Namun cerita menjadi lain ketika Nabi Adam telah diciptakan. Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud sebagai penghormatan terhadap Nabi Adam As, semuanya sujud mematuhi perintah Allah kecuali Iblis seorang. Pada saat itu dengan pongahnya Iblis membangkang perintah Allah, ia berdalih bahwa dirinya lebih baik dari Adam karena tercipta dari api sementara Adam dari tanah yang hina. Peristiwa ini sebagaimana yang terekam dalam Surat Al-Hijr ayat 33
Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk" (QS.Al-Hijr : 33)
Karena kesombongannya, sejak saat itu Iblis dikutuk dan diberi gelar Laknatullah karena telah berani membangkan perintah Allah.
Kisah Ibnu Malik dengan Ibnu Mu'thi *)
Dalam catatan sejarah, sikap sombong juga nyaris mengelincirkan Ibnu Malik sang Ahli Nahwu yang mengarang kitab Alfiyah yang terkenal itu.
Kitab Alfiyah merupakan sebuah kitab yang sangat populer di kalangan penuntut ilmu Bahasa Arab dalam dunia Islam, sehingga tidak heran kalau banyak bermunculan syarah dan hasyiah-nya oleh ulama-ulama besar sesudahnya. Kitab Alfiyah ini merupakan hasil karya gemilang dari Ibnu Malik dalam ilmu Nahwu. Nama lengkap beliau adalah al-Imam Abu Abdullah Muhammad Jamal al-Din bin Abdullah bin Malik al-Tha’iy al-Syafi’i al-Jayany. Lahir di Jayan, sebuah kota di Andulusia. Beliau wafat di Syria pada tahun 672 H dalam usia 75 (tujuh puluh lima) tahun.[1]
Ada sebuah kisah menarik mengenai perjalanan beliau dalam mengarang kitab Alfiyah ini. Dikisahkan ketika Ibnu Malik menulis nadham (bait syair) dalam Alfiyah dan sampailah pada nadham :
فائقة ألفية ابن معطي
“(Kitab Alfiyah yang aku tulis ini) mengungguli kitab Alfiyah karya Ibnu Mu'thi"[2]
Setelah menulis penggalan nadham tersebut beliau tak bisa lagi melanjutkan menulis nadhamnya, sehingga pada suatu malam beliau mimpi bertemu dengan seseorang: Orang itu bertanya pada beliau:
"Aku dengar kamu mengarang kitab Alfiyah dalam ilmu nahwu" Beliau menjawab : "Iya benar". Orang itu bertanya lagi : "Sampai pada nadham mana engkau menulisnya?"Ibnu Malik menjawab : "Sampai pada 'fa'iqatan...." "Apa yang menyebabkanmu tidak menyempurnakannya?" tanya orang itu. Beliau menjawab : "Sudah beberapa hari aku tidak bisa melanjutkan menulis nadham". Orang itu berkata lagi : "Apa kamu ingin menyempurnakannya?" "Tentu" jawab Ibnu Malik. Orang itu berkata : "Orang yang masih hidup bisa saja mengalahkan seribu orang yang sudah mati".Terperangah dengan perkataan itu, Ibnu Malik bertanya : "Apakah anda Ibnu Mu'thi?" "Betul" jawab orang itu. Ibnu Malik merasa malu kepada beliau.
Begitu pagi harinya, jatuhlah lembaran tersebut, maka setelah itu beliau menambahkan kalimat pujian pada Imam Ibnu Mu'thi dalam nadhamnya sebagai rasa penyesalan dan penghormatan pada beliau, nadham yang beliau tambahkan :
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
“Beliau (Ibnu Mu’thi) lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah”
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
“Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat..”[3]
Catatan
Sekilas biografi Ibnu Mu'thi, Nama lengkap beliau adalah al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Mu’thi al-Zawawy al-Magribi. Lahir di Magribi, menetap dalam masa yang lama di negeri Syam (Syria), kemudian melakukan perjalanan ke Mesir sehingga beliau wafat pada 628 H, umur beliau ketika itu 64 (enam puluh empat) tahun dan dikebumikan dekat kubur Imam Syafi’i di Mesir.[4]
ketika kita sadar akan apa yang selalu terjadi pada tanah dimana dia selalu terinjak,dikotori atau bahkan sampai diludahi maka akan runtuhlah sifat kesombongan yang selayaknya tidak patut dimiliki oleh makhluk tanah ini. namun ironis,kita selalu lupa tentang siapa diri ini
Rujukan:
[1] Al-Khudhari, Hasyiah ‘ala Syarh Ibnu Aqil ‘ala alfiyah. Al-Haramain, Juz. I, Hal. 7
[2] Ibnu Malik , Alfiyah, Syirkah Bankul Indah, Surabaya, Hal. 2
[3] Ibnu Hamdum bin al-Haj, Hasyiah Ibnu Hamdun ‘ala Syarh Alfiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz I, Hal. 23
[4] Ibnu Hamdum bin al-Haj, Hasyiah Ibnu Hamdun ‘ala Syarh Alfiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz I, Hal. 23
*) kitabkuning[dot]blogspot[dot]com