Belajar Menghargai Waktu

Oleh: Saiful Hadi

Sudah lazim dalam dunia konstruksi memakai kurva S sebagai kontrol waktu pekerjaan. Pengerjaan yang tepat waktu sesuai dengan skedul yang telah ditetapkan merupakan sebuah keniscayaan yang wajib dilakukan oleh kontraktor. Penyelesaian yang tidak tepat waktu alias molor dari jadwal rencana bisa berakibat fatal bagi kontraktor, dipotong kontrak misalnya atau owner bakal meminta denda perhari sesuai dengan kesepakatan yang ada dalam kontrak. Pekerjaan yang terlalu cepat terkadang juga bisa merugikan kontraktor, diantaranya karena porsi tenaga kerja yang berlebihan sehingga membengkat biaya untuk gaji pekerja, secara kualitas produk juga bisa menurun karena dikerja secara buru-buru demi mengejar waktu. Untuk itu setiap item pekerjaan harus selesai tepat waktu dan di waktu yang tepat.

Maha benar Allah dengan segala firmanNya. Sebagaimana yang telah Allah sebutkan dalam quran, "demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian..."  waktulah parameter untung dan rugi, siapa yang pandai memanfaatkan waktu itulah orang yang untung, dan yang tidak bisa memanfaatkan waktu dengan maka itulah orang yang buntung. Bahkan pepatah arab mengatakan "waktu bagaikan pedang, jika tidak memotongnya maka dia yang akan memotongmu".

Teringat dengan sebuah kisah, ada seorang pengembara yang sedang menjelajahi gurun, dari kejauhan terlihat seekor singa gurun yang semakin mendekat ke arahnya. Demi menyelamatkan diri dia terus berjalan cepat hingga tiba di sebuah sumur tua, namun sang singa juga masih mengikuti dengan cepat dibelakang, tanpa berfikir panjang si pengembara masuk ke dalam sumur dengan berpegang pada tali timba. Tapi siapa yang menyangka, rupanya di dasar sumur ada buaya yang juga siap menerkam kapan saja. Yang lebih mengejutkan lagi, rupanya ada dua ekor tikur yang masing-masing bewarna putih dan hitam yang sedang mengerat tali timba. Keadaan menjadi semakin genting, keluar dari sumur masuk mulut singa, putus tali timba juga masuk mulut buaya, siapa yang tidak galau dengan keadaan begini. Disaat sedang pasrah dengan keadaan, lewatlah segerombolan lebah madu dan meneteslah beberapa tetes madu didekat mulutnya. Untuk sejenak, tetesan madu tadi cukup menenangkan keadaan sehingga lupa terhadap berbagai masalah yang sedang melanda.

Tanpa disadari, tikus semakin giat mengerat tali. ketika tali telah putus baru dia menyadari bahwa harapan telah pergi dan harus rela diterkam buaya. Begitulah perumpamaan mengenai kehidupan ini, singa gurun ibarat malaikat maut yang terus selalu mengikuti kita, sementara tikus hitam dan putih adalah waktu malam dan siang yang terus mengerat tali umur manusia. Sedangkan buaya didasar sumur itulah malaikat munkar dan nankir yang telah siap menunggu di liang lahat. Dan dunia bagaikan madu yang telah melupakan segalanya, padahal ada banyak perkara yang harus dipersiapkan,  namun karena dilalaikan dunia akhirnya mati binasa. 

Waktulah yang mengejar kita bukan kita yang mengejar waktu, selama masih ada umur di jasad janganlah sampai dilalaikan oleh perkara yang tidak membawa manfaat untuk kehidupan akhirat. Wallahu a'lam.

Jenis-Jenis Riya


Dalam beribadah harus dibarengi sikap sabar dan iklas dan semata-mata megharap ridha Allah ta'ala, karena bakal tersia-sia shalat dan puasa jika hanya untuk mencari popularitas dimata sesama hamba.

Pernah Rasulullah mengatakan "di dalam tubuh manusia ad segumpal daging, jika daging itu baik maka baiklah semuanya, namun jika dia buruk maka buruklah semuanya, tahukah kamu apa itu, dialah hati". Atas dasar inilah hati harus dikelola sebaik mungkin agar terbebas dari segala penyakit berbahaya. Berbeda dengan fisik yang lebih mudah disembuhkan tatkala terkena penyakit.

Berbicara tentang penyakit hati, diantara sekian banyak penyakit berbahaya yang bisa merusak hati adalah riya . Riya ialah mencari simpati dalam hati orang-orang dengan menonjolkan sifat2 baik guna memperoleh kedudukan dan menjadi disegani. Dalam kitab Muraqil Ubudiyah karya Syeikh Muhammad An Nawawi  Al Jawi, beliau adalah ulama asli Nusantara yang lama bermukim di Mekah, beliau sebutkan bahwa riya ada lima macam.

Pertama, riya dalam agama yakni dengan menonjolkan badan seperti menampakkan kurus dan pucat serta membiarkan rambut acak-acakan. Dengan penampilannya ia ingin menunjukkan sedikit makan dan dengan pucat ia ingin menunjukkan kurang tidur diwaktu malam dan sangat sedih memikirkan agama. Dengan rambut acak-acakan ia ingin menunjukkan dirinya sangat memikirkan agama sehingga rambut saja tidak sempat dia sisir.

Kedua, riya dengan penampilan dan pakaian seperti menundukkan kepala saat berjalan, bersikap tenang dalam gerak serta membiarkan bekas sujud pada mukanya, memakai baju berbahan kasar, tidak membersihkan baju, dan membiarkannya sobek serta memakai baju bertambal.

Ketiga, riya dengan perkataan, seperti mengucapkan kata berhikmah dan menggerakkan kedua bibir dengan berzikir di hadapan orang banyak. Amar ma'ruf nahi munkar di hadapan orang banyak, menampakkan amarah atas perbuatan munkar, menampakkan penyesalan karena orang lain berbuat maksiat, melemahkan suara saat bicara dan melunakkan suara ketika membaca quran untuk menunjukkan rasa takut dan sedih.

Keempat, riya dengan amal seperti riyanya orang shalat, lama di  saat berdiri, sujud dan rukuk, tidak menoleh, meluruskan kedua telapak tangan dan kaki. Begitu pula ketika puasa dan haji dengan sikap berlebihan.

Kelima, bersikap riya kepada teman-teman, para tamu dan orang orang yang berusaha mendatangkan seseorang yang alim atau abid atau raja supaya disebut bahwa mereka mengambil berkah darinya karena kedudukannya yang besar dalam agama. Dan seperti orang yang banyak menyebut guru guru supaya dilihat bahwa dirinya mempunyai banyak guru sehingga memberi kesan luas ilmu.

Mulailah hidup sewajarnya dan jangan berlebih-lebihan dalam bersikap. Imam syafie pernah mengatakan untuk menumbuhkan sikap percaya diri selalu pakailah pakaian yang rapi dan memakai wangi-wangian. 

Cinta Berlandaskan Taqwa

Pembicaraan tentang cinta adalah pembicaraan yang tidak pernah ada ujungnya, setiap masa ada saja kisah yang membuat decak kagum ketika membacanya. Buya Hamka dalam novelnya menuliskan bahwa emas tidak setara dengan loyang, dan sutra tidak pernah sebangsa dengan benang. Strata dan harta memang selalu membuat sekat diantara umat manusia, sehingga menimbulkan jurang pemisah antara sikaya dan miskin dan tuan dengan hamba. Namun dihadapan Pemilik alam semesta, kaya dan miskin hanyalah cobaan semata, keduanya bukanlah sebuah kelebihan yang patut untuk berbangga, hanya taqwa yang menjadi tinjau dalam menilai setiap hamba.

Cinta berlandaskan taqwa, itulah pilihan yang tepat dalam mengikat jalinan cinta. Sebab sebagaimana petunjuk dari Baginda Nabi pilihlah karena faktor agama, moga moga bahagia. Adalah Abdullah bin Mubarak, beliau adalah seorang ulama besar yang terlahir dari jalinan cinta yang berlandaskan taqwa. Awal mula kisahnya dahulu di kota marwu (salah satu kota di negara Persia), terdapat seorang Qadli yang bernama Nuh bin Maryam. Beliau seorang laki-laki yang banyak mendapatkan karunia dari Allah ta'ala, selain mempunyai harta yang berlimpah serta kebun kebun yang luas, ia juga memiliki seorang anak gadis yang cerdas serta mempunyai kecantikan luar biasa yang sudah menjadi buah bibir dikalangan masyarakat setempat. Sudah banyak para pembesar ingin meminang anaknya untuk putra mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang berhasil mengetuk pintu hati Syaikh Nuh sehingga ia masih enggan melepas putri semata wayangnya diperistri orang.[1]

Karena melihat putrinya sudah waktunya menikah, tetapi belum menemukan sosok yang cocok sebagai pendamping putrinya, syaikh Nuh bin Maryam merasa gundah dan susah menghadapi masalah ini. “Jika aku memilih salah satu dari mereka, maka sebagian yang lain tentu akan merasa kecewa”, kata syaikh Nuh bin Maryam. Syaikh Nuh bin Maryam memiliki seorang budak laki-laki yang bernama Mubarak, ia adalah seorang budak yang berasal dari India dan merupakan seorang budak laki-laki yang sangat bertaqwa.

Pada suatu ketika Syaikh Nuh bin Maryam berkata kepada budak laki-lakinya; “Aku ingin engkau merawat dan menjaga kebunku”. Mendapat perintah tersebut, ia lalu mulai menjaga dan menetap di kebun syaikh Nuh bin Maryam selama satu bulan penuh. Beberapa hari kemudian setelah Mubarak mulai menjaga kebun tersebut, tuannya mengunjungi kebun untuk melihatnya. Ia berkata kepada Mubarak; “Wahai Mubarok, petikkan aku segenggam anggur”.

Mendapat perintah demikian, Mubarak segera mengambilkan segenggam anggur, tetapi anggur yang dipetikkan oleh Mubarak, ternyata terasa masam. Mendapat anggur yang masam, syaikh Nuh bin Maryam memerintahkan Mubarok untuk memetikkan anggur yang lain; “Petikkan aku anggur yang lain, yang tadi masam rasanya…!” Mendapatkan perintah demikian, ia mulai memetikkan anggur yang lain, tetapi lagi-lagi anggur yang ia petik masam juga rasanya. Mengetahui hal tersebut, syaikh Nuh bin Maryam heran lalu bertanya pada Mubarok; “Wahai Mubarak, dari anggur sebanyak ini, kenapa engkau tidak bisa memetikkan untukku anggur yang manis, engkau malah memetikkan anggur yang masam??”. “Wahai tuanku, sungguh aku tak tau, mana anggur yang manis dan mana anggur yang masam”, kata Mubarak. “Subhanallah, engkau hidup satu bulan penuh dalam kebun anggur tetapi engkau belum bisa membedakan mana anggur yang manis dan mana yang masam??”.
“benar wahai tuanku, aku tidak bisa membedakannya”, kata Mubarak.
“Kenapa engkau tidak mencicipi anggur tersebut, agar tau rasanya?”, kata syaikh Nuh bin Maryam.
“Engkau hanya memerintahkan aku untuk menjaganya, dan
tidak memerintahkan aku untuk mencicipinya, bagaimana bisa
aku mengkhianatimu wahai tuanku?!”. Kata Mubarok. Mendengar jawaban demikain, al-Qadli syaikh Nuh bin Maryam merasa takjub akan kejujuran pemuda ini, lalu berkata; “Semoga Allah menjagamu atas amanah yang engkau emban wahai pemuda”.


Syaikh Nuh bin Maryam sekarang tau, bahwa pemuda yang sedang berada di hadapannya adalah pemuda yang memiliki akal yang cerdas. Syaikh Nuh bin Maryam berkata; “Wahai anak muda, sungguh hatiku saat ini sangat senang kepadamu, dan aku ingin, engkau melaksanakan perintahku berikutnya”. “Aku selalu mentaati Allah Ta’ala dan perintahmu wahai syaikh”, kata Mubarok.Syaikh Nuh bin Maryam berkata; “Sesungguhnya aku memiliki seorang putri yang sangat cantik dan sudah pernah di khitbah oleh banyak para pembesar dan orang-orang penting, tetapi aku masih belum tau, siapa di antara mereka yang harus aku jadikan menantu, apa saranmu atas masalahku ini??”. Mubarok berkata; “Orang-orang kafir zaman jahiliyyah, mereka lebih mengutamakan keturunan, nasab, kemasyhuran keluarga, juga kedudukan”.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih mengutamakan keelokan dan kecantikan. Pada masa Nabi shalallahu’alaihi wasallam, para sahabat lebih mengutamakan kebaikan agama juga ketaqwaan”.
“Sedangkan di zaman kita sekarang, dalam masalah mencari mantu, para orang tua lebih mengutamakan banyaknya harta benda. Oleh karena itu wahai syaikh, anda bebas menentukan pilihan anda dari empat hal ini”.


Mendapat jawaban demikian, syaikh Nuh bin Maryam berkata;
“wahai pemuda, aku lebih memilih calon yang kokoh agamanya, bertaqwa dan amanah. Oleh karena itu, aku ingin menjadikan engkau sebagai menantuku. Karena aku sungguh telah menemukan kebaikan, agama yang kokoh, juga amanah pada dirimu. Juga engkau adalah pemuda yang memiliki iffah (kemulyaan diri) juga penjagaan diri yang bagus”.


Mendegar ucapan tuannya, Mubarok berkata; “Wahai tuan, saya adalah seorang budak yang berasal dari India dan berkulit hitam yang telah engkau beli dengan hartamu, kenapa engkau malah ingin menikahkan aku dengan anakmu? Mengapa engkau malah meilihku dan ridlo kepadaku?”.
“Berdirilah bersamaku menuju rumahku untuk merembug masalah ini, kata syaikh Nuh bin Maryam. Setelah syaikh Nuh bin Maryam bersama Mubarok sampai di rumah, beliau berkata kepada istrinya; “Ketahuilah, pemuda India ini adalah seorang pemuda yang baik agamanya juga
bertaqwa, aku suka akan kesalehannya dan aku ingin menikahkannya dengan anak kita, apa pendapatmu mengenai hal ini?”.
“Semua keputusan berada di tanganmu wahai suamiku, tetapi berilah aku waktu sebentar untuk memberitahu anak kita, aku ingin mendengar jawabannya”, kata sang istri. Sesampainya istri syaikh Nuh bin Maryam kepada anaknya, ia berkata kepadanya tentang keinginan ayahnya.
Mendengar perkataan ibunya, gadis tersebut menjawab; “Jika hal tersebut sudah menjadi pilihan ayah dan ibu, maka aku akan melaksanakannya, aku tidak akan pernah menentang keputusan ayah dan ibu, aku akan selalu berbuat baik kepada ayah dan ibu”.


Mendapat persetujuan dari anak gadisnya yang sangat salihah ini, syaikh Nuh bin Maryam segera menikahkan Mubarak dengan anak gadisnya tersebut. Setelah pernikahan, syaikh Nuh bin Maryam memberikanharta yang sangat banyak sekali kepada kedua mempelai tersebut, dan tidak begitu lama kemudian, lahirlah dari kedua pasangan yang saleh dan solihah tersebut seorang anak laki-laki tampan yang kemudian dinamai Abdullah. Dialah anak yang kelak sangat terkenal di kalangan Ulama
Islam dengan nama Abdullah bin Mubarak, seorang ulama besar yang memiliki banyak ilmu, zuhud, dan banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi shalallahu’alaihi wasallam. Sampai saat ini, nama besar Abdullah bin Mubarok masih dikenang dalam dunia Islam.


ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻥ ﻛﻨﺖ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﺍﺭﺯﻗﻨﻲ ﺯﻭﺟﺔ ﺻﺎﻟﺤﺔ
ﻭﺍﻥ ﻟﻢ ﺍﻛﻦ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﺍﺭﺯﻗﻨﻲ ﺯﻭﺟﺔ ﺗﺼﻠﺤﻨﻲ


Duhai Tuhanku, jika aku adalah hamba yang shalih maka anugrahkan untukku istri yang shalehah. Dan jika aku bukanlah seorang hamba yang shalih, maka anugrahkan untukku istri yang bisa membuatku menjadi shalih.
Source :


[1] Disadur dari kitab at-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk karya al-Imam al-Ghazali oleh al-Faqir As'ad.

Tanda Lailatul Qadar

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan. Amalan yang dikerjakan pada bulan tersebut akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah Ta'ala dengan nilai yang tak terhingga. Dalam bulan ramadhan Allah Ta'ala menyimpan lailatul qadar, yaitu malam yang lebih baik dibandingkan dengan seribu bulan, banyangkan seribu bulan, sungguh adalah sebuah prestasi yang besar jika kita bisa mendapatkannya. Mengenai kapan terjadinya lailatul qadar, Rasulullah saw telah mengisyaratkan beberapa tanda, diantaranya sebagai berikut:

1. Imam Muslim dalam kitab Shahihnya juz I halaman 306, cetakan al Ma'arif Bandung Indonesia: Sanad dan matannya sebagai berikut:

ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﻬﺮﺍﻥ ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﺪﺓ ﻋﻦ ﺯﺭ ﻗﺎﻝ سمعت ﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻳﻘﻮﻝ ﻭﻗﻴﻞ ﻟﻪ ﺇﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻳﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﻗﺎﻡ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺃﺻﺎﺏ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺑﻲ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﻫﻮ ﺇﻧﻬﺎ ﻟﻔﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ } ﻳﺤﻠﻒ ﻣﺎ ﻳﺴﺘﺜﻨﻲ ‏] ﻭﻭﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻲ ﻷﻋﻠﻢ ﺃﻱ ﻟﻴﻠﺔ ﻫﻲ ﻫﻲ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﺑﻬﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻘﻴﺎﻣﻬﺎ ﻫﻲ ﻟﻴﻠﺔ ﺻﺒﻴﺤﺔ ﺳﺒﻊ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻭﺃﻣﺎﺭﺗﻬﺎ ﺃﻥ ﺗﻄﻠﻊ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻓﻲ ﺻﺒﻴﺤﺔ ﻳﻮﻣﻬﺎ ﺑﻴﻀﺎﺀ ﻻ ﺷﻌﺎﻉ ﻟﻬﺎ .

''...Ubay ibn Ka'b, dia berkata: "... demi Dzat yang tiada Tuhan kecuali Dia, sungguh malam (Lailatul Qadar) itu ada dalam bulan Ramadhan. Demi A llah aku sungguh tahu kapan malam itu, yaitu malam yang kita diperintah oleh Rasulullah SAW untuk beribadah didalamnya, yaitu malam 27 yang bersinar. Adapun tanda-tandanya adalah matahari terbit pagi harinya dengan cahaya putih namun tidak ada sorotnya.[1]

Ketika Ulama Dicaci

Ulama adalah pewaris para Nabi yang meneruskan perjuangan mereka, melalui lidah dan tinta yang tertuang di dalam kitab-kitab para ulama umat menjadi tercerahkan dan mengenal ajaran yang haq. Dalam kitab Ta’lim Muta’alim, ada sebuah kata mutiara yang menyebutkan : “Tiada keberhasilan seseorang dalam mencapai sesuatu kecuali dengan menghormatinya, dan tiada kegagalan selain karena tidak mau menghormatinya”1]. Salah satu cara dalam menghormati ilmu adalah dengan menghormati pemilik ilmu, walaupun ilmu yang diajarkan olehnya sangat kecil.

Masih dalam kitab Ta’lim Muta’alim, Syaikul Islam Burhanuddin Shahibul Hidayah [2], beliua mengisahkan bahwa ada seorang Ulama besar Bukhara sedang duduk di majlis pengajian, di tengah kegiatan pengajian tersebut sesekali ia berdiri, lalu orang-orang menanyakan hal demikian, beliau menjawab “Sebetulnya putera Guruku sedang bermain bersama anak-anak sebayanya di halaman depan, dan terkadang ia mendekat ke pintu mesjid ini, maka setiap kali melihatnya aku pun berdiri demi menghormati Guruku”. 

Demikianlah besar penghormatan ulama-ulama dahulu terhadap para ahli ilmu, sampai-sampai anaknya pun juga mendapat penghormatan. Sikap yang seperti ini merupakan sebuah contoh dalam menghormati ahli ilmu agar ilmu yang diperoleh darinya menjadi berkah dan bermanfaat.

Dewasa ini ditengah pesatnya perkembangan teknologi dimana arus informasi sudah tersedia luas dan bisa diakses dengan cepat, terkadang menimbulkan efek yang negatif. Ulama yang harusnya dihormati namun yang terjadi malah dicaci. Ketika ada sesuatu hal yang masih samar, namun dengan berbagai macam olah bahasa sehingga terlihat seperti sebuah fakta. Parahnya lagi, gribah menjadi santapan yang enak untuk dinikmati. Demi mengharap trafik dan rating yang tinggi, pemberitaan sampah yang belum jelas asal usulnya dijajakan begitu saja. 

Media telah menjadi alat untuk mengubah pola pikir masyarakat, berbagai kepentingan bekerja dibaliknya demi meraup keuntungan duniawi yang semu. Gribah adalah membicarakan sesuatu yang dibenci oleh orang yang bersangkutan ketika mendengarnya biarpun hal itu benar adanya, namun jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar maka ini adalah sebuah kedustaan. Keduanya adalah sikap tercela yang patut untuk dijauhi. Dalam kitab Tahrir ala Syarqawi disebutkan bahwa:

وهى فى حق أهل العلم والقرأن كبيرة دون غيرهما
Mengribah terhadap ahli ilmu dan ahli quran termasuk dosa besar, tidak termasuk dosa besar bagi selain keduanya [3].

Untuk itu penting sekali bagi kita dalam menjaga lidah agar tidak sampai mengucapkan kata-kata yang keji yang belum tentu kebenarannya. Sebagaimana anjuran dalam agama disaat mendapati sebuah berita-berita yang belum jelas maka bertabayunlah, carilah penjelasan agar tidak salah dalam memvonis sesuatu hal.

Catatan Kaki
[1] Ta’lim Muatalim, Fasal Fi Ta’dhimi Ilmi wal Ahlihi
[2] Beliau adalah Imam Abul Hasan Ali bin Abu Bakar Al Marghinaniy  (w593 H/1197M), ulama besar ahli fiqih, hafidz, mufassir sekaligus ahli hadist. Karya beliau yang paling terkenal adalah kitab Al Hidayah fil Fiqhil Hanafiy, atas dasar inilah nama beliau sering disebut sebagai Shahibul Hidayah. Beliau juga adalah guru dari Syech Az-Zarnuji yang merupakan pengarang kitab Ta’lim Mutaalim.
[3] Syarkawi Ala Tahrir, Bab Wudhu Hal 43 Juz 1


Ketika Khamar Telah Menjadi Cuka

Khamar merupakan salah satu jenis minuman yang memabukkan yang berasal dari perasan buah anggur atau kurma. Masa Arab jahiliyah, khamar adalah minuman yang sangat favorit, dengan di utusnya Nabi Muhammad SAW minuman khamar dengan proses yang penuh tahapan akhirnya diharamkan secara total oleh syariat. Di Aceh, minuman jenis khamar ini terbuat dari Ie Jok (Air Nira) yang sering disebut dengan Ie Jok Masam.

Minumam jenis Ie Jok Masam ini juga sangat memabukkan jika diminum. Pada tahap awal pembuatannya, air nira yang baru diambil dari pohon nira disebut dengan Ie jok Mameh yang masih boleh diminum karena tidak memabukkan, namun selang beberapa hari Ie Jok Mameh ini terjadi proses Fermentasi sehingga berubah menjadi Ie Jok Masam, pada saat kondisi seperti inilah Ie Jok tersebut telah menjadi khamar yang memabukkan. Beberapa hari kemudian Ie Jok Masam ini berubah lagi menjadi cuka, dan hukumnya telah suci serta tidak memabukkan dan bisa dipakai sebagai penyedap makanan, terutama jika ingin memasak Kuah Sie Reuboh, cuka merupakan salah satu resep yang wajib ada.

Pada pembahasan kitab-kitab fiqih dalam bab thaharah, khamar termasuk kedalam katagori benda najis, sehingga jika terkena pada pakaian maka tidak sah shalat dengan memakai pakaian yang terkena khamar tersebut. Demikian halnya dengan Ie Jok Masam tadi, dihukumkan bernajis juga lantaran juga sama-sama memabukkan sebagaimana air perasan anggur. Namun jika telah berubah menjadi cuka dengan sendirinya alias tanpa campur tangan manusia dengan menambahkan zat-zat tertentu maka status hukumnya telah berubah menjadi suci kembali.

Demikianlah khamar, ia merupakan benda najis yang bisa berubah menjadi suci. Jika khamar saja yang bernajis bisa menjadi suci kembali, sebagai manusia yang selalu bergelimang dengan noda dosa tetap ada jalan untuk menjadi suci kembali yakni dengan bertaubat sebenar-benarnya. Khamar yang menjadi cuka ibarat preman yang menjadi ustaz, hal ini bukanlah suatu kemustahilan. Sejarah telah mencatat kisah tentang Fudhail Bin Iyadh (w.187 H), beliau adalah seorang Ulama besar yang sebelumnya berpropesi sebagai penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu warda dan Sirjis lalu merampok harta benda yang mereka bawa.

Awal mulanya beliau pernah terpikat seorang wanita. Lalu suatu malam beliau menyelinap ke rumah wanita tersebut, ketika beliau memanjat tembok, tiba-tiba saja beliau mendengar seserang membaca ayat“Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna meningat Alah serta tunduk kepada kebenaran yang tleh turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalu masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq (QS Al Hadid 16)Tatkala mendengar ayat tersebut beliau gemetar dan berkata, “ Tentu saja wahai rabb ku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).  Beliau pun turun ke reruntuhan bangunan, tempat beliau tinggal. Tiba-tiba saja sekelompok orang yang lewat.

Sebagian mereka berkata, “Kita jalan terus!” dan sebagian yang lain berkata,” Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Fudhail menghadang kita di jalan ini,” fudhail menceritakan ,”Kemudian aku merenung dan bergumam.” aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku bertaubat kepadaMu dan aku jadikan taubat itu denga tinggal di Baitul Haram.Ayat itulah yang menyadarkan seorang Fudhail bin Iyadah dari kelalaian yang panjang. Hingga akhirya beliau menjadi ulama senior di kalangan tabi’in, sekaligus dikenal sebagi ahli ibadah yang zuhud. Semoga hari ini kita lebih baik dari kemarin, karena itulah orang-orang yang beruntung. Semoga bisa menjadi pelajaran penting bagi kita semua, dan perlu menjadi bahan renungan juga agar kita tidak mudah berburuk sangka dengan orang-orang yang mempunyai catatan sejarah yang kelam, bisa saja mereka telah kembali ke jalan yang benar, oleh karenanya perlu kita dukung agar menjadi semakin benar.