Perkataan Adalah Cerminan Perasaan

Saat diberi sesuatu engkau bergembira, dan saat ditolak engkau kecewa, maka simpulkanlah bahwa yang demikian itu adalah bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidak tulusan penghambaan.

setiap ucapan yang meluncur pasti membawa corak kalbu tempat asal perkataan itu.

Siapa yang telah diizinkan Nya untuk menerangkan, maka ungkapanya akan dapat dimengerti oleh para pendengarnya, dan kiasannya akan menjadi terang bagi mereka.

Jika permulaannya membuatmu tertarik, maka kesudahannya akan membuatmu jemu.
Pesona-pesona duniawi itu tak akan menyuguhkan kebahagiaan yang abadi.

kala engkau sakit hati karena orang-orang tidak mengacuhkanmu, ataupun mereka acuh namun mencelamu, maka pulangkanlah pengetahuan Allah tentang dirimu. jika engkau belum puas dengan pengetahuan-Nya, maka derita yang menimpamu karena tidak puas dengan pengetahuan-Nya lebih besar dari derita yang menimpamu karena adanya celaan mereka.

[Hikam | Ibnu Athailah]

Cintailah Saudaramu Seperti Engkau Mencintai Dirimu Sendiri

Syarah Hadist Arbain no. 13

الحديث الثالث عشر
وعن أنس قال : قال رسول الله : ( لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه ).

Hadist ke-13, dari Anas r.a, Rasulullah saw bersabda : Tidak sempurna iman salah seorang diantara kamu sehingga ia mencintai saudaranya apa-apa yang dicintai bagi dirinya.

معاني الكلمات :
Pengertian kalimat tersebut adalah:

لا يؤمن أحدكم : الإيمان الكامل . ما يحب لنفسه : من الخير .

Tidak beriman bermakna tidak sempurna iman. Apa-apa yang dicintai bagi dirinya berupa kebaikan-kebaikan.

الفوائد :
1- من علامات الإيمان الكامل أن يحب الإنسان لأخيه المسلم ما يحب لنفسه من الخير .
وقد جاء في الحديث عن يزيد بن أسد : قال : قال لي رسول الله : ( أتحب الجنـة ؟ قلت : نعم ، قال : فأحب لأخيك ما تحــــب لنفسك ) رواه أحمد .
Faedah :
Diantara tanda sempurnanya iman bahwa mencintai oleh insan terhadap saudaranya yang muslim sebagaimana ia mencintai dirinya daripada kebaikan2.

Tersebut pada sebuah riwayat dari Yazid bin Asad, ia berkata, Rasulullah bersabda untukku : Apakah engkau mencintai surga? saya menjawab "iya", kemudian Rasulullah saw bersabda "maka cintailah saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri" (HR. Ahmad)

Referensi: Fathul Mubin, Syarah Matan Arbain, Ibnu Hajar al-Haitami


Pendapat Ulama Tafsir Mengenai Al-Maidah ayat 51

Pemahaman terhadap al-quran tidak akan memadai jika hanya mengacu pada terjemahannya saja. Bahkan belakangan ini al-maidah ayat 51 menjadi polemik karena dianggap multi tafsir, lantas bagaimana pendapat para ahli tafsir mengenai surat tersebut? Berikut beberapa petikan penafsiran yang disadur dari karya-karya ulama terdahulu.

1. Tafsir al-Thabari

والصواب من القول في ذلك عندنا أن يقال: إن الله تعالى ذكره نهى المؤمنين جميعا أن يتخذوا اليهود والنصارى أنصارا وحلفاء على أهل الإيمان بالله ورسوله، وأخبر أنه من اتخذهم نصيرا وحليفا ووليا من دون الله ورسوله والمؤمنين فإنه منهم في التحزب على الله وعلى رسوله والمؤمنين، وأن الله ورسوله منه بريئان

“Pendapat yang benar menurut kami ialah bahwa Allah SWT melarang seluruh orang beriman menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai penolong, sekutu, dan teman koalisi (setia) yang dapat merugikan orang mukmin lainnya. Allah SWT mengabarkan bagi siapa pun  yang menjadikan mereka sebagai penolong, sekutu, dan teman setia, maka dia menjadi bagian dan berpihak pada mereka dalam hal melawan Allah SWT, Rasulullah SAW, dan orang mukmin. Dengan demikian, Allah dan Rasulullah tidak bertanggung jawab atas mereka.

Sementara mengenai ayat 52, Imam Al-Thabari menuliskan:

غير أنه لا شك أن الآية نزلت في منافق كان يوالي يهود أو نصارى، خوفا على نفسه من دوائر الدهر، لأن الآية التى بعد هذه تدل على ذلك. وذلك قوله: "فترى الذين في قولبهم مرض يسارعون فيهم يقولون نخشى أن تصيبنا دائرة:

“Tidak diragukan lagi bahwa ayat ini diturunkan dalam konteks orang munafik, yaitu mereka yang berkoalisi dengan Yahudi dan Nasrani karena takut ditimpa musibah dan kesusahan. Kesimpulan ini didasarkan pada ayat setelahnya, ‘Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, ‘Kami takut akan mendapatkan bencana’ (QS: al-Maidah ayat 52).”

Sedangka pada bagian akhir penafsiran surat ini, al-Thabari menjelaskan:
 
أن الله لا يوفق من وضع الولاية في غير موضعها فوالي اليهود والنصاري-مع عداوتهم الله ورسوله والمؤمنين- على المؤمنين، وكان لهم ظهيرا ونصيرا، لأن من تولاهم فهو لله ولرسوله حرب

“Sesungguhnya Allah tidak memberkati orang yang berkoalisi (minta tolong) kepada orang yang tidak tepat. Seperti menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai sekutu dan penolong. Padahal mereka memusuhi Allah, Rasul, dan orang mukmin. Siapapun yang berkoalisi dengan mereka berati ia memerangi Allah, Rasul, dan orang mukmin.”[1]

2. Tafsirul Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أي مقتضى إيمانكم أن لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ أي توالونهم وتصاحبونهم مثل موالاة المؤمنين ولا تعتمدوا ولاتثقوا بودادتهم ومودتهم إذ هم بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ أي متظاهرون متعاونون ينتهزون الفرصة لمقتكم وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ أي ويعتمد عليهم مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ أي من جملتهم وعدادهم عند الله إِنَّ اللَّهَ أي المطلع لضمائر عباده لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ أي المجاوزين عن مقتضى أوامر الله، المرتكبين لمناهيه، فكيف لا يكون المتولون معهم من زمرتهم.

Artinya, “(Hai orang-orang beriman) seseuai keimananmu. (Jangan kalian jadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pelindung) kalian menjadikan mereka sebagai pelindung dan bersahabat dengan mereka sebagaimana kalian menjadikan orang beriman sebagai pelindung. Jangan kalian bersandar dan memercayakan cinta dan persahabatan mereka karena mereka (sebagian mereka terhadap sebagian lainnya menjadi pelindung) mereka saling membahu dan membantu. Mereka menunggu kesempatan karena benci mereka terhadapmu. (Siapa menjadikan mereka pelindung) bersandar kepada mereka (di antara kamu, maka sesungguhnya ia termasuk dari mereka), termasuk jumlah sebagian besar mereka dan salah satu dari mereka di sisi Allah. (Sungguh Allah) yang melihat hati hamba-Nya (tidak memberi petunjuk kepada kaum yang aniaya) kaum yang melewati batas dari tuntutan perintah Allah, dan melakukan apa yang dilarang Allah. Bagaimana orang yang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai penolong tidak dianggap sebagai bagian dari mereka?”

Kutipan di atas diambil dari Tafsirul Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, terbitan At-Tamam, Beirut, Libanon, juz I, halaman 512-513.[2]

3. Tafsir Jamal

قوله يأيها الذين آمنوا، خطاب يعُمّ حكمُه كافةَ المؤمنين من المخلصين وغيرهم. وقوله آمنوا أي ولو ظاهرا. وإن كان سبب نزولها في غير المخلصين فقط وهم المنافقون، كعبد الله بن أبى واضرابه الذين كانوا يسارعون فى موالاة اليهود ونصارى نجران، وكانوا يعتذرون الى المؤمنين بأنهم لا يؤمنون أن تصيبهم صروف الزمان كما قال تعالى يقولون نخشى

Artinya, “’Hai orang-orang beriman’ hukum yang dituju ayat ini menyasar kepada semua orang beriman yang ikhlas maupun yang tidak ikhlas. ‘Berimanlah kamu’ meskipun hanya secara lahir, tidak sampai ke batin. Ayat ini menyasar semua orang beriman meskipun sebab turunnya ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang tidak ikhlas. Mereka adalah orang munafiq seperti Abdullah bin Ubai dan pengikutnya. Mereka inilah yang segera menjadikan orang Yahudi dan Nasrani Najran sebagai pelindung. Mereka sebelumnya menyatakan ‘maaf’ kepada orang-orang beriman bahwa mereka akan melepaskan keimanannya bila peralihan zaman menempatkan orang beriman dalam posisi kalah perang seperti perkataan mereka yang diabadikan dalam Al-Quran, ‘Kami khawatir...’”

Demikian dikutip dari Tafsir Jamal karya Syekh Sulaiman bin Umar Al-Jamal, Darul Fikr, 2003 M/1423 H, Juz 2, halaman 251.[3]

4. Tafsir Al-Baghawi

Terkait Surah Al-Maidah 51, penulis kitab Ma’alimul Tanzil fi Tafsiril Qur’an, Al-Baghawi (wafat 510 H), menyebutkan beberapa riwayat yang berkaitan dengan penyebab turun ayat ini. Riwayat pertama mengisahkan bahwa ayat ini diturunkan pada saat ‘Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Salul tengah bertengkar. Mereka berdebat terkait siapa yang pantas dijadikan tempat berlindung. Pertengkaran mereka itu akhirnya terdengar oleh Nabi SAW. Berikut petikan kisahnya:

 نزلت في عبادة بن الصامت وعبد الله بن أبي ابن سلول، وذلك أنهما أختصما، فقال عبادة: إن لي أولياء من اليهود كثير عددهم شديدة شوكتهم، وإني أبرأ إلى الله وإلى رسوله من ولايتهم وولاية اليهود، ولا مولى لي إلا الله ورسوله، فقال عبد الله: لكني لا أبرأ من ولاية اليهود لأني أخاف الدوائر ولا بد لي منهم، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: يا أبا الحباب ما نفست به من ولاية اليهود على عبادة بن الصامت فهو لك دونه. قال: إذا أقبل، فأنزل الله تعالى بهذ الآية

Artinya, "Ayat ini diturunkan pada saat ‘Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Salul bertengkar: ‘Ubadah berkata, ‘Saya memiliki banyak ‘awliya’ (teman/sekutu/pelindung) Yahudi, jumlah mereka banyak, dan pengaruhnya besar. Tapi saya melepaskan diri dari mereka dan mengikuti Allah SWT dan Rasul-Nya. Tiada pelindung bagi saya, kecuali Allah dan Rasul-Nya’.

Abdullah bin Ubay berkata, ‘Saya lebih memilih berlindung kepada Yahudi karena saya takut ditimpa musibah. Untuk mengindarinya saya harus bergabung dengan mereka’. Nabi SAW berkata, ‘Wahai Abul Hubab, keinginanmu tetap dalam perlindungan (kekuasaan) Yahudi adalah pilihanmu, tidak baginya’. Ia menjawab, ‘Baik, saya menerimanya’. Karenanya, turunlah ayat ini.”[4]

Rujukan: [1] Tafsir at-Thabari (nu.or.id)

Imam Malik bin Anas; Ulama High Class


Oleh: Muhammad Saiyid Mahadhir

“Saya paling tidak suka dengan seseorang yang sudah diberi nikmat oleh Allah, tapi nikmat itu seakan tidak kelihatan, [ما أحب لامرئ أنعم الله عليه ألا يرى أثر نعمته]”, begitu ungkap imam Malik sekali waktu yang dikutip oleh Abu Zahrah dalam salah satu kitabnya.

Mungkin Imam Malik adalah salah satu ulama yang seakan berbeda dalam hal ini, dalam gaya hidup. Disaat sebagian ulama lainnya memilih hidup yang biasa-biasa saja, sederhana atau bahkan miskin, tapi justru imam Malik hidup dalam ‘kemewahan’.

Bukan maksudnya untuk bermewah-mewahan semata, tapi dibalik itu imam Malik ingin mengajarkan kepada kita bagaimana hidup dalam status yang tinggi serta mulia, sehingga tidak dipandang sebelah mata oleh pemilik dolar juga oleh para penguasa khususnya.

Tidak heran jika akhirnya penguasa Mekkah dan Madinah pada waktu itu takut dengan imam Malik, tidak mudah bagi mereka untuk bertemu dengan beliau. Imam Malik bukan seperti masyarakat lainnya yang langsung bisa diperintah oleh penguasa. Mereka segan; segan dengan keilmuannya, juga segan dengan tampilannya.

Imam syafi’i saja kala itu punya niat berguru dengan Imam Malik di Madinah, setelah sebelumnya Imam Syafi’i belajar di madarasah Mekkah, niat ingin berguru dengan imam Malik tidak semudah yang dikira.

Akhirnya Imam Syafi’i meminta bantuan penguasa Mekkah, untuk kemudian darinya dikirim surat untuk penguasa Madinah, agar disampaikan kepada imam Malik bahwa ada anak muda dari Mekah yang ingin belajar dengan imam Malik.

Rasa gugup menyelimuti penguasa Madinah ini ketika hendak mengetuk pintu rumah sang imam. Setelah rumah diketuk, akhirnya yang keluar malah pembantu, setelah disampaikan bahwa yang datang adalah penguasa Madinah, Imam Malik justru bertanya: “Beliau mau apa? Jika mau ngobrol biasa, bilang bahwa saya tidak punya waktu, dan jika mau bertanya tentang agama, maka bilang juga bisa bertanya pada hari dimana saya isi halaqah di masjid Nabawi”.

Tapi akhirnya imam Malik keluar juga dari kamarnya, dan mau menemui penguasa yang ternyata Syafi’i muda sudah bersamanya, untuk disampaikan bahwa Syafi’i muda ini mau belajar dengan sang imam.

Imam Malik keluar dengan penuh wibawah, pakaian ‘mewah’nya membuat penguasa Madinah semakin tertunduk, belum lagi ditambah dengan imamahnya. Memang dalam banyak literatur tercatat bahwa sang imam memang tidak pernah memakai sembarang pakaian, pakain yang dipakai oleh Imam Malik adalah pakaian-pakaian pilihan, bukan yang ecek-ecek.

Imam Malik sangat suka memakai pakain putih, dan beliau biasa memakai pakain baru impor (bukan barang bekas)  dari negri Khurasan, Mesir, dan lainnya yang dikenal mahal harganya. Sama seperti ‘mewah’nya makanan harian beliau yang selalu memakan daging dalam jumlah yang lebih banyak dari kebanyakan orang, pun begitu dengan rumah dimana beliau berdiam, perabot rumah yang ‘mewah’ dimasa itu serta semua hal yang bisa menambah kenyaman rumah ada.

Jadi memang sebenarnya tidak ada masalah dengan gaya kehidupan sebagain ulama yang dikenal mewah, dan tidak baik pula mempermasalahkannya. Mengapa terkadang kita justru memperdebatkan hal yang mubah, padahal sah-sah saja jika ada yang punya selera lain dalam hidupnya.

Private life itu murni hak tuan badan, ketika dalam waktu yang bersamaan mereka sudah bisa menunaikan hak dan kewajibannya terhadap masyarakat lainnya. Punya rumah bagus, mobil, cara berpakaian menarik, punya istri lebih dari satu, dan seterusnya, itu semua adalah selera hidup masing-masing, yang justru pilihannya diserahka kepada kita.

Dan dalam kenyataannya apakah seorang ulama itu harus disyarakatkan hidup miskin? Siapa yang meragukan keilmuan imam Malik baik dalam bidang hadits maupun fiqih? Hingga beliau masuk dalam empat madzhab besar yang sampai sekarang masih terus memberikan manfaat bagi kehidupan, walaupun pada waktu yang bersamaan hidup dalam kemewahan.

Tidak baik juga selalu berburuk sangka dengan pemilik harta yang banyak. Pada dasarnya hidup sesama muslim itu harus dilandasi dengan prasangka baik, terlebih kepada ulama.

Husnu zhon saja bahwa para ulama kita menjalani semua itu dengan harta yang halal, harta yang halal itu banyak, tidak sempit, sama seperti banyaknya makanan yang halal, selain dari apa yang Allah haramkan, maka yakinlah bahwa semuanya halal.

Mudah saja kaidah, hitung saja apa yang sudah Allah haramkan, maka sisanya yang tidak bisa dihitung itu semuanya halal. Tidak butuh lebel halal seperti halnya makanan halal di Indonesia. Tidak. Bahkan yang tidak berlebel halal dan halal jauh lebih banyak ketimbang yang sudah berlebel halal.

Jangan kaku ketika mendengar dan menyaksikan sosok ulama yang banyak hartanya, jangan sampai ketika disebut kosakata kaya seketika yang hadir di kepala kita selalu saja negatif. Banyak dari sahabat Rasulullah SAW yang tidak salah jika kita sematkan pada mereka sebutan millioner. Hidup kaya asal bahagia itu tidak mustahil diraih, jangan sampai hidup ini hanya dihadapkan kepada satu pilihan  saja; biar miskin asal bahagia.

Kaya dan miskin itu tergantung dengan cara kita menyikapinya. Keduanya adalah ujian yang Allah berikan kepada ummatnya, untuk memastikan siapa yang bersyukur dikala lapang, dan siapa yang bisa bersabar saat kesusahan melanda. Walau dalam kenyataannya banyak yang bisa bertahan dalam ujian kesabaran namun sedikit yang lulus dari ujian kesyukuran, begitu jelas Imam Al-Maraghi.

Dan dari keduanya akan hadir kebaikan, biarkan saja perdebatan diantara ulama itu terus ada, dalam menilai siapakah yang paling utama dan mulia; miskin bersabar atau kaya bersyukur, hingga nanti kita semua kembali kepada Allah untuk meraih nilai ujian kehidupan yang masing-masing kita sudah menjalaninya di bumi.

Dalam hal ini Allah SWT mengingatkan:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan” (QS. Al-Anbiya’: 35)

Kata fitnah dalam ayat di atas menunjuk makna ujian dan cobaan. Ibnu Faris (w. 395 H) dalam Maqayis al-Lughah, jilid 4, hal. 472, menyebutkan bahwa asal kata fa-ta-nun menunjukkan arti ujian dan cobaan [الفاء والتاء والنون أصل صحيح يدل على ابتلاء واختبار ], dan darinya juga muncul istilah fitnah.

Al-Ashfahani (w. 502) dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Quran, hal. 623 juga menjelaskan bahwa dari 34 ayat Al-Quran yang memakai redaksi fitnah sebagian besarnya merujuk kepada makna dasar diatas.

Keburukan dan kebaikan semuanya adalah ujian dan cobaan yang harus disikapi dengan benar. Dalam memahami makna kebaikan dan keburukan pada ayat diatas, para ulama tafsir sedikit berselisih pendapat, namun setidaknya perselisihan mereka masuk dalam katagori khilaf tanawwu’, dimana semua hasil penafsiran tersebut satu dengan yang lainnya bisa saling melengkapi, dan semua itu bisa kita ambil maknanya, tanpa harus membuang sebagiannya.

Imam Al-Mawardi dalam kitab tafsirnya An-Nukat wa Al-‘Uyun menjelaskan, setidaknya ada empat pendapat dalam memaknai kebaikan dan keburukan pada ayat QS. Al-Anbiya’: 35 diatas, namun umumnya para ulama tafsir lebih banyak menyepakati dengan makna yang keempat, dimana kebaikan dan keburukan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dicintai dan segala sesuatu yang tidak disukai, termasuklah diantaranya kaya dan miskin, sehat dan sakit, lapang dan sempit, ketaatan dan nafsu, dst.

Namun diakhir semua itu imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa yang demikian agar diketahui siapa saja yang bersyukur dengan apa yang mereka senangi dan siapa saja yang bersabar terhadap apa apa tidak mereka sukai. [لنعلم شكركم لما تحبون , وصبركم على ما تكرهون ]

Dan dalam memaknai syukur itu tidak salah dengan apa yang diungkap oleh imam Malik diawal tulisan ini, bahwa termasuk hal yang kurang disukai ketika Allah memberikan nkmat kepada seorang hamba lalu kemudian seakan nikmat itu tidak ada bekasnya sama sekali.

Rupanya ungkapan imam Malik diatas bukan ungkapan sembarang saja, ternyata ungkapan tersebut bersandar kepada sebuah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh imam Turmudzi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ»

Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh Allah sangat suka meyaksikan bekas nikmatNya pada diri hambanNya” (HR. Turmudzi)

Dan memang dari jauh hari Allah SWT sudah menegaskan:

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat". Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A’raf: 32).

Wallahu A’lam Bisshawab

Disadur dari Tulisan Ustad. Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA ~ rumahfiqih.com

Zakat Rikaz


Rikaz artinya barang-barang simpanan dalam tanah, yang disimpan oleh orang-orang purba, berupa barang-barang logam dan sebagainya. Jika seseorang mendapatkan barang-barang seperti itu maka ia wajib mengeluarkan 1/5 zakatnya. hal ini sebagaimana sebuah hadist dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "pada Rikaz wajib dikeluarkan zakatnya seperlima".

Kondisi Sosial Masa Dinasti Umayyah, bag. 2


oleh: Nabila Andini

Pada masa Dinasti Umayyah, masyarakat islam juga sudah mengenal yang namanya kelas-kelas sosial. Pada masa ini kelas sosial di dalam masyarakat terbagi dalam empat kelas:

Golongan pertama adalah golongan yang memiliki kelas tertinggi di dalama masyarakat, di dalam kelas ini biasanya diisi oleh penguasa-penguasa islam, keluarga kerajaan, serta kaum bangsawan dan ninggrat muslim. Tidak ada yang mengetahui secara pasti jumlah mereka. Pada masa khalifah al-Walid I anggaran subsidi yang harus dikeluarkan Negara untuk orang Arab Damaskus dan distriknya (Jund) mencapai 45.000. pada masa Marwan I, Hims dan distriknya mengeluarkan biaya pensiun sebesar  20.000.

Golongan kedua adalah golongan para muallaf. Muallaf merupakan sebutan bagi mereka-mereka yang awalnya non-muslim akhirnya memeluk islam. Alasan mereka memeluk islam sangatlah beragam.  Menurut Tamim Ansary dalam bukunya yang berjudul dari puncak Baghdad, ia menjelaskan bahwa banyak orang yang di wilayah-wilayah yang ditaklukkan oleh khalifah meninggalkan agama mereka yang terdahulu untuk memeluk islam. Beberapa dari mereka masuk islam untuk menghindari pajak, bahkan untuk mengejar karier. Namun ia menambahkan bahwa hal di atas adalah yang dapat dilebih-lebihkan dan bukanlah dari keseluruhan cerita, karena menurutnya setelah berpindah agama, seorang muslim memang tidak diwajibkan membayar pajak, namun ia tetap mempunyai kewajiban untuk membayar zakat. Mengenai perpindahan agama untuk mengejar karir, di bawah pemerintahan khalifah, seorang non muslim juga diberikan hak untuk memiliki tanah, menjalankan usaha, menjual barang dan menjalankan bisnis. Bahkan mereka diizinkan untuk bekerja dengan pemerintah jika mereka memang memiliki kemampuan dan keterampilan.

Dalam kerajaan islam siapapun bisa menjadi orang kaya dan terkena. Hal ini disebabkan karena para bangsawan muslim tidak ragu-ragu dalam memilih siapapun untuk bekerja bersama mereka. Mereka akan dengan gampang memilih orang Kristen sebagai dokter jika ia memang memiliki kemampuan dan ahli di bidang tersebut. Jika ada golongan non-muslim yang mengerti bangunan maka ia akan menjadi arsitek. Hal ini sama sekali tidak berpengaruh pada agama mereka baik mereka seorang dengan agama-agama ‘Ibrahimi’, bahkan agama Zoroaster yang kepercayaannya begitu jauh dari islam. Menurut pendapatnya, kebanyakan orang masuk islam dibawah pemerintahan kaum muslim adalah karena islam terlihat seperti kebenaran. Juga alasan karena pada saat itu Dunia tengah memiliki otot yang rasa percaya diri dan aura yang keberhasilan yang begitu pasti, dan siapa yang tidak ingin bergabung dengan ummah jika mereka memiliki kemampuan yang besar?.

Kelas sosial selanjutnya adalah yang berada setelah kelas para muallaf adalah kelas yang diduduki oleh para anggota-anggota sekte. Anggota sekte yang dimaksud disini adalah mereka-mereka yang disebut dengan ahl ad-zimah atau mereka-mereka yang memiliki kitab suci, mereka adalah orang-orang yang telah mengikat perjanjian dengan orang islam, yakni orang-orang Yahudi, Kristen, dan Saba. Kristen Santo Yahya, yang hingga saat ini masih tinggal di lembah sungai Eufrat identik dengan orang Mandea, al-Qur’an menyebut mereka dengan sebutan Orang Saba sebanyak tiga kali. Penjelasan dari al-Qur’an ini juga dikuatkan dengan tindakan yang diperlihatkan nabi Muhammad terhadap mereka. Nabi Muhammad juga memandang mereka sebgai orang-orang yang mempercayai tuhan, mereka diberi perlindungan di bawah kepemimpinan islam namun dengan syarat tetap membayar pajak

Orang-orang non-Muslim yang membayar pajak dan diberi perlindungan oleh pemerintah islam disebut dengan sebutan kafir Dzimmi. Pajak yang mereka bayar merupakan pajak tanah dan pajak kepala, pajak ini diberikan kepada pemerintah Islam. Tidak hanya diizinkan tinggal dan diberi perlindungan, dalam lingkup hukum kehidupan bermasyarakat, mereka tidak harus mengikuti dan tunduk pada aturan-aturan agama islam. Namun hal ini akan berbeda jika mereka terlibat dengan seorang muslim.

Kafir Dzimmi awalnya hanya tidak diartikan begitu luas, yang disebut kafir Dzimmi seperti yang dijelaskan al-Qur’an awalnya hanyalah kalangan ahl kitab. Namun seiring berjalannya waktu makna ini semakin diperluas. Kaum Zoroaster (majusi), penyembah berhala, yang tidak termasuk kedalam golongan Samawi juga dikatakan Dzimmi.

Kelas sosial keempat atau kelas terendah adalah masyarakat dari golongan budak. Sistem perbudakan merupakan tradisi lama yang telah dianut oleh kaum Semit kuno. Meskipun umat islam saat itu juga menggunakan tradisi perbudakan, namun sistem perbudakan dalam islam memiliki aturannya yang lebih jelas mengenai ini. Hukum dalam islam melarang seorang muslim untuk memperbudak kerabatnya seagama, namun tidak pula menjanjikan kebebasan bagi budak non-Muslim yang akhirnya memeluk islam. Pada masa awal islam, budak berasal dari tawanan perang, termasuk wanita dan anak-anak, dan didapatkan dengan cara membeli atau menyergap rombongan musuh.

Bersambung...

Bagian sebelumnya

Menangislah Ketika Membaca Al-Quran

Termasuk bagian adab dari membaca Al-Quran adalah berusaha untuk menangis, bersedih dan khusuk. Di dalam sya'bul iman karya Baihaqi dari Sa'ad bin Malik secara marfu: "Sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan dengan kesedihan, maka jika kalian membacanya, menangislah dan jika tidak bisa, maka berpura-puralah menangis".

Menurut riwayat Thabrani, "Manusia yang paling baik bacaannya adalah seseorang yang jika membaca Al-Quran, dia akan berusaha untuk bersedih".

Dalam  syarah muhadzab dijelaskan, "cara agar bisa menangis adalah dengan memperhatikan ancaman-ancaman yang dibacanya dan perjanjian-perjanjian yang ada di dalamnnya. Kemudian dia memikirkan kekurangannya pada hal-hal itu. Jika pada waktu memikirkan, dia masih tidak dapat menangis dan bersedih, hendaklah dia menangis karena tidak dapat melakukannya, sesungguhnya hal itu termasuk musibah".

Selain itu hal yang paling penting dalam membaca quran adalah merenungi dan memahami setiap bacaan. Sebab dengannya, insyaAllah hati akan menjadi lapang dan bersinar. Allah Ta'ala berfirman, "kitab yang aku turunkan kepada mereka agar mereka merenungi ayat-ayatnya" (QS. Shad: 29).

Imam Asy-Suyuti dalam Al-itqan menjelaskan, agar dapat merenungi setiap bacaan, maka sibukkan hati memikirkan makna dari kata yang ia baca, dan memperhatikan perintah maupun larangan dalam bacaan serta meyakini akan menerima hal itu. Jika dia telah berbuat salah pada masa lalu maka dia meminta ampun dan beristighfar. Jika melewati ayat tentang rahmad, dia merasa gembira dan memohon. Jika melewati ayat tentang siksa, dia merasa sedih dan meminta perlindungan. Jika ia melewati ayat tentang penyucian Allah, maka dia pun menyucikan-Nya, dan jika ayat tentang doa, dia merendah diri dan berdoa.

Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah ketika membaca Al-Quran, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim dari Hudzaifah, "aku shalat bersama Rasulullah pada suatu malam. Maka beliau memulai dengan membaca al-Baqarah, kemudian An-Nisa, lalu Al-Imran. Beliau membacanya dengan lepas, jika melewati ayat tentang tasbih, beliau mengucapkan tasbih. Jika beliau melewati ayat permohonan, beliau memohon. Jika melewati ayat tentang perlindungan, beliau memohon perlindungan".

Disadur dari: Al-Itqan fi Ulumil Quran, Imam Jalaluddin Asy-Suyuti

Fiqih Arsitektur, bag. 1

Oleh: Saiful Hadi

Ulama terdahulu dalam menyusun kitab-kitab fiqih mereka, umumnya membuat sistematika dalam karyanya menjadi empat pokok pembahasan utama, yaitu mengenai ibadah, muamalah, munakahat dan jinayat. Dan sering kita dapati pada kitab klasik, pembahasan pertama dalam masalah ibadah umumnya dimulai dengan mengupas bab thaharah. Bab ini dirasa amat penting karena erat sekali hubungannya dengan shalat yang merupakan rukun islam kedua.

Selain itu, dengan adanya bab ini menunjukkan betapa islam sangat menjujung tinggi nilai-nilai kebersihan, ada banyak hadist Rasulullah yang membahas tentang hal tersebut, dan bahkan kebersihan itu sendiri merupakan salah satu cabang dari keimanan.

Konsep Daur Ulang Air

Dalam pembahasan fiqih mazhab syafie, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Ghayah wa Taqrib karya Imam Abu Sujak, disebutkan bahwa secara kualitas air terbagi menjadi empat macam, yaitu, air mutlaq, mustakmal, musyammas, dan mutanajis. Dari empat macam jenis air tersebut, hanya air mutlaq saja yang boleh digunakan untuk bersuci, sementara air mustakmal biarpun statusnya masih suci namun tidak bisa digunakan untuk bersuci.

Air Mustakmal didefinisikan sebagai  air yang telah digunakan untuk bersesuci; baik mensucikan hadats maupun najis. Air tersebut masih dianggap suci namun kehilangan kemampuan untuk mensucikan, biarpun begitu masih boleh dipakai untuk keperluan lain seperti untuk dijadikan air minum.

Para ulama menjelaskan, air mustakmal jika dikumpulkan pada suatu tempat sehingga volumenya menjadi 2 kullah, maka air tersebut statusnya kembali menjadi air yang mutlaq  sehingga bisa digunakan untuk bersuci. Menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqh wa Adilatu, air 2 kullah jika dikonversi dalam satuan modern setara dengan 270 liter.

Beranjak dari data-data tersebut, penggunaan air akan sangat efisien karena dapat didaur ulang. Dan tentu saja ketika dapat didaur ulang akan sangat menghemat pengunaan air. Sementara belakangan ini, ditempat-tempat ibadah, baik mesjid maupun musallah, air terbuang begitu saja setelah dipakai untuk berwudhu. Hal ini juga tidak terlepas dari desain tempat wudhu yang memang belum terintegrasi dengan sarana daur ulang air. Kenyataan ini mungkin juga sebagai akibat dari dikotomi agama dengan ilmu-ilmu umum.

Sebuah mesjid harusnya bukan hanya sekedar mempunyai bentuk yang indah, tapi juga mempunyai sarana sanitasi yang bersih dan suci sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Supaya dapat tercapai maksud tersebut, tentu saja seorang arsitek tidak hanya dituntut agar paham dalam hal mendesain, tapi sedikit banyak juga harus punya pemahaman tentang masalah fiqih.

Bersambung...

Iman Tidak Nikmat karena Terhijab

seseorang yang sedang sakit tak akan pernah bisa merasakan kelezatan makanan,karena rasa sakit ini telah membuat hijab shg tidak bisa meraskan kenikmatan. begitupun jua dengan iman..kita tak akn pernah merasakn kelezatannya jika masih terhijab oleh nafsu dunia..karena nafsu ini adlah penyakit.

-Quote