Video: Ceramah KH. Hasyim Muzadi Menggemparkan Istana Negara



Memperingati Maulid Nabi Muhammad saw, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla menggelar kegiatan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (23/12) sekitar pukul 20.00 WIB. Dalam kegiatan tersebut, ceramah maulid disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi. Dalam ceramahnya, beliau menuturkan:

“Rasulullah tidak hanya meneladankan ilmu, tapi meneladankan kehidupan. Baik kehidupan di sini maupun di dunia antara, yakni alam kubur dan dunia akhirat. Tapi tidak semua dari kita mampu secara maksimal meneladani Rasulullah. Banyak juga bukan orang Islam tapi meneladnai Rasulullah. Maka itu diperlukan suasana batin yang selalu mengharapkan ridho Allah SWT,” kata KH. Hasyim.

Selengkapnya mari simak video berikut:


Hati Tenang dan Sejuk dengan Adanya Istri dan Anak

Dalam suatu kesempatan seperti yang dikutip oleh Sahab.net (arabic), Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhahullah menjelaskan beberapa solusi terhadap kendala-kendala yang sering dialami oleh pemuda sehingga menuda pernikahan. Padahal jika dikaji secara mendalam, menunda pernikahan karena alasan belum mapan atau masih ingin menutut ilmu terlebih dahulu hanyalah alasan-alasan yang terlalu didramatisasi. Biar lebih jelas mari kita simak uraian berikut:

Beliau menerangkan, rintangan pertama yang sering dijadikan alasan antara lain:

Ada yang mengutarakan bahwa nikah di usia muda akan membuat lalai dari mendapatkan ilmu dan menyulitkan dalam belajar. Ketahuilah, rintangan semacam ini tidak senyatanya benar. Yang ada pada bahkan sebaliknya. Karena bersegera menikah memiliki keistimewaan sebagaimana yang kami utarakan yaitu orang yang segera menikah akan lebih mudah merasa ketenangan jiwa. Adanya ketenangan semacam ini dan mendapatkan penyejuk jiwa dari anak maupun istri dapat lebih menolong seseorang untuk mendapatkan ilmu. Jika jiwa dan pikirannya telah tenang karena istri dan anak di sampingnya, maka ia akan semakin mudah untuk mendapatkan ilmu.

Adapun seseorang yang belum menikah, maka pada hakikatnya dirinya terus terhalangi untuk mendapatkan ilmu. Jika pikiran dan jiwa masih terus merasakan was-was, maka ia pun sulit mendapatkan ilmu. Namun jika ia bersegera menikah, lalu jiwanya tenang, maka ini akan lebih menolongnya. Inilah yang memudahkan seseorang dalam belajar dan tidak seperti yang dinyatakan oleh segelintir orang.

Rintangan kedua: Ada yang mengatakan bahwa nikah di usia muda dapat membebani seorang pemuda dalam mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Rintangan ini pun tidak selamanya bisa diterima. Karena yang namanya pernikahan akan senantiasa membawa keberkahan (bertambahnya kebaikan) dan akan membawa pada kebaikan. Menjalani nikah berarti melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan seperti ini adalah suatu kebaikan. Seorang pemuda yang menikah berarti telah menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun mencari janji kebaikan dan membenarkan niatnya, maka inilah yang menjadi sebab datangnya kebaikan untuknya. Ingatlah, semua rizki itu di tangan Allah sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud: 6)

Jika engkau menjalani nikah, maka Allah akan memudahkan rizki untuk dirimu dan anak-anakmu. Allah Ta’ala berfirman,

نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am: 151)

Oleh karena itu, pernikahan bukanlah beban yang dapat membebani seorang pemuda di luar kemampuannya. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Karena dengan menikah akan semakin mudah mendapatkan kebaikan dan keberkahan. Menikah adalah ketetapan Allah untuk manusia yang seharusnya mereka jalani. Ia bukan semata-mata khayalan.

Menikah termasuk salah pintu mendatangkan kebaikan bagi siapa yang benar niatnya. Lantas, bagaimanakah manfaat menikah? Lebih lanjut Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan menjelaskan beberapa manfaatnya sebagai berikut:

Manfaat pertama: Hati semakin tenang dan sejuk dengan adanya istri dan anak

Di antara manfaat atau hikmah segera menikah adalah lebih mudah menghasilkan anak yang dapat menyejukkan jiwa. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Istri dan anak adalah penyejuk hati. Oleh karena itu, Allah -subhanahu wa ta’ala- menjanjikan dan mengabarkan bahwa menikah dapat membuat jiwa semakin tentram. Dengan menikah seorang pemuda akan merasakan ketenangan, oleh karenanya ia pun bersegera untuk menikah.

هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Demikian pula dengan anak. Allah pun mengabarkan bahwa anak adalah separuh dari perhiasan dunia sebagaimana firman-Nya,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. ” (QS. Al Kahfi: 46)

Anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Setiap manusia pasti menginginkan perhiasan yang menyejukkan pandangan. Sebagaimana manusia pun begitu suka mencari harta, ia pun senang jika mendapatkan anak. Karena anak sama halnya dengan harta dunia, yaitu sebagai perhiasan kehidupan dunia. Inilah faedah memiliki anak dalam kehidupan dunia.

Sedangkan untuk kehidupan akhirat, anak yang sholih akan terus memberikan manfaat kepada kedua orang tuanya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : علم ينتفع به ، أو صدقة جارية ، أو ولد صالح يدعو له

“Jika manusia itu mati, maka amalannya akan terputus kecuali tiga perkara: [1] ilmu yang bermanfaat, [2] sedekah jariyah, dan [3] anak sholih yang selalu mendoakannya.”

Hal ini menunjukkan bahwa anak memberikan faedah yang besar dalam kehidupan dunia dan nanti setelah kematian.

Manfaat kedua: Bersegera nikah akan mudah memperbanyak umat ini

Manfaat lainnya, bersegera menikah juga lebih mudah memperbanyak anak, sehingga umat Islam pun akan bertambah banyak. Oleh karena itu, setiap manusia dituntut untuk bekerjasama dalam nikah membentuk masyarakat Islami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تزوجوا فإني مكاثر بكم يوم القيامة

“Menikahlah kalian. Karena aku begitu bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.”Atau sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Intinya, bersegera menikah memiliki manfaat dan dampak yang luar biasa. Namun ketika saya memaparkan hal ini kepada para pemuda, ada beberapa rintangan yang muncul di tengah-tengah mereka.

Mengenang Tsunami Aceh

Minggu kelabu, 26 desember 2004, setelah digoyang gempa berkekuatan 9 Skala Richter, seluruh penduduk gempar, panik dan kocar kacir. Belum reda rasa trauma, kepanikan pun kembali datang, kali ini bukan karena gempa, tapi katanya air laut naik. Banyak otak hendak mencerna, mungkinkah air laut bisa naik, sedang pasangkah atau bakal terjadi malapetaka. Namun, belum sempat logika menemukan jawaban, sosok hitam bak awan mendung telah menjulang tinggi di depan mata, disangka hendak hujan tapi itulah rupanya air laut yang sedang naik.

Kala itu belum ada yang menyebutnya tsunami, namun ia lebih sering disebut sebagai "iee beuna". Dalam hitungan menit, dengan kecepatan tinggi, gelombang raksasa itu menguyah benda apapun yang berada di depannya. Bangunan dan kendaraan, semuanya remuk bak kerupuk, pepohonan pun tercerabut hingga ke akarnya. Kiamatkah sudah? demikianlah yang terbersit dalam pikiran.

Begitulah sekilas gambaran suasana tsunami. Ada banyak mayat yang bergelimpangan, dua ratus ribu lebih korban jiwa, garis pantai berubah, perkampungan hilang. Dan menimbulkan trauma yang amat mendalam. 

Namun, kejadian itu jika dipandang dengan kacamata keimanan, maka tidak perlu gundah dan bersedih, semua telah digariskan oleh Nya. Tuhan menghadirkan masalah agar manusia bisa belajar dan menjadi lebih baik. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. " (QS. al-Asrah : 5-6)

Para ulama tafsir mengatakan pada ayat tersebut memberi pemahaman bahwa Allah Ta'ala menjadikan kemudahan dan rahmat bagi para hamba sebanyak dua kemudahan dalam setiap satu kesulitan. Jika ada sebuah kesulitan maka didepannya akan ada dua kemudahan. Dan kenyataannya sekarang, sebagaimana yang digambarkan oleh ayat tersebut, dalam waktu yang singkat Aceh kembali bangkit dengan cepat, ini menandakan betapa luasnya karunia Tuhan yang terlimpahkan, maha benar Allah dengan segala firman Nya.

Video: Film Pendek Inspirasi Tentang Perdebatan Maulid Nabi

Video film pendek inspirasi tentang Maulid Nabi ini menceritakan kisah 2 Pemuda yang mendebatkan perayaan maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Keduanya saling adu argumen memperselisihkan Maulid Nabi. Pro dan kontra pun tak dapat dihindari hingga akhirnya keduanya sepakat untuk melihat dan mengikuti langsung jalannya peringatan Maulid Nabi yang diadakan di suatu masjid.

Ingin tahu kisah selanjutnya? Silahkan tonton langsung video Maulid Nabi yang dibuat oleh PPPA Daarul Qur’an, DAQU Movie, Yaser Abdallah Studio.


Courtesy DAQU Movie: Produced by Daarul Qur’an, Directed by @ryanawans, Edited by @amrulummami, Written by @penuliskurus, Cinematographer by @ryanawans, Music by Yaser Abdallah, Cast: M. Ali Ghifari dan M. Amrul Ummami.

Source : elhooda

Hikmah Lahirnya Nabi Muhammad saw di Jazirah Arab

Oleh: Saiful Hadi

Kelahiran Rasulullah menjadi pelita yang menerangi kegelapan dunia. Jauh sebelum Baginda Nabi Muhammad saw lahir, dunia dikuasai oleh dua kubu besar yang menjadi pusat peradaban dunia, yaitu Persia dan Romawi, dan juga ada Yunani dan India yang menyertainya[1]. Dan kehidupan pasa saat itu moralitas dan akhlaq amat rusak, bahkan ada pemikiran yang menghalalkan pernikahan dengan ibunya sendiri.

Persia pada masa itu menjadi ajang pertarungan berbagai aliran agama dan filsafat. Umumnya masyarakat Persia menganut ajaran Zoroaster dan Mazdakiyah, salah satu ajaran dari kepercayaan Zoroaster adalah menganjurkan setiap lelaki untuk menikahi keluarganya sendiri, baik itu ibu atau saudara perempuan. Kepercayaan Mazdakiyah juga tidak kalah sesat, dalam ajaran tersebut semua wanita hukumnya halal sehingga boleh bersuka ria dengan siapapun yang diinginkan.

Sedangkan yang terjadi di Romawi juga tidak kalah parah, disana juga terjadi konflik berkepanjangan dengan Kaum Nasrani Syiria, misi mereka ingin menyebarkan kristen yang telah mereka modifikasi. Selain itu kemerosotan ekonomi juga sedang melanda dengan pajak yang begitu mencekik rakyat.

Sementara di Yunani, disana masih tenggelam dengan berbagai mitologi dan takhayul serta debat kusir masalah filsafat yang tidak pernah ada ujungnya. Situasi yang terjadi di India juga tidak jauh berbeda, kemunduran terjadi disegala aspek, moral yang merosot dan nilai-nilai agama yang terus tergerus.

Melihat realita yang terjadi pada masa itu, menjadi jelaslah kenapa Rasulullah saw diutus ke dunia, salah satu alasannya adalah untuk menyempurnakan akhlaq. Sementara Arab pada masa itu belumlah mengeyam kemewahan dan kemegahan seperti romawi dan persia, mereka masih jauh dari peradaban yang luhur, dan kegelapan masih menyelimutinya. Banyak dari mereka yang tersesat bahkan tega membunuh anak perempuan dengan dalih menjaga kehormatan, perempuan kala itu dilahirkan hanya untuk melahirkan dan hanya sebagai pemuas belaka. Selain itu, peperangan antar kabilah telah menjadi semacam ajang untuk menujukkan eksitensi diri kala itu, hukum rimba berlaku maka yang kuatlah yang menjadi penguasa.

Di tengah situasi yang carut marut itulah Rasulullah lahir. Di awal-awal dakwahnya, beliau menyerukan untuk kembali ke ajaran Tauhid yang lurus yang jauh dari hal-hal yang berbau kemusyrikan. Beliau juga mempersatukan suku-suku Arab sehingga dalam kurun waktu 23 tahun sejak beliau diangkat menjadi seorang Rasul, Arab pun telah berubah menjadi sebuah kekuatan baru yang menggemparkan dunia. Mereka telah diterangi dengan cahaya Ilahi yang mengarahkan kehidupan ke jalan yang benar. Dan dari sini dakwah islam terus tersebar ke seluruh penjuru dunia.

[1] Fiqih Sirah, Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi.

Hidup Adalah Perjuangan

Oleh: Saiful Hadi

Perjuangan telah dimulai bahkan sejak sebelum manusia itu sendiri lahir. Diantara 36 juta sel sperma hanya satu yang sukses membuahi sel telur dan pada akhirnya dibentuk dan lahir menjadi manusia. Saat telah lahir pun, perjuangan masih belum berakhir tapi sudah memasuki babak yang baru. Bayi-bayi berjuang mulai dari merangkak, tertatih-tatih sampai akhirnya bisa berjalan bahkan berlari.

Perjuangan pun terus berlanjut, kehidupan semakin keras, jika saat dalam rahim berlomba dengan sesama sperma maka sekarang berlomba melawan antar sesama sperma juara. Saat usia sekolah saling berjuang untuk menggapai prestasi, saat selesai kuliah juga berjuang lagi demi mendapatkan pekerjaan yang layak. Dan perjuangan dilanjutkan dengan mencari wadah-wadah terbaik untuk generasi pejuang-pejuang selanjutnya.

Perjuangan sesungguhnya adalah perjuangan untuk menggapai akhirat yang kekal abadi. Karenanya, dunia yang fana ini bukanlah tujuan sebenarnya, melainkan hanya sebagai persinggahan untuk mempesiapkan bekal sebanyak-banyaknya. Untuk itu dalam QS. Al-Hasyr: 18 Allah Ta'ala menegaskan:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Secara tersurat, dalam ayat tersebut Allah mengingatkan kita agar memperhatikan terhadap apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok yakni akhirat. Dengan kata lain, setiap insan khususnya orang-orang beriman harus selalu siap siaga dengan berbagai bekal untuk kehidupan akhirat. Mari mempersiapkan diri untuk negeri akhirat yang lebih baik :)

Subhanallah, Ternyata Muazzin di Masjid Ini Seorang Bupati

catatanfiqih.com | Menjadi seorang pemimpin adalah mempunyai tanggung jawab yang besar, selain menjalankan roda pemerintahan yang baik, seorang pemimpin juga harus menjadi panutan bagi rakyatnya.

Sebut saja seperti Bupati (kepala daerah) Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh ini. Meskipun ia telah memangku jabatan sebagai kepala daerah dari 2012 hingga 2017 nanti, namun jabatan itu bukan penghalang baginya untuk tetap menjalankan aktifitas ibadah sebagaimana biasanya.
Ya, nama Mukhlis Basyah, S.Sos menghebohkan dunia maya setelah salah seorang jamaah shalat jum'at mengambil foto sang kepala daerah itu saat beliau menjadi muazzin di mesjid Samahani pada jumat tanggal 18 desember 2015.

Dari akun Facebook yang bermama Teuku Wildan,  ia mengunduh beberapa foto saat Bupati Aceh Besar itu mengumandangkan Azan, tepatnya didepan mimbar yang telah dinaiki khatib untuk membacakan khutbah jum'at.

Beberapa pengguna media sosial Facebook memandang ini adalah sebuah contoh yang baik, namun sebagiannya juga menganggap ini hal biasa-biasa.

Nah, sebagai umat islam, kita harus berbaik sangka kepada siapa saja yang berbuat kebajikan. Semoga apa yang dilakukan oleh Bapak Bupati tersebut menjadi contoh teladan bagi pemimpin-pemimpin lainnya, dan sebagai syiar bahwa azan adalah ibadah yang sangat dicintai oleh Rasulullah SAW. Amin! (SDQ)

Baca Juga:

Meluruskan Sejarah Maulid Nabi Muhammad saw

Oleh: Ust. Fawwas Khan

Setiap tahunnya, umat Islam di berbagai belahan dunia tidak pernah absen dari perayaan Maulid Nabi SAW. Bahkan, perayaan ini seakan sudah menjadi sebuah adat tersendiri di berbagai belahan bumi. Momen hari kelahiran Nabi SAW. yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal dipergunakan oleh umat Islam untuk semakin meningkatkan kecintaan kepada beliau.

Perayaan yang selalu diselenggarakan setiap tahunnya ini telah menjadi pembicaraan menarik sepanjang abad. Akan tetapi, ada sebagian kelompok yang berpendapat bahwa merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. adalah bid’ah sayyi’ah (buruk) dan hukumnya haram. Oleh karena itu dalam tulisan singkat ini, penulis ingin menjelaskan tentang hukum merayakan Maulid Nabi SAW. menurut syariat dan dalil-dalil beserta pendapat sebagian ulama mengenainya.

Pengertian Maulid
Kata “maulid” secara bahasa berarti waktu kelahiran. Dalam kitab Lisanul Arab[1] karya Ibnu Mandhûr disebutkan bahwa kata maulid bermakna: “Maulid al-rajul: wilâdatuhu.” Jadi, yang dimaksud dengan kata maulid  adalah waktu kelahiran seseorang.

Adapun pengertiannya secara istilah adalah sebuah perkumpulan yang di dalamnya terdapat pembacaan ayat Al-Quran dan sirah Nabi SAW., serta boleh juga ditambahkan dengan menghidangkan makanan bagi para hadirin. Dan perbuatan semacam ini tergolong dalam amalan bid’ah hasanah[2]yang mendapat pahala karena bertujuan mengagungkan Nabi Muhammad SAW. dan menampakkan kegembiraan atas kelahiran beliau.[3]

Sejarah Awal Mula Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW
Jika kita berbicara tentang sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW. maka orang yang pertama kali merayakan Maulid Nabi adalah Shahibul Maulid (pemiliknya sendiri) yaitu Nabi Muhammad SAW., sebagaimana keterangan dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Ketika Nabi SAW. ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: “Hari Senin adalah hari kelahiranku.” Hadis ini adalah dalil yang paling kuat dalam legalitas perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW..

Setelah itu, dalam perkembangannya, perayaan Maulid Nabi SAW. dirayakan secara meriah untuk pertama kalinya pada masa penguasa daerah Irbil, yaitu Raja Mudzaffar Abu Said Kaukabry bin Zainuddin Ali bin Baktakin. Ia adalah seorang raja yang sangat dermawan. Ibnu Katsir dalam “tarikh”-nya mengatakan bahwa Raja Mudzaffar adalah seorang pahlawan pemberani serta pandai dan cerdik. Yusuf bin  Qaz (cucu Abu Farj Ibnul Jauzi) dalam kitabnya “Mir’ah  al-Zaman” menceritakan bahwasanya dalam setiap perayaan Maulid Nabi SAW.,

Raja Mudzaffar menyediakan hidangan 5000 potong kepala kambing bakar, 10.000 potong ayam, 100 kuda, 100.000 zabady, dan 30.000 piring yang berisi manisan. Dan yang menghadiri perayaan maulid kala itu adalah para pembesar ulama dan tokoh sufi. Dalam perayaan maulid setiap tahunnya Sang Raja mengeluarkan biaya sekitar 300.000 dinar. Ia juga menyediakan tempat tinggal khusus bagi para tamu yang datang dari penjuru dunia dengan total dana operasional sekitar 100.000 dinar setiap tahunnya. Ia juga mengucurkan dana untuk perawatan dan kemakmuran Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah serta pengairan di Hijaz sekitar 30.000 dinar setiap tahunnya. Seluruh dana yang ia keluarkan ini belum termasuk sedekah-sedekahnya di sektor lainnya.

Istri Sang Raja yang bernama Rabi’ah Khatun binti Ayyub (saudari Panglima Besar Islam Shalahuddin al-Ayyubi) pernah menceritakan mengenai suaminya, bahwa ia (raja) hanya berpakaian yang terbuat dari kain katun yang harganya tidak sampai 5 dirham. Istrinya pernah mencela hal itu, dan Sang Raja menjawab: “Aku berpakaian dengan pakaian seharga kurang dari 5 dirham dan menyedekahkan sisa uangnya lebih baik daripada aku berpakaian yang mahal dengan menterlantarkan orang fakir dan miskin.”

Ibnu Khalikan ketika menulis biografi al-Hafiz Abu Khattab Ibnu Dihyah berkata: “Ia (Ibnu Dihyah) adalah termasuk pembesar pada ulama yang melanglang buana, pergi ke Maghrib (Maroko), Syam (Suriah), Irak, dan kemudian menetap di Irbil tahun 604 H.. Di sana ia mendapati raja daerah itu (Raja Mudzaffar) sedang merayakan Maulid Nabi, lantas ia pun menulis kitab “Al-Tanwîr fî Maulid al-Basyîr al-Nadzîr” dan membacanya di hadapan Sang Raja. Lantas Sang Raja memberinya hadiah sebesar 1000 dinar atas hal itu.[4]

Terkait tuduhan bahwa Perayaan Maulid Nabi pertama kali diadakan pada masa Dinasti Fathimiyah (Syiah), Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki berkata: “Dan tidak perlu memperdulikan ucapan seseorang yang mengatakan bahwa yang pertama kali merayakan Maulid Nabi adalah al-Fathimiyun sebab hal ini bisa jadi karena suatu kebodohan atau pura-pura tidak tahu kebenaran.”[5]

Dalil dalam Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

Dalil Al Quran
Surat Yunus ayat 58
قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا هو خير مما يجمعون
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)

Dalam ayat tersebut, Ibnu Abbas r.a. menafsirkan bahwa karunia dan rahmat Allah itu adalah Nabi Muhammad SAW.. Dengan ayat tersebut, Allah menganjurkan umat Islam untuk bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW..

Imam Suyuthi menukil tafsiran ayat tersebut dari Ibnu Abbas r.a.: Karunia Allah dan rahmat-Nya adalah Nabi Muhammad SAW..[6]

Dalil Sunnah
وعن أبي قتادة : أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم يوم الاثنين فقال : ذلك يوم ولدت فيه، وأنزل علي فيه.
“Dari Abu Qatadah, sesungguhnya Nabi SAW. ditanya tentang puasa hari Senin, lantas beliau menjawab: “Hari Senin itu adalah hari dimana aku dilahirkan, dan hari dimana aku diutus (sebagai Rasul).” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. berpuasa pada hari Senin untuk bersyukur kepada Allah SWT.. Hal ini memberikan pesan tersirat kepada umat Islam bahwa jika Rasulullah SAW. bersyukur atas kelahirannya, maka sepantasnya kaum muslimin juga bersyukur atas hal itu, baik dilakukan dengan cara berpuasa, membaca Al-Quran, membaca sirah Nabi SAW., bersedekah, maupun melakukan perbuatan baik lainnya.

Dan hadis di atas juga bisa dijadikan dalil bahwa orang pertama yang merayakan Maulid adalah Nabi Muhammad SAW. sendiri. (bersambung)

[1] Ibnu al-Mandzur, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dar al-Hadis), vol. 9, hal. 398
[2] Segala sesuatu yang terpuji yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah SAW..
[3] Jalaluddin, al-Suyuthy, Husnul al-Maqshid fi ‘Amalil Maulid,  hal. 41
[4] Ibnu Khalikan, Waffiyah al- A’yân, vol. 2, hal. 420, 421
[5] Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki,Dhiya’utthullab.
[6] Jalaluddin,  al-Suyuthy, al-Durr al-Mantsur, vol. 2, hal. 308.

*Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir
Sumber: ruwaq azhar

Bertawakkal dalam Menuntut Ilmu

Sudah menjadi tugas utama seorang pelajar untuk selalu fokus dan konsentrasi dalam menuntut ilmu. Tidak bisa dipungkiri, terkadang masalah biaya menjadi momok besar yang selalu menghantui sehingga tidak sedikit yang memutuskan berhenti belajar karena alasan ekonomi. Menyikapi hal ini, Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta'lim Muta'alim memotivasi para pelajar agar tidak goncang dalam memikirkan perkara rezki. Berikut penjelasan dari beliau:

ثم لا بد لطالب العلم من التوكل فى طالب العلم ولا يهتم لأمر الرزق ولا يشغل قلبه بذلك. روى أبو حنيفة رحمه الله عن عبد الله بن الحارث الزبيدى صاحب رسل الله صلى الله عليه و سلم: من تفقه فى دين الله كفى همه الله تعالى ورزقه من حيث لا يحتسب.
Pelajar harus bertawakal dalam menuntut ilmu. Jangan goncang karena masalah rizki, dan hatinya pun jangan terbawa kesana.

Abu Hanifah meriwayatkan dari Abdullah Ibnul Hasan Az-Zubaidiy sahabat Rasulullah saw : “Barangsiapa mempelajari agama Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya dan memberinya rizki dari jalan yang tidak di kira sebelumnya.”

فإن من اشتغل قلبه بأمر الرزق من القوت والكسوة قل ما يتفرغ لتحصيل مكارم الأخلاق ومعالى الأمور.
قيل: دع المكـــــارم لا ترحل لبغيتها واقعد فإنك انت الطاعم الكاسى
قال رجل [لابن] منصور الحلاج : أوصنى, فقال [ابن] المنصور : هي نفسك, إن لم تشغلها شغلتك.


Karena orang yang hatinya telah terpengaruh urusan rizki baik makanan atau pakaian, maka jarang sekali yang dapat menghapus pengaruh tersebut untuk mencapai budi luhur dan perkara-perkara yang mulya. Syi’ir menyebutkan :
Tinggalkan kemulyaan, jangan kau mencari
Duduklah dengan tenang, kau akan disuapi dan dipakaiani


Ada seorang lelaki berkata kepada Manshur Al-Hallaj: “Berilah aku wasiat!” iapun berkata: “Wasiatku adalah hawa nafsumu. Kalau tidak kau tundukkan, engkaulah yang dikalahkan.”

فينبغى لكل أحد أن يشغل نفسه بأعمال الخير حتى لا يشغل نفسه بهواها

Bagi setiap orang, hendaknya membuat kesibukan dirinya dengan berbuat kebaikan, dan jangan terpengaruh oleh bujukan hawa nafsunya.


Pentingnya Membaca


Oleh: Saiful Hadi

Perintah membaca adalah wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Alaq. Dengan membaca akan terbuka wawasan dan tersiratlah hijab yang menutup pikiran.

Membaca tidak terbatas pada teks yang tertulis saja, karena bacaan bentuknya bisa beraneka ragam. Dalam surat al-Mulk ayat 19, Allah Ta'ala berfirman:
"Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu." (Qs. Al-Mulk: 19)

Jika kita merenungkan ayat tersebut, quran mengajak manusia untuk membaca dan memperhatikan segala ciptaan Nya. Manusia dilengkapi panca indra yang diantara fungsinya berguna untuk melihat dan mendengar, serta dianugrahkan akal untuk berfikir dan hati untuk menimbang serta merenungkan. Segala potensi tersebut dianugrahkan sebagai bekal untuk mengelola alam.

Majzaah bin Tsauri as Sadusi Sang Penakluk Benteng Hurmuzan

Tustar atau yang lebih dikenal dengan shushtar, merupakan wilayah khurzhestan negara Iran sekarang. Disinilah benteng terakhir Hurmuzan seorang panglima perang persia, sebelum dirinya di tawan dan dibawa kehadapan khalifah umar al faruq radiyallahu 'anhu.

Khalifah Umar al faruq mengutus pasukan perang kaum muslimin dibawah pimpinan Abu Musa Al Asy'ari radiyallahu 'anhu. Dan tidak lupa Umar mewasiatkan kepada abu musa untuk membawa seorang sahabat bernama Majzaah bin Tsauri as Sadusi radiyallahu 'anhum jami'an.

Di Tustar ada sebuah Istana megah yang dibangun oleh Malik Shabur. Beserta di sekelilingnya ada parit-parit yang diairi dari sungai yang mengalir di wilayah Tustar.

Bahkan dizamannya sendiri disebut-sebut sebagai karya arsitek terhebat (seperti yang terlihat difoto. PBB sendiri menyebut ini merupakan hidrolik drainase yang luar biasa sehingga layak dimasukkan sebagai warisan dunia.)

Selama satu tahun setengah atau lebih kurang 18 bulan para pasukan muslimin tertahan disekitar parit2 ini yang menjadi benteng terakhir Hurmuzan. Selama itu sudah ada 80 kali duel satu lawan satu antara pasukan muslimin dengan pasukan Hurmuzan. Dan ke 80 duel itu selalu dimenangi oleh Majzaah bin Tsauri as Sadusi radiyallahu 'anhu. (perang zaman ini, memang sering didahului dengan duel satu lawan satu).

Sampai akhirnya ada seorang bangsawan persia yang membocorkan jalan masuk rahasia menuju tustar. Dikarenakan salah seorang saudara dari bangsawan ini dibunuh semena-mena oleh Hurmuzan beserta harta-benda saudaranya juga dirampas. Sehingga Bangsawan ini merasa keadilan dari kaum muslimin lebih baik daripada rezim Hurmuzan.

Maka Abu Musa al Asy'ari radiyallahu 'anhu mengutus Majzaah bin Tsauri as Sadusi radiyallahu 'anhu untuk mempelajari jalan rahasia ini, beserta seluk beluk tustar dan dimana Hurmuzan berada. Setelah menguasainya, Majzaah pun kembali ke kamp-kamp kaum muslimin. Dan Abu musa al Asy'ari mengutus 300 pasukan muslimin dibawah pimpinan majzaah bin tsauri radiyallahu 'anhum jami'an. Karena medan yang sukar dan terjal dari 300 hanya tinggal 80 orang. Sisanya syahid di jalan Allah.

Sambil bertakbir dan membuka pintu depan benteng, pasukan muslimin berhasil masuk ke tustar dan menaklukkannya dengan kemenangan. Akan tetapi Majzaah bin Tsauri as Sadusi radiyallahu 'anhu memperoleh gelar syahidnya di tangan Hurmuzan.

Wallahu a'lam...

Pengajian kitab shuwar min hayati sahabat yang disampaikan oleh akhi Nafis Akhtiar, Al-Azhar Kairo

Bertawasul dengan Amalan Baik

Oleh: Saiful Hadi

Ada sebuah kisah terkenal yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang tiga pengembara yang terperangkap di dalam gua. Tatkala bermalam di sebuah gua, tanpa diduga ada batu besar tiba-tiba menutupi mulut gua sehingga mereka terperangkap di dalamnya. Singkat cerita, masing-masing berdoa dan mengharap kepada Allah Ta'ala sambil menyebut amal-amalan baik yang telah mereka kerjakan agar terlepas dari bencana yang sedang menerpa. Berkat rahmat Allah Ta'ala akhrinya batu yang menutupi gua bergeser sehingga mereka bisa keluar dengan selamat.

Berdasarkan hadist tersebut, dalam Riyadhus Shalihin Imam Nawawi menjelaskan, bertawasul dengan amalan baik, yang dikerjakan tulus iklas karena Allah Ta'ala merupakan salah satu cara agar doa yang sedang dipanjatkan menjadi lebih cepat terkabul, serta diangkat segala masalah yang sedang menimpanya.

Di samping itu, Imam Nawawi juga menambahkan bahwa setidaknya ada empat pelajaran penting yang patut untuk direnungi dan dilaksanakan, yaitu :

1. Mengutamakan berbakti kepada kedua orang tua melebihi kepentingan keluarga/anak-istri.

2. Mengutamakan takwa kepada Allah dari pada meingikuti keiinginan hawa nafsu, perbuatan keji dan maksiat lainnya,  sebab semua itu hanya kenikmatan semu.

3. Mengutamakan kepentingan orang lain (memenuhi hak buruh,karyawan atau pembantu) dari pada kepentingan diri senidiri.

4. Selalu mengedepankan sikap optimisme (harapan baik) dari pada pesimis, dan putus asa. Kita harus menyadari bahwa setiap penyakit, pasti ada obatnya, dan setiap kesulitan, pasti ada jalan keluarnya.

Video: Krisis Keteladanan


Tugas pengajar bukan sekedar mengajar, tetapi harus mendidik dalam dalam segala hal. Sesuatu yang tampak lebih mudah dicontohkan santri/anak didik ketimbang dengan apa yang kita katakan, makanya kita perlu menanamkan pada diri kita keteladan yang permanen.

seorang guru mestinya bertaqwa, tawadhu (merendahkan hati), berlaku lemah lembut, agar murid simpatik padanya, maka akan bermanfaat untuk murid tersebut. Seorang guru juga harus bijaksana, sopan santun supaya murid mengikutinya, disamping itu harus ada rasa kasih sayang pada murid agar menyukai apa yang diajarkan, dan gurupun selalu menasehati dan mendidik kesopanan serta memperbaiki adab muridnya dan tidak membebankan mereka dengan suatu pemahaman yang  tidak mampu mereka pikirkan.

Islam Bukan Hanya Soal Ibadah

"Islam bukan hanya soal ibadah. Islam adalah rumus universal yang menata semua dimensi kehidupan. Oleh karena demikian, nilai-nilai Islam harus terintegrasi secara menyeluruh dalam kehidupan, tanpa ada istilah area bebas pengaruh nilai-nilai Islam".

Demikian poin penjelasan dari Tgk H. Muhammad Yusuf A Wahab atau yang akrab disapa Tu Sop dalam pengajian rutin dewan guru dayah Babussalam Al-Aziziyah, Jeunieb, Bireuen, yang berlangsung di aula Dayah Babussalam Al-Aziziyah, Senin 7/12.

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa awal kemunduran dunia Islam dewasa ini disebabkan oleh cara berpikir (sebagian) umat Islam yang mulai 'mengasingkan' tuntunan Islam itu sendiri dalam beberapa bidang kehidupan dan terjebak dalam pemikiran sesat bahwa Islam hanya mengurusi soal ibadah semata. Imbasnya, terjadi kekosongan nilai dalam bidang-bidang kehidupan yang akhirnya akan merusak tatanan kehidupan secara menyeluruh.

"Pemikiran yang memisahkan Islam dengan kehidupan ekonomi, pendidikan, politik maupun budaya, misalnya, sangat berbahaya. Sebab ini akan mengkerdilkan Islam dan merusak tatanan kehidupan ideal umat Islam", tegas ulama muda Aceh ini.

Menurut beliau, semua bidang kehidupan harus seiring sejalan dengan nilai-nilai Islam. Ekonomi misalnya, sistem dan perilaku ekonomi umat tidak bisa dipisahkan dari sistem yang dibangun dalam Islam. Begitu juga halnya dengan politik, pendidikan, budaya maupun lainnya.

"Manusia adalah makhluk lemah yang memiliki banyak keterbatasan. Rasul diutus ke permukaan bumi untuk membawa risalah sebagai model kehidupan yang ideal. Model kehidupan inilah yang harus diikuti dan diterapkan dalam kehidupan. Tidak hanya dalam hal ibadah, tetapi juga dalam kehidupan secara menyeluruh", tutup Tu Sop. [coretansantri.com]

Ziarah Kubur Nabi itu Haram Menurut Madzhab Hanbali, Benarkah?

Oleh: Ustaz. Hanif Luthfi, Lc - Rumahfiqih.com

Setelah pulang dari pergi haji, ada salah seorang tetangga teman saya punya pandangan menarik. Menurutnya, ziarah kubur Nabi itu haram hukumnya, begitu juga dengan ziarah kubur ulama.

Sebagai buktinya, saat dia berhaji, para Askar (Polisi Arab Saudi) berteriak-teriak, ketika ada jamaah haji yang berhenti sejenak di depan makam Nabi, “Haram! Haram! Haram!”. Benarkah pandangan itu?

Ada beberapa point yang akan kita bahas disini. Pertama, benarkah bahwa setiap apa yang dilarang di dua kota suci Makkah dan Madinah saat ini, berarti diharamkan agama? Kedua, benarkah bahwa ziarah kubur Nabi itu diharamkan oleh para ulama?

Masjid al-Haram dan Masjid an-Nabawi Milik Ummat Islam
Memang ada beberapa kalangan menjadikan Masjid al-Haram dan Masjid an-Nabawi sebagai patokan beragama. Segala sesuatu yang terjadi disana dijadikan dalil terhadap suatu amalan.

Tak heran, apa yang dilarang oleh polisi di depan makam Nabi, dijadikan dalil tentang keharaman ziarah kubur Nabi. Seseorang yang berhasil menjadi pengajar di masjid al-Haram atau masjid Nabawi sekarang ini, dianggap sebagai ulama paling alim, yang paling pantas mengeluarkan fatwa.

Padahal jika menilik sejarah, dua masjid ini sejatinya adalah milik semua ummat Islam dunia. Kedua masjid itu tak hanya milik golongan tertentu saja. Dan bukan milik kerajaan Arab Saudi.

Hingga pada tanggal 23 September 1932 M, Abdul Aziz bin Abdurrahman Alu Saud berhasil menguasai Hijaz. Dia berhasil menyatukan kawasan syibh al-jazirah sehingga memproklamirkan berdirinya kerajaan Arab Saudi, atau disebut al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Saudiyyah. Tanggal 23 September ini diperingati tiap tahunnya dengan sebutan al-yaum al-wathani.

Ketika Bani Saud berkuasa di Hijaz, segala peraturan yang ada di dua masjid itu diatur oleh penguasa baru ini. Termasuk siapa saja yang boleh mengajar disana dan siapa yang boleh menjadi Imam shalat. Peraturan-peraturan itu tentu ada plus-minusnya.

Maka, apa yang dilarang di dua masjid ummat Islam sekarang ini, tak mesti berarti representasi dari larangan agama Islam yang disepakati keharamannya. Karena kebetulan sekarang kedua masjid itu sedang dikelola oleh Kerajaan Bani Saud.

Benarkah Ziarah Kubur Nabi Haram?
Kedua, benarkah bahwa ziarah ke kubur Nabi itu haram, termasuk kepada jamaah haji?

Sebelum membahas hukumnya, kita coba pahami perkataan dari para polisi di depan masjid Nabawi ini. Mereka berkata; “Haram, haram, haram!”.

Apakah mereka melarang ziarah ke kubur Nabi, atau melarang berlama-lama berdiri di depan kubur Nabi, karena akan menimbulkan kemacetan?

Jika larangan itu maksudnya adalah larangan ziarah kubur Nabi, dan larangan itu secara resmi ditetapkan pemerintah Arab Saudi sekarang, maka justru hal itu sangat bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama, termasuk seluruh ulama madzhab Hanbali.

Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458 H): Seharusnya Khadimul Haramain Mengajak Para Jamaah Haji Untuk Ziarah ke Kubur Nabi

Salah seorang ulama berpengaruh madzhab Hanbali abad ke-5; Abu Ya’la al-Farra’ dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyyah menjelaskan bahwa salah satu tugas khalifah adalah menunjuk wali haji/ kementrian bidang haji.

Salah satu tugas dari wali haji itu adalah mengajak para jamaah haji untuk ziarah ke kubur Nabi. Beliau menyebutkan:

فإذا عاد بهم سار على طريق المدينة لزيارة قبر رسول الله - صلى الله عليه وسلم-، رعاية لحرمته، وقياما بحقوق طاعته. وإن لم يكن ذلك من فروض الحج فهو من مندوبات الشرع المستحبة، وعادات الحجيج المستحسنة

Ketika selesai haji, wali haji bertugas mengajak para jamaah haji ke Madinah untuk ziarah kubur Nabi. Hal itu demi menjaga kehormatan Nabi, dan mengamalkan ketaatan kepadanya.

Meski ziarah kubur Nabi bukan termasuk fardhu haji, tetapi hal itu termasuk kesunnahan syariat yang disukai, dan termasuk kebiasaan jamaah haji yang bagus. (Abu Ya’la al-Farrra’ al-Hanbali w. 458 H, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, h. 111).

Jika pemerintah Arab Saudi sekarang melarang ziarah kubur Nabi, justru malah bertentangan dengan perintah dari ulama Hanbali terdahulu.

Mayoritas Ulama Salaf Hanbali Menganjurkan Ziarah Kubur Nabi

1. Ibnu Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali (w. 620 H)
Ibnu Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali (w. 620 H) bisa dikatakan ulama yang representetatif dalam mewakili madzhab Hanbali. Dalam kitabnya al-Mughni beliau menyebutkan:

فصل: ويستحب زيارة قبر النبي - صلى الله عليه وسلم -قال: «ما من أحد يسلم علي عند قبري، إلا رد الله علي روحي، حتى أرد عليه السلام»

Disunnahkan ziarah kubur Nabi Muhammad Shallaallahu alaihi wa sallam. (Ibnu Quddamah al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 3/ 477)

2. Abdurrahman Bahauddin al-Maqdisi al-Hanbali (w. 624 H)
Ulama madzhab Hanbali yang lain adalah Syeikh Abdurrahman Bahauddin al-Maqdisi al-Hanbali (w. 624 H). Beliau menyebutkan dalam kitabnya al-Umdah:

ويستحب لمن حج زيارة قبر النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وقبري صاحبيه -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا-

Disunnahkan bagi orang yang berhaji untuk ziarah ke kubur Nabi Muhammad dan dua shahabatnya; Abu Bakar dan Umar bin Khattab (Abdurrahman bin Ibrahim al-Maqdisi al-Hanbali w. 624 H, al-Uddah, h. 231)

3. Syamsuddin Abu al-Faraj al-Hanbali (w. 682 H)
Syeikh Syamsuddin Abu al-Farraj al-Hanbali (w. 682 H) juga persis menyebutkan kesunnahan ziarah kubur Nabi. Berikut kutipannya:

مسألة (فإذا فرغ من الحج استحب زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم وقبر صاحبيه رضي الله عنهما) تستحب زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم

Ketika seorang telah selesai ibadah haji, disunnahkan untuk ziarah ke kubur Nabi Muhammad dan dua shahabatnya; Abu Bakar dan Umar (Syamssuddin Abu al-Faraj al-Hanbali w. 682 H, as-Syarh al-Kabir, h. 3/ 494).

4. Ibrahim ibn Muflih al-Hanbali (w. 884 H)
Ibnu Muflih al-Hanbali (w, 884 H) dalam kitabnya al-Mubdi’ menyebutkan:

(وإذا فرغ من الحج استحب له زيارة قبر النبي - صلى الله عليه وسلم)

Ketika selesai haji, maka disunnahkan untuk ziarah ke kubur Nabi Muhammad (Ibn Muflih al-Hanbali w. 884 H, al-Mubdi’, h. 3/ 236).

5. Alauddin al-Mardawi al-Hanbali (w. 885 H)
Al-Mardawi al-Hanbali (w. 885 H) bahkan berani menyimpulkan bahwa semua ulama madzhab Hanbali sepakat bahwa ziarah kubur Nabi itu hukumnya sunnah, baik Hanbali terdahulu maupun belakangan. Beliau menyebutkan:

فإذا فرغ من الحج: استحب له زيارة قبر النبي - صلى الله عليه وسلم - وقبر صاحبيه هذا المذهب وعليه الأصحاب قاطبة، متقدمهم ومتأخرهم

Setelah selesai haji, maka sunnah hukumnya ziarah kubur Nabi. Ini adalah pendapat madzhab Hanbali dan semua ulama Hanabilah, baik yang terdahulu maupun yang belakangan. (Alauddin al-Mardawi al-Hanbali w. 885 H, al-Inshaf fi Ma’rifat ar-Rajih min al-Khilaf, h. 4/ 53).

Imam al-Mardawi (w. 885 H) ini memang terkenal dalam madzhab Hanbali, sebagai ulama yang mengumpulkan semua riwayat dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Lantas beliau pilih mana yang dianggap kuat dari semua riwayat itu. Beliau kumpulkan dalam kitab al-Inshaf fi Ma’rifat ar-Rajihi min al-Khilaf.

6. Musa bin Ahmad al-Hajawi al-Hanbali (w. 968 H)
Ulama Hanbali lain adalah Musa bin Ahmad al-Hajawi (w. 968 H). Beliau menyebutkan:

فصل إذا فرغ من الحج استحب له زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم وقبري صاحبيه رضي الله عنهما

Setelah selesai melakukan ritual ibadah haji, maka jamaah haji disunnahkan untuk ziarah ke kubur Nabi Muhammad dan kubur dua shahabatnya; Abu Bakar dan Umar. (Musa bin Ahmad al-Hajawi al-Hanbali w. 968 H, al-Iqna, h. 1/ 395, lihat pula: Zad al-Mustaqni’ fi Ikhtishar al-Muqni’, h. 94).

7. Ibnu an-Najjar al-Hanbali (w. 972 H)
Ulama Hanbali lainnya yang menyatakan bahwa ziarah kubur Nabi itu hukumnya sunnah adalah Syeikh Ibn an-Najjar al-Hanbali (w. 972 H). Beliau menyatakan:

وسن دخول البيت بلا خف وبلا سلاح وزيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم وقبر صاحبيه رضي الله تعالى عنهما فيسلم عليه

Disunnahkan ziarah kubur Nabi Muhammad dan dua shahabatnya; Abu Bakar dan Umar. Lalu mengucapkan salam kepadanya. (Ibn an-Najjar al-Hanbali w. 972 H, Muntaha al-Iradat, h. 2/ 171)

8. Mar’i bin Yusuf al-Karmi al-Hanbali (w. 1033 H)
Hampir sama yang dinyatakan oleh Syeikh Mar’i bin Yusuf al-Hanbali (w. 1033 H):

وسن: زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم وقبري صاحبيه رضوان الله عليهما

Disunnahkan ziarah kubur Nabi Muhammad dan kubur dua shahabatnya (Mar’i bin Yusuf al-Karmi al-Hanbali w. 1033 H, Dalil at-Thalib, h. 110)

9. Manshur bin Yunus al-Buhuti (w. 1051 H)
Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali (w. 1051 H) dalam ketiga kitabnya; ar-Raudh al-Murbi’, Syarh Muntaha al-Iradat dan Kasyaf al-Qina’ menyampaikan kesunnahan ziarah kubur Nabi:

ويستحب زيارة قبر النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وقبر صاحبيه - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

Disunnahkan ziarah kubur Nabi dan dua shahabatnya. (Manshur bin Yunus al-Buhuti w. 1051 H, ar-Raudh al-Murbi’, h. 283).

(و) يستحب له (زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم وقبر صاحبيه رضي الله تعالى عنهما)

Disunnahkan ziarah kubur Nabi dan dua shahabatnya. (Manshur bin Yunus al-Buhuti w. 1051 H, Syarh Muntaha al-Iradat, h. 1/ 593).

فصل وإذا فرغ من الحج استحب له زيارة النبي - صلى الله عليه وسلم - وقبري صاحبيه أبي بكر وعمر

Setelah selesai dari haji, maka disunnahkan untuk ziarah Nabi dan kubur kedua shahabatnya; Abu Bakar dan Umar (Manshur bin Yunus al-Buhuti w. 1051 H, Kasyaf al-Qina’, h. 2/ 514).

10. Mushtafa bin Saad ar-Rahaibani al-Hanbali (w. 1243 H)
Sampai kepada ulama Hanbali abad ke-13 juga menyampaikan kesunnahan ziarah kubur Nabi. Syeikh Mushtafa bin Saad al-Hanbali (w. 1243 H) menyebutkan:

فصل (وسن زيارة قبر النبي - صلى الله عليه وسلم - وقبري صاحبيه) أبي بكر وعمر

Disunnahkan ziarah kubur Nabi dan dua shahabatnya (Mushtafa bin Saad al-Hanbali w. 1243 H, Mathalib Ulin Nuha, h. 2/ 440)

Ulama Hanbali Sepakat Kesunnahan Ziarah Makam Nabi Setelah Haji
Dari paparan pernyataan berbagai ulama Hanbali diatas, kita dapati kesimpulan awal, hampir semua ulama madzhab Hanbali menyatakan bahwa ziarah makam Nabi dan kedua shahabatnya bukanlah hal yang dilarang, bukan pula perbuatan syirik.

Malah ziarah makam Nabi itu hukumnya sunnah, dan sudah menjadi tugas khadimul haramain / pelayan dua kota suci untuk mengajak jamaah haji berziarah ke kubur Nabi dan dua shahabatnya; Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

Apakah dengan begitu, para ulama Hanbali diatas pantas digelari Kuburiyyun? Para penyembah kuburan? Semoga kita tak mudah termakan propaganda dan jargon.

Lantas siapakah ulama Hanbali panutan polisi Arab Saudi, yang melarang-larang ziarah kubur Nabi? Bagiamana dengan pandangan madzhab fiqih lain? Bagaimana pula dalil-dalilnya? Insyaallah pada tulisan berikutnya kita bahas. Wallahua’lam

Seminar Kepenulisan Internasional

Seandainya tidak ada tulisan, pastilah ilmu-ilmu akan punah, agama tidak berbekas, kehidupan tidak akan baik, dan aturan tidak akan berjalan stabil. Kehadiran tulisan merupakan sarana pengikat ilmu pengetahuan dan sebagai instrumen untuk mendokumentasikan cerita dan perkataan orang-orang terdahulu.

Tulisan juga merupakan sarana peralihan ilmu antara suatu kaum dan bangsa. Dengan demikian, ilmu menjadi lestari dan dapat berkembang sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala tentunya.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh at-Thabrani, dan Hakim dari Abdullah bin Amr, Rasulullah bersabda:
قيدوا العلم بالكتاب
"Ikatlah ilmu dengan tulisan"

Ingin tahu lebih banyak mengenai kiat-kiat dalam menulis, mari ikuti, Seminar Kepenulisan Internasional bersama Mohd Razali Kamaruddin, yang merupakan seorang penulis tersohor dari negeri jiran malaysia. Kegiatan ini akan diselenggarakan pada hari kamis tanggal 3 desember 2015 di Aula Kesbangpol Lantai II, Jalan Tgk. Malem (dibelakang Geduñg DPRA atau tepat di depan RS Kesdam) pada jam 09.00 s.d 11.30 wib.

Modernisasi Agama

Dewasa ini sering terdengar slogan yang meneriakkan “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul”. Slogan ini adalah slogan yang baik dan terdengar manis, karena di abad ini kebanyakan umat islam telah menyeleweng dari Kitabullah dan Sunnah Rasul dan akan dikembalikan lagi ke Rel yang semestinya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul.

Seluruh pekerjaan bid’ah dan khurafat akan dibasmi dari tubuh umat islam dan akan dikembalikan kepada kemurniannya dengan mengikuti quran dan hadist. Akan tetapi, jika slogan ini bertujuan untuk mengatakan bahwa umat islam Indonesia yang kebanyakannya menganut Madzhab Syafi’i telah menyeleweng dari Al Quran dan Hadist dan karena itu hendak dikembalikan ke jalan yang lurus, maka slogan ini benar-benar menjadi slogan “kalimatul haqqin urida bihil batir” (Perkataan yang benar namun dengan tujuan yang salah).

Gerakan Modernisasi Agama
Melihat pada fakta-fakta sejarah yang ada, gerakan modernisasi agama ini dipelopori oleh Ibnu Taimiyah (wafat 1328 M), lahir di desa Heran, Palestina tanggal 10 Rabiul Awal 661 H dengan nama asli Ahmad Taqiyuddin yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Taimiyah.

Setelah usianya 7 tahun, yaitu tahun 667 H, seluruh keluarganya mengungsi ke Damsyik karena desa mereka kemungkinan akan diserang oleh tentara Tartar yang pada saat itu telah menduduki Bagdad. Pada ketika itu, mayoritas penduduk damsyik adalah campuran dari pengikut mazhab Hambali, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki. Singkat cerita, Ibnu Taimiyah sejak kecil banyak mempelajari mazhab Hambali dan kemudian beliau pun menjadi Ulama Besar dikalangan Mazhab Hambali, baik dalam masalah fiqih, ushuluddin dan tauhid.

Namun sayangnya beliau banyak terpengaruhi dengan paham “musyabbihah dan mujassimah”, yaitu kelompok yang mengatakan bahwa Allah menyerupai manusia, pakai tangan, muka dan lainnya. Dalam fiqih pun, biarpun beliau pengikut Hambali akan tetapi banyak fatwa-fatwa beliau yang berlainan dari Mazhab Hambali. Sehingga bisa dikatakan, Ibnu Taimiyah adalah Ulama pengikut Mazhab Hambali yang kadang-kadang menyeleweng dari mazhabnya.

Modernisasi Model Ibnu Taimiyah
Faham modern Ibnu Taimiyah tentang tauhid, beliua mengatakan bahwa Tuhan itu duduk bersela di atas arsy seperti duduk berselanya beliau, Tuhan turun dari langait serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbarnya. Pemahaman demikan jelas sangat menyesatkan karena telah menyrupakan Allah dengan makhluk, padahal dalam Al-Quran Allah telah mengatakan “Tiada menyerupaiNya suatu juga". (QS. As Syura ; 11)

Ibnu Taimiyah juga melarang berziarah kubur biarpun ke kuburan Rasulullah sekalipun, dan juga melarang doa dengan tawasul, padahal berdoa dengan tawasul itu diamalkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat beliau.

Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa thalaq tiga sekaligus jatuh satu, fatwa seperti ini berasal dari faham syiah Imamiyah, bukan faham Ahlul sunah waljama’ah. Sementara imam yang empat berpendapat bahwa thalaq tiga sekaligus jatuh tiga sehingga tidak boleh ruju’.
Modernisasi Agama di Indonesia.

Disadur dari buku 40 Masalah Agama, KH. Sirajuddin Abbas

Saling Bersilaturrahim

Beberapa hadits telah menjelaskan mengenai keutamaan saling mengunjungi sesama muslim.

Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan, “Sesungguhnya seseorang ada yang ingin mengunjungi saudaranya di kota lain. Allah lalu mengutus malaikat untuknya di jalan yang akan ia lalui. Malaikat itu pun berjumpa dengannya seraya bertanya, ‘Ke mana engkau akan pergi? Ia menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di kota ini?’ Malaikat itu bertanya kembali, ‘Apakah ada suatu nikmat yang terkumpul untukmu karena sebab dia?’ Ia menjawab, ‘Tidak. Aku hanya mencintai dia karena Allah ‘azza wa jalla.’ Malaikat itu berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untukmu. Allah sungguh mencintaimu karena kecintaan engkau padanya’.” (HR. Muslim no. 2567).

Hadits tersebut, ditulis oleh Imam Nawawi dalam Shahih Muslim dengan judul bab “Keutamaan saling cinta karena Allah”. Dan dalil ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil keutamaan saling mengunjungi sesama muslim dan mengunjungi orang shaleh yang dilandasi ikhlas dan saling mencintai karena Allah. Jadi dasarnya adalah karena Allah yaitu karena iman yang dimiliki saudaranya.

Islam itu Bersih

Islam mewajibkan kepada umatnya untuk selalu hidup bersih, dan suci. Bersih merupakan dasar peraturan Islam, coba perhatikan bagaimana Islam mensyaratkan orang yang akan melakukan shalat, secara jasmaniah Islam menganjurkan kebersihan,  misalnya wudu di lakukan paling sedikit 5 kali sehari semalam, dan pada waktu setiap hari kita membersihkan anggota badan itu sebanyak 15 kali. Jadi, bila wudu itu dilakukan dengan baik dan benar, maka setiap muslim pasti bersih, tangannya bersih, mulutnya bersih, mukanya bersih dan seterusnya.

Ditinjau dari segi batiniyah anggota badan yang dibasuh pada waktu wudu mengandung makna isyarat atau lambang kebersihan batin, misalnya mulut dibersihkan agar tidak berkata jorok/kotor, memfitnah, khianat, takabur, dan seterusnya,  tangan dibersihkan agar tidak digunakan untuk hal-hal yang negatif seperti mencuri, memukul orang dan sebagainya.

Kebiasaan hidup bersih bagi umat islam telah diterapkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2: ayat 222 yang berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِين
“........Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang suci” (Q.S. Al-Baqarah, 2:ayat 222)

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup bersih dan sehat, baik badannya, pakaiannya, tempat tinggal, dan bersih jiwanya. Dalam diri yang baik dan bersih akan nampak pribadi yang menarik dan mengesankan dalam pergaulan sehari-hari, dan akan menjadi teladan dimanapun. Orang yang ebrsih jiwanya akan keluar kata-kata yang baik dan bermakna, jauh dari sifat dengki, iri, munafik, takabur dan sebagainya. Semua tutur katanya akan menjadi panutan. Amal yang diperbuat selalu mencerminkan rasa ikhlas dan juga semua perbuatannya didasarkan karena Allah SWT.

Islam mengajarkan dalam kehidupan sehari-hari agar hidup bersih dan sehat baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.

Kebersihan Lingkungan Tempat Tinggal
Kita harus menjaga kebersihan di tempat tinggal kita, agar tetap bersih dan indah. Tidak kalah pentingnya lingkungan tempat tinggal kita,seperti selokan, halaman rumah, dll. Tempat tinggal dan Lingkungannya harus selalu dijaga, dirawat dengan baik serta teratur sehingga menjadi lingkungan yang bersih dan sehat.

Kebersihan di Lingkungan Sekolah
Tidak akan merasa enak dan tenang apabila di lingkungan selalu kotor, bau tak sedap dan sebagainya, oleh karena itu kita wajib menjaga kebersihan kelas, seperti dinding, meja, kursi, jendela dll. Setiap kelas harus selalu dibersihkan, akan tetapi membersihkan dalam kelas dan lingkungannya bukan menjadi tanggung jawab tukang kebun saja, tetapi kebersihan sekolah menjadi tanggung jawab seluruh warga sekolah. Lingkungan yang bersih dan sehat membuat proses belajar mengajar lancar, dan tidak terganggu.

Kebersihan di Tempat Ibadah
Musala, masjid adalah tempat-tempat ibadah yang suci dan disucikan oleh orang Islam, karena tempat tersebut adlah untuk beribadah kepada Allah SWT. Selain itu, tempat-tempat itu juga digunakan untuk pengajian, diskusi, dan kegitan lain yang berhubungan dengan kegiatan Islam lainnya. Untuk itu tempat-tempat ibadah harus dijaga kebersihannya dari najis dan kotoran. Menjaga tempat-tempat ibadah bukan saja tanggung jawab remaja masjid, tapi seluruh umat Islam wajib menjaga masjid beserta lingkungannya tetap bersih dan sehat.

Seperti hadits berikut ini:

اَلاِسْلاَمُ نَظِيْفٌ فَتَنَظَّفُوْافَاِنَّهُ لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ اِلاَّ نَظِيْفٌ

"Agama Islam itu adalah agama yang bersih atau suci, maka hendaklah kamu menjaga kebersihan. Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang suci."

Source: Berbagai Sumber

Dikotomi Ilmu Agama dan Dunia: Relevankah?

Oleh: Dr. Anton Widyanto

Dalam wacana diskursus keilmuan Islam klasik, seringkali pengklasifikasian ilmu dibedakan antara ilmu-ilmu agama atau disebut dengan al-‘ulum al-ukhrawiyyah (seperti tauhid, tasawuf, akhlak, fiqh dsb) dengan ilmu-ilmu non agama atau biasa diistilahkan dengan al-‘ulum ad-dunyawiyyah (seperti filsafat, ilmu-ilmu alam dsb).  Muncul penilaian bahwa ilmu-ilmu agama yang sifatnya lebih berorientasi akhirat (ukhrawiyyah) adalah ilmu-ilmu yang lebih baik dan afdhal untuk dikaji dan dipelajari, daripada ilmu-ilmu yang sifatnya duniawi. Penilaian seperti ini pada akhirnya menggiring pada dikotomisasi keilmuan, bahwa ilmu-ilmu umum (secular knowledge) tidak terlalu penting dikaji dibandingkan ilmu-ilmu agama (religious knowledge). Sayangnya, hal seperti ini ikut menjangkiti dunia pendidikan Islam hingga masa sekarang ini. Tidak jarang masih ada pesantren/dayah yang “mengharamkan” menuntut ilmu selain ilmu-ilmu agama, dikarenakan dianggap tidak bisa menjadi bekal untuk kehidupan akhirat kelak.

Pandangan dikotomis di atas tentu layak dipertanyakan relevansinya di masa sekarang. Bahkan bila dikaji dari perspektif filsafat ilmu, pandangan seperti ini layak untuk diperdebatkan. Sebab dari kajian nash (baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Saw), tidak ada satu pun yang melarang secara tegas bidang ilmu tertentu untuk dipelajari. Bahkan bila dikaji dari pesan-pesan moral Qur’ani, cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa mengkaji, mempelajari, menyelami dan mendiskusikan seluruh fenomena alam dari beragam perspektif (misalnya Q.S al-Baqarah: 164, Q.S  Ali Imran: 190, Q.S Yunus: 101, Q.S Ar-Rahman: 33 dst), sehingga menemukan simpulan akhir, Allahu Akbar. Ternyata memang Allah Maha dari segala Maha. Allahlah Sang Maha Pencipta Tunggal (Esa) semua yang ada; Allahlah Sang Maha Pengatur alam semesta seisinya; dan Allahlah yang Maha Menentukan awal dan akhir segalanya (Huwa al-awwal wa al-Akhir).

Akhir menuju simpulan dan keyakinan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah aspek yang sebenarnya juga menjadi pembeda antara ilmu dalam perspektif Islam dan perspektif non muslim. Bila perspektif umat non muslim mendasarkan ilmu sebagai ilmu, sehingga bila  perlu agama dipinggirkan atau bahkan disingkirkan jauh-jauh, maka sebaliknya dalam perspektif Islam, ilmu harus dilekatkan pada aspek keimanan menuju keyakinan bahwa Allah Swt adalah Pencipta, Penguasa, sekaligus Pemelihara alam semesta dan semua isinya (tawhid). Dan karena ada pondasi ini, maka semua ilmu yang dipelajari harus dimanfaatkan untuk mempergunakan segala sumber daya alam sebaik-baiknya demi kemaslahatan umat manusia dan seluruh mahkluk ciptaan Allah yang lain (hewan, tumbuhan, sungai, laut dsb). Allah Swt melarang keras segala perbuatan yang merusak ciptaan-Nya (Q.S Al-A’raf: 56).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dikotomisasi ilmu agama dengan ilmu dunia pada dasarnya tidak layak dipertahankan. Sebab Islam meyakini bahwa semua ilmu adalah bersumber dari Allah Swt. Manusia meski hanya diberikan “secuil ilmu” dari ilmu Allah Swt yang sangat luas itu, mereka juga diberikan kesempatan untuk menggali dan memanfaatkan ilmu tersebut untuk  mewujudkan kemasalahatan bagi seluruh mahkluk di dunia ini. Pada akhirnya dengan berbekal ilmu itu pula, manusia bisa mencapai keyakinan bahwa memang tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Mencipta dan Maha Berkuasa atas segalanya.

Wallahu a’lam bis Shawab.

Disadur dari Artikel SAINTEK

Motivasi Ibnu Hazm Belajar Fiqih

Kita mengenal Imam Ibnu Hazm al Andalusi (384-456H) sebagai sosok ulama besar dari Andalusia, beliau termasuk seorang mujtahid tersoroh, di tangan beliau Mazhab Azh-Zhahiry kembali berkembang. Menilik lembaran sejarah, ada kisah menarik yang mendorong Imam Ibnu Hazm untuk mempelajari ilmu fiqih:

Suatu ketika beliau menyaksikan jenazah yang akan dishalatkan, lalu beliau masuk ke mesjid dan langsung duduk tanpa shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Tiba-tiba seorang laki-laki yang ada di sampingnya berkata: “Berdirilah, dan lakukan shalat tahiyyatul masjid!”

Usia beliau ketika itu sudah menginjak umur 26 tahun.

Beliau menceritakan: “Lalu aku bangkit dan melakukan shalat dua rakaat.

Setelah kami selesai menguburkan jenazah, aku kembali lagi ke mesjid dan aku langsung mengerjakan shalat tahiyyatul masjid. Melihat apa yang aku lakukan, orang yang tadi menyuruhku mengerjakan shalat berkata: “Duduklah, sekarang bukan waktunya untuk shalat”. Karena waktu itu selesai shalat ‘Ashar.

Mendapatkan hal itu aku pergi dalam keadaan sangat sedih. Aku langsung menemui guru yang biasa mendidikku, supaya ia menunjukkan kepadaku rumah ahli fiqh Abu Abdillah ibnu Dahun. Setelah aku mendapatkannya, aku langsung menuju ke alamatnya dan aku memberi tahu beliau tentang perkara yang sudah berlaku pada diriku.

Untuk pertama kali, beliau menganjurkanku untuk mempelajari kitab Muwatta’ terlebih dahulu. Maka mulailah aku membacakannya atas bimbingan beliau, yang berlanjut dengan bacaan-bacaan berikutnya. Setelah berlangsung tiga tahun aku mulai berdiskusi dan berdebat”.

Akhirnya beliau menjadi salah seorang ulama terbesar dalam sejarah, yang menjadi pendiri kedua mazhab Azh-Zhahiry.

Kadangkala peristiwa sepele bisa menjadi pemicu kebangkitan seseorang. Peristiwa yang bisa menjadikan potensinya melejit setinggi langit.

Apakah tidak ada perkara yang kita hadapi sehingga kita perlu belajar serius seperti Imam Ibnu Hazm?

Oleh: Ustadz Zulfi Akmal, Lc. MA. | Fimadani

Seri Kisah Cinta Ulama

Kisah ini tentang masa muda Syaikh Sulaim As-Suyuthi yang terjadi di kota Damaskus, Syria, dimana Daulah Umawiyah menjadi ibu kota pada zaman itu. Di kota itu terdapatlah sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Jami’ At-Taubah. Masjid At-Taubah ini dibangun oleh seorang sultan pada abad ke-7, konon sebelumnya adalah tempat hiburan, tempat kemaksiatan. Syaikh tinggal di salah satu ruangan masjid itu hampir tujuh puluh tahun. Syaikh sangat termasyur dan dipercaya karena Kezuhudannya. Seringkali ia lewati hari-hari tanpa ada makanan sedikitpun ataupun sekeping uang untuk membeli makanan. Dalam kelaparan sering kali ia merasa kematiannya sudah dekat, tetapi ia menganggapnya sebagai ujian.

Suatu ketika ia menemui keadaan yang sedemikian gawat karena sudah berhari-hari ia tidak makan, demi mempertahankan hidup ia harus makan apa saja. Keadaan yang sangat darurat yang dalam ilmu fiqih sudah sampai batas diperbolehkan makan bangkai atau mencuri. Saat itu Sulaim memilih mencuri segenggam makanan. Menjelang Ashar ia keluar dari masjid, jika diluar masjid ada yang memberinya makan alhamdulillah. Jika tidak ia terpaksa harus mencuri. Masjid At-Taubah berada disekitar perkampungan yang rumahnya saling berdampingan satu dengan yang lainnya. Terpikir oleh Syaikh untuk melintas diatas rumah-rumah penduduk itu, kalau-kalau ada makanan yang dijemur di atas rumah.

Ia melihat sebuah rumah yang sedang kosong dan segera melangkah ke atap rumah itu, ia mencium bau masakan yang membuat air liurnya keluar. Dengan dua kali lompatan ia sudah berada di atap rumah tersebut dan segera menuju dapur, dilihatnya beberapa terong yang baru saja direbus. Karena rasa lapar yang tidak tertahankan lagi, ia langsung memakan terong itu tanpa peduli lagi panasnya makanan tadi. Namun ketika hendak menelannya, nuraninya mengusiknya. Ia berkata:
” Astaghfirullah, A’udzubillahi minasy syaithanir rajim…
” Aku mencuri? Aku mencuri?”
” Mana imanku? Mana imanku? Aku berlindung kepada Allah.”
” Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?”
” Aku seorang mu’azin di masjid, seorang penuntut ilmu, murid seorang ulama besar, tapi berani masuk ke Rumah orang lain dan mencuri?”
” Astaghfirullah… Ini tidak boleh terjadi.”
Ia langsung mengeluarkan semua terong yang sudah ia mamah dimulutnya, mengembalikan terong yang telah ia gigit. Airmatanya terbit, menyesali perbuatannya dan merasa telah melakukan dosa besar. Ia kembali ke masjid dan sepanjang jalan terus beristighfar.

Usai shalat Ashar ia duduk mengikuti dan mendengarkan pengajian sang Guru di masjid sambil terus memikirkan perbuatannya siang tadi. Usai pengajian dan semua orang telah pergi, tiba-tiba datang seorang wanita dengan memakai cadar muka menghampiri gurunya dan berkata kepada Gurunya dengan ucapan yang sama sekali tidak dapat ia dengar. Setelah itu Gurunya memanggilnya karena tidak ada orang lain lagi disekelilingnya dan bertanya,
” Apakah kamu telah menikah?”
” Belum jawabnya.” Guru betanya lagi,
” Apakah kamu ingin menikah?”
Ia terdiam, perutnya semakin melilit. Ia tidak memikirkan menikah, tetapi memikirkan nasib perutnya yang sudah sekian hari tidak kemasukan makanan. Kemudian guru mengulangi lagi pertanyaannya, dan Syaikh menjawab,
” Guru, Demi Allah, untuk membeli sekerat roti pun saya tidak mampu, bagaimana mungkin saya menikah?”.
Gurunya itu tersenyum lalu berkata,
” Wanita ini bercerita bahwa suaminya baru saja meninggal. Massa Iddahnya telah habis. Ia ingin mendapatkan suami lagi yang menikahinya sesuai Sunnah Rasulullah SAW, agar tidak sendirian lagi, sehingga menutup kesempatan mereka yang ingin berbuat jahat. Apakah kamu mau menikahinya?”
Syaikh menjawab, “Insya Allah saya mau.” Dan si wanita tadi pun menerima Syaikh sebagai suaminya.

Guru langsung menghadirkan dua orang saksi untuk melaksanakan akad nikah dan memberikan mahar untuk muridnya. Setelah itu sang wanita membawanya kerumahnya. Sesampainya di rumah sang wanita membuka cadarnya, Syaikh kaget karena isterinya itu sungguh sangat cantik. Wajah istrinya putih bersinar. Ia semakin kaget saat ini dia berada di rumah yang siang tadi ia masuki.
” Apakah Kanda sudah makan siang?” Tanya sang wanita.
Syaikh menjawab “belum”. Kemudian sang wanita mengajak Syaikh ke dapur untuk makan, namun saat membuka tutup panci betapa kagetnya sang wanita seraya berkata,
” Mengherankan! Siapa yang berani masuk rumah ini dan menggigit terong ini! Mungkin orang yang lancang ini tahu kalau aku janda sehingga berani nya ia masuk rumah ini!”
Mendengar hal itu, Syaikh menangis dan ia mulai menceritakan yang sesungguhnya terjadi. Ia minta maaf. Wanita itu pun menangis mendengar cerita suaminya. Dengan terisak ia berkata,
” Kau lulus ujian, Suamiku. Kamu menjaga dirimu dari perbuatan haram. Sebagai gantinya Allah memberikan terong ini semua bahkan pemiliknya dan seisi rumahnya secara halal”.

Sejak itu ia tinggal bersama isterinya yang cantik, salehah, cerdas. Dan dengan hartanya ia menuntut ilmu menjadi seorang Ulama Besar

source : http://tanbihun.com

Imam Syafie dan Ilmu Sains

Oleh: Saiful Hadi

Setiap muslim baik lelaki maupun perempuan dibebankan kewajiban untuk menuntut ilmu pengetahuan. Terutama ilmu agama yang berkaitan langsung makrifatullah dan ibadah. Sebab, ilmu adalah ruh ibadah, sehingga beribadah tanpa disertai ilmu seolah-olah mempersembahkan bangkai kepada Allah Ta'ala.

Pada dasarnya semua cabang ilmu penting untuk dipelajari, tidak terbatas hanya dalam ilmu agama saja. Dan rasanya kurang tepat tatkala ilmu dikotak-kotakkan menjadi ilmu agama dan dunia. Sebab, ilmu yang disebut sebagai "ilmu dunia" jika dimanfaatkan untuk menunjang kepentingan agama juga bernilai ibadah. Betapa banyak amalan dunia karena niat tulus akhirnya bernilai ibadah, dan juga tidak sedikit awalnya amalan akhirat semisal tahajud, lantaran riya dalam hati akhirnya tidak memberi faedah.

Jadinya antara ilmu agama dan dunia jangan kita pandang sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi kita tetapkan skala prioritas, dan yang paling utama adalah mempelajari ilmu agama, setelah itu barulah menekuni ilmu dunia. Bahkan sekaliber Al-Imam Syafie pun memandang bahwa semua ilmu penting untuk dipelajari, sebagaimana yang dikutip oleh Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta'lim Muta'alim, Imam Syafie berkata:

وقد حكى عن الشافعى رحمة الله عليه أنه قال: العلم علمان: علم الفقه للأديان، وعلم الطب للأبدان، وما وراء ذلك بلغة مجلس.
    
Imam Syafie rahimahullah berkata, "ilmu itu ada dua, yaitu ilmu fiqih untuk mengetahui hukum agama, dan ilmu kedokteran untuk memelihara badan."

Kenapa beliau sangat menekankan kedua ilmu tersebut, mungkin alasannya karena ilmu fiqih dan kedokteran berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup manusia di dunia. Dengan paham ilmu hukum maka kehidupan akan terarah, dan ilmu kedokteran untuk merawat badan sehingga selalu kuat beribadah.

Sejarah keemasan Islam juga diwarnai dengan kehadiran tokoh-tokoh multitalenta semisal Ibnu Sina sang dokter hebat yang kitab al-Qanun karya beliau menjadi rujukan ilmuan barat dalam hal kedokteran. Mereka tidak sekedar paham agama, namun juga menguasai ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia.

Dan sejarah yang kini tinggal kenangan tersebut bukan sesuatu yang mustahil untuk diulang kembali. Islam bangkit karena umatnya bergelut dengan ilmu pengetahuan, dan hari ini mundur lantaran kejahilan sudah mewabah kesegala sendi kehidupan.