Jika Allah Ta'ala telah menanggung rezki setiap makhluk,
untuk apa kamu merasa bingung dengan rezki?
jika rezki itu dibagikan Allah Ta'ala, untuk apa tamak?
jika Allah telah berjanji akan mengganti apa yang kita keluarkan,
dan mustahil bagi-Nya menyalahi janji, untuk apa kikir?
Jika surga itu benar, untuk apa bersenang2 di dunia?
Jika neraka itu benar, untuk apa bermaksiat di dunia?
Dan jika segala sesuatu berjalan dengan
qadha dan qadar-Nya, untuk apa bersedih?
- Imam Ahmad bin Hanbal
Majlisus Saniyah, Syarah Hadis Arbain Nawawi no.19
www.catatanfiqih.com | @catatanfiqih | fb.com/catatanfiqih
Khutbah Jumat: Penyebab Lemah Iman
Oleh: Tgk. H. Muhammad (*)
Perkara iman merupakan hal terpenting dalam kehidupan seorang muslim, sebab keimananlah yang menjadi faktor penentu terhadap nasib seorang hamba baik di dunia maupun di akhirat. Keimanan merupakan wasilah untuk memperoleh rahmat dari Allah Ta’ala berupa syurga, dan sebaliknya, murka Allah akan diberikan bagi hamba-hambanya yang tidak beriman.
Kadangkala keimanan dalam dada bisa menjadi surut, sebenarnya hal ini sudah dimaklumi karena ada banyak nash yang membahas perihal bertambah dan berkurangnya iman.
Selain itu, tingkatan-tingkatan keimanan pun ada yang membagi menjadi level mukhlis, muttaqin, muhsin, mukmin dan muslim. Semua ini menunjukkan bahwa level keimanan tidak berada dalam satu martabat, ini menandakan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang.
Mengenai bertambah dan berkurangnya keimanan, dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:
"Iman itu kadang naik kadang turun, maka perbaharuilah iman kalian dengan la ilaha illallah." (HR Ibn Hibban)
Jika direnungkan secara mendalam, setidaknya ada tiga faktor utama yang berpengaruh terhadap melemahnya keimanan, yaitu:
1. Minimnya Ilmu Pengetahuan
Ketika kaum muslimin telah mulai jauh dari ilmu dan tidak lagi mau menuntutnya, maka ia akan semakin jauh dari agama Allah Subhanahu wa Ta’aala.
Ilmu akan membuat seseorang mulia, akan membuat seseorang takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’aala dalam al-Qurân:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
"Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah adalah orang-orag yang berilmu (para ulama). (QS Surat Fathir: 28)
Ilmu mengenal Allah akan melahirkan sifat takut terhadap Allah. Sifat takut ini akan membawanya untuk meninggalkan larangan Allah dan istiqamah diatas agama Allah. Sementara kebodohan bisa menjerumuskan manusia kepada kesesatan dan kekafiran tanpa ia sadari dan orang yang berilmu lebih ditakuti syetan daripada seratus ahli ibadah.
2. Pengaruh Lingkungan
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda,
“Perumpamaan teman yang shalih dengan yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum karena kamu bisa membeli minyak wangi darinya atau sekurang-kurangnya mencium bau wanginya. Sementara berteman dengan pandai besi akan membakar badan dan bajumu atau kamu hanya akan mendapatkan bau tidak sedap”. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadis di atas, Rasullah mengajarkan supaya kita tidak terseret kepada situasi yang rusak di lingkungan kita. Lingkungan yang baik insyaAllah juga akan memberi pengaruh yang baik, dan sebaliknya lingkungan yang buruk bisa berakibat buruk jika tidak sanggup untuk melawan arus yang ada.
Kita harus memiliki keberanian untuk meninggalkan lingkungan yang membuat kita jauh dari Allah Swt. Dan pergi sejauh mungkin dari lingkungan yang malah menjerumuskan kita kepada kemaksiatan, kemunafikan atau kekufuran.
Tidak perlu ragu untuk keluar dari tempat kerja yang dipenuhi oleh perbuatan dosa yang tidak mampu kita lawan atau kita perbaiki. Dan tidak perlu takut kehilangan penghasilan, yakinlah sesungguhnya Allah Swt Maha Penjamin Rezeki. Jika orang kafir saja Allah Ta’ala jamin rezekinya, apalah lagi kita yang mengimani Allah Swt dan senantiasa berupaya menghindari kemaksiatan dan dosa.
3.Fakir
Mengutip perkataan Imam al-Ghazali yang menerangkan bahwa kefakiran mendekatkan untuk terjerumus ke dalam kekufuran, Al-Munawi dalam Faidhul Qadir menuliskan, "Karena kefakiran (kemiskinan) menyebabkan orang untuk hasud kepada orang kaya. Sedangkan hasud akan memakan kebaikan. Juga karena kemiskinan mendorongnya untuk tunduk kepada mereka dengan sesuatu yang merusak kehormatannya dan membuat cacat agamanya, dan membuatnya tidak ridha kepada qadha' (ketetapan Allah) dan membenci rizki. Yang demikian itu jika tidak menjadikannya kufur maka itu mendorongnya ke sana. Karenanya Rasulullah saw dalam sebuah doa memohon perlindungan dari kefakiran dan kekufuran.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ
"Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kefakiran dan kekufuran serta adzab kubur." (HR. Abu Dawud, Al-Nasai, dan Ahmad)
Namun demikian, kefakiran bukanlah sesuatu yang buruk dan tercela. Karena sesungguhnya kaya-miskin merupakan ketentuan Allah. Dia melapangkan rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Begitu juga sebaliknya, menyempitkan rizki dan membatasinya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia sengaja membuat perbedaan itu dengan hikmah yang Dia ketahui.
Untuk itu, umat islam harus kuat secara ekonomi, dan menyalurkan zakat kepada setiap mustahiknya, sehingga dengan demikian akan terjembatani antara orang kaya dan miskin, dan menghilangkan kesenjangan sosial antara keduanya.
(*) Khutbah Jumat
Khatib: Tgk. H. Muhammad, Ketua MPU Aceh Besar
Tempat: Mesjid Raya Baiturrahman - Aceh
Tanggal: 21 April 2017
Belajar dari Imam Ahmad, Ilmu Harus Diperjuangkan
Membumikan Hijab, bag. 1
Oleh: Salman Al Farisi, M.Pd.I
Dewasa ini sering kita menjumpai berbagai maksud dan tujuan manusia dalam konteks melaksanakan syariat Islam, ada yang sekedar menjalankan rutinitas, pencitraan diri, merasa tidak enak dengan keluarga baik itu mertua bagi menantu, ibu bapak bagi seorang anak, istri bagi suami dan juga sebaliknya.
Bahkan, ada yang supaya memuluskan niat dan hasratnya mewujudkan maksud duniawi seumpama menjadi kepala daerah, anggota legislatif, ketua RT/RW, lurah, pimpinan lembaga atau organisasi tertentu yang mempunyai nilai prospek ke depannya.
Kesemuanya itu jauh dari tujuan sebenarnya menjalankan syariat yaitu dengan niat ikhlas mengharap ridha Allah SWT agar menjadi sebuah amal ibadah yang bermanfaat dunia akhirat dan merupakan kewajiban yang mutlak harus dilaksanakan per individu yang telah memenuhi syarat taklif yang ditentukan, padahal seandainya niat mengerjakan itu semua sesuai dengan yang telah digariskan Allah SWT dan rasulnya maka perkara yang bersifat duniawi pasti mengikuti juga, seumpama orang makan kalau berniat untuk menambah kekuatan dan semangat melaksanakan ibadah maka pahala pun didapat dan kenyang juga dirasakan.
Faktor penyebabnya tidak lain dikarenakan pemahaman individu bersangkutan terhadap esensi dasar dari disyariatkannya kewajiban tersebut yang belum matang dan utuh dipahami, sehingga dilapangan bisa kita melihat terkesan setengah-setengah dalam aplikasinya dan bahkan semaunya saja yang menurut anggapan mereka bisa disamakan dengan perkara-perkara yang bersifat duniawi yang notabenenya diprakarsai oleh orang- orang diluar Islam pada kebanyakan.
alangkah amat miris kita saksikan dikala syariat Islam yang oleh penganutnya sendiri sudah menganggap sepele, menunda-nunda, merasa seolah-olah diri belum siap bahkan ada yang selalu berpatokan Tuhan amat pemurah, pengampun dan penyayang sehingga dikala usia menginjak senja baru memulainya dengan dalih bertaubat, seolah-olah usia itu bisa kita kendalikan menurut kemauan kita, dan seakan- akan tidak sadar bahwa usia tua itu bukan masa yang ideal untuk “menikmati” perintah Allah, dan menjalankan sunnah rasul, padahal usia muda lah yang menentukan sikap hidup kita ketika tua, dan pelatihan ibadah menjalankan syariat Islam itu lah ketika masa muda, konsekwensinya agar di usia tua nantinya sudah terbiasa. Usia tua sangat rentan terhadap penyakit, fisik lemah, pikiran lemah, dan saat-saat menunggu ajal pun semakin dekat.
Syeikh Al-Maududi adalah seorang ulama yang sangat keras menyangkut fenomena seperti itu. Bagi beliau, kalau kita ingin masuk ke dalam agama Islam tidak boleh setengah-setengah. “Ya atau tidak sama sekali!”. Harus tegas dan tidak boleh semaunya. Bahkan dalam bahasa yang lebih ekstrim beliau mengatakan kalau ada ummat Islam yang justru hanya akan bikin malu ummat Islam yang lain karena tidak mampu berIslam dengan benar, lebih baik keluar saja dari Islam. Keras, memang!
Bersambung...
Penulis adalah Alumni Pesantren MUDI MESRA, Samalanga
Dan Alumni Pasca Sarjana Prodi Pendidikan Islam, Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam, UIN SUSKA Pekanbaru, Riau.