Oleh: Ibnu Kharis
Kata ustad diserap dari bahasa Arab. Sementara bahasa Arab sendiri menyerap kata tersebut dari bahasa Persia. Dalam bahasa Persia, kata ustad pada awalnya bermakna trainer, dan maknanya mengalami perkembangan menjadi pengajar putra-putri raja, seperti dikutip Almaany.com. Sementara itu, kata ustad dalam bahasa Arab berarti guru besar atau profesor.
Nah, di Indonesia, khususnya Jakarta, penggunaan kata ustad terkadang berbanding terbalik dengan penggunaan bahasa aslinya. Seseorang yang baru bisa mengajar Iqra, misalnya, sudah diberi gelar ustad. Ini bukan berarti saya merendahkan guru-guru mengaji yang mengajarkan Iqra, Juz ‘Amma, dan kitab-kitab Islam dasar.
Titik tekan saya, mengingatkan para orang yang diberi gelar ustad agar tidak terlena dengan gelarnya tersebut. Sehingga lalai tugas pokoknya sebagai ustad. Paling tidak, 5 dampak buruk berikut ini dapat terjadi apabila para ustad tidak mewaspadainya:
1. Tidak Mau Belajar Lagi
Panggilan ustad pada seseorang yang sebenarnya belum layak mendapatkan gelar tersebut dapat berdampak buruk bagi dirinya. Karena sudah merasa ustad, jadi orang itu tidak lagi ingin menambah ilmunya dengan mengaji pada ulama yang lebih pintar atau membaca buku-buku yang dianjurkan oleh ulama-ulama terpilih.
Padahal pepatah Arab mengatakan bahwa mencari ilmu itu dimulai dari buaian hingga liat lahat. Artinya, mencari ilmu itu tidak ada batasnya. Semakin mendapatkan gelar tinggi, justru harus semakin produktif menambah wawasan.
2. Mudah Menyalahkan Orang Lain
Bangsa Indonesia yang dikenal dengan budaya ramah, sopan, dan gotong royong, tampaknya sudah bergeser karena informasi media yang begitu gencar dan massif. Tidak jarang kita disuguhkan dengan berita-berita caci-maki antar umat beragama. Bahkan para ustad dan dai pun terkadang ikut andil dalam menghakimi akidah seseorang.
Karena ketidaktahuannya, seorang ustad tidak ragu-ragu men-judge amaliah orang lain dengan bidah, syirik, kufur, dan lain sebagainya. Bagi ustad yang referensi bacaannya banyak, tentu tidak mudah menuduh orang lain sesat dan tidak benar. Ia akan cenderung lebih hati-hati untuk menghakimi pemahaman agama seseorang.
3. Mencari Jalan Instan Menutupi Ketidaktahuannya
Ustad itu hanya manusia biasa. Terkadang benar dan juga salah. Namun sebagian ustad atau dai terkadang merasa malu apabil tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan dari para jamaahnya. Nah, karena gengsinya tersebut, bisa jadi dia mencari jalan instan untuk menjawab pertanyaan para jamaahnya. Bisa mendadak mencari di internet, atau asal menjawab untuk menutupi ketidaktahuannya.
Saya pernah mengaji pada pakar tafsir Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab di masjid dekat tempat tinggal beliau. Salah satu dari jamaah ada yang bertanya. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan hal gaib. Karena tidak tahu, Pak Quraish Shihab menyatakan bahwa dirinya tidak tahu tanpa malu-malu.
4. Dakwah Hanya Cari Honor
Dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. murni hanya untuk mengajak orang-orang terdekatnya masuk Islam. Sehingga, Allah mengecam para dai yang memasang tarif tertenu dalam ceramahnya.
Para ulama menjelaskan bahwa menerima upah dari hasil mengajar, dakwah, dan ceramah agama tidak terlarang, alias halal. Namun yang dikecam para ulama itu memasang tarif super mahal dalam berdakwah. Karenanya, para orang-orang yang sudah mendapat gelar ustad harus waspada pada perkataan ulama di atas.
5. Menjerumuskan Orang Lain
Nah, yang terakhir ini tidak kalah bahanya dengan poin-poin sebelumnya. Minimnya pengetahuan seorang ustad tidak menutup kemungkinan menjerumuskan orang lain dalam kekeliruan. Apalagi ustad tersebut menutup diri mendapat masukan dari orang lain.
Tentu dosa kekeliruannya akan berkali lipat. Dosa karena dia keliru dan menutup diri untuk diberi masukan positif dari orang lain, dan dosa para jamaah yang telah melakukan kekeliruan pendapat ustad tersebut. Oleh karena itu, para ustad harus selalu mawas diri dan tidak congkak merasa dirinya lah yang paling benar.
Sumber: Datdut.com
COMMENTS