Pembicaraan tentang cinta adalah pembicaraan yang tidak pernah ada ujungnya, setiap masa ada saja kisah yang membuat decak kagum ketika membacanya. Buya Hamka dalam novelnya menuliskan bahwa emas tidak setara dengan loyang, dan sutra tidak pernah sebangsa dengan benang. Strata dan harta memang selalu membuat sekat diantara umat manusia, sehingga menimbulkan jurang pemisah antara sikaya dan miskin dan tuan dengan hamba. Namun dihadapan Pemilik alam semesta, kaya dan miskin hanyalah cobaan semata, keduanya bukanlah sebuah kelebihan yang patut untuk berbangga, hanya taqwa yang menjadi tinjau dalam menilai setiap hamba.
Cinta berlandaskan taqwa, itulah pilihan yang tepat dalam mengikat jalinan cinta. Sebab sebagaimana petunjuk dari Baginda Nabi pilihlah karena faktor agama, moga moga bahagia. Adalah Abdullah bin Mubarak, beliau adalah seorang ulama besar yang terlahir dari jalinan cinta yang berlandaskan taqwa. Awal mula kisahnya dahulu di kota marwu (salah satu kota di negara Persia), terdapat seorang Qadli yang bernama Nuh bin Maryam. Beliau seorang laki-laki yang banyak mendapatkan karunia dari Allah ta'ala, selain mempunyai harta yang berlimpah serta kebun kebun yang luas, ia juga memiliki seorang anak gadis yang cerdas serta mempunyai kecantikan luar biasa yang sudah menjadi buah bibir dikalangan masyarakat setempat. Sudah banyak para pembesar ingin meminang anaknya untuk putra mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang berhasil mengetuk pintu hati Syaikh Nuh sehingga ia masih enggan melepas putri semata wayangnya diperistri orang.[1]
Karena melihat putrinya sudah waktunya menikah, tetapi belum menemukan sosok yang cocok sebagai pendamping putrinya, syaikh Nuh bin Maryam merasa gundah dan susah menghadapi masalah ini. “Jika aku memilih salah satu dari mereka, maka sebagian yang lain tentu akan merasa kecewa”, kata syaikh Nuh bin Maryam. Syaikh Nuh bin Maryam memiliki seorang budak laki-laki yang bernama Mubarak, ia adalah seorang budak yang berasal dari India dan merupakan seorang budak laki-laki yang sangat bertaqwa.
Pada suatu ketika Syaikh Nuh bin Maryam berkata kepada budak laki-lakinya; “Aku ingin engkau merawat dan menjaga kebunku”. Mendapat perintah tersebut, ia lalu mulai menjaga dan menetap di kebun syaikh Nuh bin Maryam selama satu bulan penuh. Beberapa hari kemudian setelah Mubarak mulai menjaga kebun tersebut, tuannya mengunjungi kebun untuk melihatnya. Ia berkata kepada Mubarak; “Wahai Mubarok, petikkan aku segenggam anggur”.
Mendapat perintah demikian, Mubarak segera mengambilkan segenggam anggur, tetapi anggur yang dipetikkan oleh Mubarak, ternyata terasa masam. Mendapat anggur yang masam, syaikh Nuh bin Maryam memerintahkan Mubarok untuk memetikkan anggur yang lain; “Petikkan aku anggur yang lain, yang tadi masam rasanya…!” Mendapatkan perintah demikian, ia mulai memetikkan anggur yang lain, tetapi lagi-lagi anggur yang ia petik masam juga rasanya. Mengetahui hal tersebut, syaikh Nuh bin Maryam heran lalu bertanya pada Mubarok; “Wahai Mubarak, dari anggur sebanyak ini, kenapa engkau tidak bisa memetikkan untukku anggur yang manis, engkau malah memetikkan anggur yang masam??”. “Wahai tuanku, sungguh aku tak tau, mana anggur yang manis dan mana anggur yang masam”, kata Mubarak. “Subhanallah, engkau hidup satu bulan penuh dalam kebun anggur tetapi engkau belum bisa membedakan mana anggur yang manis dan mana yang masam??”.
“benar wahai tuanku, aku tidak bisa membedakannya”, kata Mubarak.
“Kenapa engkau tidak mencicipi anggur tersebut, agar tau rasanya?”, kata syaikh Nuh bin Maryam.
“Engkau hanya memerintahkan aku untuk menjaganya, dan
tidak memerintahkan aku untuk mencicipinya, bagaimana bisa
aku mengkhianatimu wahai tuanku?!”. Kata Mubarok. Mendengar jawaban demikain, al-Qadli syaikh Nuh bin Maryam merasa takjub akan kejujuran pemuda ini, lalu berkata; “Semoga Allah menjagamu atas amanah yang engkau emban wahai pemuda”.
Syaikh Nuh bin Maryam sekarang tau, bahwa pemuda yang sedang berada di hadapannya adalah pemuda yang memiliki akal yang cerdas. Syaikh Nuh bin Maryam berkata; “Wahai anak muda, sungguh hatiku saat ini sangat senang kepadamu, dan aku ingin, engkau melaksanakan perintahku berikutnya”. “Aku selalu mentaati Allah Ta’ala dan perintahmu wahai syaikh”, kata Mubarok.Syaikh Nuh bin Maryam berkata; “Sesungguhnya aku memiliki seorang putri yang sangat cantik dan sudah pernah di khitbah oleh banyak para pembesar dan orang-orang penting, tetapi aku masih belum tau, siapa di antara mereka yang harus aku jadikan menantu, apa saranmu atas masalahku ini??”. Mubarok berkata; “Orang-orang kafir zaman jahiliyyah, mereka lebih mengutamakan keturunan, nasab, kemasyhuran keluarga, juga kedudukan”.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih mengutamakan keelokan dan kecantikan. Pada masa Nabi shalallahu’alaihi wasallam, para sahabat lebih mengutamakan kebaikan agama juga ketaqwaan”.
“Sedangkan di zaman kita sekarang, dalam masalah mencari mantu, para orang tua lebih mengutamakan banyaknya harta benda. Oleh karena itu wahai syaikh, anda bebas menentukan pilihan anda dari empat hal ini”.
Mendapat jawaban demikian, syaikh Nuh bin Maryam berkata;
“wahai pemuda, aku lebih memilih calon yang kokoh agamanya, bertaqwa dan amanah. Oleh karena itu, aku ingin menjadikan engkau sebagai menantuku. Karena aku sungguh telah menemukan kebaikan, agama yang kokoh, juga amanah pada dirimu. Juga engkau adalah pemuda yang memiliki iffah (kemulyaan diri) juga penjagaan diri yang bagus”.
Mendegar ucapan tuannya, Mubarok berkata; “Wahai tuan, saya adalah seorang budak yang berasal dari India dan berkulit hitam yang telah engkau beli dengan hartamu, kenapa engkau malah ingin menikahkan aku dengan anakmu? Mengapa engkau malah meilihku dan ridlo kepadaku?”.
“Berdirilah bersamaku menuju rumahku untuk merembug masalah ini, kata syaikh Nuh bin Maryam. Setelah syaikh Nuh bin Maryam bersama Mubarok sampai di rumah, beliau berkata kepada istrinya; “Ketahuilah, pemuda India ini adalah seorang pemuda yang baik agamanya juga
bertaqwa, aku suka akan kesalehannya dan aku ingin menikahkannya dengan anak kita, apa pendapatmu mengenai hal ini?”.
“Semua keputusan berada di tanganmu wahai suamiku, tetapi berilah aku waktu sebentar untuk memberitahu anak kita, aku ingin mendengar jawabannya”, kata sang istri. Sesampainya istri syaikh Nuh bin Maryam kepada anaknya, ia berkata kepadanya tentang keinginan ayahnya.
Mendengar perkataan ibunya, gadis tersebut menjawab; “Jika hal tersebut sudah menjadi pilihan ayah dan ibu, maka aku akan melaksanakannya, aku tidak akan pernah menentang keputusan ayah dan ibu, aku akan selalu berbuat baik kepada ayah dan ibu”.
Mendapat persetujuan dari anak gadisnya yang sangat salihah ini, syaikh Nuh bin Maryam segera menikahkan Mubarak dengan anak gadisnya tersebut. Setelah pernikahan, syaikh Nuh bin Maryam memberikanharta yang sangat banyak sekali kepada kedua mempelai tersebut, dan tidak begitu lama kemudian, lahirlah dari kedua pasangan yang saleh dan solihah tersebut seorang anak laki-laki tampan yang kemudian dinamai Abdullah. Dialah anak yang kelak sangat terkenal di kalangan Ulama
Islam dengan nama Abdullah bin Mubarak, seorang ulama besar yang memiliki banyak ilmu, zuhud, dan banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi shalallahu’alaihi wasallam. Sampai saat ini, nama besar Abdullah bin Mubarok masih dikenang dalam dunia Islam.
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻥ ﻛﻨﺖ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﺍﺭﺯﻗﻨﻲ ﺯﻭﺟﺔ ﺻﺎﻟﺤﺔ
ﻭﺍﻥ ﻟﻢ ﺍﻛﻦ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﺍﺭﺯﻗﻨﻲ ﺯﻭﺟﺔ ﺗﺼﻠﺤﻨﻲ
Duhai Tuhanku, jika aku adalah hamba yang shalih maka anugrahkan untukku istri yang shalehah. Dan jika aku bukanlah seorang hamba yang shalih, maka anugrahkan untukku istri yang bisa membuatku menjadi shalih.
Source :
[1] Disadur dari kitab at-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk karya al-Imam al-Ghazali oleh al-Faqir As'ad.
COMMENTS