Dalam wacana diskursus keilmuan Islam klasik, seringkali pengklasifikasian ilmu dibedakan antara ilmu-ilmu agama atau disebut dengan al-‘ulum al-ukhrawiyyah (seperti tauhid, tasawuf, akhlak, fiqh dsb) dengan ilmu-ilmu non agama atau biasa diistilahkan dengan al-‘ulum ad-dunyawiyyah (seperti filsafat, ilmu-ilmu alam dsb). Muncul penilaian bahwa ilmu-ilmu agama yang sifatnya lebih berorientasi akhirat (ukhrawiyyah) adalah ilmu-ilmu yang lebih baik dan afdhal untuk dikaji dan dipelajari, daripada ilmu-ilmu yang sifatnya duniawi. Penilaian seperti ini pada akhirnya menggiring pada dikotomisasi keilmuan, bahwa ilmu-ilmu umum (secular knowledge) tidak terlalu penting dikaji dibandingkan ilmu-ilmu agama (religious knowledge). Sayangnya, hal seperti ini ikut menjangkiti dunia pendidikan Islam hingga masa sekarang ini. Tidak jarang masih ada pesantren/dayah yang “mengharamkan” menuntut ilmu selain ilmu-ilmu agama, dikarenakan dianggap tidak bisa menjadi bekal untuk kehidupan akhirat kelak.
Pandangan dikotomis di atas tentu layak dipertanyakan relevansinya di masa sekarang. Bahkan bila dikaji dari perspektif filsafat ilmu, pandangan seperti ini layak untuk diperdebatkan. Sebab dari kajian nash (baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Saw), tidak ada satu pun yang melarang secara tegas bidang ilmu tertentu untuk dipelajari. Bahkan bila dikaji dari pesan-pesan moral Qur’ani, cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa mengkaji, mempelajari, menyelami dan mendiskusikan seluruh fenomena alam dari beragam perspektif (misalnya Q.S al-Baqarah: 164, Q.S Ali Imran: 190, Q.S Yunus: 101, Q.S Ar-Rahman: 33 dst), sehingga menemukan simpulan akhir, Allahu Akbar. Ternyata memang Allah Maha dari segala Maha. Allahlah Sang Maha Pencipta Tunggal (Esa) semua yang ada; Allahlah Sang Maha Pengatur alam semesta seisinya; dan Allahlah yang Maha Menentukan awal dan akhir segalanya (Huwa al-awwal wa al-Akhir).
Akhir menuju simpulan dan keyakinan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah aspek yang sebenarnya juga menjadi pembeda antara ilmu dalam perspektif Islam dan perspektif non muslim. Bila perspektif umat non muslim mendasarkan ilmu sebagai ilmu, sehingga bila perlu agama dipinggirkan atau bahkan disingkirkan jauh-jauh, maka sebaliknya dalam perspektif Islam, ilmu harus dilekatkan pada aspek keimanan menuju keyakinan bahwa Allah Swt adalah Pencipta, Penguasa, sekaligus Pemelihara alam semesta dan semua isinya (tawhid). Dan karena ada pondasi ini, maka semua ilmu yang dipelajari harus dimanfaatkan untuk mempergunakan segala sumber daya alam sebaik-baiknya demi kemaslahatan umat manusia dan seluruh mahkluk ciptaan Allah yang lain (hewan, tumbuhan, sungai, laut dsb). Allah Swt melarang keras segala perbuatan yang merusak ciptaan-Nya (Q.S Al-A’raf: 56).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dikotomisasi ilmu agama dengan ilmu dunia pada dasarnya tidak layak dipertahankan. Sebab Islam meyakini bahwa semua ilmu adalah bersumber dari Allah Swt. Manusia meski hanya diberikan “secuil ilmu” dari ilmu Allah Swt yang sangat luas itu, mereka juga diberikan kesempatan untuk menggali dan memanfaatkan ilmu tersebut untuk mewujudkan kemasalahatan bagi seluruh mahkluk di dunia ini. Pada akhirnya dengan berbekal ilmu itu pula, manusia bisa mencapai keyakinan bahwa memang tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Mencipta dan Maha Berkuasa atas segalanya.
COMMENTS