Saling Bersilaturrahim

Beberapa hadits telah menjelaskan mengenai keutamaan saling mengunjungi sesama muslim.

Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan, “Sesungguhnya seseorang ada yang ingin mengunjungi saudaranya di kota lain. Allah lalu mengutus malaikat untuknya di jalan yang akan ia lalui. Malaikat itu pun berjumpa dengannya seraya bertanya, ‘Ke mana engkau akan pergi? Ia menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di kota ini?’ Malaikat itu bertanya kembali, ‘Apakah ada suatu nikmat yang terkumpul untukmu karena sebab dia?’ Ia menjawab, ‘Tidak. Aku hanya mencintai dia karena Allah ‘azza wa jalla.’ Malaikat itu berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untukmu. Allah sungguh mencintaimu karena kecintaan engkau padanya’.” (HR. Muslim no. 2567).

Hadits tersebut, ditulis oleh Imam Nawawi dalam Shahih Muslim dengan judul bab “Keutamaan saling cinta karena Allah”. Dan dalil ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil keutamaan saling mengunjungi sesama muslim dan mengunjungi orang shaleh yang dilandasi ikhlas dan saling mencintai karena Allah. Jadi dasarnya adalah karena Allah yaitu karena iman yang dimiliki saudaranya.

Islam itu Bersih

Islam mewajibkan kepada umatnya untuk selalu hidup bersih, dan suci. Bersih merupakan dasar peraturan Islam, coba perhatikan bagaimana Islam mensyaratkan orang yang akan melakukan shalat, secara jasmaniah Islam menganjurkan kebersihan,  misalnya wudu di lakukan paling sedikit 5 kali sehari semalam, dan pada waktu setiap hari kita membersihkan anggota badan itu sebanyak 15 kali. Jadi, bila wudu itu dilakukan dengan baik dan benar, maka setiap muslim pasti bersih, tangannya bersih, mulutnya bersih, mukanya bersih dan seterusnya.

Ditinjau dari segi batiniyah anggota badan yang dibasuh pada waktu wudu mengandung makna isyarat atau lambang kebersihan batin, misalnya mulut dibersihkan agar tidak berkata jorok/kotor, memfitnah, khianat, takabur, dan seterusnya,  tangan dibersihkan agar tidak digunakan untuk hal-hal yang negatif seperti mencuri, memukul orang dan sebagainya.

Kebiasaan hidup bersih bagi umat islam telah diterapkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2: ayat 222 yang berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِين
“........Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang suci” (Q.S. Al-Baqarah, 2:ayat 222)

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup bersih dan sehat, baik badannya, pakaiannya, tempat tinggal, dan bersih jiwanya. Dalam diri yang baik dan bersih akan nampak pribadi yang menarik dan mengesankan dalam pergaulan sehari-hari, dan akan menjadi teladan dimanapun. Orang yang ebrsih jiwanya akan keluar kata-kata yang baik dan bermakna, jauh dari sifat dengki, iri, munafik, takabur dan sebagainya. Semua tutur katanya akan menjadi panutan. Amal yang diperbuat selalu mencerminkan rasa ikhlas dan juga semua perbuatannya didasarkan karena Allah SWT.

Islam mengajarkan dalam kehidupan sehari-hari agar hidup bersih dan sehat baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.

Kebersihan Lingkungan Tempat Tinggal
Kita harus menjaga kebersihan di tempat tinggal kita, agar tetap bersih dan indah. Tidak kalah pentingnya lingkungan tempat tinggal kita,seperti selokan, halaman rumah, dll. Tempat tinggal dan Lingkungannya harus selalu dijaga, dirawat dengan baik serta teratur sehingga menjadi lingkungan yang bersih dan sehat.

Kebersihan di Lingkungan Sekolah
Tidak akan merasa enak dan tenang apabila di lingkungan selalu kotor, bau tak sedap dan sebagainya, oleh karena itu kita wajib menjaga kebersihan kelas, seperti dinding, meja, kursi, jendela dll. Setiap kelas harus selalu dibersihkan, akan tetapi membersihkan dalam kelas dan lingkungannya bukan menjadi tanggung jawab tukang kebun saja, tetapi kebersihan sekolah menjadi tanggung jawab seluruh warga sekolah. Lingkungan yang bersih dan sehat membuat proses belajar mengajar lancar, dan tidak terganggu.

Kebersihan di Tempat Ibadah
Musala, masjid adalah tempat-tempat ibadah yang suci dan disucikan oleh orang Islam, karena tempat tersebut adlah untuk beribadah kepada Allah SWT. Selain itu, tempat-tempat itu juga digunakan untuk pengajian, diskusi, dan kegitan lain yang berhubungan dengan kegiatan Islam lainnya. Untuk itu tempat-tempat ibadah harus dijaga kebersihannya dari najis dan kotoran. Menjaga tempat-tempat ibadah bukan saja tanggung jawab remaja masjid, tapi seluruh umat Islam wajib menjaga masjid beserta lingkungannya tetap bersih dan sehat.

Seperti hadits berikut ini:

اَلاِسْلاَمُ نَظِيْفٌ فَتَنَظَّفُوْافَاِنَّهُ لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ اِلاَّ نَظِيْفٌ

"Agama Islam itu adalah agama yang bersih atau suci, maka hendaklah kamu menjaga kebersihan. Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang suci."

Source: Berbagai Sumber

Dikotomi Ilmu Agama dan Dunia: Relevankah?

Oleh: Dr. Anton Widyanto

Dalam wacana diskursus keilmuan Islam klasik, seringkali pengklasifikasian ilmu dibedakan antara ilmu-ilmu agama atau disebut dengan al-‘ulum al-ukhrawiyyah (seperti tauhid, tasawuf, akhlak, fiqh dsb) dengan ilmu-ilmu non agama atau biasa diistilahkan dengan al-‘ulum ad-dunyawiyyah (seperti filsafat, ilmu-ilmu alam dsb).  Muncul penilaian bahwa ilmu-ilmu agama yang sifatnya lebih berorientasi akhirat (ukhrawiyyah) adalah ilmu-ilmu yang lebih baik dan afdhal untuk dikaji dan dipelajari, daripada ilmu-ilmu yang sifatnya duniawi. Penilaian seperti ini pada akhirnya menggiring pada dikotomisasi keilmuan, bahwa ilmu-ilmu umum (secular knowledge) tidak terlalu penting dikaji dibandingkan ilmu-ilmu agama (religious knowledge). Sayangnya, hal seperti ini ikut menjangkiti dunia pendidikan Islam hingga masa sekarang ini. Tidak jarang masih ada pesantren/dayah yang “mengharamkan” menuntut ilmu selain ilmu-ilmu agama, dikarenakan dianggap tidak bisa menjadi bekal untuk kehidupan akhirat kelak.

Pandangan dikotomis di atas tentu layak dipertanyakan relevansinya di masa sekarang. Bahkan bila dikaji dari perspektif filsafat ilmu, pandangan seperti ini layak untuk diperdebatkan. Sebab dari kajian nash (baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Saw), tidak ada satu pun yang melarang secara tegas bidang ilmu tertentu untuk dipelajari. Bahkan bila dikaji dari pesan-pesan moral Qur’ani, cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa mengkaji, mempelajari, menyelami dan mendiskusikan seluruh fenomena alam dari beragam perspektif (misalnya Q.S al-Baqarah: 164, Q.S  Ali Imran: 190, Q.S Yunus: 101, Q.S Ar-Rahman: 33 dst), sehingga menemukan simpulan akhir, Allahu Akbar. Ternyata memang Allah Maha dari segala Maha. Allahlah Sang Maha Pencipta Tunggal (Esa) semua yang ada; Allahlah Sang Maha Pengatur alam semesta seisinya; dan Allahlah yang Maha Menentukan awal dan akhir segalanya (Huwa al-awwal wa al-Akhir).

Akhir menuju simpulan dan keyakinan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah aspek yang sebenarnya juga menjadi pembeda antara ilmu dalam perspektif Islam dan perspektif non muslim. Bila perspektif umat non muslim mendasarkan ilmu sebagai ilmu, sehingga bila  perlu agama dipinggirkan atau bahkan disingkirkan jauh-jauh, maka sebaliknya dalam perspektif Islam, ilmu harus dilekatkan pada aspek keimanan menuju keyakinan bahwa Allah Swt adalah Pencipta, Penguasa, sekaligus Pemelihara alam semesta dan semua isinya (tawhid). Dan karena ada pondasi ini, maka semua ilmu yang dipelajari harus dimanfaatkan untuk mempergunakan segala sumber daya alam sebaik-baiknya demi kemaslahatan umat manusia dan seluruh mahkluk ciptaan Allah yang lain (hewan, tumbuhan, sungai, laut dsb). Allah Swt melarang keras segala perbuatan yang merusak ciptaan-Nya (Q.S Al-A’raf: 56).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dikotomisasi ilmu agama dengan ilmu dunia pada dasarnya tidak layak dipertahankan. Sebab Islam meyakini bahwa semua ilmu adalah bersumber dari Allah Swt. Manusia meski hanya diberikan “secuil ilmu” dari ilmu Allah Swt yang sangat luas itu, mereka juga diberikan kesempatan untuk menggali dan memanfaatkan ilmu tersebut untuk  mewujudkan kemasalahatan bagi seluruh mahkluk di dunia ini. Pada akhirnya dengan berbekal ilmu itu pula, manusia bisa mencapai keyakinan bahwa memang tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Mencipta dan Maha Berkuasa atas segalanya.

Wallahu a’lam bis Shawab.

Disadur dari Artikel SAINTEK

Motivasi Ibnu Hazm Belajar Fiqih

Kita mengenal Imam Ibnu Hazm al Andalusi (384-456H) sebagai sosok ulama besar dari Andalusia, beliau termasuk seorang mujtahid tersoroh, di tangan beliau Mazhab Azh-Zhahiry kembali berkembang. Menilik lembaran sejarah, ada kisah menarik yang mendorong Imam Ibnu Hazm untuk mempelajari ilmu fiqih:

Suatu ketika beliau menyaksikan jenazah yang akan dishalatkan, lalu beliau masuk ke mesjid dan langsung duduk tanpa shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Tiba-tiba seorang laki-laki yang ada di sampingnya berkata: “Berdirilah, dan lakukan shalat tahiyyatul masjid!”

Usia beliau ketika itu sudah menginjak umur 26 tahun.

Beliau menceritakan: “Lalu aku bangkit dan melakukan shalat dua rakaat.

Setelah kami selesai menguburkan jenazah, aku kembali lagi ke mesjid dan aku langsung mengerjakan shalat tahiyyatul masjid. Melihat apa yang aku lakukan, orang yang tadi menyuruhku mengerjakan shalat berkata: “Duduklah, sekarang bukan waktunya untuk shalat”. Karena waktu itu selesai shalat ‘Ashar.

Mendapatkan hal itu aku pergi dalam keadaan sangat sedih. Aku langsung menemui guru yang biasa mendidikku, supaya ia menunjukkan kepadaku rumah ahli fiqh Abu Abdillah ibnu Dahun. Setelah aku mendapatkannya, aku langsung menuju ke alamatnya dan aku memberi tahu beliau tentang perkara yang sudah berlaku pada diriku.

Untuk pertama kali, beliau menganjurkanku untuk mempelajari kitab Muwatta’ terlebih dahulu. Maka mulailah aku membacakannya atas bimbingan beliau, yang berlanjut dengan bacaan-bacaan berikutnya. Setelah berlangsung tiga tahun aku mulai berdiskusi dan berdebat”.

Akhirnya beliau menjadi salah seorang ulama terbesar dalam sejarah, yang menjadi pendiri kedua mazhab Azh-Zhahiry.

Kadangkala peristiwa sepele bisa menjadi pemicu kebangkitan seseorang. Peristiwa yang bisa menjadikan potensinya melejit setinggi langit.

Apakah tidak ada perkara yang kita hadapi sehingga kita perlu belajar serius seperti Imam Ibnu Hazm?

Oleh: Ustadz Zulfi Akmal, Lc. MA. | Fimadani

Seri Kisah Cinta Ulama

Kisah ini tentang masa muda Syaikh Sulaim As-Suyuthi yang terjadi di kota Damaskus, Syria, dimana Daulah Umawiyah menjadi ibu kota pada zaman itu. Di kota itu terdapatlah sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Jami’ At-Taubah. Masjid At-Taubah ini dibangun oleh seorang sultan pada abad ke-7, konon sebelumnya adalah tempat hiburan, tempat kemaksiatan. Syaikh tinggal di salah satu ruangan masjid itu hampir tujuh puluh tahun. Syaikh sangat termasyur dan dipercaya karena Kezuhudannya. Seringkali ia lewati hari-hari tanpa ada makanan sedikitpun ataupun sekeping uang untuk membeli makanan. Dalam kelaparan sering kali ia merasa kematiannya sudah dekat, tetapi ia menganggapnya sebagai ujian.

Suatu ketika ia menemui keadaan yang sedemikian gawat karena sudah berhari-hari ia tidak makan, demi mempertahankan hidup ia harus makan apa saja. Keadaan yang sangat darurat yang dalam ilmu fiqih sudah sampai batas diperbolehkan makan bangkai atau mencuri. Saat itu Sulaim memilih mencuri segenggam makanan. Menjelang Ashar ia keluar dari masjid, jika diluar masjid ada yang memberinya makan alhamdulillah. Jika tidak ia terpaksa harus mencuri. Masjid At-Taubah berada disekitar perkampungan yang rumahnya saling berdampingan satu dengan yang lainnya. Terpikir oleh Syaikh untuk melintas diatas rumah-rumah penduduk itu, kalau-kalau ada makanan yang dijemur di atas rumah.

Ia melihat sebuah rumah yang sedang kosong dan segera melangkah ke atap rumah itu, ia mencium bau masakan yang membuat air liurnya keluar. Dengan dua kali lompatan ia sudah berada di atap rumah tersebut dan segera menuju dapur, dilihatnya beberapa terong yang baru saja direbus. Karena rasa lapar yang tidak tertahankan lagi, ia langsung memakan terong itu tanpa peduli lagi panasnya makanan tadi. Namun ketika hendak menelannya, nuraninya mengusiknya. Ia berkata:
” Astaghfirullah, A’udzubillahi minasy syaithanir rajim…
” Aku mencuri? Aku mencuri?”
” Mana imanku? Mana imanku? Aku berlindung kepada Allah.”
” Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?”
” Aku seorang mu’azin di masjid, seorang penuntut ilmu, murid seorang ulama besar, tapi berani masuk ke Rumah orang lain dan mencuri?”
” Astaghfirullah… Ini tidak boleh terjadi.”
Ia langsung mengeluarkan semua terong yang sudah ia mamah dimulutnya, mengembalikan terong yang telah ia gigit. Airmatanya terbit, menyesali perbuatannya dan merasa telah melakukan dosa besar. Ia kembali ke masjid dan sepanjang jalan terus beristighfar.

Usai shalat Ashar ia duduk mengikuti dan mendengarkan pengajian sang Guru di masjid sambil terus memikirkan perbuatannya siang tadi. Usai pengajian dan semua orang telah pergi, tiba-tiba datang seorang wanita dengan memakai cadar muka menghampiri gurunya dan berkata kepada Gurunya dengan ucapan yang sama sekali tidak dapat ia dengar. Setelah itu Gurunya memanggilnya karena tidak ada orang lain lagi disekelilingnya dan bertanya,
” Apakah kamu telah menikah?”
” Belum jawabnya.” Guru betanya lagi,
” Apakah kamu ingin menikah?”
Ia terdiam, perutnya semakin melilit. Ia tidak memikirkan menikah, tetapi memikirkan nasib perutnya yang sudah sekian hari tidak kemasukan makanan. Kemudian guru mengulangi lagi pertanyaannya, dan Syaikh menjawab,
” Guru, Demi Allah, untuk membeli sekerat roti pun saya tidak mampu, bagaimana mungkin saya menikah?”.
Gurunya itu tersenyum lalu berkata,
” Wanita ini bercerita bahwa suaminya baru saja meninggal. Massa Iddahnya telah habis. Ia ingin mendapatkan suami lagi yang menikahinya sesuai Sunnah Rasulullah SAW, agar tidak sendirian lagi, sehingga menutup kesempatan mereka yang ingin berbuat jahat. Apakah kamu mau menikahinya?”
Syaikh menjawab, “Insya Allah saya mau.” Dan si wanita tadi pun menerima Syaikh sebagai suaminya.

Guru langsung menghadirkan dua orang saksi untuk melaksanakan akad nikah dan memberikan mahar untuk muridnya. Setelah itu sang wanita membawanya kerumahnya. Sesampainya di rumah sang wanita membuka cadarnya, Syaikh kaget karena isterinya itu sungguh sangat cantik. Wajah istrinya putih bersinar. Ia semakin kaget saat ini dia berada di rumah yang siang tadi ia masuki.
” Apakah Kanda sudah makan siang?” Tanya sang wanita.
Syaikh menjawab “belum”. Kemudian sang wanita mengajak Syaikh ke dapur untuk makan, namun saat membuka tutup panci betapa kagetnya sang wanita seraya berkata,
” Mengherankan! Siapa yang berani masuk rumah ini dan menggigit terong ini! Mungkin orang yang lancang ini tahu kalau aku janda sehingga berani nya ia masuk rumah ini!”
Mendengar hal itu, Syaikh menangis dan ia mulai menceritakan yang sesungguhnya terjadi. Ia minta maaf. Wanita itu pun menangis mendengar cerita suaminya. Dengan terisak ia berkata,
” Kau lulus ujian, Suamiku. Kamu menjaga dirimu dari perbuatan haram. Sebagai gantinya Allah memberikan terong ini semua bahkan pemiliknya dan seisi rumahnya secara halal”.

Sejak itu ia tinggal bersama isterinya yang cantik, salehah, cerdas. Dan dengan hartanya ia menuntut ilmu menjadi seorang Ulama Besar

source : http://tanbihun.com

Imam Syafie dan Ilmu Sains

Oleh: Saiful Hadi

Setiap muslim baik lelaki maupun perempuan dibebankan kewajiban untuk menuntut ilmu pengetahuan. Terutama ilmu agama yang berkaitan langsung makrifatullah dan ibadah. Sebab, ilmu adalah ruh ibadah, sehingga beribadah tanpa disertai ilmu seolah-olah mempersembahkan bangkai kepada Allah Ta'ala.

Pada dasarnya semua cabang ilmu penting untuk dipelajari, tidak terbatas hanya dalam ilmu agama saja. Dan rasanya kurang tepat tatkala ilmu dikotak-kotakkan menjadi ilmu agama dan dunia. Sebab, ilmu yang disebut sebagai "ilmu dunia" jika dimanfaatkan untuk menunjang kepentingan agama juga bernilai ibadah. Betapa banyak amalan dunia karena niat tulus akhirnya bernilai ibadah, dan juga tidak sedikit awalnya amalan akhirat semisal tahajud, lantaran riya dalam hati akhirnya tidak memberi faedah.

Jadinya antara ilmu agama dan dunia jangan kita pandang sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi kita tetapkan skala prioritas, dan yang paling utama adalah mempelajari ilmu agama, setelah itu barulah menekuni ilmu dunia. Bahkan sekaliber Al-Imam Syafie pun memandang bahwa semua ilmu penting untuk dipelajari, sebagaimana yang dikutip oleh Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta'lim Muta'alim, Imam Syafie berkata:

وقد حكى عن الشافعى رحمة الله عليه أنه قال: العلم علمان: علم الفقه للأديان، وعلم الطب للأبدان، وما وراء ذلك بلغة مجلس.
    
Imam Syafie rahimahullah berkata, "ilmu itu ada dua, yaitu ilmu fiqih untuk mengetahui hukum agama, dan ilmu kedokteran untuk memelihara badan."

Kenapa beliau sangat menekankan kedua ilmu tersebut, mungkin alasannya karena ilmu fiqih dan kedokteran berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup manusia di dunia. Dengan paham ilmu hukum maka kehidupan akan terarah, dan ilmu kedokteran untuk merawat badan sehingga selalu kuat beribadah.

Sejarah keemasan Islam juga diwarnai dengan kehadiran tokoh-tokoh multitalenta semisal Ibnu Sina sang dokter hebat yang kitab al-Qanun karya beliau menjadi rujukan ilmuan barat dalam hal kedokteran. Mereka tidak sekedar paham agama, namun juga menguasai ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia.

Dan sejarah yang kini tinggal kenangan tersebut bukan sesuatu yang mustahil untuk diulang kembali. Islam bangkit karena umatnya bergelut dengan ilmu pengetahuan, dan hari ini mundur lantaran kejahilan sudah mewabah kesegala sendi kehidupan.

Berfikir Cerdas Dengan Mempermudah Pernikahan


Orang tua yang begitu bersemangat untuk mencarikan obat bagi anaknya yang sedang sakit. Sungguh semangat yang tiada tandingnya, rela mengkorbankan semua yang dimilikinya demi kesembuhan sang anak, sehingga orang tua akan marah-marah jika ternyata anak yang sedang di obati ogah-ogahan meminum obat tersebut. Begitu juga orang tua yang mencubit paha anaknya yang berusia 7 tahun karena menyeberang jalan tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan hingga hampir saja tersambar sebuah mobil yang berkecepatan tinggi.

Itulah gambaran kasih sayang dan cinta yang tertuang dalam kepedulian dan pengorbanan. Ada kebutuhan anak yang teramat penting akan tetapi banyak orang tua yang sering ogah-ogahan dalam memenuhinya. Adalah kebutuhan seorang anak yang tidak lagi disebut seorang anak akan tetapi seorang anak yang sudah menjadi lelaki dan perempuan dewasa. Pada usia tertentu seorang tua tidak boleh melihat seorang anak hanya sekedar sebagai seorang anak akan tetapi ada saat-saat tertentu seorang anak harus dilihat sebagai seorang laki-laki atau seorang wanita yang membutuhkan pemenuhan dalam masalah “seks”.

Adalah kebutuhan seorang anak yang tidak lagi disebut seorang anak akan tetapi seorang anak yang sudah menjadi lelaki dan perempuan dewasa. Zaman ini adalah zaman yang amat berat menguji muda-mudi dengan maraknya perzinaan dan pergaulan yang menghantar kepada perzinaan. Teringat sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik pernikahan adalah yang dipermudah dan disegerakan”.

Pernyataan dari Rasulullah SAW tersebut merupakan sabda sekaligus solusi bagi problema remaja saat ini, dan bagi sebagian orang yang beranggapan bahwa pernikahan dini sulit mencapai kebahagiaan. Yang harus dimengerti adalah pernikahan dini bukan pernikahan sebelum waktunya akan tetapi pernikahan dini adalah menyegerakan pernikahan dan mempermudah urusan pernikahan. Saat adanya tanda- tanda bahwa sang anak sudah mendekati perzinahan, maka wajib bagi orang tua manapun untuk bersegara mencarikan solusi! Dan sungguh jika ada anak lapar seorang tua bisa memberinya makanan dan jika anak sakit orang tua bisa membelikan obat untuk anaknya. Akan tetapi jika anak sudah mengenal “seks” dengan matanya lewat adegan kotor di tv atau dengan telinganya lewat obrolan-obrolan jorok di sekolahnya atau dengan pikiranya lewat bacaan dan gambar-gambar porno, dibarengi dengan pergaulan diluar rumah yang tidak terkontrol, hingga sampailah anak tersebut pada batas butuh kepada pemenuhan kebutuhan seks.

Hal itu tidak akan terselesaikan bila sekedar diganti dengan makanan enak atau yang lainya. Dan orang tua tidak akan bisa memenuhi kebutuhan sang anak kecuali dengan membuka jalan pernikahan. Disinilah peran orang tua harus hadir. Membincangkan masalah pernikahan dengan anak demi keselamatan sang anak. Terlepas dari usia sang anak, pembatasan usia bukan solusi akan tetapi justru problem. Pernikahan bisa diatas 16 tahun dan bisa dibawah 16 tahun. Asal ada tanda-tanda suka dengan lawan jenis saat itulah orang tua harus bisa mendiskusikanya dengan sang anak. Dari situlah akan hadir makna pengarahan sekaligus pemahaman seberapa besar kebutuhan sang anak kepada seks , lalu dilanjutkan dengan solusi yang baik.
Teringat sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik pernikahan adalah yang dipermudah dan disegerakan”..

Pernikahan tidak harus menunggu usia tertentu atau jenjang pendidikan tertentu atau karir tertentu. Akan tetapi kapan anak butuh akan pernikahan maka saat itulah usia nikah yang tepat untuknya . Ada sebagian orang bersemangat menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dengan harapan mendapatkan keahlian untuk bisa bekerja di tempat yang layak.Akan tetapi ia teledor akan hal yang dibutuhkan anaknya yang setiap hari bepergian dengan lawan jenis , atau saling telepon yang hanya membangkitkan hawa nafsu. Bahkan disaat sang anak berterus -terang akan jalinannya dengan lawan jenis lalu meminta untuk menikah, tiba-tiba yang ada adalah jawaban keras dari orang tua yang memangkas keberanian dalam menyampaikan apa yang ada di hatinya.Yaitu jawaban yang penuh ego “aku tidak izinkan engkau menikah kecuali engkau telah selasai kuliah”.

Apa yang terjadi pada sang anak, disatu sisi ia harus patuh kepada orang tua di sisi lain ia dia ambang bahaya pergaulan dengan lawan jenis. Maka iapun menyelesaikan kuliah hingga sarjana dan gelarpun di raih akan akan tetapi ada gelar tambahan yang tidak tertera bersama namanya yaitu gelar Pezina.Na’udzubillah… Orang tua yang lalai akan keselamatan moral anaknya, yang hanya berfikir tentang karir dan gelar kemulyaan di dunia akan tetapi lalai akan kemuliaan sang anak di akhirat nanti, itulah orang tua yang akan menuai penyesalan panjang di akhirat nanti, menuai dosa zina yang dilakukan sang anak.

Wallahu a’lam bishshowab

Disadur dari status Facebook Buya Yahya