Saat kita datang berobat ke dokter, selesai beliau mendiagnosa penyakit yang menghinggapi pada tubuh kita, kemudian beliau memberikan resep obat dan tidak lupa beliau sarankan untuk tidak makan makanan tertentu atau jangan dulu beraktivitas yang berat-berat. Secara ringkas, beliau menyarankan pantangan-pantangan tertentu agar obat bisa bekerja dengan maksimal sehingga sang pasien menjadi lekas sembuh.
Sebuah pernikahan pun di dalamnya terdapat pantangan-pantangan tertentu agar kehidupan bahtera rumah tangga menjadi langgeng dan terus berjalan untuk selamanya, tak lekang dimakan waktu sehingga mautlah yang datang memisahkan raga mereka berdua. Pantangan ini tidak hanya perlu dipahami oleh pasangan-pasangan yang hendak menikah, bagi yang sudah menikah pun ada baiknya juga mengulang kaji supaya pantangan-pantangan ini tidak dikerjakan.
Lantas, apa saja pantangan-pantangan tersebut?
Poin pertama yang menjadi prioritas utama bagi yang telah menikah adalah pantangan terhadap Thalaq atau cerai. Secara bahasa Thalaq ini bermakna melepaskan ikata[1], sedangkan menurut istilah fiqih yaitu melepaskan ikatan aqad nikah dengan lafaz seperti Thalaqtuki (Aku ceraikan kamu[2]. Perkara thalaq biarpun secara hukum dibolehkan namun ini adalah hal yang harus dihindari, mengingat bahwa Rasulullah sangat menganjurkan pernikahan bukan perceraian. Nah dikala terjadi kisruh dalam rumah tangga jangan sampai lidah begitu ringannya mengucapkan lafaz cerai. Pertengkaran-pertengkaran kecil dalam rumah tangga adalah hal yang wajar, ibarat kata seperti sendok dengan kuali yang pasti akan ada benturan-benturan kecil saat mengaduk kuah yang ada di dalam kuali tersebut.
Teringan dengan ceramah KH. Zainuddin MZ, beliau katakan “disaat ada kegoncangan dalam bahtera rumah tangga, ingatlah malam-malam pertamamu bersama dia”, gimana suasana malam pertama ya bagi sudah menikah tentu memahaminya dengan baik..hehhe. Petuah yang seperti ini perlu diterapkan untuk meremajakan situasi dan kondisi pernikahan agar keharmonisan selalu terjaga. Jadikan pernikahan itu sebagai sebuah barang antik yang nilai akan terus naik seiring dengan bertambah usianya.
Pantangan kedua adalah Ila’. Ila’ adalah sumpah untuk tidak menggauli istri selama waktu tertentu atau waktu lebih dari empat bulan[3]. Contohnya si suami mengatakan kepada istrinya, “Aku tidak akan menggaulimu lagi selama 5 bulan” atau bisa juga “Aku tidak akan menggaulimu lagi selama sifulan belum mati”. Ila’ ini terlarang dalam syariat karena bisa mendhalimi sang istri. Efek akhir dari Ila’ ini akan berujung ke perceraian juga. Hal ini dikarenakan apabila telah lewatlah masa lebih dari 4 bulan tanpa ada penggaulan, maka istri bisa menuntut lewat pengadilan Syari agar suaminya membatalkan sumpahnya dan membayar kafarat sumpah, dan jika si suami tidak mau maka pengadilan menjatuhkan thalaq untuk istri sehingga dia terlepas dari suaminya.
Bersambung...
[1][2][3] Kitab Iantuttalibin-Bab Nikah