KHUTBAH
IDUL FITRI 1438 H
TELADAN
NABI YUSUF
اللهُ اَكْبَرْ
(3×) اللهُ اَكْبَرْ (×3) اللهُ اَكبَرْ (×3 )
اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ
اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ
اْلحَمْدُ الحمد لله,
الحمد لله الذى خلق الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ
أَسْفَلَ سَافِلِينَ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ
أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا
محمدا عبده ورسوله. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد
فياأيهاالحاضرون اتقوالله, اتقوالله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون, وقال
الله تعالى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ,
وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ
وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ
العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ
الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Idul Fitri ini ibarat agenda pertemuan tahunan bagi kita
ummat Islam. Ini adalah perkumpulan terbesar bagi kita, setelah kita
dipertemukan dalam pertemuan kecil harian melalui ibadah shalat lima waktu, dan
kita juga kadang bertemu dalam agenda mingguan berupa hadir dalam shalat jumat
berjamaah.
Pagi ini kita berjumpa dengan sesama, yang mungkin sebelumnya
kita jarang atau bahkan tidak pernah bertemu disini, di masjid ini, dalam
agenda harian atau mingguan. Alhamadulillah, syukur kepada Allah swt, jika
memang ternyata perkara wajib belum bisa mempertemukan kita dalam satu tempat,
maka setidaknya kita pernah berkumpul disini dalam menjalankan perkara sunnah.
Kita khawatir jangan-jangan selama ini perkara maksiat dan
dosa lebih banyak membuat kita tertarik untuk berkumpul bersama, dan lebih
semangat lagi, sehingga masjid yang ada
disini seakan tertinggal/terabaikan. Naudzubillah min dzalik. Dengan terus
berharap bahwa mudah-mudahan Allah swt menguatkan langkah kaki kita kedepan
untuk bisa terus bertemu di masjid ini, baik dalam agenda harian berupa shalat
berjamaah lima waktu, juga dalam pertemuan mingguan berupa shalat jumat, juga
dalam agenda-agenda lainnya yang ada di masjid ini.
Allahu akbar 3x
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Di pagi hari yang damai ini, mari sejenak kita kembali
mengenang salah satu kisah yang Al-Quran tuliskan, untuk bisa menjadi sumber
inspirasi kita dalam hidup ini, yaitu salah satu potongan cerita sejarah
kehidupan nabi Allah yang mulia, yang oleh Rasulullah saw disebut sebagai
manusia mulia anak dari manusia mulia anak dari manusia mulia anak dari manusia
mulia, dialah nabi Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim alaihimus salam.
Delapan puluh tahun hilang dari keluarga (walaupun
ada riwayat lain yang mengatakan kurang dari sana) semenjak nabi Yusuf dibuang
ke dalam sumur belum juga membuat rasa iri itu hilang dari dada
saudara-saudaranya. Dan dalam waktu yang bersamaan selama delapan puluh tahun
itu pula nabi Yusuf menuliskan kisahnya seorang diri, dalam sedih yang mengiris
hati, terseok-seok, hingga takdirnya menjadi salah satu penguasa Mesir yang
tinggal di Istana.
Dalam ketidaktahuan saudara-saudaranya, setelah delapan
puluh tahun itu, akhirnya mereka sampai kepada nabi Yusuf yang sudah menjadi
pejabat negara, nabi Yusuf tahu bahwa mereka itu adalah saudara-saudaranya yang
dulu membuangnya ke dalam sumur. Mereka datang dengan membawa hajat agar diberi
makanan pokok, guna melanjutkan kehidupan dalam suasana kemarau panjang.
Alhamdulillah hajat pun dipenuhi.
Beberapa waktu kemudian mereka datang kembali bersama
Binyamin, dengan sedikit “sandiwara” akhirnya orang-orang istana mengumumkan
bahwa shuwa al-malik (piala raja) hilang dicuri. Siapa yang
mencurinya maka dialah yang harus bertanggung jawab. Padahal piala raja itu
sengaja diletakkan dikeranjang yang dibawa oleh Benyamin. Mula-mula yang
diperiksa adalah saudara-saudara yang dulunya membuang nabi Yusuf ke dalam
sumur, dan barang itu tidak ada, lalu tiba akhirnya keranjang Benyamin yang
diperiksa, dan persis piala itu ada
disana.
Dalam kegelisan setelah digledah tersebut, masih sempat-sempatnya
mereka (saudara-saudara nabi Yusuf) berkomentar pedas:
قَالُوا
إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ
“Jika memang dia (Binyamin) mencuri,
maka sungguh dulu saudaranya (maksudnya Yusuf) juga pernah mencuri”
Mendengar kata-kata pedas dari saudaranya itu, nabi Yusuf
hanya bisa mengelus dada, bahwa 80 tahun dari hilangnya nabi Yusuf, rasa iri
dan dengki di hati saudara-saudaranya
belum juga hilang, memang dahulu kala “katanya” Yusuf pernah mencuri
patung milik kakeknya untuk dihancurkan, atau “katanya” nabi Yusuf pernah
mencuri makanan untuk memberi makan orang fakir, sekali lagi semua kabar itu
yang bersifat “dugaan” tidak terbukti sama sekali, sehingga wajar jika nabi
Yusuf tidak terima dengan tuduhan keji seperti itu, namun kekesalan nabi Yusuf
as itu oleh Al-Quran digambarkan dengan dengan sangat baik sekali:
فَأَسَرَّهَا
يُوسُفُ فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْ
“Maka nabi Yusuf menyembunyikan
kekesalannya didalam hati dan tidak menampakkannya kepada mereka”
Nabi Yusuf cukup berkata didalam hatinya:
قَالَ أَنْتُمْ شَرٌّ
مَكَانًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَصِفُونَ
“Memang kalian mempunyai
kedudukan (sifat) yang buruk, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu terangkan
itu”
Demikian, secara ringkas Al-Quran mengabadikannya dalam QS.
Yusuf: 77. Dari cerita ini setidaknya
ada tiga poin penting yang bisa kita ambil di pagi ini:
Pertama: Ujian hidup beragama itu beragam. Selama ini
kita sudah sangat sadar sebenarnya bahwa seorang muslim itu jika sudah
baligh/sampai umur, maka ketika itu dia diberi banyak beban, didalam istilah
fikih dia disebut dengan mukallaf/dibebani. Semenjak saat itu hidup bebas tanpa
batas karena alasan masa kanak-kanak sudah selesai. Dalam tahap ini agama sudah
memperlakukan seorang muslim sebagai manusia dewasa, dimana segala prilakunya
akan dimintai pertanggung jawaban.
Allah swt dalam QS. Al-Insyiqaq: 6, berfirman:
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ
كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
“Hai manusia, Sesungguhnya kamu
telah bekerja dengan bersusah payah menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan
menemui-Nya”
Pertemuan kita dengan Allah swt itu pasti, tidak ada
keraguan didalamnya, meragukanya artinya keimanan kita belum sempurna, sejarah
kehidupan manusia yang penuh kesusahan dalam menyelesaikan beban-beban itulah
yang nanti akan ditanya, pasti ditanya, jika kita berhasil menyelesaikan
beban-beban itu dengan baik, walaupun terseok-seok disana-sini, maka hasilnya
adalah kenikmatan abadi yang Allah swt siapkan di syurga sana.
Nabi Yusuf as adalah salah satu dari dua belas orang anak
laki-laki nabi Ya’qub, sejarawan mencatat bahwa hanya beliau sendirilah yang
dipilih oleh Allah swt untuk mengemban beban tambahan menjadi nabi dan rasul.
Bayangkan dari kecil beliau sudah bersusah payah, bahkan terseok-seok memegang
ajaran agama, beban agama yang kita pikul sekarang belum seujung kuku dari
beban agama yang diemban oleh beliau dan para nabi yang lain.
Jangan cengeng menjadi muslim, diuji dengan shalat tidak
kuat, diuji dengan puasa tidak kuat, diuji dengan zakat tidak kuat. Untuk
perkara yang wajib terkadang kita tidak kuat melakukannya, namun untuk perkara
mubah; menonton bola, ke pasar berjam-jam, rekreasi mendaki gunung nun jauh itu
sanggup untuk dilakukan. Dan terkadang, naudzubillah, justru untuk perkara
makruh dan haram banyak juga diantara kita yang sanggup, sigap dan berani
terang-terangan melakukannya.
Mudah-mudahan hasil didikan ramadhan tidak hilang begitu
saja sembari terbenamnya bulan ramadhan. Mudah-mudahan semangat ke masjid tidak
hilang, semangat membaca Al-Quran setiap hari tidak hilang, semangat berbagi
makanan dan harta tidak hilang, kejujuran semakin terpatri kedalam jiwa,
kesabaran semakin bertambah, daya juang semakin tinggi dan keikhlasan semakin
terjaga.
Allahu akbar 3x
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Kedua: Konflik bersaudara itu memang ada. Orang tua
boleh sama, namun setiap anak akan membawa tabiatnya sendiri. Sekali waktu
Yusuf berkata kepada ayahnya Ya’qub as:
إِذْ
قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا
وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
“(ingatlah), ketika Yusuf berkata
kepada ayahnya: "Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas
bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."
Mimpi itu hadir ketika Yusuf masih kecil, belum baligh,
sebelas bintang yang dimaksud oleh Al-Quran adalah isyarat untuk sebelas
saudara Yusuf yang lainnya, sedang matahari dan bulan adalah isyarat untuk ayah
dan ibunya. Setelah Ya’qub mendengar cerita mimpi anaknya tersebut, dalama
firasat seorang nabi, Ya’qub meyakini bahwa nanti Yusuf ini akan menjadi orang
besar, dimana kelak saudara-sauranya bahkan ayah dan ibu sendiri akan
sujud/hormat kepadanya.
Untuk itu, Ya’kub berpesan, janganlah kiranya mimpi ini
diceritakan kepada yang lain, termasuk jangan juga diceritakan kepada
saudara-saudara yang lain, karena hati manusia siapa yang tahu, dan bahwa
syaitan bisa saja berbisik sepanjang waktu, agar muncul rasa iri dan dengki
terhadap saudara sendiri yang difirasati akan sukses dikemudian hari.
Dalam kehidupan ini, memang tidak semuanya harus
ditampakkan, bersikaplah biasa-biasa saja, bukan karena pelit, hanya karena
ingin menjaga hati dan perasan orang lain agar tetap stabil, karena setiap
orang yang diberi kenikmatan itu berpotensi untuk diri dan didengki oleh yang
lain. Terlebih didunia media sosial sekarang ini, tidak semua harus ditampakkan
disana, tidak semua foto harus di posting, tidak semua menu makanan
diperlihatkan, dan tidak semua kemesrahan serta kesuksesan harus
dipertontonkan, biasa-bisa saja, karena segala apa yang ad dengan kita ini
hanyalah pemberian dan titipan Allah swt serta ujiannnya, yang kapanpun bisa
diambil olehNya, dan yang pasti Allah swt akan meminta pertanggungjawaban untuk
semua kenikmatan dan fasilitas hidup yang kita pakai di bumi ini.
Imam At-Thabrani meriwayatkan sebuah pesan Rasulullah saw
yang cukup bijak:
استعينوا على قضاء حوائجكم بكتمانها فإن كل ذي نعمة محسود
“Minta tolong kalian semua dalam
hal menyelesaikan hajat hidup kalian dengan menyembunyikannya, karena sungguh
orang-orang yang diberi kenikmatan itu akan diri dan didengki”
Selanjutnya berbagi kenikmatan adalah salah satu cara
berikutnya untuk meredam sifat iri dan dengki dari sesama, karenanya salah satu
tujuan zakat, infak dan shadaqah itu adalah untuk menciptakan keseimbangan
sosial dimasyarakat, jangan sampai orang kaya semakin kaya, dan orang miskin
semakin miskin, ketimpangan sosial seperti ini berpotensi menyulut api
kebencian dan peperangan antara kaum kaya vs kaum tidak berdaya.
Allahu akbar 3x
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Ketiga: Perihal kesalahan dan dosa sesama saudara,
maafkan saja. Dipisahkan dari orang tua, dibuang ke sumur, delapan puluh tahun
hidup sendiri hingga berdarah-darah, difitnah bahkan masuk penjara, ini semua
akibat persekongkolan saudara sendiri yang dirasakan oleh nabi Yusuf as., namun
sedikitpun tidak ada terbersit niat untuk balas dendam tehadap saudara sendiri,
Memaafkan adalah pilihan yang cukup sulit untuk dilakukan,
terutama bila berkenaan dengan kesalahan yang sangat berat dan menorehkan luka
yang dalam di hati kita. Benar, lebih mudah meminta maaf daripada memaafkan
bukan? Tapi Islam justru memerintahkan kita menjadi mengambil sikap memaafkan
orang lain. Allah swt memerintahkan kita, ''Tetapi, orang yang bersabar
dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diutamakan.'' (asy-Syuura: 43).
Inilah kemuliaan yang agung, inilah pesona yang tertinggi,
yaitu menjadi pemaaf. Pernah saat bersama para sahabatnya, Rasulullah pernah
bersabda, ''Maukah kalian aku beri tahu sesuatu yang menyebabkan Allah
memuliakan dan meninggikan derajatmu?'' Para sahabat menjawab, ''Tentu, wahai
Rasulullah.'' Rasulullah lalu bersabda, ''Bersabar terhadap orang yang
membencimu, memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang
memusuhimu, dan menyambung silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim
denganmu.'' (HR Thabrani).
Lebih lanjut, dalam waktu yang bersamaan Al-Quran juga
menyebut bahwa sesama muslim umumnya adalah bersaudara, walau tidak
dilahirkan dari rahim yang sama (QS. Al-Hujurat: 10), walau bersaudara
namun akhir-akhir ini sangat terasa sekali aroma permusuhan sesama kita, seakan
mudah sekali mulut kita berucap bahwa si fulan salah, si fulan begok, si fulan
sesat, si fulan kafir, hanya kelompok kami yang benar, hanya kelompok kami yang
boleh berfatwa, dst.
Ini zaman dimana “ribut” dinomorsatukan ketimbang saling
memahami, ini zaman dimana perkara khilaf dijadikan perkara ijma’, sehingga
suatu kelompok yang bebeda degan kelompoknya pasti dianggap salah. Ini zaman
dimana “orang lain” lebih dicintai ketimbang saudara sendiri, ini zaman dimana
pedang lebih mudah menggorok saudara sendiri ketimbang musuh yang jelas-jelas
nyata.
Kesimpulan
Akhir kata di antara proses utama menjadi pemenang setelah
melaksanakan bulan Ramadhan adalah menang dalam hubungan dengan sesama. Selain
silaturahim, juga ada tradisi saling meminta dan memaafkan. Mengingat Allah
tidak memaafkan dosa-dosa yang terkait dengan sesama manusia, kecuali telah
terjadi saling memafkan di antara mereka. Inilah jalan menuju takwa, karena di
antara tanda orang-orang yang bertakwa adalah siapa yang senang memafkan
kesalahan sesamanya. Allah berfirman, ''Dan, orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.'' (Ali Imran: 133-134).
Dan kiranya semoga kisah Nabi Yusuf dapat kita petik
pelajaran penting sebagaimana yang telah Allah tegaskan pada ayat terakhir dalam
surat Yusuf:
111. Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal.
COMMENTS