Ulama adalah pewaris para Nabi
yang meneruskan perjuangan mereka, melalui lidah dan tinta yang tertuang di
dalam kitab-kitab para ulama umat menjadi tercerahkan dan mengenal ajaran yang
haq. Dalam kitab Ta’lim Muta’alim, ada sebuah kata mutiara yang menyebutkan : “Tiada
keberhasilan seseorang dalam mencapai sesuatu kecuali dengan menghormatinya,
dan tiada kegagalan selain karena tidak mau menghormatinya”1]. Salah satu
cara dalam menghormati ilmu adalah dengan menghormati pemilik ilmu, walaupun
ilmu yang diajarkan olehnya sangat kecil.
Masih dalam kitab Ta’lim Muta’alim,
Syaikul Islam Burhanuddin Shahibul Hidayah [2], beliua mengisahkan bahwa ada
seorang Ulama besar Bukhara sedang duduk di majlis pengajian, di tengah
kegiatan pengajian tersebut sesekali ia berdiri, lalu orang-orang menanyakan
hal demikian, beliau menjawab “Sebetulnya putera Guruku sedang bermain bersama
anak-anak sebayanya di halaman depan, dan terkadang ia mendekat ke pintu mesjid
ini, maka setiap kali melihatnya aku pun berdiri demi menghormati Guruku”.
Demikianlah
besar penghormatan ulama-ulama dahulu terhadap para ahli ilmu, sampai-sampai
anaknya pun juga mendapat penghormatan. Sikap yang seperti ini merupakan sebuah
contoh dalam menghormati ahli ilmu agar ilmu yang diperoleh darinya menjadi
berkah dan bermanfaat.
Dewasa ini ditengah pesatnya
perkembangan teknologi dimana arus informasi sudah tersedia luas dan bisa
diakses dengan cepat, terkadang menimbulkan efek yang negatif. Ulama yang harusnya dihormati namun yang terjadi malah dicaci. Ketika ada sesuatu hal yang masih samar, namun dengan berbagai macam olah bahasa sehingga terlihat seperti sebuah fakta. Parahnya lagi, gribah menjadi
santapan yang enak untuk dinikmati. Demi mengharap trafik dan rating yang tinggi, pemberitaan sampah yang belum jelas asal usulnya dijajakan begitu saja.
Media telah menjadi alat untuk mengubah pola pikir masyarakat, berbagai kepentingan bekerja dibaliknya demi meraup keuntungan duniawi yang semu. Gribah adalah membicarakan sesuatu yang dibenci
oleh orang yang bersangkutan ketika mendengarnya biarpun hal itu benar adanya,
namun jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar maka ini adalah
sebuah kedustaan. Keduanya adalah sikap tercela yang patut untuk dijauhi. Dalam
kitab Tahrir ala Syarqawi disebutkan bahwa:
وهى فى حق أهل العلم والقرأن كبيرة دون غيرهما
Mengribah terhadap ahli ilmu dan
ahli quran termasuk dosa besar, tidak termasuk dosa besar bagi selain keduanya
[3].
Untuk itu penting sekali bagi
kita dalam menjaga lidah agar tidak sampai mengucapkan kata-kata yang keji yang
belum tentu kebenarannya. Sebagaimana anjuran dalam agama disaat mendapati
sebuah berita-berita yang belum jelas maka bertabayunlah, carilah penjelasan
agar tidak salah dalam memvonis sesuatu hal.
Catatan Kaki
[1] Ta’lim Muatalim, Fasal Fi Ta’dhimi
Ilmi wal Ahlihi
[2] Beliau adalah Imam Abul Hasan
Ali bin Abu Bakar Al Marghinaniy (w593
H/1197M), ulama besar ahli fiqih, hafidz, mufassir sekaligus ahli hadist. Karya
beliau yang paling terkenal adalah kitab Al Hidayah fil Fiqhil Hanafiy, atas
dasar inilah nama beliau sering disebut sebagai Shahibul Hidayah. Beliau juga
adalah guru dari Syech Az-Zarnuji yang merupakan pengarang kitab Ta’lim
Mutaalim.
[3] Syarkawi Ala Tahrir, Bab
Wudhu Hal 43 Juz 1
COMMENTS