Ibnu Haitham, Ilmuan Muslim yang Multi Talenta

Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak sarjana dan ilmuwan yang sangat hebat dalam berbagai bidang, baik itu falsafah, sains, politik, kesusasteraan, kemasyarakatan, agama, pengobatan, dan sebagainya.

Berbeda dengan ilmuan barat yang mengenyampingkan agama, salah satu ciri khas dari ilmuwan Muslim ialah mereka tidak sekedar menguasai ilmu sains, tetapi mereka juga seorang yang pakar dalam bidang agama.

Salah satu tokoh ilmuan tersebut adalah ibnu al-Haitham, biarpun beliau lebih dikenal dalam bidang sains dan pengobatan, tetapi beliau adalah seorang ilmuan yang menguasai multidisiplin ilmu, mulai dalam bidang agama, falsafah, dan astronomi. 

Nama lengkap beliau adalah Abu Ali Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham (Bahasa Arab:ابو علی، حسن بن حسن بن الهيثم) atau Ibnu Haitham (Basra,965 - Kairo 1039), di dunia barat nama beliau lebih dikenal dengan nama Alhazen.

Perjalanan hidup
Ibnu al-Haitham memulai pendidikan awalnya di Basrah sebelum diangkat menjadi pegawai pemerintah ditempat kelahirannya. Setelah beberapa lama bekerja dipemerintahan, Haytham pergi ke Ahwaz dan Mesir, dari perjalannya tersebut Haytham menghasilkan beberapa karya tulis yang luar biasa.


Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, telah menghantarkan beliau berhijrah ke Mesir. Selama di Mesir Haytham melakukan beberapa penyelidikan mengenai aliran Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang cadangan dalam menempuh perjalanan menuju Universitas Al-Azhar.

Haytham telah menjadi seo­rang yang mahir dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan falsafah. Tulisannya mengenai cara kerja mata manusia, telah menjadi salah satu Referensi yang penting dalam bidang kajian sains di Barat. Teorinya mengenai pengobatan mata masih digunakan hingga saat ini diberbagai Universitas di seluruh dunia.

Perjalanan Sains
Ibnu Haitham merupakan ilmuwan yang gemar melakukan penyelidikan. Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler mencipta mikroskop serta teleskop. Ia merupakan orang pertama yang menulis dan menemukan berbagai data penting mengenai cahaya.


Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, antara lain Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana.

Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula apabila mata­hari berada di garis 19 derajat di ufuk timur. Warna merah pada senja pula akan hilang apabila mata­hari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Dalam kajiannya, dia juga telah berhasil menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.

Ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar, dan dari situ ditemukanlah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para ilmuwan di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar yang pertama di dunia.

Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemui prinsip isi padu udara sebelum seorang ilmuwan yang bernama Trricella yang mengetahui perkara itu 500 tahun kemudian. Ibnu Haitham juga telah menemukan kewujudan tarikan gravitasi sebelum Issaac Newton mengetahuinya.

Selain itu, teori Ibnu Hai­tham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung-sambung secara teratur telah memberikan ilham kepada ilmuwan barat untuk menghasilkan wayang gambar. Teori dia telah membawa kepada penemuan film yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita lihat pada masa kini.

Karya-Karya
Ibnu Haitham membuktikan pandangannya apabila dia begitu ghairah mencari dan mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Sehingga kini dia berhasil menulis banyak buku dan makalah. Di antara buku hasil karyanya:
  1. Al'Jami' fi Usul al'Hisab yang mengandungi teori-teori ilmu metametik dan metametik penganalisaannya;
  2. Kitab al-Tahlil wa al'Tarkib mengenai ilmu geometri;
  3. Kitab Tahlil ai'masa^il al 'Adadiyah tentang algebra;
  4. Maqalah fi Istikhraj Simat al'Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat bagi segenap rantau;
  5. M.aqalah fima Tad'u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak dan
  6. Risalah fi Sina'at al-Syi'r mengenai teknik penulisan puisi.

Sumbangan Ibnu Haitham kepada ilmu sains dan filsafat amat banyak. Karena itulah Ibnu Haitham dikenali sebagai seorang yang miskin dari segi material tetapi kaya dengan ilmu pengetahuan. Kajian Ibnu Haitham telah menyediakan landasan kepada perkembangan ilmu sains.

Manusia Sie Reuboh

Oleh: Saiful Hadi

Menjelang Ibadah Suci Ramadhan atau hari raya idul fitri dan idul adha, di Aceh identik dengan tradisi meugang. Tradisi ini biasanya berlangsung selama dua hari, baik sebelum puasa maupun lebaran. Umumnya masyarakat aceh mengistilahkan dengan meugang phon (pertama) dan meugang kedua.

Saat hari meugang hampir seluruh pasar tradisional di Aceh ramai terlihat pedangan yang menjajakan daging dengan tempat jualan yang khas. Harga daging pada hari itu biasanya cukup fantastis, bisa mencapai Rp. 150.000 per kilogramnya bahkan lebih.

Selanjutnya daging meugang ini bakal diolah menjadi menu-menu khas aceh. khususnya di kawasan Aceh Besar salah satu menu wajib yang tidak pernah absen adalah kuah Sie Reuboh (daging rebus). Kuliner khas Kabupaten Aceh Besar ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi santapan wajib terutama saat tiba Ramadhan. Kelebihan sie reuboh Karena bisa bertahan hingga satu bulan tanpa perlu pengawet apapun.

Kuah Sie reuboh tersebut bukan sekadar daging rebus biasa. Sebab, Ia dibuat dari gumpalan daging beserta gapah yang dibumbui garam, cabe merah, cabe kering, cabe rawit, kunyit, kemudian direbus hingga mendidih di belanga tanah tanpa disiram air, dan ada dicampur dengan cuka juga sehingga membuatnya awet dan tahan lama.

Penyajian Kuah sie reuboh harus dalam keadaan panas, karena jika telah mendingin lemak yang ada akan membeku dengan sendirinya, sehingga menjadi kurang nikmat untuk disantap. Namun jangan salah, lantaran bisa membeku inilah yang menjadi salah satu faktor yang turut membuat sie reuboh awet. Disaat ingin menikmatinya tinggal dipanaskan saja kembali agar seluruh gapah menjadi cair dan dagingnya kembali empuk untuk dimakan.

Merenung Sejenak
Manusia disebut-sebut sebagai makhluk yang sering lupa, para ahli menyatakan bahwa kata insan berakar dari nisyan yang bermakna lupa. Sehingga wajar saja manusia terkadang sering lupa. Perilaku sering lupa tersebut juga tergambar dalam quran seperti dalam surat Yunus [10]: 12,


“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo`a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo`a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” Qs. Yunus [10]: 12

Sebagaimana yang tersurat dalam ayat, saat ditimpa bencana mereka berdoa dalam berbagai keadaan, namun saat rahmad datang ia menjadi lupa, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Jika membandingkan perilaku manusia dengan sie reuboh, adakalanya terdapat unsur kemiripan antara keduanya. Melihat kuah sie reuboh, yang membeku ketika dingin dan perlu dipanaskan saat hendak dinikmati lagi. Terkadang kelakuan manusia juga tak ubahnya seperti itu, dimana perlu dipanaskan dulu dengan diberi bala dan bencana baru teringat dengan Yang Maha Kuasa. Meurateb tok wate gempa (berzikir hanya saat gempa saja), demikian pepatah yang sering dilontarkan oleh orang tua di Aceh.

Jadi tidak mengherankan jika terlihat pemandangan mesjid dan musalla penuh saat baru-baru terjadi bencana. Dan lambat laun yang tinggal imam dan muazzin saja, sementara yang lain sudah larut kembali dalam aktivitasnya semula tanpa pernah teringat dengan bencana yang baru saja ia alami.

Biarpun perilaku insan demikian, tetap saja rahmad Allah Ta'ala selalu meliputi kita. Jika direnungi dengan mendalam maka terlihat betapa Maha Kasihnya Allah biarpun hamba Nya jarang berterimakasih.

Berbagai bala dan bencana yang terjadi disekitar kita bisa jadi itu semua adalah sebuah teguran, dan bisa saja hal itu merupakan azab. Namun apapun itu semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Nya pula, dengan bersabar dan tawakkal insyaAllah akan ada kabar gembira nantinya. Jika kita bersyukur sungguh akan Allah tambah nikmat, namun jika kufur nikmat maka azabnya amat pedih dan memilukan.

Haramkah Mencukur Rambut dan Memotong Kuku bagi yang Berqurban?



Menjelang hari raya Idul Adha, maka akan banyak aktifitas yang akan dilakukan oleh kaum muslimin. Diantaranya ada yang melaksanakan ibadah haji, sementara sebagian yang lain merayakan idul adha di tempat masing-masing sambil diiringi dengan penyembelihan hewan qurban.

Dalam hal pelaksanaan penyembelihan qurban tersebut terdapat beberapa anjuran bagi yang berniat qurban. Anjuran-anjuran tersebut meliputi larangan memotong kuku, dan mencukur rambut sampai penyembelihan qurban selesai dilaksanakan.

Semua anjuran tersebut pada dasarnya mempunyai landasan dari beberapa hadist Rasulullah saw. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah hukumnya? Sebab di dunia maya banyak beredar postingan hadist mengenai "larangan" bagi yang berniat qurban, akan tetapi tanpa ada penjelasan yang detail, langsung disimpulkan bahwa hukum terhadap larangan tersebut bermakna "haram" untuk dilakukan. Lantas benarkah demikian?

Sebelum dikupas lebih jauh, simak beberapa hadist berikut:

Hadist pertama:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الحِجَّة وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
Bila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan seseorang di antara kalian ingin berqurban, maka jagalah rambut dan kuku-kukunya. (HR. Muslim)

Hadist kedua:
إِذَا دَخَل الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah Ibunda Mukminin radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bila telah memasuki hari yang sepuluh dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia ganggu rambut qurbannya dan kulitnya.” (HR. Muslim)

Hadist ketiga:
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَأَهَلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ‏
Dari Ummu Salamah Ibunda Mukminin radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang punya hewan untuk disembelih (sebagai qurban), lalu datanglah hilal bulan Dzulhijjah, hendaknya jangan mengambil dari rambut dan kukunya sedikit pun, hingga selesai menyembelih.” (HR. Abu Daud)

Dalam memahami hadist yang tersebut diatas, para ulama berbeda pendapat, diantaranya yaitu:
1. Makruh
Imam Asy-Syairazi (w. 476 H) dari kalangan mazhab Asy-syafi’iyah dalam matan Al-Muhazzab menyebutkan :

ولا يجب عليه ذلك لأنه ليس بمحرم فلا يحرم عليه حلق الشعر ولا تقليم الظفر
Dan hal itu bukan kewajiban, karena dia tidak dalam keadaan ihram. Maka tidak menjadi haram untuk memotong rambut dan kuku.[1]

Hampir senada dengan mazhab syafi'iyah, Mazhab Maliki menyebutkan bahwa hukumnya sunnah, maksudnya disunnahkan untuk tidak mencukur rambut dan tidak memotong kuku sampai selesai penyembelihan.

Pemahaman terhadap hadits Ummu Salamah di atas menurut kedua mazhab ini bahwa bukan sebagai larangan yang bersifat haram (karahatu at-tahrim), melainkan sebagai larangan yang bersifat makruh (karahatu at-tanzih).

Sebab, ada hadits lain yang membolehkan atau tidak mengharamkan potong kuku dan rambut, yaitu hadits dari Aisyah yang menguatkan bahwa larangan Nabi SAW bukan bersifat keharaman.

كُنْتُ أَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللهِ  ثُمَّ يُقَلِّدُهاَ بِيَدِهِ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا وَلاَ يُحْرِمُ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللهُ لَهُ حَتىَّ يَنْحَرَ الهَدْيَ
Dari Aisyah radhiyallahuanha, beliau berkata,”Aku pernah menganyam tali kalung hewan udhiyah Rasulullah SAW, kemudian beliau mengikatkannya dengan tangannya dan mengirimkannya dan beliau tidak berihram (mengharamkan sesuatu) atas apa-apa yang dihalalkan Allah SWT, hingga beliau menyembelihnya. (HR. Bukhari Muslim)

2. Haram
Berbeda dengan Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah, Mazhab Hanabilah mengatakan ajuran dari Rasulullah tersebut hukumnya wajib, dalam artian wajib menjaga diri untuk tidak mencukur rambut dan memotong kuku. Konsekuensi dari wajib, maka menjadi haram hukumnya apabila mencukur rambut dan memotong kuku.

3. Hikmah
Sebagian ulama berpendapat bahwa hikmah dari tidak mencukur rambut dan memotong kuku adalah agar seluruh bagian tubuh itu tetap mendapatkan kekebalan dari api neraka. Sementara yang lain mengatakan bahwa larangan ini dimaksudnya biar ada kemiripan dengan jamaah haji.

Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah berargumentasi bahwa orang yang mau menyembelih hewan udhiyah tidak dilarang dari melakukan jima’ atau memakai pakaian, maka tidak ada larangan atasnya untuk bercukur maupun memotong kuku.

4. Kesimpulan
Hadist yang tersebut diatas tidak serta merta ditarik kesimpulan kepada haram, karena para ulama pun berselisih pendapat dalam memahami maksud hadist. Namun jika maksud hadist ditujukan kepada orang yang sedang ihram haji, mereka memang terlarang untuk bercukur rambut dan memotong kuku selama belum tahallul.


Rujukan:
[1] Asy-Syairazi, Al-Muhazzab, jilid 1 hal. 433

Kenapa Tidak Ngaji Langsung Al-Qur'an dan Sunnah Saja?

Fenomena penolakan sebagian kalangan terhadap konsep Taqlid untuk kaum awam menimbulkan polemik bagi ummat Islam, terutama bagi orang seperti kita yang tiada memiliki kemampuan untuk memahami agama langsung dari sumbernya yakni al qur’an dan as sunnah(Hadits).

Disamping itu keengganan untuk bermadzhab (baca ; Taqlid) telah serta merta membangkitkan semangat sebagian ummat islam untuk beristinbath (menggali hukum langsung dari sumbernya, yakni al qur’an dan as sunnah) tanpa disertai sarana yang memadahi. Dan akibatnya dapat kita rasakan, betapa spirit agama yang semestinya adalah “Rahmatan Lil ‘Alamiin” berubah menjadi “Fitnah Perpecahan” diantara sesama ummat islam.

Oleh karenanya sebelum kita melepaskan diri dari mata rantai bermadzhab (Taqlid) sebaiknya kita bercermin diri setidaknya tentang beberapa hal :

Pertama : ADAKAH KITA TELAH MEMAHAMI BAHASA ARAB DENGAN BENAR ?
Memahami bahasa arab dengan benar adalah sarana pertama yang mesti kita kuasai, mengingat dua sumber utama dalam islam yakni al qur’an dan as sunnah yang notabene menggunakan Berbahasa Arab dengan mutu yang sangat tinggi. 

Ilmu yang mesti kita kuasai dalam bidang ini setidaknya meliputi Gramatika Arab (Nahwu-Shorof), Sastra Arab /Balaghoh (Badi’, Ma’ani, Bayan), Logika Bahasa (Manthiq) Sejarah Bahasa, Mufrodat, dst... Hal ini penting guna meminimalisir kesalahan dalam mengidentifikasi makna yang dikehendaki syari’at dari sumbernya secara Harfiyah (Tekstual), juga untuk mengidentifikasi nash-nash yang bersifat ‘Am, Khosh, berlaku Hakiki, Majazi dst...

Adalah hal yang naif  jika kita berani mengatakan “Halal-Haram, Sah-Bathil, Shohih-‘Alil” hanya berdasar pemahaman dari terjemah al qur’an atau as sunnah. Sebagai ilustrasi sederhan berikut kami kutipkan peran pemahaman bahasa arab yang baik dan benar dalam memahami al qur’an dan as sunnah :

Contoh Fungsi Gramatika Arab

Firman Allah yang menjelaskan tata cara berwudhu :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)

Coba anda perhatikan kalimat وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dalam firman Allah diatas, dimana kata tsb dibaca Nashob (dibaca Fathah pada huruf lam) padahal kata tersebut lebih dekat dengan kata بِرُءُوسِكُمْ (kepala kalian)yang dibaca Jar (dibaca kasrah pada huruf Ro’) dengan konsekwensi makna sebagai berikut :
a. Jika kata وَاَرْجُلِكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasrah) maka yang harus dilakukan untuk kaki ketika berwudhu adalah Mengusap bukan Membasuh, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلِكُمْ disambung dengan kata بِرُءُوسِكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) adalah وَامْسَحُوا (dan Usaplah)

b. Jika kata وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasrah) maka yang harus dilakukan untuk kaki ketika berwudhu adalah Membasuh bukan Mengusap, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلَكُمْ disambung dengan kata وُجُوهَكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) adalah فَاغْسِلُوا (Basuhlah)

Coba anda perhatikan: betapa dengan sedikit perbedaan, berimplikasi makna dan kewajiban yang berbeda. Dimana ketika kata وَاَرْجُلَكُمْ dibaca fathah/Nashab maka kewajibannya adalah Membasuh, sedang jika kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca Kasrah/Jarr, maka kewajibannya adalah Mengusap. Adakah hal ini kita dapati dari al qur’an terjemah ?....

Contoh Fungsi Balaghoh/Sastra Arab
Masih dalam tema ayat diatas, coba anda perhatikan kata إِذَا قُمْتُمْ dengan menggunakan Fiil Madhi (kata kerja masa lampau) yang jika dialih bahasakan secara harfiyah memberi makna : “Apabila kalian telah berdiri /menjalankan”... sedang yang dimaksud adalah sebelum sholat. Inilah yang dalam pelajaran sastra arab disebut dengan “Ithlaqul Madhii Wa Uridal Mustaqbal”


Contoh Fungsi Manthiq
Diantara fungsi “Manthiq”/Logika Bahasa dalam konteks ayat diatas adalah guna men-Tashowwur-kan (menjelaskan dengan makna yang Jami’ dan Mani’) dari masing-masing kata dalam ayat diatas, misal yang dimaksud dengan “Yad” (tangan) adakah ia adalah “Tangan” dalam bahasa kita? “Wajah” seberapakah daerah yang masuk kategori “Wajah”? dan “Ru’us” (kepala), Membasuh, Mengusap, dst.... adakah semuanya dapat kita definisikan dengan kamus bahasa indonesia? Sedang al qur’an menggunakan bahasa arab dengan mutu paling tinggi ?


Kedua : SUDAHKAH ANDA MENGHAFAL AL QUR’AN (Seluruhnya) DAN JUGA SEKURANG-KURANGNYA SERATUS RIBU HADITS ?
Syarat kedua diatas sangatlah diperlukan karena dengan terpenuhunya syarat tersebut akan tergambar semua ayat dan hadits terkait jika anda hendak memutuskan suatu perkara, dengan demikian keputusan/pendapat anda akan terhindar dari bertabrakan dengan nash-nash yang lain.

Sebagai ilusrtrasi sederhana kita gunakan ayat ayat diatas dengan terjemah sbb : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)

Jika kita memahami hanya dari ayat tersebut, maka akan kita dapati hukum wajibnya berwudhu adalah bagi setiap orang yang hendak melaksanakan sholat, baik ia orang yang masih dalam keadaan suci maupun berhadats. mengingat keumuman perintah pada ayat diatas yang ditujukan pada setiap orang yang hendak melaksanakan sholat.

Syarat kedua tsb, juga berguna untuk menghindarkan anda menempatkan dalil bukan pada tempatnya, misal menempatkan ayat-ayat yang sejatinya untuk orang-orang kafir namun anda hantamkan untuk orang-orang islam. Bukankah Abdulloh Ibn Umar –rodhiyAllahu ‘anhu- pernah berkata, ketika beliau ditanya tentang tanda-tanda kaum Khawarij ?

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Dan adalah Ibnu Umar, ia memandang mereka (Khawarij) sebagai seburuk-buruk makhluk Allah, dan ia berkata : “Mereka (Khowarij) berkata tentang ayat-ayat yang (sejatinya) turun terhadap orang-orang kafir, mereka timpahkan ayat tersebut untuk orang-orang beriman”. (HR. Al Bukhari, Bab Qotlil Khawaarij)

Ketiga : SUDAHKAH ANDA MENGUASAI ILMU-ILMU PENDUKUNG YANG LAIN GUNA MEMAHAMI AL QUR’AN DAN AS SUNNAH ?
Perangkat lain yang mesti anda kuasai dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah yang memang luas dan dalamnya melebihi luas dan dalamnya samudera, diantaranya adalah ; - anda harus mengetahui “Asbaabun Nuzul” dari setiap ayat dan juga “Asbaabul Wuruud” dari setiap hadits, hal ini penting agar anda mampu menempatkan dalil-dalil sesuai porsinya dan mampu membedakan dalil-dalil yang “Nasikh” (Pengganti/penyalin) dari dalil-dalil yang “Mansukh” (diganti/disalin)

- anda juga harus menguasai sekurang-kurangnya “Qiro’ah Sab’ah” dalam ilmu qur’an, mengingat akan Naif rasanya seorang “Calon Mujtahid” melafadzkan al qur’an tidak dengan pengucapan yang fashih.

Disamping itu anda juga harus menguasai ilmu-ilmu pendukung guna memahami As Sunnah, seperti Mushtholah Hadits, Jarh Wat Ta’dil, Taroojim, dst... hai ini penting setidaknya agar anda tidak berhukum dengan hadits yang lemah dengan menabrak hadits yang shohih.

Keempat : SUDAHKAH ANDA MENGUASAI KAIDAH BER-ISTINBATH DARI PARA IMAM MUJTAHID ?
Syarat keempat diatas juga sangat penting setidaknya guna mengetahui cara mensikapi nash-nash yang Mujmal, Mubayyan, ‘Am, Khosh, dan cara men-Jami’-kan (mencari titik temu) jika terdapat nash-nash yang dzahirnya Mukholafah (berselisih) atau Ta’aarudh (bertentangan).
Sebagai ilustrasi sederhana kami kutipkan Firman Allah berikut :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al Baqarah : 62)


Sepintas ayat diatas memberi pemahaman adanya peluang yang sama bagi orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, untuk mendapat pahala disisi Allah atas kebajikan yang mereka perbuat. Sehingga seakan ayat tsb menyatakan bahwa orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, bisa masuk sorga. Adakah kenyataannya memang demikian ? sedang dalam ayat lain Allah berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Alu Imron : 85).


Perhatikan dua ayat diatas !!! adakah pengetahuan yang memadahi pada diri anda untuk men-Jami’-kan dua nash yang dzahirnya Mukholafah (tidak sejalan) tsb ?.... sungguh apa yang kami sampaikan diatas hanyalah sebagian kecil perangkat yang harus anda kuasai untuk Ber-Istinbath (menggali hukum langsung dari sumbernya)

Saudaraku... kami sampaikan hal-hal diatas bukan dalam rangka mematahkan semangat belajar anda, akan tetapi ketika anda mencoba menggali hukum dari sumbernya langsung tanpa perangkat yang memadai, maka yakinlah Kelancangan Anda Hanya Akan Berakibat Perpecahan Ummat Islam.

LIKULLI SYAIIN AHLUN, IDZA WUSIDAL AMRU LIGHOIRI AHLIHI.. FANTADZHIRIS SAA’AH : “Setiap segala sesuatu ada ahlinya, Jika suatu perkara diembankan (diserahkan) pada yang bukan ahlinya, maka nantikanlah saat kehancurannya”.

 Sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini banyak kehancuran, musibah, dan saling menjatuhkan pendapat di dunia maya(media sosial) dikarenakan banyak orang berfatwa menyesatkan yang sebenarnya disebabkan ia langsung menggali hukum dari alqur'an dan Hadits tanpa melalui prosedur ijtihad dan tanpa mempelajari kitab Kuning. 

Wallahu A’lam...
Sumber: ngaji.web.id

"Kawin" Muda

Oleh:Saiful Hadi

Menikah diusia muda tentu saja tidak terlarang secara hukum agama, bahkan secara hukum negara pun juga diperkenankan untuk menikah di usia muda, yakni 16 tahun untuk istri dan 19 tahun untuk usia suami.

Nikah muda bukanlah sebuah aib, malahan menjadi sebuah solusi untuk mencegah terjadinya pergaulan bebas. Sebab, Masa muda adalah usia yang penuh dengan gairah, termasuk halnya dalam gairah untuk bercinta. Sehingga tiada jalan lain yang lebih mulia ketimbang nikah agar segala hasrat dan gairah bisa terarah.

Biarpun demikian, pernikahan bukan hanya sekedar sarana untuk memanjakan nafsu, ada berbagai konsekuensi yang mengikat kedua belah pihak. Mulai dari kewajiban nafkah, hingga mengenai urusan anak-anak. Dua hal ini (nafkah dan anak) terkadang menjadi momok yang menakutkan bagi anak muda yang ingin menikah. Disatu sisi, fisiknya sudah siap untuk menikah, namun kondisi psikologis masih labil, sehingga merasa tidak siap memasuki jenjang pernikahan.

Pada situasi yang seperti ini terkadang ada yang mengambil jalan pintas. Demi terpuaskannya nafsu, daripada nikah muda akhirnya lebih banyak memilih untuk "kawin" muda, maka terjadilah apa yang sepatutnya tidak perlu terjadi. Lalu bagi yang kebobolan, akhirnya harus menerima kenyataan sudah berbadan dua. Sementara sang kumbang durjana melarikan diri meninggalkan sang bunga yang telah ia hisap madunya.

Kasus kehamilan diluar nikah terutama bagi kalangan remaja sudah sangat memprihatikan. Jika dulunya para pelaku adalah remaja setingkat pelajar SMA atau mahasiswa, sekarang diusia SD pun bisa saja sudah terjadi hal yang demikian. Dari penelusuran google dengan keyword "help i'm 10...", google langsung memberi saran "help i'm 10 and pregnant". Bukankah ini berarti ada pengguna google yang masih berusia 10 tahun sedang mencari solusi terhadap masalah kehamilan yang sedang ia alami. Itu artinya diusia yang begitu hijau sudah mengetahui dengan begitu detail setiap persoalan dewasa, namun sayangnya malah ia praktekkan sebelum saatnya.

Lagi-lagi persoalan moral ini juga tidak terlepas dari mewabahnya smartphone. Sejak era ponsel pintar, begitu mudahnya bisa mengakses apa saja yang ia inginkan, dan parahnya lagi jejaring sosial semacam facebook juga kerap dibanjiri oleh konten-konten porno yang selayaknya tidak berada disitu.

Sikap Suami-Isteri Yang Syar'i, Tapi Tidak Patut

Fiqih mengatur segala aspek kehidupan manusia agar sesuai dengan Syariat (SYAR'I). Baik kehidupan pribadi maupun hubungannya dengan makhluk lain. Selama 24 jam dalam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Kelak, semua itu harus ia pertanggung jawabkan di hadapan Allah.

Sementara Akhlak Mahmudah adalah tabiat, tingkah laku atau perangai baik dan PATUT, yang harus dijaga oleh setiap muslim agar senantiasa terjaga keharmonisan hubungan dengan makhluk di sekitarnya, khususnya antar sesama manusia.

Dalam hal pernikahan, misalnya;

1. Ketika suami tidak mampu menafkahi isteri dan anak-anaknya dengan baik, entah karena ia belum mendapat pekerjaan yang layak, atau tertimpa musibah PHK, maka isteri boleh meminta cerai darinya.

Meminta cerai dari suami dalam kasus di atas itu Syar'i, Tapi Tidak Patut.

Mengapa?

Sebab rumah tangga dibangun untuk menciptakan 'sakinah' (ketentraman/kenyamanan). Dan 'sakinah' akan tercipta ketika suami-isteri saling mengokohkan di saat yang lain rapuh. Saling menopang di saat yang lain terpuruk. Bukan meninggalkan di saat pasangannya tertimpa musibah.

2. Sedangkan dalam kasus suami berpoligami diam-diam, tanpa sebelumnya meng-edukasi istri, tanpa sedikitpun meminta pengertiannya. Poligaminya tetap sah, walau tanpa seizin istri pertamanya.

Poligami diam-diam itu memang Syar'i, tapi Tidak Patut.

Mengapa?

Sebab pernikahan itu dilangsungkan untuk menciptakan 'mawaddah' (penuh cinta dan kasih sayang). Bagaimana mungkin 'mawaddah' akan tercipta jika salah satunya merasa dikhianati.

3. Mayoritas Ulama Fiqih mengatakan bahwa isteri tidak wajib melakukan tugas rumah tangga. Jika suami pulang kerja, dan rumah berantakan, maka suami tidak boleh memaksa jika istri menolak untuk membereskannya.

Penolakan istri untuk membereskan rumah itu Syar'i, tapi Tidak Patut.

Mengapa?

Sebab rumah tangga dibangun untuk mendapat "Rahmah" (rahmat, ridha, karunia dan belas kasih dari Allah). Bagaimanakah ia akan mudah mendapat ridha dari Allah, jika tidak gemar mencari ridha dari suaminya.

4. Dalam Fiqih, suami boleh 'menghukum' isterinya jika nusyuz, dengan tingkatan yang diatur dalam QS. An-Nisa; 34. Yakni dengan Nasehat/ Teguran. Jika tidak 'mempan', maka dengan memisahkan tempat tidur. Jika tidak 'mempan' juga, maka dengan pukulan yg tidak memberi rasa sakit sedikitpun.

Jika suami menegur atau bahkan memukul istrinya yang sedang nusyuz di depan umum, ini Syar'i Tapi Tidak Patut.

Mengapa?

Sebab, itu akan membuat isterinya malu, dan menjatuhkan kehormatannya. Padahal, kehormatan isteri menjadi penopang kemuliaan seorang suami. Pesan yang disampaikan suami tidak akan tertangkap sebagai nasehat, namun justru menjadi bumerang.

5. Dalam Ilmu Fiqih, seorang Isteri tidak wajib mengurus dan memperhatikan keluarga suaminya. Termasuk ibu mertua dan ipar-nya. Sebab bagi isteri, kewajiban intinya adalah melayani dan menaati suaminya. Bukan keluarga suaminya.

Jika seorang isteri enggan mengurus mertuanya yang sakit, itu memang hak yang Syar'i tapi Tidak Patut.

Mengapa?

Sebab rumah tangga dibentuk dengan azas "mu'asyarah bil ma'ruf". Dan itu diwujudkan dengan saling memperlakukan diri dan keluarga masing-masing dengan baik.

Slogan "Yang Penting Syar'i" ternyata belum sempurna, jika tidak mengindahkan Akhlak Mulia. Sebab kita tidak hanya diperintahkan untuk menjaga hubungan baik dengan Allah, namun juga dengan sesama manusia.

اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَآءِ

Para penyayang itu akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian. [HR. Abu Daud dan Turmudzi]

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أهل الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهل السَّمَاء

Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya penghuni langit pun akan menyayangi kalian. [HR. Ahmad]

مَنْ لَا يَرْحَمْ مَنْ فِي الْاَرْضِ لَا يَرْحَمْهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa tidak menyayangi penghuni bumi, maka ia tidak akan disayang oleh penghuni langit. (HR. at-Thabrani)

Wallahu A'lam Bishshawab | Aryani, Lc | rumahfiqih.com

Mayoritas ulama Islam adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah

Mayoritas ulama Islam adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah.

al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata:

ثُمَّ بَعْدَهُمْ شَيْخُ النَّظَرِ وَإِمَامُ اْلآَفَاقِ فِي الْجَدَلِ وَالتَّحْقِيْقِ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ اْلأَشْعَرِيُّ الَّذِيْ صَارَ شَجاً فِيْ حُلُوْقِ الْقَدَرِيَّةِ …. وَقَدْ مَلأَ الدُّنْيَا كُتُبُهُ، وَمَا رُزِقَ أَحَدٌ مِنَ الْمُتَكَلِّمِيْنَ مِنَ التَّبَعِ مَا قَدْ رُزِقَ، لِأَنَّ جَمِيْعَ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَكُلَّ مَنْ لَمْ يَتَمَعْزَلْ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ عَلىَ مَذْهَبِهِ.

 “Pada generasi berikutnya adalah Guru Besar pemikiran dan pemimpin berbagai daerah dalam hal perdebatan dan penelitian, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang telah menjadi kesedihan dalam kerongkongan kaum Qadariyah … Buku-bukunya telah memenuhi dunia. Tak seorang pun dari ahli kalam yang memiliki pengikut sebanyak beliau, karena semua ahli hadits dan semua ahl al-ra’yi yang tidak mengikuti Mu’tazilah adalah pengikut madzhabnya”. (Al-Baghdadi, Ushul al-Din, hal. 309-310).

al-Imam Tajuddin al-Subki juga berkata:

وَهُوَ يَعْنِيْ مَذْهَبَ اْلأَشَاعِرَةِ مَذْهَبُ الْمُحَدِّثِيْنَ قَدِيْمًا وَحَدِيْثًا.

“Madzhab Asya’irah adalah madzhab para ahli hadits dulu dan sekarang”. (Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 4, hal. 32.)

Imam Abdul Baqi al-Ba’li al-Hanbali mengatakan :

وللكلام على المقصد الثاني تقدمة،وهي أن طوائف أهل السنة ثلاثة:أشاعرة وحنابلة وماتريدية

“ Untuk pembicaraan tujuan kedua telah ada pendahuluannya yaitu sesungguhnya kelompok Ahlus sunnah itu ada tiga : Asya’irah, Hanabilah dan Maturudiyyah “[1]

Muhammad bin Ibrahim Ibnul Wazir al-Yamani mengatakan :

اتفق أهل السنة : من أهل الأثر والنظر والأشعرية على أن الإرادة لا يصح أن تضاد العلم ولا يريد الله تعالى وجود ما قد علم أنه لا يوجد

“ Ahlus sunnah : dari kalangan Ahlul Atsar, Nadzar dan al-Asy’ariyyah sepakat bahwasanya iradah itu tidak sah berlawanan dengan ilmu Allah dan Allah Ta’ala tidak berkhendak mewujudkan sesuatu yang Dia telah ketahui bahwasanya sesuatu itu tidak akan diwujudkan “[2]

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan :

البخاري في جميع ما يورده من تفسير الغريب إنما ينقله عن أهل ذلك الفن كأبي عبيدة والنضر بن شميل والفراء وغيرهم , وأما المباحث الفقهية فغالبها مستمدة له من الشافعي وأبي عبيـد وأمثالهـما , وأما المسائـل الكلامية فأكثرها من الكرابيـسي وابن كُـلاَّب ونحـوهما

“ imam Bukhari di semua apa yang ia bawakan dari tafsir yang gharib, sesungguhnya ia menukilnya dari para ulama yang pakar di bidangnya tersebut seperti Abu Ubaidah, an-Nadhar bin Syamil, al-Farra dan selain mereka. Adapun pembahasan fiqih, maka kebanyakannya beliau bersandar kepada imam Syafi’i, Abu Ubaid dan semisalnya. Adapun masalah kalam / tauhid, maka kebanyakannya beliau mengambilnya dari al-Karabisi dan Ibnu Kullan dan selainnya “[3]

Dari penejelasan para ulama besar di atas, menajdi jelas bagi kita bahwasanya kelompok al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah adalah kelompok terbesar dan mayoritas di seluruh belahan dunia ini sejak masa Abul Hasan al-Asy’ari yang mengikuti akidah ulama salaf sebelumnya hingga masa sekarang ini.

Para sahabat dan tabi’in adalah para pewaris dan penjaga ilmu agama terdahulu (mutaqaddimin), sedangkan al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah adalah para pewaris dan penjaga ilmu agama belakangan (mutaakhkhirin). Maka siapa saja yang menghina kelompok al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah, sama seja menghina para sahabat dan tabi’in. karena mereka lah kelompok Ahlus sunnah wal Jama’ah.

Jika anda mau merenungi dan melihat kelompok al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah, maka anda akan mengetahui bahwa mereka adalah para pembawa warisan ilmu Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah para perowi hadits imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, Malik, Ahmad bin Hanbal, ath-Thabrani, ad-Daruquthni, Sa’id bin Manhsur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, ath-Thayalisi, Abu ‘Awanah, ad-Darimi, al-Bazzar, Abu Ya’la dan lainnya. Mereka kalangan al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah menjadi para perowi imam-imam Hadits tersebut.

Tidak anda temukan satu sanad pun yang menyampaikan anda pada satu kitab, kecuali sanadnya ada dari kalangan al-Asy’ariyyah atau al-Maturudiyyah. Dan anda akan menemukan bahwa mereka adalah para perowi kitab hadits dan para pensyarah al-Bukhari seperti al-Kirmani, Ibnu Baththal, Ibnul Arabi, Ibnu ath-Thin, al-‘Aini, al-Qasthalani dan lainnya. Para pesnyarah Muslim seperti imam Nawawi, ‘Iyadh, al-Qurthubi, al-Ubay, as-Sanusi dan selainnya, demikianlah seterunsya anda akan menemukan bahwa merekalah para perowi dan pensyarah hadits. Mereka para musnid (pemilik sanad) kepada kitab-kitab hadits dan syarahnya. Mereka juga para perowi al-Quran dengan qiro’ahnya dan paa penafsir al-Quran.

Setiap orang di muka bumi ini yang membaca al-Quran dengan qiro’ah riwayat Hafsh dari ‘Ashim, maka sudah pasti dan wajib sanadnya melalui al-Muzahi, al-Asqathi, asy-Syibramilisi, Abdurrahman al-Yamani, an-Nashir ath-Thbalawi dan syaikh Islam Zakariyya al-Anshari. Sedangkan mereka semua adalah dari kalangan al-Asy’ariyyah. Demikian juga dalam ilmu Nahwu dan para pengarang kamus Mu’jam, seperti al-Jauhari, Ibnu Mandzhur, al-Fairus Abadi, al-Fayumi, az-Zubaidi, mereka semua dari kalangan al-Asy’ariyyah. Anda juga akan mendapatkan bahwa para ulama ahli fiqih madzhab Malikiyah, Syafi’iyyah, Fudhala Hanabilah adalah mayoritas dari kalangan al-Asy’ariyyah, sedangkan Hanafiyyah dari kalangan al-Maturudiyyah. Demikian juga dalam ilmu hadits, semua dari kalangan al-Asy’ariyyah atau al-Maturudiyyah.

Sungguh tidaklah anda membaca satu kitab hadits pun dengan sanadnya, terkecuali pasti akan melalui perowi yang berakidahkan al-Asy’ariyyah atau al-Maturudiyyah dan bersandar kepada mereka. Maka jika ada segelintir orang yang menghina al-Asy’ariyyah atau al-Maturudiyyah dan mengaku-ngaku pemahamannya paling benar, maka mereka adalah para pembual dan pecundang, kenapa demikian ? karena al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah mengisi di semua bidang keilmuan agama, mereka al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah adalah para perowi dan penaqal hadits, para pensyarah hadits, para perowi qiro’ah al-Quran, para ulama ahli fiqih, para ulama ahli Nahwu dan lainnya. Dan segelintir orang yang menghina ini, pasti dan senantiasa membutuhkan selamanya kepada para ulama al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah dalam semua bidang ilmu agama Islam.

Tidak akan sah sanad keilmuan mereka dalam al-Quran, hadits, bahasa dan fiqih, kecuali perowi dan rijalnya dari kalangan al-Asy’ariyyah atau al-Maturudiyyah. Karena para ulama al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah mengisi semua sanad keilmuan.

Semua pintu dan gerbang-gerbang keilmuan tabi’in, sahabat dan Rasulullah, pasti akan melalui ulama dari al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah. Tanyakan kepada mereka yang belajar al-Quran, sebutkan sanad mereka sampai kepada Nabi atau sahabat atau tabi’in, maka sudah pasti dalam sanad itu ada dari kalangan al-Asy’ariyyah atau al-Maturudiyyah, demikian juga orang yang belajar ilmu fiqih, hadits, dan bahasa.

Rujukan:
[1] Al-‘Ain wa al-Atsar : 59
[2] Itsar al-Haq : 250
[3] Fath al-Bari : 1/293

Sumber: aswj-rg.com

Siraajul Qari, Kitab Tajwid yang Harus Dilestarikan



Oleh: Adinda Hanafiah

Bertebarannya buku terjemahan tentang ilmu tajwid secara praktis dipasaran memang terkesan lebih memudahkan para pelajar, selain harganya yang memang pas dikantong, isinya pun gampang untuk dibaca dan  dicerna, tentu berbeda bila dalam pengambilan ilmu para pelajar  langsung menjadikan kitab karangan ulama terdahulu sebagai referensi rujukannya yang berbahasakan arab melayu maupun arab asli. Dimana untuk dapat membaca kitab turats karangan ulama terdahulu yang berbahasa arab asli itu para pelajar terlebih dahulu dituntut untuk dapat menguasai kitab alat seperti nahwu dan saraf, belum lagi harus menguasai kitab lainnya agar benar-benar dapat memahami dan mencerna kandungan ilmu pada kitab-kitab turats ( kitab kuning)  tersebut. Banyak lika-liku yang harus dilalui oleh para pelajar. Begitu juga bila ingin membaca kitab ulama-ulama nusantara terdahulu yang rata-rata ditulis dalam bahasa melayu. 

Para pelajar harus tau apa-apa saja yang temasuk kedalam bagian huruf ejaann yang biasanya sering muncul didalam penulisan menggunakan bahasa melayu itu sendiri, semisal tanda huruf “g” di simbolkan dengan huruf kaf bertitik satu diatas, ”ng” disimbolkan dengan bentuk huruf ‘ain bertitik tiga diatasnya, sedang huruf “c” ditandai dengan huruf yang berbentuk jim namun memilki 3 titik dibawahnya. karena berbagai macam alasan itulah mungkin yang meyebabkan para pelajar  malas untuk  menjadikan kitab-kitab itu  sebagai rujukan langsung dalam menimba ilmu pengetahuan agama semisal ilmu tajwid yang hendak penulis paparkan didalam tulisan yang singkat ini.

Kitab yang bernamakan Siraajul Qari yang dikarang oleh syeikh Muhammad bin Zainal ‘Abidin bin Muhammad Al Fatani yang berbahasa arab jawi atau bahasa melayu ini merupakan satu kitab yang bagus untuk menjadi pegangan para pelajar aceh bila ingin mempelajari ilmu tajwid. Selain bertujuan untuk  mempelajari ilmu tajwid, kita pun dapat sekalian membudayakan khazahanah keilmuan yang sudah mulai memudar dalam wilayah nusantara, khususnya aceh yang sudah terkenal jauh-jauh hari  dengan metode penulisan arab jawi pada masa kejayaanya tempo dulu. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung, dua atau tiga pulau terlampaui, inilah keuntungan yang dapat kita peroleh insyaa allah..

Didalam kitab Siraajul Qari ini si pelajar tidak hanya sekedar mendapatkan penjelasan mengenai hukum-hukum bacaan Al-Quran pada umumnya, semisal bagaimana cara membaca huruf hijayyah yang bertemu dengan nun mati atau tanwin, mim mati dan sebagainya, namun disini si pengarang kitab atau biasanya disebut teungku musannif juga menjelaskan kepada siapa saja yang ingin mempelajarinya tentang adanya perbedaan dan kesepakatan nya para ulama qiraat terhadap beberapa hukum bacaan tajwid. Benar-benar suatu hidangan keilmuan yang menggairahkan, terlebih bagi jiwa-jiwa pelajar masa kini yang kritis. Disini  pelajar juga mendapat bonus tambahan mengenai seperti apa kejelasan dari pendapat-pendapat ulama qiraat yang menjadi pengangan kita dalam melantunkan bacaan ayat suci alqur’an seperi  Imam ‘Ashim dan Hafazh. sungguh merupakan kitab yang bagus untuk dikaji, terlebih lagi bagi kamu-kamu yang katanya pengagum dan pecinta setia Al-Qur’an. 

Sekarang sudah kembali lagi masanya bagi kita para pelajar untuk tau banyak hal, sehingga dengan semakin banyaknya pemahaman maka semakin tidak mudahlah bagi si pelajar untuk menyalahkan orang lain. karana tidak mustahil bila dibelahan dunia diluar sana akan kamu dapati orang lain yang sama-sama beragama islam, dan yakin bahwa alqur’an itu hanya ada satu jenisnya bagi seluruh umat nabi Muhammad SAW, namun dalam segi pendengaran saat membacanya terdengar berbeda karena adanya perbedaan-perbedaan dialeq dari beberapa suku arab yang mana bahasa arab merupakan bahasanya Kalamullah Al-Qur’an.

Sebenarnya tidak hanya terdapat dalam bahasa arab melayu, kitab Sirajul Qari juga ada yang berbahasa arab asli, namun seperti yang penulis paparkan sebelumnya, dengan tidak adanya perlengkapan dasar tentang ilmu alat semisal nahwu dan saraf tentu akan sulit untuk memahami isi dari kitab sirajul qari yang bertulis kan aksara arab asli, oleh karena itu penulis memilih kitab Sirajul Qari yang berbahasa arab melayu, dimana didalam memahaminya tidak begitu rumit.  Namun sayangnya, saat ini kitab tersebut bisa dibilang sudah langka dan sulit untuk ditemukan keberadaannya ditoko-toko buku maupun kitab, jika ada itupun sudah bisa dijadikan barang pusaka karena ditoko-toko sudah jarang atau bahkan memang tidak ada lagi pendistribusiannya untuk daerah Aceh khususnya. Entah bagaimana nasibnya diluar sana, semoga masih ada dan tetap dipelajari.  

Penulis sendiri hanya memilki naskah kopiannya, dan itupun tidak dijual disembarang tempat. Alhamdulillah, penulis masih Allah beri izin untuk mempelajari langsung karangan tersebut sekalipun hanya melalui naskah kopian yang insya allah ilmunya tetaplah sama berkahnya. Jika para pelajar ingin juga melihat langsung dan ingin mempelajarinya , Insya Allah didayah-dayah terdekat masih ada yang menyimpan naskah kitabnya sekalipun dalam bentuk kopian sebagaimana yang penulis miliki. Dengan tulisan ini diharapkan dapat membangkitkan kembali semangat pelajar untuk mempelajari kitab-kitab ulama nusantara terdahulu juga mau sekiranya untuk membudayakan membaca dan menulis aksara arab jawi yang dikhawatirkan hanya akan tinggal kenangan dalam buku sejarah oleh anak cucu generasi kedepan.

(*) Anggota Fatayat Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA)

Ayo! Tuntaskan Skripsi Karena Allah

Dapat menyelesaikan skripsi dengan tepat waktu dan memperoleh nilai baik, siapa sih yang tidak ingin? Tentu semua mahasiswa tingkat akhir mendambakan hal  seperti itu terjadi dalam kehidupan akademiknya.

Namun, bukan perkara mudah untuk bisa menyusun tugas akhir (baca : skripsi) dari bangku perkuliahan  tepat pada waktunya.
Bergemelut dengan skripsi, pada kebiasaannya  memakan waktu dan tenaga yang banyak, apa lagi, jika skripsi yang sedang dikerjakan adalah dalam masa-masa menikmati hiburan masa muda, tentunya skirpsi akan menjadi "isteri" nomor dua.

Pun begitu, pada dasarnya skripsi bukanlah sesuatu yang terlalu sulit untuk dikerjakan, dan terkadang hanya butuh masa satu bulan (itupun jika pembimbingnya baik budi). Hehe,, betul sekali, kadang ada faktor lainnya yang menghambat skripsi cepat tuntas, selain karena kemalasan kita sendiri, penyebab lainnya yaitu mahalnya waktu pembimbing untuk mengoreksi karya ilmiah kita (baca : skripsi).

Tetapi, jika kita berpengang teguh pada pepatah fenomenal Arab "MAN JADDA WAJADA", tentu hal yang tadi bukan suatu penghalang. Karena kesungguhan akan membawa kita pada puncak keberhasilan (kata saya).

Dan, yang paling penting bagi kita para mahasiswa calon sarjana (kalau skirpsi tuntas), Ibu Bapak dikampung halaman selalu merindui suasana akhir dari perjalanan anaknya dalam dunia perkuliahan (baca : wisuda). Pada akhir bulan, selain mereka tanya keadaan kas keuangan kita di perantauan (pergi kuliah), ujung-ujungnya mereka tambah dengan pertanyaan bonus yang terkadang membisukan kita untuk menjawabnya, kira-kira seperti ini ; "Nak, kapan kamu wisuda?".

Ingat, kita harus fokus untuk segera menyelesaikan skirpsi hingga tuntas tanpa ada kata-kata menyerah, semua karena ingin memperbaiki kualitas kehidupan, dan tentunya menuruti harapan orang tua.

Bukankah membahagiakan orang tua adalah harapan semua anak? Bahagia Ibu Bapak adalah mendapatkan keridhaan dari Allah Swt. Jadi, mari selesaikan skripsi hingga tuntas karena Allah!

Oleh : Irfan Siddiq (Ketua Umum Ikatan Mahasiswa PGMI se-Indonesia)

Video: Belajarlah Bersabar Ketika Belajar


Belajar adalah pekerjaan yang berat, butuh waktu yang tidak sedikit, biaya selangit, serta tenaga yang ekstra dalam menjalaninya. Ada sebuah kalimat bijak yang menyatakan "belajarlah bersabar ketika belajar". Iya bersabar, itulah kuncinya, terutama bersabar dalam mendengarkan, sebab mendengar merupakan sarana untuk menyerap informasi terbaru, berbeda dengan berbicara karena hal itu hanya mengulang informasi yang telah diperoleh sebelumnya.




Kirim Pahala Al-Fatihah? Ini Dalilnya


Oleh: Ustad Hanif Luthfi, Lc 

Sampai atau Tidak Sampai, Bukan Boleh atau Tidak Boleh
Memang ada juga yang nyinyir, ketika membahas sampai tidaknya pahala bacaan al-Qur’an perspektif Imam Syafi’i. Dengan menyebutkan; “katanya ikut madzhab Syafi’i, tapi kenapa tak ikut Imam as-Syafi’i (w. 204 H)?”

Agak susah sebenarnya melacak langsung pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H) ini. Biasanya kebanyakan mengambil dari pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676 H), bahwa yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i adalah tidak sampai.

فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل

Pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan beberapa jamaah adalah tidak sampai (Pahala bacaan al-Qur’an) (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Adzkar, h. 278)

Ada beberapa catatan terkait pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H), yang sering dinukil oleh mereka yang menyatakan tidak sampai ini.

Pertama, pernyataan dari Imam as-Syafi’i ini susah dilacak, kalaupun ada ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i.

Terlebih ini adalah pernyataan yang sepotong. Apakah dalam semua keadaan, bacaan al-Qur’an kepada mayyit itu tidak sampai, atau ada syarat khusus dan kriteria tertentu agar bisa bermanfaat kepada mayyit.

Karena Imam as-Syafi’i (w. 204 H) pernah juga menyatakan:

قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا

Imam as-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan: Disunnahkan membaca al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu lebih baik. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Riyadh as-Shalihin, h. 295)

Ada hal menarik disini. Jika dikatakan menurut Imam as-Syafi’i (w. 204 H) muthlak tidak sampai dalam keadaan apapun, kenapa Imam as-Syafi’i (w. 204 H) malah menganjurkan mengkhatamkan al-Qur’an kepada mayit setelah di kuburkan? Atau bahasa lainnya, Imam as-Syafi’i (w. 204 H) malah menganjurkan khataman al-Qur’an di kuburan.

Kedua, tentu yang lebih paham tentang fiqih Syafi’i adalah para ulama asli madzhab as-Syafi’I, bukan ulama dari non Syafi’iyyah pastinya. Karena sangat rentan mutilasi pernyataan atau kesalahan dalam memahami perkataan.

Syaikh al-Islam Zakaria Al-Anshari as-Syafi’i (w. 926 H) dan Ibnu Hajar Al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H), sebagai ulama dalam madzhab as-Syafi’i menyimpulkan bahwa, maksud bacaan al-Quran itu tidak sampai jika tidak diniatkan atau tidak dibacakan di hadapan si mayit. (lihat: Syaikh al-Islam Zakaria al-Anshori w. 926 H, Fath al-Wahhab, h. 2/ 23, dan Ibnu Hajar Al-Haitami w. 974 H, Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, 2/ 27).

Ketiga, ini yang terpenting. Memang masalah ini menjadi perbedaan diantara para ulama sejak dahulu. Hanya saja perbedaan mereka terkait, “Sampai atau tidak”, bukan pada “Boleh atau tidak boleh” atau “Ada tuntunannya atau tidak” atau “Rasulullah melakukannya atau tidak”.

Mengaji Fiqih Hanbali dari Ulama Hanbali
Jika memahami fiqih Syafi’i harusnya dari ulama Syafi’iyyah, tentu hal yang sama juga dalam memahami fiqih Hanbali.

Termasuk jika ada yang nyinyir mengatakan, “Katanya ikut madzhab Syafi’i, tapi kenapa tak ikut Imam as-Syafi’i (w. 204 H)?”, silahkan balas saja; “Katanya ikut madzhab Hanbali, tapi kenapa tak ikut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 204 H)?”

Hampir-hampir ulama Hanbali yang muktamad, semuanya menyatakan sampainya kiriman pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit, termasuk Surat al-Fatihah.

Mana dalilnya? Kalau mau tau, silahkan tanya ulama dibawah ini:

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H): Bacalah Surat al-Fatihah Saat ke Kuburan

Abu Bakar Al-Marrudzi al-Hanbali (w. 275 H); salah seorang murid terdekat Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pernah mendengar sendiri Imam Ahmad berkata:

قال المروذي: سمعت أحمد يقول: إذا دخلتم المقابر فاقرءوا بفاتحة الكتاب والمعوذتين، وقل هو الله أحد، واجعلوا ثواب ذلك إلى أهل المقابر؛ فإنه يصل إليهم، وكانت هكذا عادة الأنصار في التردد إلى موتاهم؛ يقرءون القرآن.

Saya (al-Marrudzi) pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Jika kalian masuk ke kuburan, maka bacalah Surat al-Fatihah, al-Muawwidzatain dan al-Ikhlas. Lantas jadikanlah pahala bacaan itu untuk ahli kubur, maka hal itu akan sampai ke mereka. Dan inilah kebiasaan kaum Anshar ketika datang ke orang-orang yang telah wafat, mereka membaca al-Qur’an. (Mushtafa bin Saad al-Hanbali w. 1243 H, Mathalib Ulin Nuha, h. / 935).

Disini ada 2 hal penting: Pertama, Membaca Surat al-Fatihah kepada mayyit itu dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).

Kedua, Membaca al-Qur’an di kuburan itu bukan hal yang dilarang, bahkan ini perbuatan para kaum Anshar. Paling tidak, ini menurut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).

Hal itu bisa kita temukan di kitab Mathalib Ulin Nuha, karangan Mushtafa bin Saad al-Hanbali (w. 1243 H). Beliau seorang ulama madzhab Hanbali kontemporer, seorang mufti madzhab Hanbali di Damaskus sejak tahun 1212 H sampai wafat. Kitab Mathalib Ulin Nuha itu sendiri adalah syarah atau penjelas dari kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033 H). (Khairuddin az-Zirikly w. 1396 H, al-A’lam, h. 7/ 234)

Kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf (w. 1033 H) ini juga banyak mengambil dari 2 kitab ulama Hanbali sebelumnya; al-Iqna’ li Thalib al-Intiqa’ karya Musa bin Ahmad Abu an-Naja al-Hajawi (w. 968 H) dan Muntaha al-Iradat karya Taqiyuddin Ibn an-Najjar al-Futuhi (w. 972 H). Artinya Kitab Mathalib Ulin Nuha diatas, secara sanad keilmuan fiqih Hanbali, bisa dipertanggungjawabkan silsilah sanadnya.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H): Yang Benar Adalah Semua Pahalanya Sampai, Bahkan Termasuk Shalat

Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) memang disatu sisi menjadi panutan utama beberapa kalangan yang membid’ahkan pengiriman pahala bacaan al-Qur’an.

Hanya dalam kaitan pengiriman pahala bacaan al-Qur’an ini, Fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) tak begitu dihiraukan.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa juz 24 halaman 367 :

وأما القراءة والصدقة وغيرهما من أعمال البر فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية كالصدقة والعتق كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار والصلاة عليه صلاة الجنازة والدعاء عند قبره. وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم والصلاة والقراءة. والصواب أن الجميع يصل إليه

Adapun bacaan Al-Quran, shodaqoh dan ibadah lainnya termasuk perbuatan yang baik dan tidak ada pertentangan dikalangan ulama ahli sunnah wal jamaah bahwa sampainya pahala ibadah maliyah seperti shodaqoh dan membebaskan budak. Begitu juga dengan doa, istighfar, sholat dan doa di kuburan. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang sampai atau tidaknya pahala ibadah badaniyah seperti puasa, sholat dan bacaan. Pendapat yang benar adalah semua amal ibadah itu sampai kepada mayit.

Serunya dalam fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) ini, beliau menyebut bahwa baik puasa, bacaan al-Qur’an bahkan shalat sekalipun itu akan sampai transferan pahalanya kepada mayyit.

Lah, kira-kira bagaimana teknisnya mengirim pahala shalat kepada mayyit, menurut fatwa Ibnu Taimiyyah ini ya? Kirim pahala shalat untuk mayyit, bid’ah apa lagi ini?

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H): Perkataan Bahwa Tak Ada Tuntunannya Dari Ulama Salaf, Itu Adalah Perkataan Dari Orang Yang Tak Ada Ilmunya

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H) sebagai murid Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) bahkan menjelaskan panjang lebar masalah ini. So, jika ingin tahu dalilnya, baca saja kitab ar-Ruh. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menyebut:

وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك بين وصول ثواب القراءة والذكر، والقائل أن أحدا من السلف لم يفعل ذلك قائل مالا علم له به

Apa bedanya sampainya pahala puasa dengan bacaan al-Qur’an dan dzikir. Orang yang mengatakan bahwa ulama salaf (bukan salafi) tak pernah melakukan hal itu, berarti orang itu tak ada ilmunya (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H, ar-Ruh, h. 143)

Agak pedas memang pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) ini. Kata beliau, justru para salaf-lah yang melakukan hal itu. Mereka yang mengatakan para salaf tak pernah melakukannya, berarti perkataan itu muncul dari orang yang tak ada ilmunya.

Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H): Kaum Muslimin di Tiap Waktu dan Tempat, Mereka Berkumpul Untuk Menghadiahkan Bacaan al-Qur’an Untuk Mayit

Ulama Hanbali yang lebih senior dari Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) adalah Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H).

Dengan jelas beliau menyebut bahwa, di tiap waktu dan di seluruh penjuru negeri, kaum muslimin berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Lantas pahala bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan kepada orang yang telah wafat, tanpa ada yang mengingkarinya. Dan itu adalah ijma’ kaum muslimin.

ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير

Ijma’ kaum muslimin menyatakan bahwa di tiap waktu dan di seluruh penjuru negeri, kaum muslimin berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Lantas pahala bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan kepada orang yang telah wafat, tanpa ada yang mengingkarinya. (Ibnu Quddamah al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 2/ 423)

Tentu pernyataan yang serius jika hal ini telah menjadi ijma’ kaum muslimin, dimana hampir semua zaman dan setiap tempat, para kaum muslimin melaksanakannya.

Bahkan lebih dari itu, mereka melakukannya dengan berkumpul berjamaah, bareng-bareng membaca al-Qur’an untuk dikirimkan kepada mayyit, persis seperti yang ada di negeri kita Indonesia ini.

Paling tidak, itulah yang dialami oleh Ibnu Quddamah al-Maqdisi (w. 620 H) dan kaum muslimin di Damaskus, sekitar 8 abad yang lalu di hampir seantero negeri saat itu.

Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H)
Dalam hal ini, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H) lebih memilih bahwa bacaan al-Quran itu sampai dan boleh.

القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبا أو غير قريب. والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت

Pendapat kedua, adalah mayyit bisa mendapat manfaat dari apa yang dikerjakan orang yang masih hidup. Hukumnya boleh, orang membaca al-Quran lantas berkata; “Saya niatkan pahala ini untuk fulan atau fulanah. Baik orang itu kerabat atau bukan. Ini adalah pendapat yang rajih. (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin w. 1421 H, Majmu’ Fatawa wa Rasail, h. 7/ 159)

Mari Ittiba’ Rasul!
Pernyataan ini benar, tapi tak jarang disalahgunakan. Suatu amalan yang pernah dikerjakan Nabi atau belum pernah itu, bukan standar satu-satunya sebuah amalan dikatakan boleh atau tidak boleh.

Justru kesalahan logika yang fatal, jika membuat sebuah kaidah ushul fiqih baru bahwa, amalan yang tak pernah dijalankan Nabi pasti semuanya bid’ah yang haram.

Tentu jika orang awam yang ditanya, “Memang Nabi pernah melakukannya?” pasti akan melongo, tak bisa jawab. Seolah dalil satu-satunya adalah ‘pernah dijalankan Nabi’. Padahal ada hal yang penting untuk dibahas terlebih dahulu, yaitu mendefiniskan apa itu dalil, berikut kriteria dan macam-macam dalil itu.

Kembali kepada judul tulisan, jika ingin tahu dalil sampai dan bolehnya bacaan al-Quran kepada orang yang telah wafat, silahkan digali dari ulama diatas.

Jika menganggap bahwa perbuatan menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an itu bid’ah, itu sama artinya menganggap Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) beserta ulama hanbali lainnya menganjurkan kebid’ahan.

Jika menganggap ulama salaf tak pernah menghadiahkan pahala bacaan al-Quran, sepertinya harus sekali-kali piknik ke kitabnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H).

Jika menanggap bahwa berkumpul untuk bersama-sama membaca al-Qur’an, lalu pahalanya dikirimkan kepada mayyit hanya budaya Nusantara yang diwarisi dari Agama Hindu, sepertinya harus piknik ke kitabnya Ibnu Quddamah (w. 620 H).

Yuk kita piknik ke luasnya samudra ilmu para ulama! Dari situ kita ittiba' Rasulullah shallaAllahu alaihi wa sallam.


Islam dan Sains

Oleh: Saiful Hadi

Tidak bisa dipungkiri, pendidikan sangat berperan penting dalam membina kemajuan suatu bangsa. Sebuah bangsa dikenal dan dikenang berkat peradaban tinggi yang mereka miliki. Kita dibuat kagum dengan kekokohan piramid bangsa mesir, dan tercengang-cengang melihat keelokan pahatan gedung-gedung megah di Petra Jordania. Semua maha karya tersebut tentu saja tidak terlepas dari pendidikan yang berkualitas, sebab dari pendidikan yang berkualitaslah lahir peradaban yang mumpuni.

Membuka lembaran sejarah abad keemasan islam, pendidikan merupakan faktor utama yang mendorong terbentuknya kemajuan. Di masa itu banyak bermunculan penemuan-penemuan brilian dari Ilmuan islam, mulai dari produk hukum hingga bidang teknologi.

Pada dasarnya islam dan pendidikan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Betapa banyak anjuran dari Rasulullah untuk mendalami pengetahuan, demikian halnya dalam quran telah dinyatakan pula bahwa orang yang berilmu mendapatkan derajat yang tinggi disisi Allah Ta'ala. Sehingga semangat mengembangkan ilmu pengetahuan di abad keemasan islam tidak terlepas dari dorongan syariat islam itu sendiri.

Sebuah hal yang sangat menakjubkan pada masa itu, intelektual muslim umumnya menguasai multi disiplin ilmu, disatu sisi ia seorang pakar fiqih, disisi yang lain juga seorang filusuf serta dokter yang handal. Sebut saja seperti Ibnu Rusyd, sejarah mencatat beliau sebagai seorang pakar fiqih dengan karyanya Bidayatul Mujtahid, dan disaat yang sama beliau juga berperan sebagai dokter istana.

Dari fakta sejarah ini, kita dapat melihat bahwa pada masa itu semua cabang ilmu dikaji dengan seksama, tidak membeda-bedakan antara ilmu agama dan umum. Berbeda halnya dengan abad modern ini dimana terjadi pemisahan antara ilmu dan nilai-nilai agama. Imbas dari hal ini lahirlah generasi yang pincang, sebagiannya sangat melek teknologi, sementara yang lain malah gagap terhadap perkembangan teknologi.

Sebagai sebuah contoh nyata terhadap pemisahan antara ilmu dan nilai-nilai agama, dikelas fisika seorang anak diajarkan oleh gurunya mengenai hukum kekekalan energi dimana "Energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain tapi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan". Sementara saat ia masuk kelas agama, gurunya menyatakan bahwa segala sesuatu bakal musnah, yang kekal hanya Allah Ta'ala sebagai Dzat yang wajib wujud. Jika si murid mau mencermati, tentu saja terjadi perbedaan yang sangat mencolok antara pembahasan guru fisika dengan guru agama.

Demikian halnya dalam kajian ilmu geografi mengenai masalah gempa, penjelasan teori hanya sebatas mengatakan bahwa salah satu penyebab gempa adalah karena faktor pergerakan lempeng bumi, tidak pernah dikaji siapa yang menyebabkan lempengan tersebut bisa bergerak. Sehingga tanpa disadari telah menghilangkan campur tangan Tuhan dalam kehidupan. Diakui atau tidak, disini terlihat tidak adanya singkronisasi antara ilmu umum dengan agama, padahal senyatanya pengetahuan umum adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai agama.

Perlu kita sadari di dalam al-Quran terdapat berbagai informasi penting yang menyangkut tentang masalah hukum, sejarah, alam ghaib dan termasuk juga sains dan teknologi. Dari 6000an lebih ayat Al-Quran hanya sekitar 200an ayat yang membahas mengenai hukum, sementara yang menyinggung bagian-bagian alam dengan berbagai fenomenanya ada sekitar 1108 ayat. Sehingga mustahil rasanya jika dikatakan bahwa islam tidak sesuai dengan sains.

Berbeda ceritanya dengan dunia barat, dimana agama dipisahkan dengan sains karena mereka beranggapan bahwa agama bisa menghambat kemajuan. Sementara di dunia islam, justru agamalah yang menjadi pendorong utama kemajuan. Namun ironisnya, di abad modern ini penyakit barat malah menggerogoti jiwa umat islam. Padahal sejarah telah membuktikan kejayaan itu ada karena taat terhadap ajaran agama. Sebab sebagaimana janji-Nya, jikalau beriman suatu penduduk, niscaya dibukakan keberkahan langit dan bumi bagi mereka.

*Tulisan ini telah diterbitkan dalam Majalah Jurnal Dayah