Semua Ada Perannya

Tidak semua orang menjadi nahkoda, tentu ada awak kapalnya.
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya kita.
Yang terpenting bagi kita adalah memberikan manfaat bagi sesama,
dan berbuat paripurna dalam setiap peran yang harus kita perankan...

#quote - qultu man ana

Bahagia itu Sederhana

Bagi Penulis, bahagia itu adalah ketika tulisannya mudah dipahami orang.

Quote : Tasawuf modern - Buya Hamka

Seharusnya Kita Malu

Oleh: Saiful Hadi

Seharusnya kita malu, ulama-ulama tempoe dulu ditengah keterbatasan sarana dan prasarana, namun mereka kaya akan karya. Keseharian mereka tidak lepas dari aktivitas belajar mengajar maupun menyusun karya tulis ilmiyah.

Misal saja seperti Imam At-Thabari, sang empu tafsir At-Thabari yang fenomenal itu, dalam riwayat disebutkan bahwa setiap harinya beliau menulis tidak kurang dari empat puluh lembar halaman, dan aktivitas itu beliau lakukan selama empat puluh tahun.

Jika kita kalkulasikan secara hitung-hitungan kasar, selama empat puluh tahun itu berarti beliau telah menulis sebanyak 576000 lembar, jika sebuah buku berisi 1000 lembar, berarti selama waktu tersebut beliau telah menyelesaikan karya tulis sebanyak 576 buku. Sungguh luar biasa, pada waktu itu tentu saja belum ada laptop, microsoft word, maupun printer, namun hanya alat tulis sederhana dan kertas dengan kualitas yang jauh tertinggal dibandingkan dengan yang kita lihat sekarang.

Dan yang masih membuat kita berdecak kagum, karya karya mereka masih ditelaah dan dijadikan rujukan sampai hari ini, padahal sang pengarang telah wafat beratus-ratus tahun yang lalu. Inilah yang namanya keberkahan yang merupakan buah dari keiklasan. 

Jika kita buka kitab-kitab para ulama, mereka selalu menyebut dirinya sebagai al-fakir sebagai sikap tawadhu guna terhindar dari kesombongan. Mereka sadar bahwa ilmu merupakan anugrah yang patut untuk disyukuri, bukan sarana untuk berbangga-bangga diri.

Seharusnya kita yang hidup di abad modern ini merasa malu dengan mereka. Betapa tidak, berada di zaman yang penuh dengan limpahan fasilitas modern namun malah miskin karya. Kita terlalu manja, terkadang listrik padam dijadikan kambing hitam yang menghambat aktivitas kerja, padahal dulunya di bawah lentera berbahan bakar minyak mereka bisa melahirkan ratusan karya.

Ada Rahasia Dibalik Rahasia



Allah Ta'ala merahasiakan beberapa hal dalam beberapa hal. diantaranya, Dia rahasiakan ridha Nya yang tersimpan didalam perbuatan taat, bisa jadi itu berada dalam shalat, puasa atau bahkan hanya sekedar senyuman saja, hal ini agar kita sebagai hamba tidak meremehkan sebuah amalan biarpun ukurannya sangat kecil menurut kita, karena bisa jadi pada hal yang kecil itulah Allah Ta'ala ridha terhadap kita.

Demikian juga, Allah ta'ala merahasiakan murkanya dalam maksiat, kita tak pernah tahu maksiat yang mana yang menyebabkan datangnya murka Allah Ta'ala. untuk itu jangan remehkan maksiat biarpun sangat kecil ukurannya karena bisa jadi karena hal kecil itulah Allah menjadi murka.
bukankah kita sering tergelincir karena kerikil yang kecil?

Bukankah prosesor pada smartphone juga kecil? namun siapa sangka yang kecil ini lebih dahsyat kinerjanya.

Keindahan Gaya Bahasa Al-Quran


Salah satu bentuk dari karakteristik "Uslub" AlQuran adalah adanya keserasian antara kata dan makna, keselarasan antara ucapan dgn maksud, serta kefasihan kata dan kematangan makna. Sebagai contoh, ada yang menyatakan bahwa alasan diimalahkannnya kata “majraha” adalah untuk membedakan antara kata “majraha” yang berarti berjalan di daratan dengan kata “majraha ” yang berarti berjalan di laut.

Menurut kamus kontemporer bahasa Arab “Mu’jam al-lughah al-Arabiyyah al-mu’ashirah , kata “majraha” berasal dari kata “jara” yang artinya berjalan atau mengalir dan kata tersebut bisa digunakan baik berjalan di atas daratan maupun di atas air, hanya saja kecendrungannya perjalanan kendaraan (misalnya kapal laut) di air tidak stabil sebagaimana di darat. Adakalanya dihempas oleh ombak atau terpaan angin besar, sehingga sangat rasional bila kata “majraha” itu diimalahkan menjadi "majreha" (Surat Hud ayat 41)

[berbagai sumber]


Perbedaan Adalah Hal yang Lumrah


Perbedaan adalah hal yang lumrah terjadi dalam permasalahan fiqih, biarpun dalilnya sama belum tentu menjamin bakal menghasilkan pemikiran yang sama, sebagai contoh dalam masalah wudhu,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah: 6)
Para imam Qira’at kita berbeda pendapat dalam bacaan ayat ini. Ibnu Amir, Nafi’, dan Al-Kisa’i membaca “waarjulakum” dengan harkat fathah (di atas) pada huruf lam, sedangkan Ibnu Katsir, Abu Amr, dan Hamzah membacanya dengan “waarjulikum” dengan harkat kasrah (dibawah).

bagi yang membaca harkat fatah maka ketentuan untuk kaki adalah dibasuh juga sebagaimana halnya wajah dan tangan lantaran kalimat tersebut di "athafkan" ke kata tangan. sementara bagi yang membaca harkat kasrah untuk kaki cukup di usap saja seperti kepala lantaran kalimat tersebut di "athafkan" ke kepala. Namun dalam masalah ini mayoritas ulama lebih memilih membasuh kaki.