Ketika Hari Arafah Berbeda


Oleh: M. Ihsan Yaqub (*)

Apakah sah berpuasa sunnat arafah yg padahal jamaah haji melakukan wukuf di arafah bukan pada hari itu ? Dalam hal ini, perlu diketahui dulu yg bahwa 'arafah memiliki 2 arti :

  1. Arafah sebagai nama bagi masa / jatuhnya sebagai tanggal 9 zulhijjah.
  2. Arafah sebagai nama suatu tempat yg berada di Mekkah.

Maka dalam permasalahan ini , arafah disini mesti kita artikan sebagai nama bagi masa / zaman. Penentuan masuk waktu dlm suatu ibadah ini tidak bisa disamakan secara serentak di seluruh dunia. Tapi penentuan masuk waktu dalam suatu ibadah adalah tergantung negri yg ia domisili. Seperti halnya masuk waktu shalat zuhur di Indonesia tidaklah sama dgn masuk waktu Di Mekkah. 

Begitu pula, terkadang masuk waktu penentuan 1 zulhijjah di Indonesia tidaklah sama penentuan 1 zulhijjah di Arab Saudi. Maka oleh karena itu, puasa dihari 'arafah (9 zulhijjah) sah hukumnya, walau tidak serentak  dgn wukuf dipadang arafah. Karena maksud puasa hari 'arafah itu adalah berpuasa di hari 9 zulhijjah , bukan puasa saat jamaah haji melakukan wukuf di 'arafah .

* Santri Dayah MUDI Mesra, Dikutip dari pengajian bersama "Waled Tarmizi Cot Meurak" di Dayah Baitus Sa'adah, Lampeuneurut

  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BSI 7122653484 an. Saiful Hadi


Hikmah Dibalik Larangan dalam Ibadah Haji

Oleh: Saiful Hadi

Ibadah haji yang merupakan rukun islam ke lima mulai disyariatkan Allah Ta'ala kepada umat islam pada tahun 6 Hijriah, bertetapan dengan turunnya QS Al-Baqarah:196, namun ada juga yang berpendapat bahwa ibadah haji mulai di syariatkan pada tahun 9 Hijriah. Terlepas mengenai khilafiah kapan awal mula disyariatkannya, namun yang jelas kewajiban menunaikan ibadah haji hanya dibebankan seumur hidup sekali jika telah mampu untuk menunaikannya. Lain hal dengan kewajiban shalat yang memang wajib selalu dikerjakan selama yang bersangkutan akalnya masih waras.

Layaknya ibadah shalat dan puasa dimana di dalam pelaksanaannya terdapat beberapa larangan atau pantangan yang bisa menyebabkan rusakknya ibadah, haji pun juga terdapat larangan-larangan yang mesti dihindari oleh setiap insan yang sedang dalam kondisi ihram haji.

Diantara hal-hal yang terlarang tersebut misalkan seperti memotong rambut, memotong kuku, memakai wewangian, bercumbu dengan istri dan sebagainya. Larangan tersebut baru berakhir jika orang yang sedang ihram haji telah melaksanakan tahallul.

Lantas, apa hikmah dibalik larangan-larangan dalam ihram? Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir menjelaskan, rahasia dibalik adanya larangan tersebut agar para pelaksana haji mengingat bahwa ziarah ke Baitullah sesungguhnya ia pergi menuju Allah Ta'ala, sehingga ia melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan dan kemewahan-kemewahannya, meninggalkan simbol-simbol kebanggaan yang membedakannya dari orang lain, sehingga yang kaya dengan yang miskin sama, rakyat jelata serupa dengan penguasa, dan semua manusia dari segala tingkat mengenakan kostum seperti kostum orang mati. [1]

Dari uraian Syaikh Wahbah Az-Zuhaili tersebut, terlihat bahwa hikmah utamanya dari larangan yang ada itu agar setiap orang yang berhaji menghilangkan sifat-sifat kesombongan yang melekat pada dirinya. Tidak ada beda kaya dan miskin, raja atau rakyat jelata, semuanya adalah hamba yang tingkatannya sama semua dihadapan Allah Ta'ala.

[1] Terjemahan Tafsir Al-Munir Juz 1, hal. 445