Adakah Mazhab Salaf?

Dewasa ini sering bermunculan golongan-golongan yang tidak menisbahkan dirinya kepada mazhab tertentu, akan tetapi katanya mereka mengacu ke mazhab salaf, lantas sebenarnya bagaimana tetang masalah ini? Berikut uraian dari Ustaz Ahmad Sarwat, Lc,. MA.

Kerancuan Istilah Salaf
Istilah 'salaf' artinya adalah sesuatu yang lampau atau terdahulu. Terjemahan salaf dalam bahasa Indonesia bisa bermacam-macam, seperti lampau, kuno, konservatif, konvensional, ortodhox, klasik, antik, dan seterusnya.


Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah salaf sebenarnya bukan nama yang baku untuk menamakan sebuah medote istimbath hukum. Istilah salaf hanya menunjukkan keterangan tentang sebuah kurun waktu di zaman yang sudah lampau.

Salah Kaprah karena Salah Terjemah

Dalam kegiatan tahlilan, jika di Aceh sering disebut juga dengan Samadiah, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya (makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang hanya berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan. Sebab itu bukan tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi tersendiri seperti dalam rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk bershadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang meninggal dunia. 

Ada hal yang sering di permasalahkan oleh para  pengingkar terkait yang ada di dalam kegiatan tahlilan. Yakni dengan mencari-cari “dalih” dalam kitab-kitab para imam untuk mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkannya.

Doa dan Baca Quran untuk Orang yang Telah Meninggal

Kaitan dengan do’a untuk Orang yang Telah Meninggal, hal ini telah menjadi kepakatan ulama ahlus sunnah wal jama’ah bahwa do’a sampai kepada orang mati dan memberikan manfaat bagi orang mati. Begitu banyak dalil yang menguatkan hal ini. Diantaranya dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’alaa telah berfirman :

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr 59 ; 10)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’alaa memberitahukan bahwa orang-orang yang datang setelah para sahabat Muhajirin maupun Anshar mendo’akan dan memohonkan ampun untuk saudara-saudaranya yang beriman yang telah (wafat) mendahului mereka sampai hari qiamat.

Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahim

Secara bahasa, kedua kata ini merupakan bentukan kata dari Ar Rahmah (kasih sayang). Dari kata Ar Rahmah inilah kata Ar Rahman dan Ar Rahim dibentuk untuk menunjukkan bentuk kasih sayang yang sangat besar. Walaupun kata Ar Rahman memiliki makna kasih sayang yang lebih tinggi daripada Ar Rahim. Secara tersirat Ibn Jarir Ath Thabary menyebutkan kesepakatan para ulama dalam masalah ini.

Berikut ini beberapa nukilan perkataan para ulama yang menjelaskan perbedaan antara Ar Rahman dan Ar Rahim :

1. Ibn ‘Abbas mengatakan :
قال ابن عباس رضي الله عنهما: هما اسمان رقيقان أحدهما أرق من الآخر. واختلفوا فيهما منهم من قال: هما بمعنى واحد مثل ندمان ونديم ومعناهما ذو الرحمة وذكر أحدهما بعد الآخر

“Kedua nama ini adalah nama (yang menunjukkan) kelembutan, namun salah satunya lebih lembut dari yang lainnya –artinya lebih menunjukkan kasih sayang yang lebih besar-.” Tafsir Al Baghowi Juz 1 hal 70

Hadist yang Saling Bertentangan

Oleh: Saiful Hadi

Selain Al-Quran, hadist Rasulullah juga menduduki posisi penting sebagai pegangan utama dalam Ajaran Islam. Kedudukannya sama penting dengan Al-quran, dan hadist ini pula yang menjadi sumber utama yang menafsirkan isi Al-Quran. Lantas, apabila didapati sebuah hadist yang shahih apakah harus langsung dijadikan sebagai dalil begitu saja? Bahkan ada yang berkata lagi, bukankah Imam Syafi’i mengatakan Apabila sahih hadits maka itulah mazhabku, sehingga jika kita mendapati sebuah hadist shahih ya ikuti. Penjelasan mengenai wasiat Imam Syafi'i tersebut baca disini.

Namun ternyata tidaklah semudah itu, sebab terkadang kita dapati ada beberapa hadist yang statusnya sama-sama shahih namun sekilas makna antara keduanya malah saling bertentangan, sehingga bukannya mendapat petunjuk malah membingungkan. Hal ini bisa terjadi karena terkadang lafaz suatu hadist masih Aam (umum), sementara yang lain Khas (Khusus), ataupun lafaz hadist tersebut memang sama-sama umum. Sebagai Contoh: Dalam sebuah Hadist Rasulullah Bersabda : “Sejelek-jelek saksi adalah orang yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”, sedangkan dalam hadist lain beliau bersabda : “Sebaik-baik saksi adalah yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”.[1]

Dari dua contoh hadist di atas, disatu kesempatan Nabi menyatakan “sejelek-jelek saksi”, dan pada hadist yang lain “sebaik-baik saksi”. Jelas sekali antara dua hadist ini terlihat saling bertentangan, namun oleh para Ulama menjelaskan kedudukan hadist pertama dibawa kepada suatu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu sudah mengetahui isi kesaksian tersebut, oleh karena demikianlah Rasulullah mengecapnya sebagai sejelek-jelek saksi. Sementara hadist kedua dibawa kepada satu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu tidak mengetahui isi kesaksian yang dimaksud [2]. Setelah ada penjelasan  dari para ulama maka jelaslah kedudukan masing-masing hadist sehingga tidak menimbulkan kontrakdiksi.

Orang Awam Harus Mengikuti Ulama
Rasulullah telah berpesan bahwa Ulama adalah pewaris beliau, sehingga sebagai orang yang awam sudah sepantasnya mengikuti petunjuk-pentunjuk dari ulama, bukan malah sebaliknya. Sebab jika ilmu belum mumpuni namun nekat yang ada bakal nyasar dalam memahami dalil. Bukan dalilnya yang salah namun pemahamannya yang kurang benar. Bahkan Imam As-Syathibi (w. 790 H) dalam as-Muwafaqat menuliskan:

فتاوى المجتهدين بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين
Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336). [3]

Apa yang disampaikan oleh Imam As-Syathibi cukup beralasan, karena dalil syari’ bagi orang awam ibarat bahan mentah, jika tidak bisa memasak untuk apa diberi bahan mentah, bukankah lebih baik memakan saja apa yang telah diracik oleh para Imam Mujtahid yang memang sudah ahli dibidangnya.

Rujukan:
[1] Syarah Waraqat, Fasal Tentang Ta'arudh (Kontradiksi)
[2] Ibid

Belajar Mendengar

Oleh: Saiful Hadi

Belajar adalah pekerjaan yang berat, butuh waktu yang tidak sedikit, biaya selangit, serta tenaga yang ekstra dalam menjalaninya. Ada sebuah kalimat bijak yang menyatakan "belajarlah bersabar ketika belajar". Iya bersabar, itulah kuncinya, terutama bersabar dalam mendengarkan, sebab mendengar merupakan sarana untuk menyerap informasi terbaru, berbeda dengan berbicara karena hal itu hanya mengulang informasi yang telah diperoleh sebelumnya.

Daripada sekadar berasumsi atau menarik kesimpulan sendiri yang bisa saja salah tafsir, dengan menyimak secara langsung apa yang dirasakan atau dipikirkan orang lain, akan membantu kita memahami semuanya dengan lebih baik. Dengan demikian akan lebih mudah mencari solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.

Mendengar itu pekerjaan yang melelahkan sekaligus membosankan, dan umumnya lebih banyak yang ingin "didengar" dibanding "mendengar". Jika semuanya ingin didengar lantas siapa yang bakal mendengar?

Sekalipun bersama dalam mendengarkan, namun sering kali berbeda dalam menangkap maknanya. Banyak kata yang menunjukkan arti dekat justru dipahami jauh atau sebaliknya. Semua itu sesuai tingkat dan pemahaman masing2 pendengar. [Maniyyah al Faqir al mujarid wa sairah Al murid al mutafarrid]

Mendengar adalah langkah membina keharmonisan, baik itu dalam skala rumah tangga maupun dalam tatanan sebuah negara. Dewasa ini, masalah utama yang terjadi adalah tidak ada yang mendengar, padahal diberbagai pelosok negeri berbagai rintihan dan jeritan begitu nyaring terdengar, semakin banyak tekanan yang diberi maka semakin banyak pula nyanyian2 pilu yang begitu menyayat jiwa. Mungkin, bisa jadi para anak negeri adalah sosok tuts piano yang terdengar bernada merdu ditelinga tatkala jemari kotor mereka menekan-nekannya.

Demikian halnya dalam sebuah Instansi Perusahaan, kelancaran aktivitas perkantoran sangat ditentukan oleh komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan. Seorang pimpinan haruslah menjadi sosok yang "peka", bukan sosok yang "pekak",  sebab jika penglihatan dan pendengarannya rusak maka bagaimana caranya ia mengetahui kondisi disekitarnya. 

Sejarah telah mencatat bagaimana gigihnya Sayyidina Umar bin Khatab dalam menjalankan roda pemerintahan, bahkan beliau rela memanggul sendiri bahan pangan untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan. Dan tentu saja apa yang dikerjakan oleh Sayyidina Umar bukanlah sebuah pencitraan, jangankan masuk koran, facebook pun belum ada saat itu.

Retaknya sebuah biduk rumah tangga bisa saja berawal dari hilangnya pendengaran. Ketika istri tidak lagi mendengar suaminya maka yang terjadi adalah hilangnya sosok pemimpin yang disegani, pada akhirnya anak-anak pun memberontak. Demikian juga ketika suami tidak mendengar maka sang istri akan merasa terabaikan sehingga bisa saja mencari sosok lain yang rela mendengar. Berawal dari curhat sehingga akhirnya nekat lalu terjadilah apa yang terjadi.

Mendengar itu adalah salah satu wujud syukur. Sebagai sebuah langkah nyata dalam mensyukuri nikmat, saat panggilan azan menyeru sudah seharusnya telinga dan kaki segera mengayunkan langkah memenuhi undangan-Nya. Umat-umat terdahulu menjadi binasa hanya karena tidak mau mendengar seruan dakwah para Nabi-Nya.

Katakanlah: "Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (Al-Mulk : 23)

Memahami Wasiat Imam Syafi'i

Nama Imam Syafi’i merupakan sosok yang tidak terdengar asing lagi di telinga kita, terlebih lagi umat Islam Asia Tenggara umumnya merupakan penganut Mazhab beliau dalam bidang fiqh. Banyak mutiara kalam Imam Syafii yang dikutip para ulama sesudahnya baik dalam ranah fiqh maupun lainnya. Salah satu wasiat Imam Syafii yang cukup terkenal adalah:

إذا صح الحديث فهو مذهبي
Apabila sahih hadits maka itulah mazhabku

Namun dewasa ini wasiat beliau tersebut banyak di salah artikan, di mana ada kalangan-kalangan yang dengan mudahnya menyatakan bahwa pendapat Imam Syafii hanya dapat di amalkan bila sesuai dengan hadits shahih, sehingga saat ia menemukan suatu hadits shahih maka ia langsung berpegang kepada dhahir hadits dan melarang mengikuti pendapat Imam Syafii dengan alasan mengamalkan wasiat Imam Syafii. Bahkan mereka menjadikan wasiat Imam Syafii ini sebagai hujjah tercelanya taqlid, mereka mengartikan wasiat ini sebagai larangan dari Imam Syafii untuk taqlid kepada beliau.

Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafii, tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya maskud wasiat Imam Syafii ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafii maka pendapat Imam Syafii tidak dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya sejauh mana keilmuan Imam Syafii, terutama dalam penguasaan ilmu hadits.

Memahami Wasiat Imam Syafi'i dengan Benar
Ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafii tersebut. Imam Nawawi mengatakan :

وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك

“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafii ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafii dan langsung mengamalkan dhahir hadits. Wasiat ini hanya di tujukan kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam mazhab sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafii tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii tidak mengetahui hadits tersebut atau tidak mengetahui kesahihan haditsnya. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafii dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafii mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64)

Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafii tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan.
Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafii ini dengan kata beliau

وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث
“tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah)

Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafii tentang hadits yang sangat luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafii tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam Syafii meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab Imam Syafii dan shahabat beliau. Imam Nawawi yang hidup di abad ke 6 hijriyah mengakui sulitnya mendapati orang yang mencapai derajat ini.

Tentang wawasan Imam Syafii dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal :

ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي
“tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafii”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr)

Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad :

يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث
“Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih dalam masalah ini.”
Imam Ahmad menjawab :
إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه

“Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.” (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr)

Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam Syafii tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak karena ternyata Imam Syafii meninggalkan hadits ini karena menurut Imam Syafii hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa ulama Mazhab Syafii yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafii yang menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95)

Imam Syafii juga mengucapkan wasiat ini pada beberapa masalah di mana yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits hanyalah keshahihan hadits tersebut yang masih beliau ragukan, sehingga beliau mengaitkan apabila shahih hadits maka itulah pendapatku. Atas dasar inilah, para ulama pengikut beliau meninggalkan beberapa pendapat jadid beliau dan malah berpegang kepada pendapat qadim, karena dalam qaul jadid yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits hanyalah karena keraguan pada keshahihan hadits saja, sehingga setelah ulama setelah beliau melakukan analisa terhadap hadits tersebut dan di simpulkan bahwa hadits tersebut adalah hadits shahih maka mereka langsung berpegang kepada pendapat qadim karena mengamalkan wasiat beliau ini. Kita lihat penjelasan Imam Syarwani dalam hasyiah `ala Tuhfatul Muhtaj:

يعلم منه أنه حيث قال في شيء بعينه إذا صح الحديث في هذا قلت به وجب تنفيذ وصيته من غير توقف على النظر في وجود معارض؛ لأنه - رضي الله تعالى عنه - لا يقول ذلك إلا إذا لم يبق عنده احتمال معارض إلا صحة الحديث بخلاف ما إذا رأينا حديثا صح بخلاف ما قاله فلا يجوز لنا ترك ما قاله له حتى ننظر في جميع القوادح والموانع فإن انتفت كلها عمل بوصايته حينئذ وإلا فلا

Artinya : Bisa di ketahui bahwa jika Imam Syafi berkata pada satu tempat “jika sahih hadits pada
 masalah ini saya akan berpendapat demikian” maka wajib di tunaikan wasiat Imam Syafii tersebut tanpa tawaquf pada dalil lain yang menentang (mu’aridh) karena Imam Syafii tidak mengucapkan demikian kecuali apabila tidak ada lagi kemungkinan ada mu`aridh kecuali hanya tentang sahnya hadits tersebut, dengan sebalik bila kita temukan satu hadit syang shahih maka tidak boleh bagi kita meninggalkan pendapat Imam Syafii sehingga kita tinjau kembali seluruh dalil mu’aridh dan qawadih dan segala mani`, bila memang semuanya tidak ada maka baru bisa di amalkan wasiat beliau tersebut, jika tidak demikian maka tidak boleh ..(Imam Syarwani, Hasyiah Syarwani `ala Tuhfatul Muhtaj Jilid 3 Hal 481 Dar Fikr)

Ketentuan ini berlaku dalam semua Mazhab, Imam al-Qurafi dalam Syarah al-Mahshul setelah mengutip wasiat Imam Syafii tersebut berkata :

فإنه كان مراده مع عدم المعارض، فهو مذهب العلماء كافة وليس خاصاً به، وإن كان مع وجود المعارض فهذا خلاف الإجماع ...كثير من فقهاء الشافعية يعتمدون على هذا ويقولون: مذهب الشافعي كذا لأن الحديث صح فيه وهو غلط فإنه لا بد من انتفاء المعارض والعلم بعدم المعارض يتوقف على من له أهلية استقراء الشريعة حتى يحسن أن يقول لا معارض لهذا الحديث، وأما استقراء غير المجتهد المطلق فلا عبرة به

“Maksudnya adalah bila tidak ada dalil lain yang kontra. Ini adalah mazhab ulama seluruhnya bukan hanya khusus Mazhab Syafii. sedangkan bila ada dalil yang kontra maka hal ini adalah bertentangan dengan ijmak ulama…Banyak ulama fuqaha` Mazhab Syafii yang mencoba berpegang kepada perkataan Imam Syafii ini, mereka mengatakan ini adalah mazhab Syafii karena haditsnya shahih. Ini adalah hal yang salah karena harus tidak ada dalil lain yang kontra sedangkan untuk mengetahui tidak ada dalil yang kontra hanya mampu bagi kalangan yang memiliki kemampuan analisa syariat sehingga ia mantap menyatakan bahwa hadits ini tidak ada dalil lain yang kontra dengannya. Adapun analisa selain mujtahid mutlaq maka tidak di terima”. (al-Qurafi, Syarh Tanqih al-Fushul hal 450)

Imam Taqi as-Subki memberikan komentar mengenai syarat mengamalkan wasiat Imam Syafii yang di sebutkan oleh Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi :

وهذا الذى قالاه رضي الله عنهما ليس راد لما قاله الشافعى ولا لكونها فضيلة امتاز بها عن غيره ولكنه تبيين لصعوبة هذا المقام حتى لا يغتر به كل احد

Artinya; perkataan keduanya (Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi) ini bukan berarti menolak perkataan Imam Syafii sendiri dan bukan pula karena wasiat ini merupakan satu kelebihan yang membedakan beliau dengan ulama lainnya tetapi ini merupakan penerangan bagi sulitnya kedudukan ini sehingga tidak akan ada orang yang tertipu dengannya. (as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 93)

Orang Awam Tidak Boleh Gegabah
Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits shahih sedangkan pendapat Imam Syafii sebaliknya maka ia langsung mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir hadits. Selain itu perkataan Imam Syafii tersebut bukanlah berarti sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam Syafii yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau, kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafii kepada murid-murid mereka sehingga mazhab Syafii tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila Imam Syafii semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid beliau tidak mengajarkan mazhab beliau tetapi mazhab mereka masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam Syafii melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid.

Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada al-qur-an dan hadits langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka cukup cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Rafii dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafii.

Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada al-quran dan hadits hanyalah ajakan untuk mengikuti pemahaman al-quran menurut mereka yang berarti mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits, ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada mereka juga.

Edisi Tafsir, Surat Al-Iklas

Surah Al-Iklas tergolong ke dalam katagori surat Makiyah, yakni surah yang diturunkan pada periode dakwah Rasulullah saat masih berada di Mekah, surah ini terdiri dari empat ayat.

Penamaan Surah
Surah ini mempunyai banyak nama, yang paling masyhur adalah surah al-lkhlas karena ia berbicara tentang tauhid murni hanya kepada Allah SWT yang menyucikan-Nya dari segala kekurangan dan membebaskan-Nya dari segala kesyirikan. Surah ini juga membebaskan hamba dari kesyirikan, atau dari neraka, Surah ini juga dinamakan dengan surah at-Tfrid, atTajrid, at-Tauhid, an-Najaah atau al-Wilaayah karena orang yang membacanya akan termasuk para wali Allah. Selain itu, surah ini juga dinamakan dengan surah al-Ma'rifah dan surah al-Asas karena mencakup pokok-pokok agama.

Kembali ke Mesjid

Dari Masjid Kita Bangkit *)
“Tempat yang paling dicintai Allah ialah masjid, dan tempat yang paling dimurkai Allah ialah pasar.” (HR. Muslim)

Kenapa bukan rumah, kantor, kampus tempat yang paling dicintai Allah. Sedangkan ketika bicara masjid alasan sibuk di kantor, kampus lebih penting dari urusan Masjid? Padahal seseorang yang memiliki ikatan hati dengan Masjid levelnya sama dengan pemimpin yang adil, akan ditolong oleh Allah di hari tidak ada penolong selain Allah.

Menjadi Pasangan yang Baik


Hidup di dunia cuma sekali, namun jatuh cinta itu harus berkali-kali, sehingga setiap detiknya adalah saat-saat yang selalu diliputi oleh cinta, dan karenanya tidak akan terbuka celah diantara keduanya untuk saling menduakan. Katanya cinta pada pandangan pertama itu sungguh sangat berkesan, harusnya pandangan kedua, ketiga dan seterusnya harus lebih berkesan lagi, itu karena kehidupan yang dijalani dalam sebuah pernikah bukan hanya untuk sekali itu saja, akan tetapi setiap hari, bahkan sampai mati pun ikatan itu masih tetap terhubung dengan kuat. Buktinya, istri berhak terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh suami demikian juga sebaliknya.

Menjadi pasangan yang baik
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :


خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku" [HR. At Tirmidzi no: 3895 dan Ibnu Majah no: 1977 dari sahabat Ibnu ‘Abbas]

Pernah suatu ketika, saat Rasulullah sedang berkumpul bersama seluruh istrinya, mereka bertanya kepada beliau siapakah wanita yang paling dicintai diantara seluruh istri-istrinya. Mendengar pertanyaan itu Rasulullah tersenyum dan meminta istri-istri beliau untuk pulang ke rumah masing-masing, sementara itu Rasulullah menuju ke pasar dan membelikan beberapa cincin emas untuk diberikan kepada seluruhnya istrinya. Rasulullah pun mendatangi rumah masing-masing istrinya dan memberikan cincin yang telah dibelikannya tadi. Singkat cerita, di lain kesempatan Rasulullah kembali berkumpul bersama seluruh istrinya, beliau pun bersabda wanita yang paling aku cintai adalah yang mendapatkan cincin, mendengar itu semua istri beliau tersenyum puas karena mereka merasa dialah yang paling dicintai sebab telah mendapatkan cincin dari Rasulullah. Begitulah salah satu cara Rasulullah dalam menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga, sehingga biarpun mempunyai beberapa orang istri tidak pernah cek-cok diantara mereka.

Sudah kita maklumi bersama, bersiwak merupakan salah satu anjuran yang sangat ditekankan oleh Rasulullah. Jika menelisik lebih jauh, bersiwak adalah salah satu cara berbuat baik terhadap pasangan, lho kenapa bisa demikian? Bayangkan saja, andai sang suami atau istri tidak pernah menyikat giginya tentu saja akan sangat menggangu saat keduanya sedang berinteraksi, mulut yang bau akan membuat pasangan menjadi tidak betah berdekat-dekatan dan tanpa disadari hal kecil ini sudah menanamkan benih-benih ketidakharmonisan. Karenanya, salah satu cara menjaga mata pasangan agar tidak melirik ke rumput tetangga adalah dengan selalu menjaga penampilan. Selain itu, hubungan cinta diantara keduanya harus seperti barang antik yang seiring bertambah usia makin menarik.

Indahnya Persatuan


oleh: Saiful Hadi

Allah Ta'ala telah menciptakan kita semua dengan berbagai suku bangsa dan ras yang berbeda, tujuannya hanya satu yakni supaya saling kenal-mengenal sehingga terjalinlah persatuan antara sesama. Sedikit membuka lembaran sejarah, jauh sebelum islam datang menaungi jazirah Arab, kondisi masyarakat pada masa itu adalah sebuah komunitas yang hobi berperang, entah perang karena perebutan harta, tahta, bahkan juga tidak jarang perselisihan bermula hanya karena perebutan wanita. Situasi pada masa itu jauh dari keadaan damai dan tentram karena sepanjang tahun hanya ada perang dan perang.

Namun ketika dibangkitkan Rasulullah, keadaan pun mulai berangsur-angsur berubah. Dan ketika ka'bah di rehab, hampir terjadi perselesihan karena masing-masing kabilah merasa punya hak untuk meletakkan kembali hajar aswad ke tempatnya semula, karena kecerdikan Rasulullah perselisihan pun bisa diatasi, hajar aswad di letakkan di atas surban beliau dan masing2 kepala suku memengang ujung2 surban untuk bersama-sama mengangkat hajar aswad ke tempat semula. Ada begitu banyak ayat dan hadist yang menganjurkan kita untuk bersatu dan menghindari permusuhan, di antaranya sebagaimana yang tersebut dalam surat Al-Imran ayat 103:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai..."

Para mufassir menjelaskan, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk selalu memengang teguh agama yang benar yakni islam dengan selalu mematuhi perintah Allah dan menjauhkan larangan-Nya. Dan selanjutnya Allah juga sangat melarang kita bercerai-berai, sebagaimana kata pepatah bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Oleh karena itu, menjaga persatuan dan kesatuan adalah termasuk dalam anjuran agama yang tentu saja bernilai ibadah jika kita melaksanakannya.

Persatuan itu harus dimulai dari unit yang paling kecil, yakni dimulai dari sendiri dengan mempersatukan seluruh anggota badan hanya untuk taat terhadap perintah Tuhan, sehingga jangan sampai terjadi dimulut kita mengucapkan marilah maju bersama melawan korupsi tapi tangan dibawah meja sedang asik bermain suap-menyuap, itu tandanya mulut dengan tangan tidak ada persatuan karena masih berbeda visi dalam melakukan berbagai tindakan.

Dalam sebuah hadist Nabi menyatakan muliakanlah tetangga, disini ada sebuah isyarat bagi kita untuk terus membina persatuan, karena tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita setelah saudara-saudara kita, dan tetangga inilah juga yang menjadi orang pertama yang bakal menolong dikala sedang kesusahan. Dalam skala yang kecil, tentangga adalah orang yang berada disamping rumah kita, lalu antar kampung dengan kampung juga merupakan tetangga, hingga seterusnya antar negara-negara yang saling berdampingan itu juga merupakan tetangga, sehingga dengan adanya sikap saling memuliakan maka akan lahirlah persatuan.

Agar Ingatan Menjadi Kuat

Salah satu musuh terbesar saat mempelajari sebuah ilmu pengetahuan adalah lupa. Di dalam kitab Durratu al-Nashihin terdapat keterangan mengenai langkah-langkah yang bisa ditempuh guna menguatkan ingatan, diantaranya sebagai berikut:

من اراد أن يحفظ العلم فعليه ان يلازم خمس خصال : الأولى صلاة الليل ولوركعتين , والثانية دوام الوضوء , ولثالثة التقوى في السر والعلانية , والرابعة ان يأكل للتقوى لاللشهوات , والخامسة السواك .

Artinya : “Barangsiapa yang ingin menghafal ilmu, maka ia mesti melakukan lima perkara : pertama , shalat malam (Tahajjud) walaupun hanya dua raka’at, kedua terus menerus punya wudhu’ (menjaga wudhu’),ketiga bertaqwa kepada Allah, baik ditempat sepi maupun ditempat yang ramai. Ke-empat, makan untuk meningkatkan ketaqwaan, bukan karena mengikuti hawa nafsu. Kelima, rajin bersiwak “.  (Kitab Durratu an-Nashihin halaman 15).