Oleh: Salman Al Farisi, M.Pd.I
Dewasa ini sering kita menjumpai berbagai maksud dan tujuan manusia dalam konteks melaksanakan syariat Islam, ada yang sekedar menjalankan rutinitas, pencitraan diri, merasa tidak enak dengan keluarga baik itu mertua bagi menantu, ibu bapak bagi seorang anak, istri bagi suami dan juga sebaliknya.
Bahkan, ada yang supaya memuluskan niat dan hasratnya mewujudkan maksud duniawi seumpama menjadi kepala daerah, anggota legislatif, ketua RT/RW, lurah, pimpinan lembaga atau organisasi tertentu yang mempunyai nilai prospek ke depannya.
Kesemuanya itu jauh dari tujuan sebenarnya menjalankan syariat yaitu dengan niat ikhlas mengharap ridha Allah SWT agar menjadi sebuah amal ibadah yang bermanfaat dunia akhirat dan merupakan kewajiban yang mutlak harus dilaksanakan per individu yang telah memenuhi syarat taklif yang ditentukan, padahal seandainya niat mengerjakan itu semua sesuai dengan yang telah digariskan Allah SWT dan rasulnya maka perkara yang bersifat duniawi pasti mengikuti juga, seumpama orang makan kalau berniat untuk menambah kekuatan dan semangat melaksanakan ibadah maka pahala pun didapat dan kenyang juga dirasakan.
Faktor penyebabnya tidak lain dikarenakan pemahaman individu bersangkutan terhadap esensi dasar dari disyariatkannya kewajiban tersebut yang belum matang dan utuh dipahami, sehingga dilapangan bisa kita melihat terkesan setengah-setengah dalam aplikasinya dan bahkan semaunya saja yang menurut anggapan mereka bisa disamakan dengan perkara-perkara yang bersifat duniawi yang notabenenya diprakarsai oleh orang- orang diluar Islam pada kebanyakan.
alangkah amat miris kita saksikan dikala syariat Islam yang oleh penganutnya sendiri sudah menganggap sepele, menunda-nunda, merasa seolah-olah diri belum siap bahkan ada yang selalu berpatokan Tuhan amat pemurah, pengampun dan penyayang sehingga dikala usia menginjak senja baru memulainya dengan dalih bertaubat, seolah-olah usia itu bisa kita kendalikan menurut kemauan kita, dan seakan- akan tidak sadar bahwa usia tua itu bukan masa yang ideal untuk “menikmati” perintah Allah, dan menjalankan sunnah rasul, padahal usia muda lah yang menentukan sikap hidup kita ketika tua, dan pelatihan ibadah menjalankan syariat Islam itu lah ketika masa muda, konsekwensinya agar di usia tua nantinya sudah terbiasa. Usia tua sangat rentan terhadap penyakit, fisik lemah, pikiran lemah, dan saat-saat menunggu ajal pun semakin dekat.
Syeikh Al-Maududi adalah seorang ulama yang sangat keras menyangkut fenomena seperti itu. Bagi beliau, kalau kita ingin masuk ke dalam agama Islam tidak boleh setengah-setengah. “Ya atau tidak sama sekali!”. Harus tegas dan tidak boleh semaunya. Bahkan dalam bahasa yang lebih ekstrim beliau mengatakan kalau ada ummat Islam yang justru hanya akan bikin malu ummat Islam yang lain karena tidak mampu berIslam dengan benar, lebih baik keluar saja dari Islam. Keras, memang!
Bersambung...
Penulis adalah Alumni Pesantren MUDI MESRA, Samalanga
Dan Alumni Pasca Sarjana Prodi Pendidikan Islam, Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam, UIN SUSKA Pekanbaru, Riau.
COMMENTS