Mengapa Saat Witir Terakhir Membaca al-Ikhlash, al-Falaq dan an-Nas?

Oleh: Ustad Ma'ruf Khozin

Mengapa Saat Witir Terakhir Membaca al-Ikhlash, al-Falaq dan an-Nas?

ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ، ﻗﺎﻝ: ﺳﺄﻟﻨﺎ ﻋﺎﺋﺸﺔ، ﺑﺄﻱ ﺷﻲء ﻛﺎﻥ ﻳﻮﺗﺮ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ؟ ﻗﺎﻟﺖ: «ﻛﺎﻥ ﻳﻘﺮﺃ ﻓﻲ اﻟﺮﻛﻌﺔ اﻷﻭﻟﻰ ﺑﺴﺒﺢ اﺳﻢ ﺭﺑﻚ اﻷﻋﻠﻰ، ﻭﻓﻲ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻗﻞ ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ اﻟﻜﺎﻓﺮﻭﻥ، ﻭﻓﻲ اﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻗﻞ ﻫﻮ اﻟﻠﻪ ﺃﺣﺪ ﻭاﻟﻤﻌﻮﺫﺗﻴﻦ»

Abdul Aziz Ibnu Juraij bertanya pada Aisyah: "Dengan apakah Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallama melakukan Witir?" Aisyah menjawab: "Di rakaat pertama Nabi membaca dengan surat al-A'la. Rakaat kedua dengan surat al-Kafirun. Rakaat ketiga dengan al-Ikhlas, dan Mu'awwidzatain [al-Falaq dan an-Nas]" (HR Ibnu Majah)

Imam Nawawi, pentarjih utama dalam Madzhab Syafiiyah, menilai hadis ini sebagai hadis hasan dalam kitab al-Majmu'. Sekaligus memberi jawaban terkait adanya riwayat sahih lainnya yang tanpa menyebutkan al-Falaq dan an-Nas:

ﻭﺗﻘﺪﻡ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺑﺈﺛﺒﺎﺕ اﻟﻤﻌﻮﺫﺗﻴﻦ ﻓﺈﻥ
اﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻣﻦ اﻟﺜﻘﺔ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ

Sebelumnya telah dijelaskan hadis Aisyah yang menetapkan bacaan surat al-Falaq dan an-Nas. Sebab tambahan (dalam redaksi hadis) dari perawi yang terpercaya dapat diterima (Al-Majmu' 4/23)

Dari argumen ini ada sebuah kaedah:

المثبت مقدم على النافي

Dalil yang menetapkan sesuatu, didahulukan dari pada dalil yang meniadakan.

Ma'ruf Khozin anggota di Aswaja NU Center Jatim dan Pemateri rubrik Kajian Aswaja di Majalah Aula NU (Nahdliyin mengamalkan, dalilnya kami sampaikan)

Catatan untuk Dakwah Salafy, Hendaklah Lebih Toleran!

Oleh: Teuku Zulkhairi

SEBELUM kasus interpretasi tsunami Dr Khalid Basamalah yang menyudutkan umat Islam di Aceh dan akhirnya berujung pada permintaan maaf , terdapat nama lain yang pada akhirnya juga minta maaf, yaitu Dr Syafiq Riza Basamalah.

Syafiq Basamalah sebelumnya menyebut zikir berjama'ah yang dilakukan mayoritas umat Indonesia setelah shalat di mesjid sebagai "nyanyi-nyanyi". Padahal, yang dibaca tersebut adalah zikir, tahlil dan do’a berjama’ah yang semuanya memiliki referensi Islam.

Sementara Khalid Basamalah menyebut ganja sebagai sebab terjadinya tsunami di Aceh dengan interpretasi yang lucu karena seolah semua masyarakat Aceh sudah mabuk dengan ganja. Dan ketika umat Islam di Aceh tersinggung oleh interpretasi Khalid, tentu itu bukan berarti mereka mendukung ganja.

Ganja adalah sesuatu yang haram, tidak diragukan lagi. Namun, kita bersyukur bahwa kedua da'i Salafy ini sudah meminta maaf via Youtube, membuktikan keluhuran akhlak mereka dalam hal ini, alhamdulillah.

Sebagai muslim, kita wajib memaafkan, karena ciri-ciri orang yang bertaqwa salah satunya adalah "suka memaafkan" (lihat surat ali-‘Imran ayat 133-135). Ketika kita suka memaafkan, itu artinya kita sudah mendekati derajat takwa yang merupakan "pakaian" orang-orang shalih.

Allah berfirman: " "Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhan-Nya." (Al-Qalam: 34).

Kendati pun demikian, saya ingin memberi sedikit catatan untuk metode dakwah salafy, khususnya pada perkara yang bisa menghadirkan keributan di tengah-tengah umat Islam. Dengan masukan ini, saya berharap ini menjadi realisasi atas perintah Alqur’an untuk “tawasau bil haq”, itu saja.

Dakwah sebagian kalangan Salafy selama ini memang terkenal sangat gemar menggunakan metode tabdi'(membid'ahkan) dan menuduh syirik amalan umat Islam. Dua metode ini tentu saja jauh dari metode dakwah Nabi Muhammad Saw, sang panglima pembawa Risalah Islam.

Setidaknya saya melihat sendiri ketika seorang da’i Salafy menuduh masyarakat yang nonton TV (sinetron) dan masyarakat lainnya yang menempel do’a dan ayat Alqur’an di dinding rumah sebagai perbuatan syirik. Seharusnya, jangan cepat sekali tuduhan itu keluar kan? Pun, saya pernah mendengar pengakuan seorang anak yang masih kecil yang baru beberapa waktu belajar di pengajian Salafy di mana akhirnya ia menganggap Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai sesat sehingga ia menolak ketika saya menawarkan untuk membawanya belajar di salah satu dayah di Aceh.

Juga cerita seorang dosen saya, dimana mantan muridnya yang lain mulai menjauhinya setelah belajar di pengajian Salafy. Saya tidak tahu itu aliran Salafy yang bagaimana, meskipun saya yakin, sebagian Salafy lainnya seperti orang-orang Wahdah Islamiyah yang saya kenal tidak sekeras itu.

Salafy, Bukan Satu-Satunya yang Peduli Akidah

Sebelumnya, kita mengakui bahwa berdasarkan referensi sejarah, kejatuhan Kekhilafahan Islam Turki Usmani, salah satu faktor (di samping yang faktor lain, seperti konspirasi Zionis internasional) yang ikut mendasari kejatuhan tersebut adalah tersebarnya perbuatan syirik dan khurafat di tengah-tengah umat Islam.

Ketika Allah tidak lagi dianggap sebagian umat Islam sebagai satu-satunya yang harus disembah, tentu saja sangat wajar kejayaannya akan dicabut. Pasca kejatuhan tersebut, berbagai usaha menuju kebangkitan telah dilakukan umat Islam, termasuk dengan menghapus praktek kesyirikan, bid’ah dan khurafat di masyarakat.

Dan dewasa ini, secara umum kita juga tidak bisa memungkiri bahwa pada sebagian kasus, ketegasan dakwah Salafy dalam menolak praktek tahayul, kesyirikan dan khurafat seperti perdukunan, sesajen dan lain-lain adalah patut diacungkan jempol.

Namun harus diakui, pada saat yang sama, ketegasan terhadap praktek-praktek tahayul, bid’ah dan, bid’ah, khurafat sebenarnya juga ditunjukkan umat Islam lainnya di tengah umat Islam dunia dan juga di Indonesia, baik oleh kalangan santri maupun kalangan akademisi. Jadi salafy bukan satu-satunya yang paling peduli soal akidah umat Islam.

Kita juga mesti bersyukur, bahwa kalangan Salafy termasuk dalam barisan umat Islam yang paling terdepan dalam mengcounter hadis-hadis palsu yang banyak diproduksi kalangan Syi’ah, seperti yang berbunyi “Aku adalah Kota Ilmu, sedangkan ‘Ali adalah Pintunya. Maka barangsiapa yang menginginkan Ilmu, hendaknya Dia mendatangi dari Pintunya””, dimana hadis ini dianggap palsu oleh Imam Bukhari, Abu Zur’ah, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni, Ibnul An-Nawawi dan sebagainya.

Problem Awal Dakwah Salafy

Namun, yang kita sayangkan, pada sebagian kasus yang banyak kita jumpai, kalangan Salafy justru terjebak menjalankan dakwah dengan metode tabdi’ dan menuduh syirik di tengah-tengah umat Islam pada perkara yang pada dasarnya telah dipagari oleh kekayaan literatur fiqh Islam dengan segala dinamika perbedaan pendapat para ulama di dalamnya.

Mereka menyamakan saja semuanya, antara praktek-praktek syirik, khurafat dan tahayul, serta bid’ah yang sama sekal tidak memiliki dasar dalam landasan hukum Islam dengan perkara-perkara yang masih masuk dalam pagar fikh yang kaya dan luas.

Di sinilah awal masalah yang dimunculkan kalangan Salafy di tengah-tengah umat Islam (di samping beberapa persoalan lainnya seperti metode penafsiran ayat dimana sebagian mereka lebih memahami ayat secara zhahiri (tekstual), sesuatu yang direspons tegas oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh beberapa waktu lalu yang tidak kita bahas disini).

Setelah saya mencoba menelusuri akar permasalahan di atas, salah satu persoalan mendasar terdapat di Syaikh Nashiruddin Al-Bani. Al-Bani dianggap sebagai paling memiliki legalitas dan kapasitas untuk dan mentakhrij dan menyeleksi hadis-hadis yang diriwayatkan para Muhaddis, termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Artinya, secara tidak langsung ada pandangan di kalangan Salafy bahwa Nashiruddin Al-Bani lebih hebat dari Imam Bukhari dan Muslim, apalagi dengan para perawi lain seperti Abu Daud, Ibnu Hibban dan lain-lain.

Dengan pandangan seperti ini, harus diakui kalangan Salafy telah memposisikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pembawa “Mazhab Baru” di luar mazhab empat dalam segala pemahamannya. Namun celakanya, hanya Mazhab Nashiruddin Al-Bani ini saja yang dianggap sesuai sunnah, sementara yang lain adalah bid’ah. Sungguh ini fitnah besar di tengah umat Islam abad ini, karena pemahaman seperti akan begitu sulit dicarikan titik temu untuk tasamuh atau toleran dalam perbedaan.

Ketika misalnya antar mazhab fikh yang empat terjadi perbedaan interpretasi (penafsiran) matan hadis, maka proses tasamuh sangat mudah diwujudkan dan terbukti telah mampu diwujudkan, namun ini akan berebda dengan “Mazhab Al-Bani”, karena titik masalahnya ada di landasan hukum (dalam hal ini hadis) langsung.

Kalau satu hadis Nabi sudah ditakhrij oleh Al-Bani, maka pengamalan umat Islam atas hadis ini akan dianggap bukan sunnah, atau bahkan bid’ah. Padahal, beberapa mazhab Fiqh misalnya menggunakan hadis tersebut sebagai landasan hukum.

Sebagai contoh saya katakan, doa berbuka puasa, terdapat hadis bahwa doa berbuka itu bunyinya;” اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت”, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud.
Sementara itu terdapat hadis lain yang bunyinya lain lagi, yaitu: “ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ” , sebagaimana diriwatkan juga oleh beberapa perawi, termasuk Abu Daud.

Nah, karena doa pertama di atas sudah ditakhrij oleh Al-Bani dan doa kedua disahihkan, lalu kalangan Salafy menyimpulkan doa pertama tersebut sebagai bukan Sunnah, yang artinya doa pertama itu adalah bid’ah. Maka jangan heran jika tuduhan bid’ah atau keluar dari sunnah begitu mudah keluar dari lisan dan tulisan mereka.

Padahal, para ulama besar bidang fikh telah menunjukkan kebijaksanaannya. Salah satu ulama kontemporer, Prof Wahbah Zuhaili yang seorang pengikut Mazhab Syafi’i misalnya, dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu  bab “Puasa” beliau mengambil langkah bijak dengan menggabungkan kedua doa di atas menjadi doa berbuka.

Tapi barangkali kalangan Salafy akan sulit melakukan hal seperti ini oleh karena bagi mereka standar kebenaran dalam hal ini hanyalah pada Syaikh Nashiruddin Al-Bani.

Itulah contoh nyata penyebab keributan di tengah-tengah internal umat Islam dewasa ini, yaitu oleh karena Al-Bani telah dianggap lebih hebat dari semua ulama mazhab dan para perawi hadis sekalipun. Seolah, Imam Mazhab dan para perawi hadis tidak ada yang paham hadis sehingga mengambil hadis-hadis yang pada perkembangan kemudian dianggapDha’if oleh Al-Bani.

Seharusnya Lebih Toleran!

Slogan kembali kepada Alqur’an dan hadis, atau ajakan beramal sesuai Sunnah yang biasa didengungkan kalangan Salafy sesungguhnya tidak salah. Yang salah adalah saat kalangan Salafy mulai saling menyalahkan dengan tuduhan bid’ah di luar apa yang diyakininya.

Seharusnya, jika khazanah fiqih yang kaya bisa dipahami dengan baik, maka tuduhan bid’ah tidak akan keluar begitu cepatnya.

Penting dipahami bahwa mengikuti pendapat para Imam Mazhab dan ulama-ulama pengikutnya, bukanlah berarti mengangkangi Alqur’an dan sunnah. Mengikuti Alquran dan sunnah adalah termasuk memahami universalitas ajaran Islam dan landasan hukum lainnya yang bersumber dari kedua sumber utama ini.

Oleh sebab itu, maka dalam proses mengikuti Alquran dan hadis, kita tidak bisa memungkiri keharusan untuk mengikuti landasan hukum Islam lainnya, seperti Ijma’, Qiyas yang disepakati mayoritas ulama, bahkan terdapat landasan hukum berikutnya yang dipedomani oleh sebagian ulama lain seperti Mashalihul Mursalah, Qaulu Sahabi, Istihsan dan seterusnya.

Mengikuti landasan-landasan hukum semacam Ijma’, Qiyas dan lain-lainnya yang disepakati ulama, adalah bagian dari ketentuan dalam proses mengikuti Alquran dan Hadis. Sampai di sini, jelas bahwa kita tidak bisa menolak keberadaan ulama mazhab. Sebagai contoh, ketika kita ingin mengikuti Sunnah misalnya, timbul pertanyaan, siapa yang paling memahami Sunnah Nabi? Apakah kita sendiri? Tentu bukan! Jawabannya adalah Sahabat Nabi, karena merekalah yang telah membersamai Rasulullah di masa hidupnya.

Lalu, ketika kita mengikuti sahabat Nabi, apakah kita sudah mengangkangi Sunnah dan menjadi bid’ah? Tentu bukan bid’ah, karena sahabat Nabi adalah menjadi perantara bagi kita (yang hidup di zaman yang jauh dengan masa Nabi) dalam memahami Islam. Begitu juga posisi para ulama-ulama mazhab yang upayanya memahami ajaran Islam dalam berbagai bidang telah dilator belakangi oleh keluasan ilmu mereka dalam berbagai bidang.

Itulah sebab, silsilah sanad keilmuan Islam dan sifatnya yang integratif antar ilmu-ilmu itu selalu menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam Ahlusunnah wal Jama’ah dan mazhab-mazhab fiqh Islam.

Sampai di sini, catatan dan masukan saya untuk kalangan Salafy, tidak masalah sama sekali jikapun kalian telah menjadikan Nashiruddin Al-Bani sebagai pelopor “mazhab baru”, dengan syarat hargailah ulama-ulama lain yang telah dijadikan rujukan dalam memahami praktek ajaran agama oleh umat Islam.

Silahkan beramal dengan keyakinan sendiri, namun kurangilah kebiasaan menuduh bid’ah pada amalan umat Islam yang lain, karena sudah pasti hal semacam itu akan menjadi biang kerapuhan soliditas internal umat Islam. Toh, dalam banyak hal, umat Islam lain juga melakukan amalan serupa seperti kalian, seperti sunnah memelihara jenggot dan lain-lain.

Jadi, solusi kebangkitan Islam di tengah dinamika perbedaan yang ada, adalah tepat seperti yang dikatakan Rasyid Ridha, “natasamuh bima ikhtalafna, wa nata’awwun bima ittafaqna”, yaitu kita saling toleran atas apa yang kita sepakati, dan saling tolong menolong atas apa yang kita perselisihkan.  

Wallahu a’lam bishshawab.

TEUKU ZULKHAIRI, adalah Mahasiswa Program Doktor UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Sekjend Pengurus Wilayah Badan Koordinasi Mubaligh Indonesia (PW Bakomubin) Provinsi Aceh.

Sumber: Serambinews

Jangan Senang Dipanggil Ustad Bila Tak Cukup Ilmu, karena Bisa Menipu

Oleh: Ibnu Kharis

Kata ustad diserap dari bahasa Arab. Sementara bahasa Arab sendiri menyerap kata tersebut dari bahasa Persia. Dalam bahasa Persia, kata ustad pada awalnya bermakna trainer, dan maknanya mengalami perkembangan menjadi pengajar putra-putri raja, seperti dikutip Almaany.com. Sementara itu, kata ustad dalam bahasa Arab berarti guru besar atau profesor.

Nah, di Indonesia, khususnya Jakarta, penggunaan kata ustad terkadang berbanding terbalik dengan penggunaan bahasa aslinya. Seseorang yang baru bisa mengajar Iqra, misalnya, sudah diberi gelar ustad. Ini bukan berarti saya merendahkan guru-guru mengaji yang mengajarkan Iqra, Juz ‘Amma, dan kitab-kitab Islam dasar.

Titik tekan saya, mengingatkan para orang yang diberi gelar ustad agar tidak terlena dengan gelarnya tersebut. Sehingga lalai tugas pokoknya sebagai ustad. Paling tidak, 5 dampak buruk berikut ini dapat terjadi apabila para ustad tidak mewaspadainya:

1. Tidak Mau Belajar Lagi
Panggilan ustad pada seseorang yang sebenarnya belum layak mendapatkan gelar tersebut dapat berdampak buruk bagi dirinya. Karena sudah merasa ustad, jadi orang itu tidak lagi ingin menambah ilmunya dengan mengaji pada ulama yang lebih pintar atau membaca buku-buku yang dianjurkan oleh ulama-ulama terpilih.

Padahal pepatah Arab mengatakan bahwa mencari ilmu itu dimulai dari buaian hingga liat lahat. Artinya, mencari ilmu itu tidak ada batasnya. Semakin mendapatkan gelar tinggi, justru harus semakin produktif menambah wawasan.

2. Mudah Menyalahkan Orang Lain
Bangsa Indonesia yang dikenal dengan budaya ramah, sopan, dan gotong royong, tampaknya sudah bergeser karena informasi media yang begitu gencar dan massif.  Tidak jarang kita disuguhkan dengan berita-berita caci-maki antar umat beragama. Bahkan para ustad dan dai pun terkadang ikut andil dalam menghakimi akidah seseorang.

Karena ketidaktahuannya, seorang ustad tidak ragu-ragu men-judge amaliah orang lain dengan bidah, syirik, kufur, dan lain sebagainya. Bagi ustad yang referensi bacaannya banyak, tentu tidak mudah menuduh orang lain sesat dan tidak benar. Ia akan cenderung lebih hati-hati untuk menghakimi pemahaman agama seseorang.

3. Mencari Jalan Instan Menutupi Ketidaktahuannya
Ustad itu hanya manusia biasa. Terkadang benar dan juga salah. Namun sebagian ustad atau dai terkadang merasa malu apabil tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan dari para jamaahnya. Nah, karena gengsinya tersebut, bisa jadi dia mencari jalan instan untuk menjawab pertanyaan para jamaahnya. Bisa mendadak mencari di internet, atau asal menjawab untuk menutupi ketidaktahuannya.

Saya pernah mengaji pada pakar tafsir Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab di masjid dekat tempat tinggal beliau. Salah satu dari jamaah ada yang bertanya. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan hal gaib. Karena tidak tahu, Pak Quraish Shihab menyatakan bahwa dirinya tidak tahu tanpa malu-malu.

4. Dakwah Hanya Cari Honor
Dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. murni hanya untuk mengajak  orang-orang terdekatnya masuk Islam. Sehingga, Allah mengecam para dai yang memasang tarif tertenu dalam ceramahnya.

Para ulama menjelaskan bahwa menerima upah dari hasil mengajar, dakwah, dan ceramah agama tidak terlarang, alias halal. Namun yang dikecam para ulama itu memasang tarif super mahal dalam berdakwah. Karenanya, para orang-orang yang sudah mendapat gelar ustad harus waspada pada perkataan ulama di atas.

5. Menjerumuskan Orang Lain
Nah, yang terakhir ini tidak kalah bahanya dengan poin-poin sebelumnya. Minimnya pengetahuan seorang ustad tidak menutup kemungkinan menjerumuskan orang lain dalam kekeliruan. Apalagi ustad tersebut menutup diri mendapat masukan dari orang lain.

Tentu dosa kekeliruannya akan berkali lipat. Dosa karena dia keliru dan menutup diri untuk diberi masukan positif dari orang lain, dan dosa para jamaah yang telah melakukan kekeliruan pendapat ustad tersebut. Oleh karena itu, para ustad harus selalu mawas diri dan tidak congkak merasa dirinya lah yang paling benar.

Sumber: Datdut.com

Hukum Berjabat Tangan dengan Wanita

Berjabat tangan antar sesama lelaki pada dasarnya boleh dan dihukumi sunah, namun lain halnya dengan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Dari 4 madzhab semua mengharamkan jabat tangan pria-wanita non mahram, berikut ta`birnya:

1) Madzhab Hanafiyah
تحفة الفقهاء لِعلاء الدين السمرقندي - (ج 3 / ص 333)
وأما المس فيحرم سواء عن شهوة أو عن غير شهوة وهذا إذا كانت شابة فإن كانت عجوزا فلا بأس بالمصافحة إن كان غالب رأيه أنه لا يشتهي ولا تحل المصافحة إن كانت تشتهي وإن كان الرجل لا يشتهي

Artinya:
Adapun sentuhan, maka hukumnya haram, baik itu disertai syahwat atau tidak, dan status keharaman ini apabila yang disentuh adalah gadis. Sementara berjabat tangan dengan wanita yang sudah tua maka tidak apa-apa alias boleh hukumnya jika memang telah umum berlaku demikian. Dan tidak halal berjabat tangan jika si wanita bernafsu, biarpun lelaki tidak bernafsu. (Tuhfatul Fuqaha, Alauddin As-Samarqandi, hal. 333 juz 3.

2)Madzhab Malikiyah
حاشية الصاوي على الشرح الصغير - (ج 11 / ص 279)
وَلَا تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ أَيْ الْأَجْنَبِيَّةَ وَإِنَّمَا الْمُسْتَحْسَنُ الْمُصَافَحَةُ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ لَا بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى حُسْنِ الْمُصَافَحَةِ مَا تَقَدَّمَ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَنْ قَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ : لَا .
Artinya:
Tidak boleh lelaki berjabat tangan dengan wanita...

3) Madzhab Syafi’iyyah
حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج 10 / ص 113)
وَتُسَنُّ مُصَافَحَةُ أَيْ عِنْدَ اتِّحَادِ الْجِنْسِ، فَإِنْ اخْتَلَفَ فَإِنْ كَانَتْ مَحْرَمِيَّةً أَوْ زَوْجِيَّةً أَوْ مَعَ صَغِيرٍ لَا يُشْتَهَى أَوْ مَعَ كَبِيرٍ بِحَائِلٍ جَازَتْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ وَلَا فِتْنَةٍ؛ نَعَمْ يُسْتَثْنَى الْأَمْرَدُ الْجَمِيلُ فَتَحْرُمُ مُصَافَحَتُهُ كَمَا قَالَهُ الْعَبَّادِيُّ ا هـ مَرْحُومِيٌّ .

Artinya:
Disunnahkan berjabat tangan dengan sesama (lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita). Maka jika berlainan jenis, namun masih mahram, ataupun suami-istri, ataupun anak kecil yang belum mempunyai daya tarik, atau dengan wanita dewasa namun disertai dengan penghalang (ada sarung tangan sehingga tidak bersentuh kulit secara langsung) dan aman dari syahwat atau fitnah  maka hukumnya boleh. Biarpun demikian, dikecualikan terhadap wanita yang cantik, status hukum berjabat tangan dengannya tetap haram. (Hasyiah Bujairimi alal Khatib, hal 113 juz 10.

4) Madzhab Hambaliyah
الإقناع في فقه الإمام لأحمد الحجاوي- (ج 1 / ص239)
ولا يجوز مصافحة المرأة الأجنبية الشابة وأن سلمت شابة على رجل رده عليها وإن سلم عليها لم ترده وإرسال السلام إلى الأجنبية وإرسالها إليه لا بأس به للمصلحة وعدم المحذور.

Sumber: Piss KTB

Tarawih Kilat, Bagaimana Hukumnya?

Oleh: Tgk. Mahfudh Muhammad Ahmad

SHALAT TARAWIH DENGAN CEPAT
(Kajian Ramadhan ke 11, kitab I'anatuth Thalibin, juz 1 h. 265)
بسم الله الرحمن الرحيم
ينبغي طول القيام بالقراءة مع الحضور والخشوع خلافا لما يعتاده كثيرون في زماننا من تخفيفها ويتفاخرون بذلك
Sepatutnya memanjangkan waktu berdiri dengan membaca ayat beserta perasaan hudhur dan khusyu' (hadir dan tenang hati) berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan kebanyakan manusia pada zaman kita yang meringankannya dan berbangga bangga dengan demikian.

قال قطب الإرشاد سيدنا عبد الله بن علوي الحداد في النصائح: وليحذر من التخفيف المفرط الذي يعتاده كثير من الجهلة في صلاتهم للتراويح، حتى ربما يقعون بسببه في الإخلال بشئ من الواجبات مثل ترك الطمأنينة في الركوع والسجود، وترك قراءة الفاتحة على الوجه الذي لا بد منه بسبب العجلة، فيصير أحدهم عند الله لا هو صلى ففاز بالثواب ولا هو ترك فاعترف بالتقصير وسلم من الإعجاب.

Berkata Quthb al Irsyad sayyidina Abdullah bin 'Alwi al Haddad di dalam an Nashaih: Hendaknya seseorang berhati hati dari perilaku meringankan yang melewati batas -yang menjadi kebiasaan kebanyakan orang jahil- dalam melakukan shalat tarawih, sehingga dengan sebab itu mereka seringkali meninggalkan perkara perkara wajib seperti thuma'ninah dalam ruku' dan sujud serta tidak membaca fatihah sebagaimana mestinya dikarenakan cepatnya bacaan. Oleh karenanya, dalam pandangan Allah, mereka belum melakukan shalat sehingga berhak meraih kemenangan dengan pahala dan mereka bukan juga orang yang meninggalkan shalat, sehingga mengakui kekurangannya dan selamat dari 'ujub. (Mereka sudah ditimpa kesialan bertubi tubi, yakni pahala shalat tak diraih, kecerobohan tidak mereka akui, dosa 'ujubpun tak selamat)

وهذه وما أشبهها من أعظم مكايد الشيطان لأهل الإيمان، يبطل عمل العامل منهم عمله مع فعله للعمل، فاحذروا من ذلك وتنبهوا له معاشر الإخوان.
وإذا صليتم التروايح وغيرها من الصلوات فأتموا القيام والقراءة والركوع والسجود والخشوع والحضور وسائر الأركان والآداب
Perilaku ini dan yang sejenisnya merupakan sebagian dari tipuan tipuan syaithan yang terbesar terhadap ahli iman. Ia membatalkan amalan orang orang yang beramal dari para ahli iman, padahal mereka telah melakukan amal (dengan susah payah). Berhati hatilah kalian dari hal itu dan ingatlah selalu wahai saudara sekalian. Jika kalian shalat tarawih dan shalat shalat lainnya, maka sempurnakanlah berdiri, bacaan, ruku', sujud, khusyu', hudhur, segala rukun dan adab adabnya.

ولا تجعلوا للشيطان عليكم سلطانا فإنه ليس له سلطان على الذين آمنوا وعلى ربهم يتوكلون فكونوا منهم، إنما سلطانه على الذين يتولونه والذين هم به مشركون فلا تكونوا منهم.

Dan janganlah kalian menjadikan syaithan sebagai penguasa di atasmu. Sesungguhnya syaithan tidak memiliki kekuasaan diatas orang orang yang beriman dan orang orang yang bertawakkal kepada Tuhannya. Jadilah kalian termasuk ke dalam golongan mereka. Sesungguhnya kekuasaan syaithan hanyalah di atas orang orang yang menjadikannya berkuasa dan orang orang yang bersekutu dengannya. Janganlah kalian termasuk ke dalam golongan mereka.

والله أعلم بالصواب و إليه المرجع والمآب
Ulee Gle, 16 Juni 2016

Membangun Rumah Tangga

Pada tahap awal kita cari tanah pada lokasi yang strategis, selanjutnya memilih model yang bagus dan menarik hati, terus menentukan jenis-jenis material bahan bangunan yang bakal dipakai. Saat pengerjaan diawasi dengan seksama, setelah selesai dibangun dirawat dengan penuh cinta sehingga kenyamanan selalu terjaga.

Demikian halnya dengan sebuah "Rumah Tangga". Sejak dari awal Rasulullah telah menuntun untuk memilih pasangan yang baik. Karena dengan baiknya pasangan, dan baiknya kita sendiri menjadi modal utama yang menentukan bahagia atau tidaknya rumah tangga.

Bersambung...

Bahaya Pujian

Imam al-Ghazali dalam kitabnya, 'Kitabul Arba'in fi Ushuliddiin' mengatakan bahwa pujian itu mengandung enam bencana. Empat bencana bagi pemuji dan dua untuk yang dipuji: 

Pertama, seringkali pujian tersebut dilakukan secara berlebih-lebihan, bahkan akhirnya menjurus pada dusta, Karena tidak sesuai dengan kenyataan.

Kedua, berpura-pura senang kepada orang yang dipuji, padahal sebenarnya tidaklah demikian, Hal ini jelas menjurus pada sifat munafiq dan riya'.

Ketiga, seringkali mengatakan sesuatu secara tidak obyektif dan omong kosong. Misalnya, mengatakan dia itu orang yang adil, dan dia itu waro', padahal kenyataannya tidak. 

Keempat, dapat menjadikan pihak yang dipuji itu merasa bangga dan besar kepala. Padahal bisa jadi orang yang dipuji itu adalah orang yang zhalim, yang membuatnya semakin senang atas kedurhakaan dan kefasikannya. Padahal Rasulullaah S.A.W telah bersabda, "Sesungguhnya Allah sangat murka bila ada orang fasiq dipuji-puji." (al-Hadits)''. 

Kelima, kemungkinan si penerima pujian akan menjadi takabur dan ta'ajjub yang keduanya sangat membinasakan. Dan,

keenam, bisa jadi si penerima pujian akan bangga dan lupa akan amalnya serta merasa dirinya sudah cukup. Karena itu, mari periksa diri kita. Jika kebaikan yang kita lakukan selama ini mulai nampak di permukaan, biasanya akan diikuti dengan sejuta pujian dan penghormatan. Jika demikian, berhati-hatilah, kerana syaithon mulai melepaskan anak panahnya agar kita terlena dalam pujian. Melayang dengan pujian.

Menyelami Al-Quran

Oleh: Saiful Hadi

Dimata orang yang tidak bisa berenang, keindahan laut hanya terlihat pada ombak yang beriak dan putihnya pasir pantai saja. Lain halnya bagi yang bisa berenang, ia dapat menikmati belaian lembut air laut, atau sesekali menyelam sambil melihat ikan dan terumbu karang. Namun biarpun ia pandai berenang, indahnya lautan juga tidak bisa dinikmati sepenuhnya jika tidak mempunyai peralatan yang memadai. Kalau hanya sekedar bermodalkan kacamata snorkling maka hanya terbatas pada terumbu dangkal yang bisa ia pandangi.

Lain halnya apabila menyelam dibantu dengan tabung oksigen, tentu saja semakin dalam ia bisa menjelajah lautan, sehingga akan lebih banyak lagi keindahan laut yang bakal ia nikmati. Demikian juga jika menggunakan kapal selam yang kemampuan daya selamnya lebih jauh, dapat dipastikan semakin banyak rahasia lautan yang dapat disaksikan. Begitulah seterusnya, semakin canggih peralatan dan semakin tinggi pengetahuan akan semakin banyak rahasia alam yang bisa diungkapkan.

Kembali ke dunia nyata, orang yang tidak bisa berenang tadi diumpakan sebagai yang belum mampu memahami al-quran dengan baik. Ia hanya tahu kulitnya saja, ia cuma mampu menangkap indahnya irama tatkala qari membacanya, padahal jika ia pandai menyelami lebih dalam, maka akan ditemukan berbagai keindahan lainnya.

Jadi memang, untuk mengetahui keindahan dan kedalaman makna al-quran dibutuhkan ilmu yang mumpuni, ibarat penyelam yang butuh kacamata selam dan tabung oksigen. Semakin lengkap peralatan maka akan semakin memudahkan ia dalam memahami maksud sebenarnya dari al-quran. Bisa dibayangkan tatkala tidak punya ilmu namun nekat untuk menyelami samudra, bukannya keindahan yang didapat, melainkan sekarat yang malahan mendekat.

Dalam memahami al-quran dan sunnah juga demikian adanya, keterbatasan pengetahuan akan membuat jauh dari maksud yang diharapkan. Apalagi kalau hanya sekedar berpengang pada dhahir nash saja, agama akan menjadi kaku dan sempit karena yang dicerna hanya kulit luarnya saja.

Sebagai contoh, pada masa Rasulullah ada beberapa sahabat yang ketika hendak menjalankan ibadah puasa, mereka mengikatkan benang putih dan hitam pada kakinya, hal ini lantaran dalam QS. Al-Baqarah: 187 Allah Ta'ala berfirman yang artinya: "dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam". Padahal yang dimaksud dalam ayat bukanlah benang dalam artian sesungguhnya, melainkan apabila terang fajar maka disitulah batas makan dan minum berakhir.

Oleh karenanya, tidak cukup hanya melihat terjemahan saja dan kemudian langsung dicoba pahami ala-kadarnya. Menyelami al-quran adalah dengan terus mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya. Semakin banyak ilmu pendukung, insyaAllah akan semakin dekat dengan maksud yang diinginkan oleh al-Quran.

Wallahu a'lam

Berpuasalah, InsyaAllah Menyehatkan

hikmah berpuasa insyaallah menyehatkan

Puasa insyaAllah menyehatkan, karena dengan berpuasa akan memperbarui struktur fisik, menguatkan kesehatan, membebaskan badan dari endapan-endapan dan fermentasi yang berbahaya, menyegarkan organ organ tubuh, dan menguatkan memori apabila seseorang memantapkan tekadnya dan mengonsentrasikan pikirannya tanpa menyibukkan diri dengan mengingat kesenangan-kesenangan fisik.

Hikmah berpuasa InsyaAllah menyehatkan

Hikmah tersebut telah disinggung oleh Nabi saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam ath-Thibb dari Abu Hurairah:

صوموا تصحوا
"Berpuasalah, niscaya kalian sehat."

Biasanya hal ini terwujud setelah tiga atau empat hari berpuasa sesudah ,seseorang terbiasa dengan puasa dan tidak menuruti keadaan lemas pada masa pertama-tama berpuasa.
Semua faedah-faedah fisik, rohani, kesehatan, dan sosial ini baru terwujud apabila terpenuhi syaratnya, yaitu tidak berlebihan dalam menu berbuka dan menu sahur Jika tidak, keadaannya malah berbalik, dampaknya akan menjadi buruk apabila seseorang makan terlalu kenyang dan tidak makan-minum dalam porsi yang sedang.

Selain itu, agar tujuan-tujuan tersebut terealisir, dalam puasa juga disyaratkan menjaga lidah, menjaga pandangan, dan menghindari ghibah, namimah (adu domba), dan hiburan yang haram. Nabi saw, bersabda dalam hadits qudsi,

"Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan Perbuatan keji, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya karena Allah."

Betapa banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasa kecuali rasa tapar dan dahaga. Jadi, menahan diri dari hal-hal pembatal puasa yang abstrak sama hukumnya dengan meninggalkan pembatal-pembatal puasa yang bersifat materi.

Puasa terbatas pada beberapa hari tertentu yang sedikit jumlahnya, yaitu hanya satu bulan datam satu tahun, dan ia biasanya berlalu dengan cepat karena hari-hari bulan Ramadhan penuh berkah, berlimpah kebaikan dan ihsan. Untuk itu berpuasalah, insyaAllah menyehatkan.

Disadur dari: Tafsir Al-Munir Surat Al-Baqarah ayat 183

Pengantin Baru, Jaga Jarak Selama Ramadhan!

Oleh: Saiful Hadi

Ramadhan menjadi semakin berkesan terutama bagi jomblo yang telah menjadi penganti baru. Jika dulunya puasa sendiri, sekarang sudah ada yang menemani, baik saat sahur maupun berbuka. Bisa dipastikan, setiap harinya pengantin baru ini akan berbuka bersama yang "manis" :D.

Alhamdulillah tahun ini telah bersua kembali dengan ramadhan. Dan tentunya momen ramadhan tidak boleh dilewatkan begitu saja, karena ada begitu banyak kelebihan yang ada dalam bulan tersebut.

Pantangan bagi pengantin baru

Terkhusus bagi pengantin baru, sebelum memasuki ramadhan mungkin sering bermesra-bermanja bersama pasangan baik siang maupun malam. Namun selama ramadhan berlangsung, terutama saat sedang menjalani ibadah puasa maka kegiatan tersebut harus sedikit di-rem, guna menghindari terjadinya hal-hal yang terlarang.

Selama menjalani ibadah puasa, tidak dibenarkan melakukan hubungan suami istri, hukumnya sama haram seperti makan dan minum. Dalam Tafsir Al-Munir dijelaskan bahwa: ciuman, rabaan dan sejenisnya tidak membatalkan puasa. Akan tetapi hal tersebut dalam pandangan mazhab Maliki dan  Syafie, makhruh hukumnya bagi orang yang tidak sanggup mengendalikan hawa nafsunya.
Lebih lanjut lagi, menurut Abu Hanifah dan murid-murid beliau, ats-Thauri, Hasan al-Basri dan Syafie, jika seorang mencium istri dan keluar maninya, ia harus mengqadha puasanya tanpa dibebankan membayar kafarat. Seandainya yang keluar hanya madzi maka tidak menanggung apa-apa, dalam artian tidak membatalkan puasa, hanya perlu dibasuh saja sebab hukumnya sama seperti kencing.

Jadi, yang penting untuk diperhatikan, jangan melakukan hubungan suami istri selama sedang menjalani puasa. Sebab, selain membatalkan puasa, juga dikenakan kafarat berupa puasa dua bulan berturut bagi si suami, sementara istri tidak dibebankan kafarat namun hanya qadha saja. Hal ini karena suami batal puasa dengan sebab jimak, sementara istri batal puasa dengan sebab masuk sesuatu dalam rongga.

Lantas apakah selama ramadhan tidak ada peluang sedikit pun untuk melakukan jimak? Yang perlu diingat, terlarang hanya pada saat berpuasa saja, sementara di malam harinya sama sekali tidak terlarang. Sebagaimana dhahir ayat QS. Al-Baqarah: 187 yang artinya: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu".

Wallahu a'lam.

Hadits Doa Buka Puasa "Allahumma laka shumtu..." Dhaif! Jadi, Boleh Tidak Diamalkan?

Oleh: Ustaz Ahmad Zarkasih, Lc

Kalau yang ditanyakan, benarkah hadits "Allahumma Laka Shumtu" itu hadits lemah dan Dhoif, jawabannya : YA! tapi lebih dari itu, yang akan kita bahas ialah:

[1] Teliti Hadits. Apakah benar dhoif? dari sisi mana dhoifnya?

[2] Apakah boleh berdoa dengan redaksi hadits yang dhoif?

Teliti Hadits
Hadits dengan lafadz

اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَي رِزْقِكَ أفْطَرْتُ 

Ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitabnya Sunan Abi Daud No. 2011 dan di "al-Marosil" [المراسل] juz 1 hal 124 yaitu kumpulan hadits-hadits mursal karena memang derajat hadits ini mursal [مرسل]. 

Hadits mursal ialah hadits yg sanadnya terpotong di bagian sahabat, jadi seharusnya setelah Tabi'i (yang hidup setelah masa Sahabat) itu ada sahabat yg menghubungkannya dengan Nabi, tapi hadits mursal itu terhenti pada Tabi'i dan langsung ke Nabi. Berarti ada sanad yg putus yaitu dibagian sahabat. Ini namanya hadits mursal.

Hadits yg diriwayatkan oleh Abu daud ini dari Musadad dari hasyim dari hushoin dari Muadz bin zuhroh kemudian muadz bin zuhroh mengatakan hadits ini dari Nabi saw.

Hadits ini menjadi mursal karena Muadz bin Zuhroh itu ialah seorang tabi'i bukan sahabat. Seorang tabi'i tidak bisa meriwayatkan hadits langsung dari Nabi krn masanya juga jauh dan tidak mungkin bertemu, harus ada yg menghubungkan antara Nabi dan Tabi'i yaitu sahabat. 

Dalam sanad hadits ini sahabat tidak disebutkan, artinya tidak ada. Berarti hadits ini mursal. Nah hadits mursal itu termasuk hadits dhoif yg tdk bisa dijadikan hujjah. Itu td versi Abu Daud.

Versi Imam Al-Daroquthni
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ad-Daroquthni dalam kitab sunannya juz 2 hal 185 no. 26 dengan sanad yg tersambung sampai sahabat Ibnu Abbas ra. Hanya redaksinya sedikit berbeda dengan yang riwayat Abu Daud. Jadi seperti ini redaksinya:

اللّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَي رِزْقِكَ أفْطَرْنَا

Dengan jalur sanad yang sama ini juga diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobroni dalam kitabnya Al-Mu'jam Al-kubro [المعجم الكبرى] no. 12720. Redaksinya sama dgn yg riwayat Daroquthni cuma ada tambahan dibelakangnya seperti ini:

فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْع العلِيْم

Nah dalam urutan sanad hadits yg diriwayatkan oleh Daroquthni dan Thobroni ini ada yg namanya Abdul Malik bin Harun. Abdul malik ini, dia dan ayahnya termasuk dalam golongan lemah menurut Daroquthni sendiri.

Yahya bin Ma'in mengatakan bahwa Abdul Malik ini ialah seorang pembohong. Imam Ibnu Hibban mengatakan kalau orang ini ialah pembuat hadits palsu. (Al-Badru Al-Munir fi talhrijil-ahadits wal-atsar 5/711)

Nah karena Abdul Malik bin yahya inilah hadits ini menjadi dhoif dan tidk bisa dijadikan hujjah!

Boleh Ngga Diamalin?
Lafadz hadits doa ini lemah, namun yang jadi pertanyaan adalah: apakah tiap berdoa diharuskan hanya dengan menggunakan lafaz dari nash quran dan hadits saja?

Nyatanya, para ulama tidak ada satupun dari mereka yang mensyaratkan harus doa dengan redaksi dari hadits yang shahih. Artinya tidak ada syarat yang namanya doa itu harus ada hadits-nya.

Bahkan dalam lafadz doa secara umum, pada dasarnya malah dibolehkan berdoa dengan lafadz yang digubah sendiri. Contohnya ialah doa qunut yang biasa kita baca baik itu ketika sholat Subuh atau juga sholat Witir. 

Ulama bersepakat bahwa boleh seorang imam atau seorang sholat membaca doa hasil karangan sendiri. Artinya tidak terpaku pada nash yang ada. Boleh manambahkannya hingga panjang. Tapi tetap yang lebih baik itu sesuai dengan nash yang ada dari Nabi saw. (Al-Azkar An-Nawawi, Bab Doa Qunut hal 60)

Kalau berdoa harus dengan redaksi dari hadits yang benar-benar shohih, wah jadi ribet dong beragama! bagaimana dengan nasib kawan-kawan yang tidak fasih bahkan tidak bisa berbahasa Arab? karena semua hadits berbahasa Arab.

Apakah ada dalil yang mengharuskan doa dengan berbahsa Arab? Apakah ada dalil yang mengharamkan kita untuk berdoa dengan bahasa selain Arab? Silahkan tunjukkan kalau memang ada!!!

Sebenarnya tidak masalah kita membaca doa dengan lafadz hadits yg dhoif atau juga lafadz buatan sendiri ASAL kita tidak meyakini bahwa ini dari hadits yg shohih dan tdk meyakini kalau ini sunnah. 

Tetapi berdoa saja dan mengharap dari Allah agar Allah mngabulkan doa kita. Karena aslinya doa itu sesuatu yg bisa kita katakan apa saja di dalamnya, hanya saja kalau itu bukan dari hadits kita tidak boleh meyakini kalau ini hadits atau sunnah.

Makna Doa
Kalau kita cermati arti dari doa "Allahumma Laka shumtu..." itu, nyata tidak ada yang salah dengan doa tersebut. Tidak ada juga kata-kata yang malah mengandung pelanggaran syariat atau menyelisih syariat yang ada. 

"Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka puasa"

Doa ini adalah bentuk penyerahan seorang hamba kepada Rabb-nya akan ibadah yang ia lakukan, lalu pasrah akan ketentuannya. Dan dalam redaksi ini juga sorang hamba memberikan pengakuan bahwa mereka berbuka puasa itu tidak lain tidak bukan kecuali itu karena rizki yang Allah berikan kepadanya. Apa ini salah?

Boleh Mengamalkan Hadits Dhaif 
Dalam Kitabnya Taisiir Mustholah Al-Hadits, DR. Mahmud Thohhan (pakar hadits) menjelaskan bahwa ulama punya rumus dalam mengamalkan hadits dhoif. Beliau-beliau membolehkan amal dengan hadits dhoif dalam fadhoil a'mal dan memberikan 3 syarat:

[1] Kelemahannya tidak terlalu lemah. Artinya cacat hadits itu tidak terlalu parah. Tidak sampai derajat maudhu' (palsu)

[2] Sudah ada hadits dengan makna yg sama atau berindikasi mafhum yg sama dangan hadits dhoif itu. Tapi hadits itu shohih atau hasan yg memang bisa diterima.

[3] Ketika mengamalkan hadits dhoif tidak boleh meyakini bahwa itu hadits shohih yg bisa dterima. Artinya dalam mengamalkannya diperlukan kehati-hatian.

 Wallahu A'lam!

Bid'ahkah Jadwal Imsak?

Oleh: Saiful Hadi

Menjelang ramadhan, berbagai persiapan dilakukan untuk menyambutnya, lain tempat maka juga lain tata caranya. Di Aceh misalkan, minus dua hari menjelang ramadhan ada tradisi meugang. Selain itu, dunia percetakan pun juga ramai order, mulai dari cetak spanduk ucapan selamat berpuasa, hingga cetak jadwal shalat selama ramadhan.

Dalam selebaran jadwal shalat selama ramadhan, didapati ada sebuah waktu yang disebut imsak, yang dijadikan sebagai patokan untuk memulai menahan diri dari hal-hal yang membukakan puasa. Belakangan, ada segelintir suara-suara sumbang yang mempertanyakan, imsak tersebut asal usulnya dari mana? Bukankah puasa dimulai dari terbit fajar? Sementara imsak waktunya belum terbit fajar, kenapa harus mempersulit diri sendiri dengan menahan lapar lebih awal.

Menjawab hal ini, mari kita simak ulasan para ulama sebagai berikut:

1. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
Dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari pada kitabus shaum, pada bab:
ﺑﺎﺏ ﻗﺪﺭ ﻛﻢ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ
[bab ukuran perkiraan waktu antara sahur dan shalat subuh]

Diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu dari Zaid bin
Tsabit bahwa dia pernah berkata : ”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab : ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ (kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)”

Ibnu Hajar menjelaskan:

ﻗﻮﻟﻪ : ‏( ﺑﺎﺏ ﻗﺪﺭ ﻛﻢ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ ‏) ﺃﻱ : ﺍﻧﺘﻬﺎﺀ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻭﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﺍﻟﺼﻼﺓ ؛
ﻷﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺗﻘﺪﻳﺮ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﺮﻙ ﻓﻴﻪ ﺍﻷﻛﻞ ، ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻔﻌﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺃﻭﻝ ﺍﻟﺸﺮﻭﻉ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﺎﻟﻪ
ﺍﻟﺰﻳﻦ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﻴﺮ .

Perkataannya [bab ukuran perkiraan waktu antara sahur dan shalat subuh] yakni waktu akhir sahur dan mulai shalat, karena sesungguhnya maksudnya adalah perkiraan waktu berhenti makan, dan maksud dengan melalakukan shalat adalah permulaan mulai shalat, telah menyatakan atas hal itu oleh Az-Zain bin al-Minbar.

lalu beliau berkata lagi:

ﻗﻮﻟﻪ : ‏( ﻗﺎﻝ : ﻗﺪﺭ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ ‏) ﺃﻱ : ﻣﺘﻮﺳﻄﺔ ﻻ ﻃﻮﻳﻠﺔ ﻭﻻ ﻗﺼﻴﺮﺓ ﻻ ﺳﺮﻳﻌﺔ ﻭﻻ
ﺑﻄﻴﺌﺔ ، ﻭﻗﺪﺭ ﺑﺎﻟﺮﻓﻊ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺧﺒﺮ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺃ ، ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﻨﺼﺐ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺧﺒﺮ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﻘﺪﺭﺓ ﻓﻲ
ﺟﻮﺍﺏ ﺯﻳﺪ ﻻ ﻓﻲ ﺳﺆﺍﻝ ﺃﻧﺲ ﻟﺌﻼ ﺗﺼﻴﺮ ﻛﺎﻥ ﻭﺍﺳﻤﻬﺎ ﻣﻦ ﻗﺎﺋﻞ ﻭﺍﻟﺨﺒﺮ ﻣﻦ ﺁﺧﺮ . ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﻤﻬﻠﺐ ﻭﻏﻴﺮﻩ : ﻓﻴﻪ ﺗﻘﺪﻳﺮ ﺍﻷﻭﻗﺎﺕ ﺑﺄﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺒﺪﻥ ، ﻭﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺗﻘﺪﺭ ﺍﻷﻭﻗﺎﺕ ﺑﺎﻷﻋﻤﺎﻝ
ﻛﻘﻮﻟﻪ : ﻗﺪﺭ ﺣﻠﺐ ﺷﺎﺓ ، ﻭﻗﺪﺭ ﻧﺤﺮ ﺟﺰﻭﺭ ، ﻓﻌﺪﻝ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻘﺪﻳﺮ
ﺑﺎﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ؛ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻛﺎﻥ ﻭﻗﺖ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺑﺎﻟﺘﻼﻭﺓ ، ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﺪﺭﻭﻥ ﺑﻐﻴﺮ
ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻟﻘﺎﻝ ﻣﺜﻼ : ﻗﺪﺭ ﺩﺭﺟﺔ ، ﺃﻭ ﺛﻠﺚ ﺧﻤﺲ ﺳﺎﻋﺔ .

Perkataan [beliau berkata;ukuran 50 ayat] yakni bacaan yang sedengan bukan yang panjang tau yg pendek, tidak yang kencang [membacanya] atau yang lambat, berkata al-mihlab dan lainnya: disana membuat perkiraan waktu dengan perbuatan badan, dan biasanya orang arab membuat perkiraan waktu dengan amalan badan,seperti dengan ukuran memeras susu kambing. maka zaid memindahkan perkiraan itu dengan qiraat, itu merupakan sebuah isyarat juga bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dengan qiraat, seandainya kebiasaan orang arab tidak dengan amalan badan, maka zaid pun akan berkata misalnya: ukuran derajat sekian, atau sepertiga, seperlima jam.

2. Ibnu Rusyd
Beliau menjelaskan dalam Bidayatul Mujtahid pada kitab Shaum juz 1 hal 211, sebagai berikut :

والمشهور عن مالك وعليه الجمهور أن اﻷكل يجوز أ ن يتصل بالطلوع، وقيل بل يجب اﻹمساك قبل الطلوع...

Pendapat yang mashur dari Imam Malik dan sesuai dengan pendapat jumhur, batas makan adalah eksistensi terbit fajar, bukan tampaknya fajar, dan ada yang mengatakan bahkan wajib imsak sebelum terbit fajar.

ومن ذهب إلى أنه يجب اﻹمساك قبل الفجر فجريا على اﻻحتياط وسدا للذريعة، وهو أورعالقولين واﻷوا أقيس والله أعلم.

Mereka yang menentukan batas imsak sebelum terbit fajar hanya sebagai tindakan hati-hati dan menghilangkan keraguan. Pendapat pertama (malik dan jumhur) lebih tepat dan pendapat kedua (imsak sebelum terbit fajar) lebih hati-hati, wallahu a'lam.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, jadi jelas bahwa sejak zaman Rasulullah, sudah dilakukan imsak sebagai langkah berhati-hati. Karena dulunya tidak ada jam, wajar saja orang mengukur waktu berdasarkan kegiatan-kegiatan tertentu. Sementara belakangan ini, dimana penanda waktu semakin canggih, dibuatlah jarak waktu sekitar 10 menit sebelum subuh sebagai langkah untuk bersiap-siap puasa. Karenanya, jangan terburu-buru divonis sebagai sesuatu yang tidak mendasar, apalagi jika dituduhkan sebagai perbuatan bid'ah. Wallahu a'lam.