Faraidh, Ilmu yang Mulai Terlupakan


Oleh: Saiful Hadi

Ilmu faraidh merupakan ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam Islam. Melalui ilmu ini, harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia dapat dibagikan secara adil kepada orang yang berhak menerimanya. Dengan adanya ilmu ini sekaligus dapat mencegah timbulnya perselisihan karena perebutan harta warisan.

Dewasa ini, dimana pengetahuan dan teknologi semakin berkembang pesat. Namun dalam hal pembagian harta warisan malah kembali ke zaman jahiliyah dikarenakan awamnya pemahaman terhadap ilmu mawaris. Permasalahan yang muncul sekarang adalah selain tidak paham ilmunya juga sangat jarang dikaji secara mendalam.

Faktor media terutama televisi juga banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam hal warisan. Tidak jarang kita saksikan, orang yang seharusnya tidak mendapat bagian warisan tapi dengan bermodalkan surat tertentu tiba-tiba sudah mendapatkan bagian. tontonan yang harusnya hanya berupa tontonan namun mirisnya sudah diajadikan tuntunan, walhasil pembagian harta warisan dilakukan menurut adat istiadat yang berlaku bukan melalui ketentuan syariat.

Faraidh, Ilmu yang Begitu Penting

Ilmu mawaris menjadi penting untuk dipelajari, salah satu alasannya adalah karena terdapat perintah khusus dari Rasulullah agar dipelajari dengan seksama. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Dalam hadist di atas terdapat perintah yang tegas dari Rasulullah agar belajar serta mengajarkan ilmu faraidh. Secara kaidah usul fiqih, setiap kalimat "amar" atau perintah selama tidak ada indikasi yang memberi pemahaman ke arah sunah atau mubah maka hukumnya adalah wajib. Sehingga mempelajari ilmu faraidh adalah sebuah kewajiban, setidaknya wajib secara kifayah.

Sementara seperti ibadah shalat, puasa, zakat maupun haji, tidak terdapat nash khusus yang menganjurkan untuk mendalami ilmu mengenai tata caranya, yang ada hanya perintah mengenai kewajiban ibadahnya saja. Hal inilah yang membuat ilmu faraidh menjadi istimewa.

Faraidh, Ilmu yang Mudah Terlupa

Selain itu, ilmu ini menjadi begitu penting karena begitu mudah dilupakan, dan termasuk ilmu yang pertama kali akan dicabut oleh Allah Ta'ala. Dalam hadist yang lain, Rasulullah menyatakan:
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Hadits ini juga menjadi landasan bagi kita yang menganjurkan untuk menghidupkan kajian-kajian yang secara khusus membahas dan mengajarkan ilmu faraidh. Dan lagi, ilmu waris merupakan setengah dari semua cabang ilmu, sehingga amat berhak untuk dipelajari secara mendalam. Namun yang terjadi selama ini, pelajar lebih memilih mendalami ilmu matematika karena khawatir tidak lulus ujian akhir, padahal ilmu faraidh harus lebih diprioritaskan, dan sebenarnya dengan mempelajari matematika akan lebih mudah dalam memahami faraidh.

Kemudian, berdasarkan hadist tersebut, memberi gambaran kepada kita bahwa belajar agama itu bukan hanya masalah wudhu dan shalat saja. Sebab islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk masalah pembagian harta warisan ini.

Selain alasan-alasan yang tersebut di atas, mempelajari ilmu faraidh merupakan langkah nyata dalam upaya penegakan syariat. Selama ini kita beranggapan bahwa syariat islam itu hanya masalah potong tangan dan rajam, padahal masalah warisan juga tidak kalah penting. Bisa dibayangkan ketika pembagian harta warisan tidak adil, besar kemungkinan bakal terjadi tindakan kriminal, baik itu pencurian, atau bahkan sampai ke tahap pembunuhan karena berebut harta warisan.

Tidak Mampu Bayar Kontan, Mahar Bisa Cicilan

Tidak Mampu Bayar Kontan, Mahar Bisa Cicilan

Oleh: Saiful Hadi

Para ulama fiqih telah panjang lebar menguraikan perihal mahar dalam kitab-kitab mereka. Mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istri tatkala ia menikahinya. Pemberian mahar ini bisa dilakukan secara tunai dan disebutkan saat akad nikah berlangsung, namun dapat juga dibayar sebagian dulu atau dengan kata lain secara cicilan. 

Nikah dengan mahar yang statusnya masih nyicil tetap sah dan tidak menjadi aib bagi para suami. Menurut para ulama fiqih, selama mahar tersebut belum dilunasi, maka makhruh bagi suami untuk menjimak istrinya, hal ini sebagaimana uraian dalam kitab Mughnil Muhtaj berikut:

.ويسن أن لا يدخل بها حتى يدفع اليها شيأ من الصداق خروجا من خلاف من أوجبه. مغني المحتاج (220 / 3)

Disunnahkan agar suami tidak menjimak dengan istri sehingga memberikan sebagian mahar, disunnahkan tersebut karena keluar dari yang mewajibkan menyebut mahar saat aqad. (Mughnil Muhtaj, Hal. 220 Juz 3)

Senada dengan Mughnil Muhtaj, dalam I'anatut Thalibin juga menyatakan demikian :

ويسن أيضا أن لا يدخل بها حتى يدفع شيئا من الصداق خروجا من خلاف من أوجبه إعانة الطالبين  (347 / 3)

Disunnahkan juga agar suami tidak menjimak istri sehingga memberi sebagian mahar, disunnahkan tersebut karena keluar dari pendapat yang mewajibkan menyebutkan mahar disaat aqad (I'anatut Thalibin, hal. 347 juz 3)

Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa tidak ada masalah biarpun mahar belum lunas, beranjak dari keterangan ini sebenarnya menjadi solusi bagi calon suami yang belum mampu membayar secara kontan kewajiban mahar yang telah ditetapkan oleh calon istri, sehingga dengan demikian perihal mahar tidak menjadi ganjalan dalam melanjutkan prosesi pernikahan, jika tidak mampu dibayar kontan maka boleh secara cicilan. Bukankah mempermudah nikah itu lebih baik guna menghindari terjadi hal-hal yang melanggar ketentuan syariat.

Short link > http://bit.ly/maharcicilan

Kenajisan Anjing dalam Pandangan Ulama Fiqih

Kenajisan Anjing dalam Pandangan Ulama Fiqih

Oleh: Ustaz Ahmad Sarwat, Lc., MA

Para ulama sepakat bahwa air liur anjing itu hukumnya najis. Namun mereka agak berbeda ketika menyebutkan apakah kalau air liuarnya najis, lantas tubuhnya juga najis.

A. Yang Disepakati Dalam Najisnya Anjing : Air Liur

Para ulama tidak berbeda pendapat ketika menyebutkan najisnya air liur anjing. Sebab ada banyak hadits shahih terkait kenajisan air liur anjing. Oleh karena itu bila sebatas air liuarnya, umumnya para ulama menyepakati kenajisannya.

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ ‏ ‏‏أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فيِ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا‏-‏متفق عليه ‏‏ ‏

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW bersabda"Bila anjing minum dari wadah air milikmu harus dicuci tujuh kali.(HR. Bukhari dan Muslim).

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُم إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Rasulullah SAW bersabda"Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. (HR. Muslim dan Ahmad)

أَنَّهُ  دُعِيَ إلَى دَارِ قَوْمٍ فَأَجَابَ ثُمَّ دُعِيَ إلَى دَارٍ أُخْرَى فَلَمْ يُجِبْ فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ: إنَّ فِي دَارِ فُلانٍ كَلْبًا، قِيلَ لَهُ: وَإِنَّ فِي دَارِ فُلانٍ هِرَّةً فَقَالَ: إنَّ الْهِرَّةَ لَيْسَتْ بِنَجِسَةٍ

Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua beliau bersabda"Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis". (HR. Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny).

B. Yang Tidak Sepakat : Apakah Tubuh Anjing Ikut Najis Juga?

Namun ketika berbicara masalah hukum kenajisan badannya, mereka terpecah setidaknya menjadi dua pendapat yang berbeda. Sebagian mengatakan bahwa tubuh anjing bukan termasuk najis, sementara sebagian yang lain menetapkan kenajisannya.

Penulis mencoba melakukan penelitian dan validasi lewat beberapa kitab para ulama yang mewakili empat mazhab. Kurang lebih hasilnya sebagai berikut :

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Para ulama mazhab Al-Hanafiyah umumnya berpendapat bahwa tubuh anjing yang masih hidup itu bukan merupakan najis 'ain. Yang najis dari anjing hanyalah air liur mulut dan kotorannya saja.

Al-Kasani (w. 587 H), salah satu dari ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya, Badai' Ash-Shanai' sebagai berikut :
وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْعَيْنِ فَقَدْ جَعَلَهُ مِثْلَ سَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ سِوَى الْخِنْزِيرِ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ لِمَا نَذْكُرُ

Dan yang mengatakan bahwa (anjing) itu tidak termasuk najis ain, maka mereka menjadikannya seperti semua hewan lainnya kecual babi. Dan inilah yang shahih dari pendapat kami.[1]

Ibnu Abdin (w. 1252 H) juga dari mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya, Radd Al-Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar, atau yang juga lebih dikenal dengan nama Hasyiyatu Ibnu Abdin, menuliskan sebagai berikut :
لَيْسَ الْكَلْبُ بِنَجِسِ الْعَيْنِ) بَلْ نَجَاسَتُهُ بِنَجَاسَةِ لَحْمِهِ وَدَمِهِ، وَلَا يَظْهَرُ حُكْمُهَا وَهُوَ حَيٌّ مَا دَامَتْ فِي مَعْدِنِهَا كَنَجَاسَةِ بَاطِنِ الْمُصَلِّي فَهُوَ كَغَيْرِهِ مِنْ الْحَيَوَانَاتِ (قَوْلُهُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى) وَهُوَ الصَّحِيحُ وَالْأَقْرَبُ إلَى الصَّوَابِ

Anjing bukan termasuk najis 'ain, kenajisannya karena daging dan darahnya yang belum menjadi najis ketika masih hidup selama ada dalam tubuhnya. Kenajisannya sebagaimana najis yang ada dalam perut orang yang shalat. Hukum anjing sebagai hukum hewan lainnya. [Dan itulah fatwanya], itulah yang shahih dan lebih dekat pada kebenaran.[2]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Al-Mazhab Al-Malikiyah juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, maka wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.

Ibnu Abdil Barr An-Namiri (w. 463 H) salah satu ulama dari mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, sebagai berikut :
ومذهب مالك في الكلب أنه طاهر

Dan pendapat mazhab Malik tentang anjing adalah bahwa anjing itu suci. [4]

Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741 H) di dalam kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah juga menuliskan hal yang sejalan bahwa semua hewan yang masih hidup termasuk anjing hukumnya suci. [5]
وَأما الْحَيَوَان فَإِن كَانَ حَيا فَهُوَ طَاهِر مُطلقًا

Sedangkan semua hewan yang hidup maka hukumnya suci secara mutlak.

3. Mazhab Asy-Syafi'iyah

Para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat.

Al-Mawardi (w. 450 H) yang bisa jadi representasi dari mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi'i sebagai berikut :

أَنَّ الْحَيَوَانَ كُلَّهُ طَاهِرٌ إِلَّا خَمْسَةً: وَهِيَ الْكَلْبُ، وَالْخِنْزِيرُ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَخِنْزِيرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ خِنْزِيرٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ

Semua hewan itu hukumnya suci kecuali lima jenis, yaitu anjing, babi, anak perkawinan anjing dan babi, anak perkawinan anjing dengan hewan suci, anak perkawinan babi dengan hewan suci. [6]

Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) yang juga merupakan icon mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya, Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin juga menetapkan kenajisan anjing.
وَأَمَّا الْحَيَوَانَاتُ، فَطَاهِرَةٌ، إِلَّا الْكَلْبَ، وَالْخِنْزِيرَ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا

Adapun hewan-hewan semuanya suci kecuali anjing, babi dan yang lahir dari salah satunya.[7]

Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya.

Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu pun secara logika juga najis, baik air kencing, kotoran atau keringatnya.

4. Mazhab Al-Hanabilah 

Dalam masalah kenajisan tubuh hewan, umumnya para ulama di dalam mazhab Al-Hanabilah punya pendapat yang sejalan dengan pendapat para ulama mazhab Asy-Syafi'iyah,yaitu bahwa tubuh anjing yang masih hidup itu najis.

Ibnu Qudamah (w. 620H) dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam salah satu kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Al-Imam Ahmad menuliskan hewan itu ada tiga macam. Pertama adalah hewan suci, kedua hewan najis dan ketiga hewan yang para ulama berikhtilaf atas kenajisannya. Pada saat menyebutkan hewan yang najis, beliau memulainya dengan anjing.

القسم الثاني: نجس وهو: الكلب والخنزير وما تولد منهما فسؤره نجس وجميع أجزائه

Jenis kedua adalah hewan najis, yaitu anjing, babi dan yang lahir dari hasil perkawinannya. Semua bagian tubuhnya najis. [8]

Syamsuddin Abul Farraj Ibnu Qudamah (w. 682 H) menuliskan dalam kitab Asy-Syarhul Kabir 'ala Matnil Muqni' sebagai berikut :

لا يختلف المذهب في نجاسة الكلب والخنزير وما تولد منهما أنه نجس عينه وسؤره وعرقه وكل ما خرج منه

Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab (Hanbali) atas najisnya anjing dan babi serta hewan yang lahir dari keduanya. Bahwa semuanya najis ain, termasuk liur, keringat dan apa-apa yang keluar dari tubuhnya. [9]

Demikian sedikit hasil penelitian di dalam kitab fiqih para ulama terkait dengan perbedaan pendapat kenajisan anjing. 

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


[1] Al-Kasani, Badai' Ash-Shanai', jilid 1 hal. 63
[2] Ibnu Abdin, Radd Al-Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar , jilid 1 hal 209
[3] Ibnu Abdil Barr An-Namiri, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1 hal. 161
[5] Ibnu Juzai Al-Kalbi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, jilid 1 hal. 27
[6] Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi'i, jilid 1 hal. 56
[7] Al-Imam An-Nawawi, Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin jilid 1 hal. 13
[8] Ibnu Qudamah, Al-Kafi fi Fiqhi Al-Imam Ahmad, jilid 1 hal. 40
[9] Syamsuddin Abul Farraj Ibnu Qudamah, Asy-Syarhul Kabir 'ala Matnil Muqni', jilid 1 hal. 284

Artikel ini disadur dari Rumahfiqih.com dengan judul: Mohon Rincian Khilafiyah Najisnya Anjing

Kisah Hikmah, Buah dari Taqwa

Buah dari Taqwa

oleh: Saiful hadi

Tersebut dalam kitab Taisirul Khallaq fil Ilmi Akhlaq buah dari Taqwa ketika di Dunia adalah terangkat derajat, memperoleh nama yang harum dan kasih sayang  dari manusia, serta disenangi oleh orang-orang kecil dan disegani orang besar. Ada sebuah kejadian menarik yang terjadi pada Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah (w.1334 H/1916 M) yang patut kita teladani, beliau adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[1]

Masa mudanya beliau gunakan untuk belajar ilmu agama ke berbagai tempat termasuk di Mekah. Ketika beliau berada di Mekah, salah satu kebiasaannya adalah mengunjungi toko Kitab milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram guna membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya beliau mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.

Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikh Ahmad Khatib muda berlanjut hingga menjadikannya sebagai menantu. Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putri pertamanya yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Awalnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sempat ragu menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang mengenai keadaannya, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.

Tentang pengambilan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’

Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).

Ternyata pernikahan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.

Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk kedua kalinya kembali menikahkan Syaikh Ahmad Khatib dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik.

Maha benar Allah Ta'ala dengan segala firmannya, dan itulah salah satu contoh nyata dari sikap taqwa.  Semoga kita pun bisa mengikuti jejak-jejak beliau.

"...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar." (QS. At Thalaq: 2)
"...Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. At Thalaq:3)
"...dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya." (QS. At Thalaq: 4)

catatan kaki

Guru itu Lentera Kehidupan

Guru itu Lentera Kehidupan

Guru merupakan propesi yang mulia. Seorang guru ibarat lentera yang menerangi gulita. Perilaku terbaik dari serorang guru ialah sebagaimana dikatakan:
"Siapa yang mempelajari suatu ilmu, kemudian mengamalkannya dan setelah itu mengajarkannya kepada orang lain, maka ia termasuk kelompok yang disebut sebagai pembesar di kerajaan Langit".

Dalam kitab Ihya, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa tidak sepetutnya seorang guru berlaku seperti sebatang jarum yang mengaitkan benang dengan kain, sementara ia sendiri berlepas dari keduanya, atau laksana sebatang lilin yang menerangi lingkungan di sekitarnya namun malah membakar dirinya sendiri.

Menekuni propesi sebagai seorang guru merupakan hal yang sangat mulia. Oleh karena itu ia harus senantiasa menjaga adab dan tugas yang menyertainya. Meskipun seorang guru berjasa atas ilmu yang didapat oleh para muridnya, namun murid-muridnya juga berjasa atas dirinya. Karena ada muridlah yang menjadi sebab ia bisa dekat kepada Allah ta'ala, dengan cara menamkan iman dan taqwa dalam hati sang murid.

Guru adalah penuntun murid untuk menyempurnakan ilmu dan makrifat. Syarat  menjadi guru memiliki sikap terpuji sebab ruh murid masih lemah dibandingkan gurunya, apabila guru bersifat sempurna, murid akan menyesuaikan diri dengan gurunya.

Maka seorang guru mestinya bertaqwa, tawadhu (merendahkan hati), berlaku lemah lembut, agar murid simpatik padanya, maka akan bermanfaat untuk murid tersebut. Seorang guru juga harus bijaksana, sopan santun supaya murid mengikutinya, disamping itu harus ada rasa kasih sayang pada murid agar menyukai apa yang diajarkan, dan gurupun selalu menasehati dan mendidik kesopanan serta memperbaiki adab muridnya dan tidak membebankan mereka dengan suatu pemahaman yang  tidak mampu mereka pikirkan.

Untuk itu sampaikanlah ilmu sesuai dengan kapasitas telinga pendengar. Anak usia play grup tentu saja akan sulit memahami persamaan aljabar, yang lebih cocok untuknya adalah pengenalan angka-angka. Sebagaimana sebuah pepatah "tempatkan sesuatu menurut tempatnya masing-masing", sehingga dengan demikian akan lebih terarah dan tercapai target.

Rujukan:
- Ihya Ulumuddin bab Ilmu dan Belajar,
- Taisirul Khallaq Bab Adab Guru.