Kata "syukur" cukup banyak mendapatkan tempat di dalam al-Qur’an. Ada beda pendapat tentang jumlah penyebutan kata syukur dalam al-Qur’an. Quraish Sihab menyebutkan kata “syukur” dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat kali [1]. Sedangkan menurut Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi’ menyebutkan bahwa kata syukur dengan berbagai bentuk turunannya ditemukan sebanyak 75 kali [2]. Sementara ayat yang berbicara mengenai kesabaran, setidaknya ada 103 kali kata sabar disebut dalam Al-Qur’an, baik berbentuk isim maupun fi’ilnya [3].
Kalimat syukur dalam bentuk kata perintah ditemukan sebanyak dua kalimat, yaitu lafaz أشكر yang terdapat pada 2 ayat dan أشكروا yang terdapat pada 5 ayat. Demikian juga dengan kalimat sabar dalam bentuk kata perintah juga ditemukan sebanyak dua kalimat, yaitu lafaz اصبر yang terdapat pada 19 ayat dan اصبروا yang terdapat pada 6 ayat. Jika ditotalkan ada sebanyak 7 ayat yang memerintahkan untuk bersyukur, dan ada 25 ayat yang memerintahkan untuk bersabar.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa quran lebih banyak menyebutkan kata sabar dibandingkan syukur. Berbicara mengenai sabar, para ulama membagi sabar pada tiga keadaan, yaitu sabar dalam mengerjakan ibadah, sabar tatkala ditimpa musibah, dan sabar dalam menahan diri dari maksiat.
Dalam penerapannya di lapangan, sabar dan syukur haruslah ada pada diri setiap hamba, dikala sedang dicoba maka sabarlah, saat sudah lapang maka bersyukurlah. Bersabar itu berat, namun bersyukur jauh lebih berat. Saat sedang kesusahan banyak sanggup bersabar, namun jika sudah lepas dari masalah menjadi lupa segalanya sehingga jauh sekali dengan sikap syukur
.
Lawan dari kalimat syukur adalah kufur. Quran sering menyebutkan kufur untuk menggambarkan yang tidak mau bersyukur. Dalam buku wawasan al-Quran, disebutkan bahwa ketika para Ulama menafsirkan firman Allah, "Bersyukurlah kepada Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat Ku" (QS.Al-Baqarah 2:152), menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung perintah untuk mengingat Tuhan, dan patuh pada Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Syukur yang demikian lahir dari keiklasan kepadaNya, dan karena itu, ketika setan menyatakan bahwa "demi kemulian Mu, aku akan menyesatkan mereka semua" (QS. Shad 38:82), dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, "kecuali hamba-hamba Mu yang mukhlash di antara mereka" (QS. Shad 38:83).
Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat, dan hakikat kufur adalah menyembunyikannya. Salah satu cara menampakkan nikmat adalah dengan mempergunakannya pada tempat yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi nikmat, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lisan.
Rujukan
[1] Qurays Syihab, Wawasan al-Quran, hlm. 285
[2] Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 489-491.
[3] Ibid, hlm. 507-509