Manusia mempunyai potensi yang beragam baik dalam kehidupan maupun pemikiran. Biarpun secara fisik mempunyai struktur yang sama, namun dari segi kecerdasan, kecakapan, dan pemahaman ternyata manusia satu dengan yang lain tidak sama.
Fiqih secara bahasa diterjemahkan dengan pemahaman. Sehingga menjadi wajar ketika mazhab fiqih menjadi beragam, hal ini karena tempat dan inteletualitas masing-masing sangat mempengaruhi pola pikir sehingga melahirkan pemahaman yang beragam. Ketika berhadapan dengan teks nash baik al-Quran maupun Sunnah, sebagian orang ada yang memahaminya sebatas tekstual yang merujuk kepada zhahir nash. Namun ada juga yang mencoba memahami esensi yang dikandung oleh nash dengan pertimbangan akal.
Sebagai contoh dalam memahami masalah bid'ah, ada kalangan yang memahami secara zhahir teks bahwa semua bid'ah dihukumi sesat. Namun ada juga yang moderat sehingga tidak memahami demikian. Salah satunya adalah Imam Syafie, dalam memahami masalah bid'ah beliau berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
"Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela".
Mengacu pada teritorial yang dibuat oleh Imam Syafie, Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syariah”.
Sehingga menurut Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam bid'ah itu ada yang wajibah, muharramah, mandzubah, makruhah dan mubahah. Contohnya sebagai berikut:
Bid'ah Wajibah, seperti meletakkan ilmu bahasa Arab dan mengajarkannya.
Bid'ah Mandzubah (sunah), seperti mendirikan sekolah-sekolah.
Bid'ah Makruhah, seperti menghias-hias mesjid.
Bid'ah Muharramah (haram), seperti mengumpulkan bacaan Al-Quran yang dapat mengubah arti suatu lafaz dari letak asli kearabannya, termasuk bid'ah haram juga seperti aliran Mu'tazilah, khawarij.
Bid'ah Mubahah, seperti bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman.