Tidak bisa dipungkiri dalam melakukan kajian terhadap Al-Quran dan Hadist bakal didapati beberapa dalil yang secara zhahir bisa dikatakan saling bertentangan, bahkan Imam Asy-syafie sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah ini.
Kalau ada beberapa hadits yang kekuatannya sama-sama shahih tetapi matannya saling bertentangan, lantas apa yang harus kita lakukan? Menjawab permasalahan ini Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaful Hadits, disitu dengan detail beliau uraikan kaidah-kaidah dalam memahami dalil-dalil yang kelihatannya saling bertentangan.
Generasi setelah Imam Syafie juga banyak yang mengikuti jejak beliau dalam hal membahas dalil-dalil yang saling kontradiksi tersebut. Salah satunya seperti Imam Haramain, beliau adalah Ulama Besar dalam mazhab Syafie sekaligus gurunya Imam Al-Ghazali.
Pembahasan mengenai Ta'arudh (kontradiksi) bisa kita jumpai dalam kitab karangan beliau yang berjudul waraqat, kitab ini membahas tentang ushul fiqih dan ukurannya pun cukup ringkas sehingga lebih mudah untuk dikaji bagi yang baru mendalami masalah ushul fiqih.
Jika bertemu dengan dalil yang saling bertentangan, lantas harus bagaimana? Imam Haramain dalam kitab Waraqat menjelaskan beberapa metode yang bisa ditempuh, antara lain:
1. Al-Jam'u (Mengkompromikan)
Adakalanya lafaz suatu hadist masih Aam (umum), sementara yang lain Khas (Khusus), ataupun lafaz hadist tersebut memang sama-sama umum. Sebagai Contoh: Dalam sebuah Hadist Rasulullah Bersabda : “Sejelek-jelek saksi adalah orang yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”, sedangkan dalam hadist lain beliau bersabda : “Sebaik-baik saksi adalah yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”.
Dari dua contoh hadist di atas, disatu kesempatan Nabi menyatakan “sejelek-jelek saksi”, dan pada hadist yang lain “sebaik-baik saksi”. Jelas sekali antara dua hadist ini terlihat saling bertentangan, namun oleh para Ulama menjelaskan kedudukan hadist pertama dibawa kepada suatu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu sudah mengetahui isi kesaksian tersebut, oleh karena demikianlah Rasulullah mengecapnya sebagai sejelek-jelek saksi. Sementara hadist kedua dibawa kepada satu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu tidak mengetahui isi kesaksian yang dimaksud. Setelah dikompromikan antara kedua dalil tersebut kontradiksi antara keduanya tidak terlihat lagi.
Bersambung...