Prof Qurays Shihab Tidak Bershalawat dalam Khutbah Idul Fitri 1438 H yang Lalu?

Prof Qurays Shihab, sumber tirto.id
Jika ditinjau dari segi rukun, maka antara khutbah hari raya dengan khutbah jumat tidak terdapat perbedaan. Rukun khutbah Jumat ada lima, yaitu: mengucap hamdalah atau memuji Allah, bershalawat kepada nabi Muhammad SAW, menyampaikan pesan atau wasiat, membaca ayat Al-Quran dan berdoa mohon ampunan umat umat Islam.

Namun demikian dalam tata laksananya, disunnahkan pada khutbah dua hari raya memulai dengan takbir, sedangkan pada shalat jumat, khutbah langsung dibuka dengan ucapan hamdalah.
Menurut jumhur ulama, disunnahkan untuk mengucapkan takbir 9 kali berturut-turut pada khutbah pertama, dan 7 kali takbir berturut-turut pada khutbah kedua.

Salah satu contoh praktek nyatanya, dapat disaksikan dalam rekaman Khutbah Idul Fitri 1438 H oleh Prof Qurays Shihab di Mesjid Istiqlal yang banyak beredar di Youtube Dimana beliau memulai khutbah dengan melafazkan takbir lalu diikuti dengan pujian dan selanjutnya shalawat, kemudian wasiat yang diteruskan dengan ceramah (teks lengkap dapat dibaca di tirto.id). Di akhir ceramah, beliau duduk sejenak untuk membedakan antara khutbah pertama dan kedua. Selanjutnya dalam khutbah kedua beliau mulai lagi dengan takbir, kemudian hamdalah, shalawat, doa.

Ditengah suasana fitri ini beredar postingan yang di lansir oleh mediaopini[dot]com (link: mediaopini.com) yang menyatakan bahwa tidak terdapat shalwat untuk Rasulullah dalam teks khutbah Prof Qurays Shihab. Pemberitaan semacam ini bisa menimbulkan dampak yang negatif, seolah-olah mengesankan nantinya bahwa Pak Qurays anti shalawat dan sebagainya. Padahal jika menyimak penyampaian khutbah beliau, dengan jelas beliau ucapkan lafaz shalawat untuk Rasulullah dan ahli keluarganya.

Jadi sebenarnya agak aneh ketika ada yang mengatakan bahwa beliau tidak bershalawat, sebab jika beliau tidak bershalawat maka rusaklah khutbah karena shalawat termasuk rukun khutbah.


Video Khutbah Idul Fitri 1438 H oleh Prof Qurays Shihab


Khutbah Idul Fitri 1438 H: Belajar Memaafkan dari Nabi Yusuf

KHUTBAH IDUL FITRI 1438 H
TELADAN NABI YUSUF

اللهُ  اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (×3) اللهُ اَكبَرْ (×3 ) اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّهِ بُكْرَةً  وَأصِيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ  اْلحَمْدُ  الحمد لله, الحمد لله الذى خلق الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله.  اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد فياأيهاالحاضرون اتقوالله, اتقوالله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون, وقال الله تعالى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Idul Fitri ini ibarat agenda pertemuan tahunan bagi kita ummat Islam. Ini adalah perkumpulan terbesar bagi kita, setelah kita dipertemukan dalam pertemuan kecil harian melalui ibadah shalat lima waktu, dan kita juga kadang bertemu dalam agenda mingguan berupa hadir dalam shalat jumat berjamaah.

Pagi ini kita berjumpa dengan sesama, yang mungkin sebelumnya kita jarang atau bahkan tidak pernah bertemu disini, di masjid ini, dalam agenda harian atau mingguan. Alhamadulillah, syukur kepada Allah swt, jika memang ternyata perkara wajib belum bisa mempertemukan kita dalam satu tempat, maka setidaknya kita pernah berkumpul disini dalam menjalankan perkara sunnah.

Kita khawatir jangan-jangan selama ini perkara maksiat dan dosa lebih banyak membuat kita tertarik untuk berkumpul bersama, dan lebih semangat  lagi, sehingga masjid yang ada disini seakan tertinggal/terabaikan. Naudzubillah min dzalik. Dengan terus berharap bahwa mudah-mudahan Allah swt menguatkan langkah kaki kita kedepan untuk bisa terus bertemu di masjid ini, baik dalam agenda harian berupa shalat berjamaah lima waktu, juga dalam pertemuan mingguan berupa shalat jumat, juga dalam agenda-agenda lainnya yang ada di masjid ini.

Allahu akbar 3x
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Di pagi hari yang damai ini, mari sejenak kita kembali mengenang salah satu kisah yang Al-Quran tuliskan, untuk bisa menjadi sumber inspirasi kita dalam hidup ini, yaitu salah satu potongan cerita sejarah kehidupan nabi Allah yang mulia, yang oleh Rasulullah saw disebut sebagai manusia mulia anak dari manusia mulia anak dari manusia mulia anak dari manusia mulia, dialah nabi Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim alaihimus salam.

Delapan puluh tahun hilang dari keluarga (walaupun ada riwayat lain yang mengatakan kurang dari sana) semenjak nabi Yusuf dibuang ke dalam sumur belum juga membuat rasa iri itu hilang dari dada saudara-saudaranya. Dan dalam waktu yang bersamaan selama delapan puluh tahun itu pula nabi Yusuf menuliskan kisahnya seorang diri, dalam sedih yang mengiris hati, terseok-seok, hingga takdirnya menjadi salah satu penguasa Mesir yang tinggal di Istana.

Dalam ketidaktahuan saudara-saudaranya, setelah delapan puluh tahun itu, akhirnya mereka sampai kepada nabi Yusuf yang sudah menjadi pejabat negara, nabi Yusuf tahu bahwa mereka itu adalah saudara-saudaranya yang dulu membuangnya ke dalam sumur. Mereka datang dengan membawa hajat agar diberi makanan pokok, guna melanjutkan kehidupan dalam suasana kemarau panjang. Alhamdulillah hajat pun dipenuhi.

Beberapa waktu kemudian mereka datang kembali bersama Binyamin, dengan sedikit “sandiwara” akhirnya orang-orang istana mengumumkan bahwa shuwa al-malik (piala raja) hilang dicuri. Siapa yang mencurinya maka dialah yang harus bertanggung jawab. Padahal piala raja itu sengaja diletakkan dikeranjang yang dibawa oleh Benyamin. Mula-mula yang diperiksa adalah saudara-saudara yang dulunya membuang nabi Yusuf ke dalam sumur, dan barang itu tidak ada, lalu tiba akhirnya keranjang Benyamin yang diperiksa, dan persis piala itu ada  disana.

Dalam kegelisan setelah digledah tersebut, masih sempat-sempatnya mereka (saudara-saudara nabi Yusuf) berkomentar pedas:

 قَالُوا إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ

Jika memang dia (Binyamin) mencuri, maka sungguh dulu saudaranya (maksudnya Yusuf) juga pernah mencuri”

Mendengar kata-kata pedas dari saudaranya itu, nabi Yusuf hanya bisa mengelus dada, bahwa 80 tahun dari hilangnya nabi Yusuf, rasa iri dan dengki di hati saudara-saudaranya  belum juga hilang, memang dahulu kala “katanya” Yusuf pernah mencuri patung milik kakeknya untuk dihancurkan, atau “katanya” nabi Yusuf pernah mencuri makanan untuk memberi makan orang fakir, sekali lagi semua kabar itu yang bersifat “dugaan” tidak terbukti sama sekali, sehingga wajar jika nabi Yusuf tidak terima dengan tuduhan keji seperti itu, namun kekesalan nabi Yusuf as itu oleh Al-Quran digambarkan dengan dengan sangat baik sekali:

 فَأَسَرَّهَا يُوسُفُ فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْ

Maka nabi Yusuf menyembunyikan kekesalannya didalam hati dan tidak menampakkannya kepada mereka”

Nabi Yusuf cukup berkata didalam hatinya:
 قَالَ أَنْتُمْ شَرٌّ مَكَانًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَصِفُونَ 

Memang kalian mempunyai kedudukan (sifat) yang buruk, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu terangkan itu”

Demikian, secara ringkas Al-Quran mengabadikannya dalam QS. Yusuf: 77.  Dari cerita ini setidaknya ada tiga poin penting yang bisa kita ambil di pagi ini:

Pertama: Ujian hidup beragama itu beragam. Selama ini kita sudah sangat sadar sebenarnya bahwa seorang muslim itu jika sudah baligh/sampai umur, maka ketika itu dia diberi banyak beban, didalam istilah fikih dia disebut dengan mukallaf/dibebani. Semenjak saat itu hidup bebas tanpa batas karena alasan masa kanak-kanak sudah selesai. Dalam tahap ini agama sudah memperlakukan seorang muslim sebagai manusia dewasa, dimana segala prilakunya akan dimintai pertanggung jawaban.
Allah swt dalam QS. Al-Insyiqaq: 6, berfirman:

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ

Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan bersusah payah menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya”

Pertemuan kita dengan Allah swt itu pasti, tidak ada keraguan didalamnya, meragukanya artinya keimanan kita belum sempurna, sejarah kehidupan manusia yang penuh kesusahan dalam menyelesaikan beban-beban itulah yang nanti akan ditanya, pasti ditanya, jika kita berhasil menyelesaikan beban-beban itu dengan baik, walaupun terseok-seok disana-sini, maka hasilnya adalah kenikmatan abadi yang Allah swt siapkan di syurga sana.

Nabi Yusuf as adalah salah satu dari dua belas orang anak laki-laki nabi Ya’qub, sejarawan mencatat bahwa hanya beliau sendirilah yang dipilih oleh Allah swt untuk mengemban beban tambahan menjadi nabi dan rasul. Bayangkan dari kecil beliau sudah bersusah payah, bahkan terseok-seok memegang ajaran agama, beban agama yang kita pikul sekarang belum seujung kuku dari beban agama yang diemban oleh beliau dan para nabi yang lain.

Jangan cengeng menjadi muslim, diuji dengan shalat tidak kuat, diuji dengan puasa tidak kuat, diuji dengan zakat tidak kuat. Untuk perkara yang wajib terkadang kita tidak kuat melakukannya, namun untuk perkara mubah; menonton bola, ke pasar berjam-jam, rekreasi mendaki gunung nun jauh itu sanggup untuk dilakukan. Dan terkadang, naudzubillah, justru untuk perkara makruh dan haram banyak juga diantara kita yang sanggup, sigap dan berani terang-terangan melakukannya.
Mudah-mudahan hasil didikan ramadhan tidak hilang begitu saja sembari terbenamnya bulan ramadhan. Mudah-mudahan semangat ke masjid tidak hilang, semangat membaca Al-Quran setiap hari tidak hilang, semangat berbagi makanan dan harta tidak hilang, kejujuran semakin terpatri kedalam jiwa, kesabaran semakin bertambah, daya juang semakin tinggi dan keikhlasan semakin terjaga. 

Allahu akbar 3x
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Kedua: Konflik bersaudara itu memang ada. Orang tua boleh sama, namun setiap anak akan membawa tabiatnya sendiri. Sekali waktu Yusuf berkata kepada ayahnya Ya’qub as:

 إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ

(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

Mimpi itu hadir ketika Yusuf masih kecil, belum baligh, sebelas bintang yang dimaksud oleh Al-Quran adalah isyarat untuk sebelas saudara Yusuf yang lainnya, sedang matahari dan bulan adalah isyarat untuk ayah dan ibunya. Setelah Ya’qub mendengar cerita mimpi anaknya tersebut, dalama firasat seorang nabi, Ya’qub meyakini bahwa nanti Yusuf ini akan menjadi orang besar, dimana kelak saudara-sauranya bahkan ayah dan ibu sendiri akan sujud/hormat kepadanya.

Untuk itu, Ya’kub berpesan, janganlah kiranya mimpi ini diceritakan kepada yang lain, termasuk jangan juga diceritakan kepada saudara-saudara yang lain, karena hati manusia siapa yang tahu, dan bahwa syaitan bisa saja berbisik sepanjang waktu, agar muncul rasa iri dan dengki terhadap saudara sendiri yang difirasati akan sukses dikemudian hari.

Dalam kehidupan ini, memang tidak semuanya harus ditampakkan, bersikaplah biasa-biasa saja, bukan karena pelit, hanya karena ingin menjaga hati dan perasan orang lain agar tetap stabil, karena setiap orang yang diberi kenikmatan itu berpotensi untuk diri dan didengki oleh yang lain. Terlebih didunia media sosial sekarang ini, tidak semua harus ditampakkan disana, tidak semua foto harus di posting, tidak semua menu makanan diperlihatkan, dan tidak semua kemesrahan serta kesuksesan harus dipertontonkan, biasa-bisa saja, karena segala apa yang ad dengan kita ini hanyalah pemberian dan titipan Allah swt serta ujiannnya, yang kapanpun bisa diambil olehNya, dan yang pasti Allah swt akan meminta pertanggungjawaban untuk semua kenikmatan dan fasilitas hidup yang kita pakai di bumi ini.

Imam At-Thabrani meriwayatkan sebuah pesan Rasulullah saw yang cukup bijak:

استعينوا على قضاء حوائجكم بكتمانها فإن كل ذي نعمة محسود

Minta tolong kalian semua dalam hal menyelesaikan hajat hidup kalian dengan menyembunyikannya, karena sungguh orang-orang yang diberi kenikmatan itu akan diri dan didengki”   

Selanjutnya berbagi kenikmatan adalah salah satu cara berikutnya untuk meredam sifat iri dan dengki dari sesama, karenanya salah satu tujuan zakat, infak dan shadaqah itu adalah untuk menciptakan keseimbangan sosial dimasyarakat, jangan sampai orang kaya semakin kaya, dan orang miskin semakin miskin, ketimpangan sosial seperti ini berpotensi menyulut api kebencian dan peperangan antara kaum kaya vs kaum tidak berdaya.

Allahu akbar 3x
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Ketiga: Perihal kesalahan dan dosa sesama saudara, maafkan saja. Dipisahkan dari orang tua, dibuang ke sumur, delapan puluh tahun hidup sendiri hingga berdarah-darah, difitnah bahkan masuk penjara, ini semua akibat persekongkolan saudara sendiri yang dirasakan oleh nabi Yusuf as., namun sedikitpun tidak ada terbersit niat untuk balas dendam tehadap saudara sendiri,
Memaafkan adalah pilihan yang cukup sulit untuk dilakukan, terutama bila berkenaan dengan kesalahan yang sangat berat dan menorehkan luka yang dalam di hati kita. Benar, lebih mudah meminta maaf daripada memaafkan bukan? Tapi Islam justru memerintahkan kita menjadi mengambil sikap memaafkan orang lain. Allah swt memerintahkan kita, ''Tetapi, orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.'' (asy-Syuura: 43).

Inilah kemuliaan yang agung, inilah pesona yang tertinggi, yaitu menjadi pemaaf. Pernah saat bersama para sahabatnya, Rasulullah pernah bersabda, ''Maukah kalian aku beri tahu sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan dan meninggikan derajatmu?'' Para sahabat menjawab, ''Tentu, wahai Rasulullah.'' Rasulullah lalu bersabda, ''Bersabar terhadap orang yang membencimu, memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menyambung silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu.'' (HR Thabrani).

Lebih lanjut, dalam waktu yang bersamaan Al-Quran juga menyebut bahwa sesama muslim umumnya adalah bersaudara, walau tidak dilahirkan dari rahim yang sama (QS. Al-Hujurat: 10), walau bersaudara namun akhir-akhir ini sangat terasa sekali aroma permusuhan sesama kita, seakan mudah sekali mulut kita berucap bahwa si fulan salah, si fulan begok, si fulan sesat, si fulan kafir, hanya kelompok kami yang benar, hanya kelompok kami yang boleh berfatwa, dst.
Ini zaman dimana “ribut” dinomorsatukan ketimbang saling memahami, ini zaman dimana perkara khilaf dijadikan perkara ijma’, sehingga suatu kelompok yang bebeda degan kelompoknya pasti dianggap salah. Ini zaman dimana “orang lain” lebih dicintai ketimbang saudara sendiri, ini zaman dimana pedang lebih mudah menggorok saudara sendiri ketimbang musuh yang jelas-jelas nyata.

Kesimpulan
Akhir kata di antara proses utama menjadi pemenang setelah melaksanakan bulan Ramadhan adalah menang dalam hubungan dengan sesama. Selain silaturahim, juga ada tradisi saling meminta dan memaafkan. Mengingat Allah tidak memaafkan dosa-dosa yang terkait dengan sesama manusia, kecuali telah terjadi saling memafkan di antara mereka. Inilah jalan menuju takwa, karena di antara tanda orang-orang yang bertakwa adalah siapa yang senang memafkan kesalahan sesamanya. Allah berfirman, ''Dan, orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (Ali Imran: 133-134).

Dan kiranya semoga kisah Nabi Yusuf dapat kita petik pelajaran penting sebagaimana yang telah Allah tegaskan pada ayat terakhir dalam surat Yusuf:

111. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.

Disampaikan di Mesjid Al-Iklas Lubuk - Aceh Besar, 1 Syawal 1438 H/25 Juni 2017 M
Sumber: Rumahfiqih dengan beberapa perubahan

Asal Usul Waktu Imsak

Dalam selebaran jadwal shalat selama ramadhan, didapati ada sebuah jadwal yang dinamakan imsak, dan dijadikan sebagai patokan untuk memulai menahan diri dari hal-hal yang membukakan puasa. 

Namun belakangan ini, ada segelintir suara-suara sumbang yang mempertanyakan, imsak tersebut asal usulnya dari mana? Bukankah puasa dimulai dari terbit fajar? Sementara imsak waktunya belum terbit fajar, kenapa harus mempersulit diri sendiri dengan menahan lapar lebih awal.

Lantas, apakah waktu imsak tidak mempunyai dasar apapun? Menjawab hal ini, mari kita simak ulasan para ulama sebagai berikut:

1. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
Dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari pada kitabus shaum, pada bab:

ﺑﺎﺏ ﻗﺪﺭ ﻛﻢ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ
[bab ukuran perkiraan waktu antara sahur dan shalat subuh]

Diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu dari Zaid bin
Tsabit bahwa dia pernah berkata : ”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab : ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ (kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)”

Ibnu Hajar menjelaskan:

ﻗﻮﻟﻪ : ‏( ﺑﺎﺏ ﻗﺪﺭ ﻛﻢ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ ‏) ﺃﻱ : ﺍﻧﺘﻬﺎﺀ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻭﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﺍﻟﺼﻼﺓ ؛
ﻷﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺗﻘﺪﻳﺮ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﺮﻙ ﻓﻴﻪ ﺍﻷﻛﻞ ، ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻔﻌﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺃﻭﻝ ﺍﻟﺸﺮﻭﻉ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﺎﻟﻪ
ﺍﻟﺰﻳﻦ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﻴﺮ .

Perkataannya [bab ukuran perkiraan waktu antara sahur dan shalat subuh] yakni waktu akhir sahur dan mulai shalat, karena sesungguhnya maksudnya adalah perkiraan waktu berhenti makan, dan maksud dengan melalakukan shalat adalah permulaan mulai shalat, telah menyatakan atas hal itu oleh Az-Zain bin al-Minbar.

lalu beliau berkata lagi:

ﻗﻮﻟﻪ : ‏( ﻗﺎﻝ : ﻗﺪﺭ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ ‏) ﺃﻱ : ﻣﺘﻮﺳﻄﺔ ﻻ ﻃﻮﻳﻠﺔ ﻭﻻ ﻗﺼﻴﺮﺓ ﻻ ﺳﺮﻳﻌﺔ ﻭﻻ
ﺑﻄﻴﺌﺔ ، ﻭﻗﺪﺭ ﺑﺎﻟﺮﻓﻊ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺃ ، ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻨﺼﺐ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺧﺒﺮ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﻘﺪﺭﺓ ﻓﻲ
ﺟﻮﺍﺏ ﺯﻳﺪ ﻻ ﻓﻲ ﺳﺆﺍﻝ ﺃﻧﺲ ﻟﺌﻼ ﺗﺼﻴﺮ ﻛﺎﻥ ﻭﺍﺳﻤﻬﺎ ﻣﻦ ﻗﺎﺋﻞ ﻭﺍﻟﺨﺒﺮ ﻣﻦ ﺁﺧﺮ . ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﻤﻬﻠﺐ ﻭﻏﻴﺮﻩ : ﻓﻴﻪ ﺗﻘﺪﻳﺮ ﺍﻷﻭﻗﺎﺕ ﺑﺄﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺒﺪﻥ ، ﻭﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺗﻘﺪﺭ ﺍﻷﻭﻗﺎﺕ ﺑﺎﻷﻋﻤﺎﻝ
ﻛﻘﻮﻟﻪ : ﻗﺪﺭ ﺣﻠﺐ ﺷﺎﺓ ، ﻭﻗﺪﺭ ﻧﺤﺮ ﺟﺰﻭﺭ ، ﻓﻌﺪﻝ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻘﺪﻳﺮ
ﺑﺎﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ؛ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻛﺎﻥ ﻭﻗﺖ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺑﺎﻟﺘﻼﻭﺓ ، ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﺪﺭﻭﻥ ﺑﻐﻴﺮ
ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻟﻘﺎﻝ ﻣﺜﻼ : ﻗﺪﺭ ﺩﺭﺟﺔ ، ﺃﻭ ﺛﻠﺚ ﺧﻤﺲ ﺳﺎﻋﺔ .

perkataan [beliau berkata;ukuran 50 ayat] yakni bacaan yang sedengan bukan yang panjang tau yg pendek, tidak yang kencang [membacanya] atau yang lambat, berkata al-mihlab dan lainnya: disana membuat perkiraan waktu dengan perbuatan badan, dan biasanya orang arab membuat perkiraan waktu dengan amalan badan,seperti dengan ukuran memeras susu kambing. maka zaid memindahkan perkiraan itu dengan qiraat, itu merupakan sebuah isyarat juga bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dengan qiraat, seandainya kebiasaan orang arab tidak dengan amalan badan, maka zaid pun akan berkata misalnya: ukuran derajat sekian, atau sepertiga, seperlima jam.

2. Ibnu Rusyd
Beliau menjelaskan dalam Bidayatul Mujtahid pada kitab Shaum juz 1 hal 211 sebagai berikut :

والمشهور عن مالك وعليه الجمهور أن اﻷكل يجوز أ ن يتصل بالطلوع، وقيل بل يجب اﻹمساك قبل الطلوع...

Dan yang mashur dari Imam Malik dan sesuai dengan pendapat jumhur batas makan adalah eksistensi terbit fajar, bukan tampaknya fajar, dan ada yang mengatakan bahkan wajib imsak sebelum terbit fajar.

ومن ذهب إلى أنه يجب اﻹمساك قبل الفجر فجريا على اﻻحتياط وسدا للذريعة، وهو أورعالقولين واﻷوا أقيس والله أعلم.

Mereka yang menentukan batas imsak sebelum terbit fajar hanya sebagai tindakan hati-hati dan menghilangkan keraguan. Pendapat pertama (malik dan jumhur) lebih tepat dan pendapat kedua (imsak sebelum terbit fajar) lebih hati-hati, wallahu a'lam.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, jadi jelas bahwa sejak zaman Rasulullah, sudah dilakukan imsak sebagai langkah berhati-hati. Karena dulunya tidak ada jam, wajar saja orang mengukur waktu berdasarkan kegiatan-kegiatan tertentu. Sementara belakangan ini, dimana penanda waktu semakin canggih, dibuatlah jarak waktu sekitar 10 menit sebelum subuh sebagai langkah untuk bersiap-siap puasa. Karenanya, jangan terburu-buru divonis sebagai sesuatu yang tidak mendasar, apalagi jika dituduhkan sebagai perbuatan bid'ah. Wallahu a'lam.

Ramadhan di Kuala Terengganu

Oleh: Saiful Hadi

Seperti kata pepatah, Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, demikian yang penulis amati selama menjalani ibadah puasa ramadhan di Terengganu, tepatnya di Kampung Kemasek yang terletak antara Kerteh dan Kijal, sekitar 30 km dari bandar Chukai dan 10 menit dari arah Kerteh. Sekilas memang tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok, namun ada beberapa tradisi unik yang membuat ramadhan di Kemasek tampil beda.

Tarawih 20 rakaat

Dari beberapa mesjid yang sempat penulis singgahi, seperti mesjid jamek kemasek dan mesjid sultan Ahmad yang berada di wilayah Kemaman, umumnya shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 20 rakaat. Akan tetapi setelah selesai delapan rakaat ada juga beberapa jamaah yang langsung menutup dengan witir, sementara imam tetap lanjut sampai selesai dua puluh rakaat.

Pelaksanaan ibadah tarawih tidak berbeda jauh dengan yang ada di aceh. Setiap selesai dua rakaat, dipandu oleh seorang bilal, seluruh jamaah berzikir bersama seperti yang sering kita saksikan di Aceh, yaitu membaca "fadhlan minallah...", dan "subhana malikil makbud" setiap selesai empat rakaatnya. Tidak lupa juga, imam memimpin doa setiap selesai empat rakaat.

Sejauh amatan penulis, hampir seluruh mesjid tata laksana tarawihnya demikian. Pelaksaan tarawih di imami oleh para Hafiz, satu juz setiap malam. Dan pada rakaat terakhir witir, imam membaca doa qunut sebab telah memasuki pertengahan kedua dari ramadhan. Sementara untuk selanjutnya dilanjutkan oleh imam yang lain. Dalam semalam ada dua orang imam yang bertindak memimpin tarawih sampai witir, sedangkan shalat isya tetap dipimpin oleh imam besar mesjid.

Di mesjid tersebut ada terpajang sebuah al-Quran dengan ukuran A3 yang berguna untuk memudahkan imam saat memimpin shalat. jadi saat membaca ayat setelah al-fatihah, imam langsung membaca dari al-Quran tersebut.

Qiyamul lail dan Tazkirah Subuh

Dalam rangka menghidupkan sepuluh terakhir ramadhan, aktivitas mesjid di malam harinya padat dengan berbagai kegiatan. Mulai dari tarawih, hingga shalat malam lainnya seperti tahajud dan shalat sunnah tasbih yang dikerjakan secara berjamaah.

Selain meningkatkan amal dengan berbagai amalan ibadah, setiap subuhnya juga dibuat kajian-kajian ilmu agama yang disebut dengan tazkirah, atau kuliah subuh seperti yang lazimnya kita saksikan di aceh.