Sejak semakin berkembangnya teknologi informasi, ada banyak hal yang bisa diketahui dengan mudah dan cepat. Topiknya pun beragam, entah itu masalah kesehatan, pendidikan sampai tentang keagamaan, semuanya tersedia luas dan bisa didapatkan dengan gratis selama ada quota internet tentunya. Dengan adanya kemudahan ini tidak perlu repot-repot lagi datang ke dokter kalau hanya sekedar untuk konsultasi, karena cukup buka browser dengan kata kunci tertentu maka google akan menampilkan segundang informasi, bahkan terkadang ia juga bertanya -"apakah ini yang anda maksud?"- ketika pencarian kita salah.
Internet juga banyak mengubah perilaku, jika dulunya diskusi dilakukan di forum-forum ilmiah namun sekarang dimana saja bisa, asal tetap terhubung maka diskusi sambil tiduran pun juga bisa dilakukan. Sehingga jangan heran ketika terjadi diskusi diforum2 online dalam hitungan menit sudah ada ratusan referensi yang ditampilkan demi meruntuhkan argumen lawan. Berbeda halnya jika harus berguru secara langsung, harus mengkaji kitab-kitab yang terkadang baris pun tidak ada, untuk bacanya saja susah apalagi pemahamannya. Namun untunglah, berkat Al-mukarram google semua jadi mudah, semua pendapat terhadap suatu masalah bisa ditampilkan dengan cepat, tinggal memilih saja yang sesuai dengan selera.
Namun demikian akan ada banyak kumungkinan negatif yang dihasilkan jika belajar ilmu syariah hanya lewat laman-laman google ini. Sebab, beliau itu hanya mesin pencari yang sama sekali tidak bisa membedakan mana yang rajih atau tidak rajih. Mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.
Dan kemungkinan negatif yang paling nyata adalah tersembunyinya ilmu. Karena memang Almukarram google hanya menampilkan apa yang sudah diunggah ke laman dunia maya, yang tidak terunggah, maka takkan bisa terakses oleh mesin pencari tersebut. Sehingga jika ada satu kelompok yang rajin sekali ngeposting, maka yang akan ditampilkan ya dari kelompok itu-itu saja.
Sebagai contoh, jika kita cari mengenai masalah tahlilan, maulid atau ziarah kubur, mungkin akan muncul pada laman pertama google yang memuat berbagai laman web yang postingannya mengharamkan bahkan mengkafirkan praktek-praktek demikian. Bermodalkan dalil "kullu bid'ah dhalalah", maka semuanya sesat, yang sesat itu tempatnya neraka.
Belajarlah dengan Berguru
Pada akhirnya, orang yang hanya belajar lewat laman google hanya tahu pendapat yang memang ada di dunia maya, padahal dalam masalah tersebut, pendapat ulama tidak satu suara, ada pandangan lain yang tidak diketahuinya. Pada akhirnya akan membuat orang menjadi -terkesan- jumud ketika melihat adanya perbedaan pendapat, dan membuatnya menjadi sangat militan dalam mendominasi -yang katanya- kebenaran mutlak, padahal sejatinya itu adalah masalah yang diperselisihkan, ada pendapat berbeda dari kolompok ulama lain yang kebetulan tidak mahir ber-internet dan tidak mempublish pendapatnya.
Imbas lainnya ketika tersembunyinya ilmu maka bakal tersembunyi juga kebenaran. Hal ini akan sangat mendhalimi orang yang berbeda pandangan dengannya, karena bisa saja dituduh sebagai pelaku bid'ah akibat ceteknya pemahaman murid Mbah Google ini.
Bahkan terkadang kita dapati ada yang mengambil pernyataan imam syafie untuk meruntuhkan pendapat yang memang sudah rajih dalam mazhab syafie. Sebagai contoh dalam masalah qunut subuh, mazhab syafie telah mengukuhkan bahwa qunut subuh hukumnya sunat ab'adh, namun oleh peselancar dunia maya yang kebetulan dia dapati bahwa hadist tentang qunut subuh lemah, bahkan yang kuat adalah tidak ada qunut. Walhasil dia ambil pernyataan Imam Syafie yang menyatakan "apabila sahih hadist maka itulah mazhabku", menurutnya hadist yang shahih tidak ada qunut sehingga ia simpulkan bahwa qunut subuh dalam mazhab syafie tidak ada, dan imbasnya adalah secara tidak langsung ia telah menganggap imam syafie bodoh lantaran tidak mengetahui hal ini.
Padahal kalau ia mau mencermati masalah tersebut langsung berguru kepada ulama-ulama yang bermazhab syafie niscaya hal yang demikian tidak akan terjadi. Sebab sebagaimana telah diketahui oleh khalayak ramai bahwa Al-Imam Asy-Syafie itu seorang pakar hadits nomor wahid yang disebut-sebut sebagai Nashirus sunnah. Mustahil beliau tidak tahu mana hadits shahih dan mana hadits dhaif. Kemungkinan negatif lainnya, di era jejaring sosial ada banyak artikel seputar masalah syariah yang terserak di dunia maya, dan tidak sedikit bermunculan ustaz medsos yang terkadang hanya memakai nama anonim saja yang tak jelas siapa orangnya. Hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafie “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Apa yang dikatakan oleh Imam Syafie memang sangat beralasan, sebab jika hanya mengandalkan apa yang didapat dari laman web maka ilmunya tidak ada mata rantai yang jelas alias terputus sanad. Dan yang amat dikhawatirkan adalah sangat rentan terjadinya kesalahpahaman jika tak ada bimbingan guru. Andaipun ia sangat mahir dengan bidang ilmu tertentu, maka hanya pantas digelari dengan shahafi alias otodidak karena tidak belajar langsung pada guru.
Efek negatif yang tidak kalah bahayanya adalah hilangnya sosok yang dihormati, karena ia hanya belajar pada al-mukarram google saja maka hilanglah peran guru yang sebenarnya sehinga tidak ada lagi sosok yang menjadi panutan, kalaupun ada yang menjadi sosok panutan itupun ia ikut dengan sikap fanatik yang sangat anti kritik. Berbeda halnya belajar dengan berguru secara langsung, dengan adanya guru kita menjadi sadar bahwa status hanyalah seorang murid sehingga akan mudah membuat hati semakin tawadhu, tidak merendahkan penuntut ilmu lain, dan tidak merasa sebagai orang yang paling cerdas lagi dalam kebenaran.
Orang yang menuntut ilmu tanpa guru, hanya lewat buku dan laman internet, dia tidak punya sosok yang harus ia hormati, sebab ilmu yang didapat adalah hasil kerja sendiri. Karena kerja sendiri, berarti ini murni muncul dari kecerdasan diri, tanpa bantuan dan bimbingan guru. Tinggi hati pun akhirnya menjadi sikap bawaannya, jika ada yang menyelisih bawaannya hanya ingin mendebati bukan menghormati dan hanya mau menang sendiri saja, sehingga tidak perlu heran di forum-forum debat dunia maya tak akan pernah selesai pembahasan. Padahal pembahasan yang sedang diperdebatkan sudah lama selesai dibahas oleh ulama-ulama tempo dulu.
Allahumma.