Terjadinya perbedaan pendirian para Fuqaha mengenai bacaan al-Fatihah Makmum seperti dalam uraiannya sebelummnya karena terdapat beberapa hadist yang berkaitan dengan masalah ini, dan dalam menyimpulkan hadist tersebut kalangan fuqaha saling berbeda pendapat.
B. Sebab Perbedaan Pendapat
Hadist-hadist yang dimaksud, yaitu:
1. Pernyataan Nabi:
لاصلاة إلا بفاتحة الكتاب.
"Tidak sah shalat kecuali dengan membaca al-Fatihah" (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)
2. Hadist riwayat Malik dari Abu Hurairah r.a:
أن صلى الله عليه وسلم انصرف من صلاة جهر فيها بالقراءة فقال: هل قرأ معي منكم أحد آنفا؟ فقال رجل: نعم أنا يا رسول الله فقال: رسول الله صلى الله عليه وسلم: إني أقول: مالي أنازع القرآن فانتهى الناس عن القراءة فيما جهر فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم.
"Sesungguhnya Rasulullah saw, menyelesaikan suatu shalat yang bacaan al-qurannya beliau keraskan dalam shalat itu. Lalu beliau bertanya, siapakah diantara kalian yang tadi membaca bersama saya?, ada seorang menjawab, Benar, saya wahai Rasulullah, lalu ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, Sesungguhnya aku nyatakan, mengapa diperselisihkan dalam membaca al-Quran (yang aku baca)? Selanjutnya khalayak tidak membaca pada shalat-shalat yang Rasulullah membacanya dengan keras. (HR. Malik)
3. Hadist Ubadah bin Shamit:
قال: صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الغداة، فثقلت عليه القراءة فلما انصرف قال: إني لأراكم تقرءون وراء الإمام قلنا: نعم، قال: فلا تفعلوا إلا بأم القرآن.
"Ubadah menyatakan, Rasulullah saw, shalat bersama kami pada saat berpergian, maka bacaan beliau tampaknya berat. Seusai shalat, beliau mengatakan, aku memperhatikan kamu membaca dibelakang imam, jawab kami: benar, jawab Rasulullah saw, (selanjutnya), jangan kamu membaca kecuali bacaan (al-Fatihah). (HR. Tirmizi dan Ahmad)
4. Hadist Jabir dari Nabi saw:
من كان له إمام فقراءته له قراءة.
"Barangsiapa yang mengikuti imam, maka bacaan imam itu menjadi bacaan makmum." (HR. Ibnu Majah)
5. Hadist riwayat Imam Ahmad:
قال صلى الله عليه وسلم: إذا قرأ الإمام فانصتوا.
"Apabila imam membaca (jahar), maka hendaklah makmum mendengarkan (diamlah). (HR. Ahmad)
Di dalam menarik kesimpulan hukum terhadap beberapa hadist di atas, kalangan fuqaha saling berbeda pandangan.
Diantaranya terdapat fuqaha yang mengecualikan bacaan al-fatihah dari seluruh bacaan dalam shalat ketika imam membaca dengan jahar. Dasarnya adalah hadist Ubadah bin Shamit di atas, sehingga dalam pelaksanaan shalat jamaah makmum hanya membaca al-Fatihah saja ketika imam membaca dengan keras, hal ini sebagaimana penjelasan Imam Syafie.
Dilain pihak ada fuqaha yang berpendapat bahwa yang dikecualikan adalah bacaan makmum ketika imam membaca dengan keras, karena ada larangan yang tersebut dalam hadist Abu Hurairah di atas. Pendapat ini sebagaimana telah dikemukankan oleh Imam Malik bahwa makmum tidak membaca dengan imam ketika imam membaca dengan jahar (keras), akan tetapi makmum hanya membaca saat imam membaca dengan pelan. Larangan dari hadist Abu Hurairah tersebut juga diperjelas oleh ayat:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
"Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat". (Qs. Al-A'raf: 204)
Mereka berpendapat bahwa perintah dalam ayat tersebut hanya berlaku dalam Shalat.
Sementara itu, ada juga fuqaha yang mengecualikan bacaan wajib bagi makmum baik dalam shalat sirr maupun jahar, dalam artian bahwa makmum sama sekali tidak wajib membaca. Dan bacaan wajib hanya berlaku untuk imam dan orang yang shalat sendiri. Sebagai landasannya, pendapat ini mengacu pada hadist Jabir seperti yang tersebut di atas, dan pendirian ini menjadi pegangan Abu Hanifah.
C. Kesimpulan
Para fuqaha sepakat kecuali Abu Hanifah, saat Imam membaca dengan pelan (sirr) makmum wajib untuk membaca al-Fatihah. Sedangkan saat Imam membaca dengan keras (jahar), para fuqaha masih berselisih paham sebagaiman penjelasan di atas. Namun demikian semua fuqaha sepakat bahwa Imam maupun orang yang shalat sendiri wajib membaca al-Fatihah.
Rujukan:
Ibnu Rusyd - Bidayatul Mujtahid, Juz. 1, hal. 112-113, cet. Haramain