zuhud, dan sangat peduli terhadap nasib umat Islam. Dialah yang meletakkan fondasi perjuangan melawan pasukan Salib di wilayah Syam dan Mesir, yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh murid dan jenderalnya, Salahuddin al-Ayyubi.

Salah satu kisah paling menyentuh hati dari kepemimpinannya adalah tentang senyuman yang tak jadi terukir dari bibirnya. Imam Abu Syamah al-Maqdisi rahimahullah meriwayatkan bahwa suatu hari Sultan Nuruddin menghadiri majelis ilmu, di mana para ulama membacakan hadits dari sanad yang sampai kepada beliau sendiri. Di antara hadits yang dibacakan adalah Hadits Musalsal bil Tabassum, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan senyum oleh setiap perawinya.

Sebagaimana tradisi dalam majelis hadits, para ulama memohon agar Sultan Nuruddin ikut tersenyum demi menyempurnakan sanad. Namun, dengan wajah penuh duka, sang sultan menolak. Ia berkata dengan suara dalam:

"إِنِّي لَأَسْتَحْيِي مِنَ اللهِ أَنْ أَبْتَسِمَ وَالمُسْلِمُونَ مُحَاصَرُونَ بِالدَّمِيَاطِ"

"Saya merasa malu kepada Allah jika Dia melihat saya tersenyum, sementara kaum Muslimin sedang terkepung oleh tentara Salib di Damiyath (Mesir)!" al-Raudhah fi Akhbar ad-Daulah, hlm. 143

Kala itu, Damiyath sedang dikepung pasukan Salib. Sementara sebagian umat Islam hidup dalam ketakutan, kelaparan, dan kehinaan, Sultan Nuruddin menolak memperlihatkan ekspresi bahagia, walau hanya sebatas senyum dalam majelis ilmu. Baginya, kegembiraan di tengah penderitaan umat adalah bentuk kelalaian.

Kisah ini bukan sekadar potret pribadi seorang sultan. Ia adalah cerminan kepemimpinan yang empatik dan penuh tanggung jawab. Seorang pemimpin yang tidak hanya memikirkan kemenangan politik, tetapi juga menyelaraskan jiwanya dengan nasib umat yang ia pimpin.

  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BSI 7122653484 an. Saiful Hadi


Hambali Sang Pembela Sunnah

Sumber viu

Oleh Saiful Hadi

Jagat perfilman Nusantara baru-baru ini dihebohkan dengan sebuah film kontroversial bertajuk Bidaah, garapan produser asal Malaysia, Erma Fatimah. Film ini tidak hanya menyajikan drama dan konflik, tetapi juga menyentil isu-isu sensitif seputar praktik keagamaan, membuatnya menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan.

Salah satu karakter yang mencuri perhatian dalam film tersebut adalah Hambali, sosok pemuda cerdas dan tegas yang baru saja kembali dari menimba ilmu di Yaman. Dengan semangat yang membara dan ilmu yang mumpuni, Hambali tampil sebagai penentang utama terhadap Walid, tokoh sentral dalam cerita yang mengajarkan ajaran-ajaran menyimpang dan berbalut kesesatan. Hambali tak segan berdiri di hadapan Walid dan para pengikutnya demi meluruskan pemahaman Islam yang hakiki, berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.

Tokoh Hambali ini bukan hanya fiktif, tetapi menjadi simbol perlawanan terhadap penyimpangan akidah dan penyimpangan ajaran Islam. Keberanian Hambali mengingatkan dengan sosok legendaris dalam sejarah Islam: Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu imam mazhab yang dikenal karena kegigihannya dalam mempertahankan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Di masa kekhalifahan Abbasiyah, beliau menghadapi tekanan luar biasa dari kelompok Mu’tazilah, yang mendapat dukungan kekuasaan dan memaksakan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq (makhluk), bukan kalamullah. Imam Ahmad dengan tegas menolak keyakinan tersebut, meski harus merasakan siksaan, penjara, bahkan ancaman kematian. Keteguhan beliau menjadi simbol kokohnya prinsip seorang ulama dalam membela kebenaran, walau nyawa taruhannya.

Dalam konteks film Bidaah, tokoh Hambali membawa semangat yang sama. Ia digambarkan sebagai representasi pemuda Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang tak tunduk pada tekanan sosial dan tak gentar menghadapi fitnah serta intimidasi demi menjaga kemurnian ajaran Islam. Film ini, meskipun mengundang kontroversi, membuka ruang diskusi penting tentang pentingnya memahami dan mempertahankan ajaran Islam dari penyimpangan, baik yang halus maupun terang-terangan.

Melalui tokoh Hambali, kita diajak untuk meneladani semangat ilmiah, keberanian dalam berdakwah, serta kepekaan terhadap penyimpangan dalam masyarakat. Sebab, dalam setiap zaman, selalu dibutuhkan figur seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan, dalam kisah fiksi ini, Hambali—yang tidak hanya berilmu, tetapi juga memiliki keberanian moral untuk mengatakan "ini salah" di saat mayoritas diam atau bahkan ikut-ikutan dalam kesesatan.

Dan film Bidaah, terlepas dari berbagai kontroversinya, berhasil menyulut kembali semangat untuk mengenal dan membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BSI 7122653484 an. Saiful Hadi