Dalam lembaran sejarah Islam yang ditulis Imam Jalaluddin
As-Suyuthi dalam Tārīkh al-Khulafā’, diriwayatkan sebuah kisah yang
menjadi titik balik besar dalam perjalanan politik Islam. Kisah ini datang dari
salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ, yaitu Abdullah bin Umar yang dikenal dengan keteguhannya
menjaga sunnah dan kehati-hatian dalam berbicara tentang kekuasaan.
Suatu hari, setelah 10 tahun menjabat sebagai khalifah, tepatnya
pada tahun 51 H, Mu'awiyah menunaikan ibadah haji. Ia mengambil bai'at penduduk
untuk anaknya Yazid kemudian memanggil Abdullah bin Umar. Setelah Abdullah bin
Umar datang, ia mengucapkan syahadat lalu berkata:
"Hai Abdullah bin Umar, engkau pernah berkata kepadaku
bahwa engkau tidak suka tidur satu malam pun tanpa seorang pemimpin. Kuingatkan
kepadamu, jangan sampai engkau memecah-belah persatuan kaum Muslimin atau
berusaha merusak hubungan di antara mereka."
Abdullah bin Umar mendengar kata-kata itu dengan hati yang
berat. Ia tahu, ucapan itu bukan sekadar kekhawatiran seorang pemimpin terhadap
persatuan umat, melainkan keinginan untuk menjadikan kekhalifahan sebagai
warisan keluarga. Maka dengan tenang namun tegas sambil mengucapkan hamdalah ia
menjawab:
“Sesungguhnya, sebelum dirimu sudah ada beberapa khalifah
yang punya beberapa anak. Anakmu tidak lebih baik daripada anak-anak mereka,
tetapi mereka tidak memberikan khilafah kepada anak-anaknya seperti yang
kaulakukan terhadap anakmu. Mereka membiarkan kaum Muslimin menentukan pilihan
mereka dalam mengangkat khalifah. Sekarang engkau memperingatkan aku agar tidak
memecah-belah kaum Muslimin? Wahai, aku takkan pernah melakukan itu!
Sesungguhnya, aku adalah satu dari sekian banyak kaum Muslimin. Jika mereka sepakat
dalam satu perkara, aku akan menyertai mereka. Semoga Allah memberikan rahmat
kepadamu!”
Perkataan Abdullah bin Umar itu adalah isyarat tegas bahwa
sistem kekhalifahan dalam Islam sejak masa Khulafaur Rasyidin dibangun di atas
dasar syura (musyawarah), bukan garis keturunan. Kekuasaan bukanlah
warisan darah, melainkan amanah yang harus diserahkan kepada yang paling layak
dan paling bertakwa.
Namun, sejarah kemudian mencatat bahwa Muawiyah tetap
melanjutkan niatnya. Ia tetap mengangkat Yazid sebagai penerusnya sebelum
wafat. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Islam mulai bergeser dari
kekhalifahan berbasis musyawarah, menuju bentuk kepemimpinan yang diwariskan
secara turun-temurun.
Sebagian sejarawan memandang langkah Muawiyah ini sebagai
awal dari sistem monarki Islam, yang kelak dikenal sebagai Dinasti
Bani Umayyah. Sementara sebagian lain melihatnya sebagai upaya menjaga
stabilitas politik umat setelah masa-masa pergolakan panjang.
- [message]
- Support Catatan Fiqih
- Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:
Paypal: hadissoft@gmail.com | atau BSI 7122653484 an. Saiful Hadi
COMMENTS