Kenapa Tidak Mengaji Langsung pada Kitab Al-Umm ?


Oleh: Muhammad Iqbal Jalil

Ada sebagian orang yang suka nyinyir, kenapa di Pesantren gak ada kitab Al-Umm dalam kurikulum pembelajaran. Kenapa kitab Minhaj Al-Thalibin atau kitab Imam Nawawi lainnya serta syarahannya yang dijadikan kurikulum pembelajaran? Sehingga ada sebagian orang yang over pede menjadi Guru untuk mengajar kitab Al-Umm pada majelis pengajian umum, berhubung gak bakal ada yang debat 😀😀, Padahal perjalanan mazhab Syafi’i gak sesederhana itu dan pendapat Imam Syafii bukan hanya apa yang tertulis dalam kitab Al-Umm saja.

Orang-orang seperti ini kemungkinan besar gak pernah belajar kitab-kitab Fuqaha Syafi'iyyah secara berjenjang, jangan lagi untuk belajar historiografi mazhab Syafii secara utuh. Ia gak faham fase-fase dan periodesasi perkembangan mazhab sampai pada fase purifakasi (tanqih wa tarjih) dan fase istiqrar (kemantapan).

Pertanyaan seharusnya adalah kenapa kitab Al-Umm tidak dijadikan buku induk pengembangan kitab-kitab dalam Mazhab, padahal ia merupakan rujukan utama untuk memahami riwayat pendapat Jadid Imam Syafii? Kitab yang dijadikan induk yang darinya bermuara berbagai kitab dalam mazhab Syafii adalah Mukhtasar Muzani seperti skema pada gambar di bawah. Tentu saja ini adalah suatu hal yang layak dipelajari.

Dalam kitab Al-Mu'tamad 'inda Syafi'iyyah dijelaskan bahwa kitab Al-Umm yang dicetak sekarang merupakan bentuk susunan yang diprakarsai oleh Siraj Al-Bulqini (W 805 H). Beliau menyusun ulang kitab Al-Umm sesuai urutan kitab Fuqaha Syafi'iyyah yang mengikuti pola kitab Mukhtasar Muzani pada susunan ilmu fiqh dalam berbagai bab dan Masail. Hal ini (penyusunan ulang) disebabkan oleh karena Rabi' (Al-Muradi) dalam menulis kitab Al-Umm tidak menyusun kitab ini sesuai urutan bab fiqhiyyah, tetapi meriwayatkannya secara tidak berurutan.

Perlu dipahami bahwa semua mazhab fiqh yang empat yang bertahan sampai sekarang punya cara penyebaran tersendiri dan memiliki usul mazhab yang berbeda antara satu sama lain. Pendapat pendiri mazhab diriwayatkan oleh muridnya hingga generasi setelahnya untuk kemudian dijadikan dasar untuk mengkaji masalah baru oleh ashabil wujuh yang punya kompetensi untuk itu. Hal ini terus berlanjut hingga munculnya Ulama yang memberi perhatian besar dalam urusan seleksi pendapat (tarjih) hingga memudahkan penganut mazhab untuk mengamalkan mazhab yang diikutinya. Dalam mazhab Syafi’i, sosok Imam Nawawi dan Imam Rafi'i merupakan dua tokoh utama yang memberi perhatian besar dalam hal ini, meskipun persoalan tarjih sebenarnya telah diawali oleh Al-Furani dan Abu Ali As-Sinji. Karena kontribusi besar dalam fase tarjih inilah, Kitab Imam Nawawi dijadikan rujukan utama dalam kurikulum pembelajaran lembaga pendidikan Islam yang mengembangkan Dirasah Fiqh Syafi'iyyah.

Note : Penjelasan tentang ini awalnya saya dengar dari Guru kami Almukarram Aba Nisam (Tgk H Helmi Imran) di mobil dalam perjalanan takziyah ke Aceh Utara.

Ulasan beliau lebih lengkap dan lebih lugas dari yang saya tulis. Insyaallah semuanya akan dituangkan dalam disertasi beliau... Nafa'anallahu bi 'ulumihi...

Semoga bermanfaat...

Dayah MUDI, Samalanga Aceh
24 Januari 2020

Ceramah Maulid: Meneladani Akhlaq Rasulullah



Dayah Darul Aman Lubuk dalam rangka menyemarakkan perayaan Maulid Nabi Muhammad saw 1441 kembali menyelenggarakan kegiatan Dakwah Islamiyah, yaitu ceramah Maulid yang mengusung tema "Meneladani Akhlaq Rasulullah saw".

Kegiatan ini insyaAllah akan berlangsung pada:

Penceramah: Teungku Muhammadon dari Kemala Dalam - Pidie
Tempat: Dayah Darul Aman Lubuk, Kec. Ingin Jaya - Aceh Besar
Waktu: Jam 20.30 wib s.d. selesai
Hari dan Tanggal: Jumat (malam sabtu), 31 Januari 2020

Demikian informasi ini, mari ramaikan dan ajak seluruh kaum muslimin dan muslimat untuk sama-sama menyimak tausyiah agama.

Istighfar, Jawaban atas Segala Keluhan


Oleh: Saiful Hadi

Beristighfar selain untuk memohon keampunan terhadap segala dosa dan kesalahan, juga menjadi solusi terhadap segala permasalahan yang sedang dihadapi. Dalam kitab Tafsir al-Qurtubi dikisahkan, pada suatu ketika Imam Hasan al-Basri didatangi oleh orang-orang yang hendak mengadu terhadap permasalahan kehidupan yang mereka hadapi. 

Orang pertama yang mendatangi beliau bercerita, bahwa dikampungnya sudah mengalami kemarau panjang. Mata air sudah mulai mengering, rerumputan yang menjadi pakan ternak pun juga sudah menguning, apalagi tanam-tanaman yang lain sudah pada gagal panen. Lalu dijawab oleh sang Imam, Istaghfirillah, ber-istighfarlah kamu kepada Allah, itu solusi untukmu.

Lalu datang orang selanjutnya mengadu kepada beliau. Ia berkata, "duhai Imam, sudah lama kami menikah namun belum juga dianugrahkan keturunan, apa yang harus kami lakukan". Imam Hasan al-Basri pun berkata Istaghfirillah, ber-istighfarlah kamu kepada Allah, itu solusi untukmu.

Dilain kesempatan, ada seorang lelaki yang mengadukan nasibnya kepada Imam Hasan al-Basri, bahwa betapa sempit kehidupannya, setiap waktu bekerja dan berusaha namun tetap saja belum bisa keluar dari jurang kemiskinan. Sang Imam pun mengatakan kepada lelaki tersebut,  Istaghfirillah, ber-istighfarlah kamu kepada Allah, itu solusi untukmu.

Masih dalam tafsir al-Qurtubi, dikisahkan bahwa Imam Hasan al-Basri didatangi oleh seorang laki-laki yang mengadu kepada beliau bahwa tanaman yang ada di kebunnya sudah banyak yang layu akibat terserang hama, ia datang meminta solusi pada sang Imam. Lalu Imam Hasan pun berkata, Istaghfirillah, ber-istighfarlah kamu kepada Allah, itu solusi untukmu.

Melihat Imam Hasan al-Basri selalu memberi jawaban yang sama padahal masalah yang ditanyakan berbeda-beda, akhirnya salah seorang muridnya bertanya, "wahai Tuan Guru, kenapa engkau memberikan jawaban yang sama persis, sementara persoalan mereka tidak sama?".

Imam Hasan al-Basri pun menjawab, "apa yang saya katakan sebagai jawaban untuk mereka bukanlah seenak saja saya menjawab, akan tetapi jawaban tersebut berdasarkan apa yang telah Allah ta'ala firmankan dalam QS. Nuh dari ayat 10 s.d. 12

فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا

maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun, -Surat Nuh, Ayat 10

يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا

niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, -Surat Nuh, Ayat 11

وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰلٖ وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰتٖ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرٗا

dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” -Surat Nuh, Ayat 12

Setiap masalah yang mereka keluhkan telah Allah ta'ala jawab dalam ayat tersebut, yaitu dengan beristighfar. Dengan Istighfar, akan Allah ta'ala turunkan hujan yang akan menghilangkan kemarau, juga akan menghilangkan kemiskinan dengan memperbanyak harta, juga menganugrahkan keturunan, serta menumbuhkan tanaman-tanaman dalam kebun-kebun yang mereka miliki. 

Demikianlah, begitu luarbiasanya istighfar. Sehingga sudah sepatutnya untuk membiasakan diri memohon ampunan pada Allah ta'ala.

  • [accordion]
    • Donasi Kamu Untuk Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI 3906-01-010624-53-8 an. Saiful Hadi