Setia Pada Satu Cinta

Setia Pada Satu Cinta

Oleh: Saiful Hadi

Rumput tetangga terkadang sering nampak lebih hijau, hal itu wajar saja karena dilihat dari jarak yang jauh sehingga bias cahaya membuatnya lebih mempesona. Dan ketika coba didekati bisa jadi lebih jelek dari yang diduga sebelumnya. Pandangan mata terkadang bisa menipu, terik panas matahari disangka air, padahal hanya badan jalan yang silau karena uap panas.

Pada dasarnya, lumrah saja seorang lelaki bisa tertarik hatinya dengan banyak wanita. Karena ia lebih banyak diluar sehingga banyak hal yang terlihat oleh matanya.

Saat tertarik hati dengan banyak wanita, bukan berarti hal ini tercela. malahan syariat memberikan solusi yang membolehkannya untuk menikah dengan beberapa wanita, asalkan bisa berlaku adil, maka silakan menikah dengan wanita-wanita yang disukainya namun tidak lebih dari empat orang.

Menikah dengan beberapa wanita bisa saja tidak seasyik yang dibanyangkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, terutama dalam hal memenuhi pemberian nafkah. Selain itu, sebagaimana lelaki punya rasa cemburu, wanita pun juga mempunyai hal yang sama, bahkan dalam bidang ini kaum wanita adalah juaranya.

Karenanya lelaki dituntut untuk lebih giat dalam menjaga mata. Dengan menjaga mata akan lebih terpelihara hati dari getar-getar cinta yang sepantasnya tidak perlu ada. Untuk itulah Rasulullah berpesan "Bila seseorang di antara kamu melihat seorang wanita yang menarik, hendaklah ia datangi istrinya, karena pada diri istrinya ada hal yang sama dengan yang ada pada wanita itu.” (HR Tirmidzi)

Inilah hikmah pernikahan, membuat pandangan mudah untuk ditundukkan, serta terhindar dari hal yang sia-sia. Disaat hati diusik oleh cinta di luar pagar, maka istri menjadi penawar. Yang diluar sana hanya harapan kosong dan khayal belaka, sementara yang di rumah adalah sosok nyata yang dengannya bebas melakukan apa saja.

Beranjak dari apa yang Nabi sabdakan, setia dengan satu wanita bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Karena dasar teorinya adalah "apa yang ada pada wanita lain juga ada pada sang istri". Sehingga, apa saja yang engkau bayangkan dengan wanita lain bisa dilakukan bersama istri sendiri. Selain itu, sebagai lelaki perlu untuk mengenang betapa banyak jasa seorang istri, mulai dari mengandung, melahirkan serta mengasuh anak-anaknya, yang tentu saja tidak ternilai harganya. Oleh karena itu semua, ia sungguh sangat layak untuk didampingi dengan setia.

Kisah Hikmah: Batal Bercerai Karena Surat At-Tin

Batal Bercerai Karena Surat At-Tin

Ketika Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur naik tahta sebagai khalifah kedua bani Abbasyiah, tercatat sebuah kisah heboh perihal kasus perceraian. Bersebab gombal yang kelewatan, nyaris saja seorang suami kehilangan istri yang begitu dicintainya lantaran tertalaq tiga.

Kisah tersebut didokumentasikan dengan baik oleh imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, dan dikutip ulang oleh Syaikh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir juz 15 ketika menguraikan surat At-Tin.

Kejadian nyaris cerai itu terjadi pada seorang laki-laki yang bernama Isa bin Musa Al-Hasyimi. Pada suatu pagi ia bergegas menemui khalifah Al Manshur. Semalaman dia tidak bisa tidur akibat candaan konyol yang ia lontarkan kepada istrinya yang belum lama ia nikahi.

Awal mula cerita, semalam saat ia bercengkerama dengan istrinya sambil menikmati suasana malam bulan purnama. Meski purnama tidak terlihat karena langit mendung, namun sepasang suami istri yang tengah dalam suasana bulan madu, tetap membuat indah suasana obrolan mereka.

Sambil menatap langit, sambil bercanda Isa berkata kepada istrinya : " Sayangku...andai bulan purnama malam ini lebih cantik dari dirimu, maka aku ceraikan kamu talaq 3 sekaligus".

Selang beberapa saat kemudian, dengan izin Allah, bulan yang tadinya tertutup oleh awan mendung, perlahan mulai menampakkan parasnya yang begitu cantik. Maka canda tawa dan kebahagian yang di rasakan keduanya malam itu mendadak sirna seketika. Isa pun kaget luar biasa, demikian pula sang istri serasa langit runtuh menimpa dirinya. Maka malam itupun keduanya serasa kembali menjadi orang asing satu sama lain. Keindahan pernikahan yang baru di rasakan, serasa di rampas oleh keindahan rembulan lantaran ia merasa talaq telah terjatuhkan.

Maka pagi itu, bergegas ia menuju istana khalifah Al Manshur, Isa pun segera menceritakan peristiwa yang ia lalui semalam. Dia berharap ada solusi dari sang khalifah perihal musibah yang baru menimpanya. Apakah kata cerai yang semalam ia sampaikan kepada istrinya dengan maksud bercanda di hukumi sah ataukah tidak ? Jika sah apakah  dianggap jatuh thalaq satu atau thalaq tiga yang berarti dia tidak bisa rujuk lagi.

Untuk mendapatkan jawaban dari persoalan Isa bin Musa Al Hasyimi, khalifahpun mengumpulkan para ulama' untuk mendiskusikannya. Setelah para ulama' berkumpul, tanpa butuh waktu lama, satu persatu dari mereka menyampaikan pendapatnya. Kesimpulan dari semua ulama menyatakan bahwa thalaq yang di ucapkan Isa dianggap sah.

Namun ada satu ulama' yang belum mengemukakan pendapatnya. Khalifahpun meminta ulama' yang satu itu untuk mengemukakan pendapatnya. Begitu di minta mengemukakan pendapatnya, sang ulama' membaca surat At Tiin, dan ketika sampai pada ayat :

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)

”Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin. 95: 4)

Sang Ulama pun berkata : " Allah SWT menyampaikan kepada kita, bahwa Dia menciptakan manusia dalam bentuk atau rupa yang paling baik. Tidak ada sesuatu yang di ciptaan Allah SWT yang lebih indah  dari manusia. Maka Indahnya purnama tetap tidak seindah rupa manusia.

Demikian pula, sang khalifah pun sepakat dengan jawaban syeikh yang satu itu. Lalu ia pun berkata kepada Isa bin Musa : " Keputusanku seperti apa yang di kemukakan syeikh tadi, engkau masih tetap menjadi suami bagi istrimu, pulanglah.. ".

Kemudian khalifah mengirim seorang utusan kepada istri Isa bin Musa Al Hasyimi, menyampaikan bahwa ia masih tetap menjadi istri yang sah bagi suaminya.

Berkaca dari kisah ini, sudah sepatutnya terutama bagi para suami untuk tidak bercanda dalam hal talaq/cerai. Sebab, akan sangat fatal akibatnya jika talaq telah terlajur dilakukan. Apalagi jika talaq yang dijatuhkan berupa talaq tiga, maka sang suami tidak bisa rujuk kepada istrinya sebelum ia menikah dulu dengan lelaki yang lain, setelah diceraikan dan lalu iddah barulah boleh untuk menikah kembali dengan sang istri yang telah di talaq tiga.

Tugas Hamba Berusaha dan Berdoa, Selanjutnya Tawaqal pada yang Maha Kuasa

Berusaha dan Berdoa
Oleh: Saiful Hadi

Doa sudah dipanjatkan, usaha pun juga telah dilakukan, tugas berikutnya adalah tawaqqal, pada Allah kita pasrahkan, dalam kalam-Nya disebutkan "Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana" [1]. Karenanya, yakin saja, jika Allah hendak memberi rahmad-Nya, maka tidak ada yang mampu menghalang, biarpun terkadang di luar nalar seorang insan.

Dulu sekali, suatu ketika Ibrahim bin Adham sedang berburu di hutan, saat istirahat siang kala hendak menyantap bekalan, seekor gagak dengan sigap menyambar roti yang hendak beliau makan. Terheran dalam hati, sejak kapan gagak makan roti? Dibuntutilah sang gagak tadi, sampai tibalah di sebuah lembah. Dari kejauhan beliau menyaksikan, rupanya gagak sedang menyuap makan untuk seorang tawanan yang kaki dan tangannya dibelenggu ikatan. Rupanya inilah alasan kenapa gagak mengambil bekalan.

Berselang kemudian, beliau hampiri sang tawanan sambil menanyakan ada apa gerangan. Tawanan itu pun mengisahkan, bahwa sudah sejak seminggu ia tertawan, seluruh harta niaganya lenyap akibat perampokan. Dia sendiri diikat ditengah hutan tanpa makan dan minuman.

Sang tawanan pun melanjutkan, atas kehendak Allah yang Maha Rahman, burung gagak itu datang menyediakan makan dan minuman. Dengan paruhnya burung itu memberi suapan lantaran tanggan-kakiku dalam ikatan.

Melihat kejadian yang begitu menakjubkan, bertambah yakinlah Ibrahim bin Adham akan Rahmat Tuhan. Bertawaqqalah pada Allah semata, bukankah telah tersebut dalam quran yang mulia, "Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya."[2].

[1] QS. Fathir: 2
[2] QS. At-Thalaq: 4

#catatanfiqih

Tradisi Hutang dengan Istilah Pinjam

Tradisi Hutang dengan Istilah Pinjam

Dalam menjalani roda kehidupan, tentu saja manusia saling berinteraksi dengan sesamanya dalam berbagai bidang. Tidak mungkin segala sesuatu bisa dikerjakan sendirian, tetap akan membutuhkan orang lain.

Dalam tradisi keseharian, adakala ditemukan ungkapan yang tidak sesuai dengan maksud orang yang mengungkapkannya. Misal saja dalam hal muamalah, terbukti ketika seseorang mau berhutang kepada yang lain, sering kita dengar, “Saya pinjam uangmu Rp. 10.000,-”. Biarpun ia mengatakan dengan bahasa pinjam, tapi kalimat tersebut ia maksudkan dengan hutang.

Lantas, termasuk transaksi apakah perkataan seperti itu? Hutangkah ataupun pinjam? Dari beberapa literatur turats fiqih pernyataan demikian Termasuk dalam katagori akad hutang, karena menurut urf (kebiasaan yang berlaku), maksud kata-kata tersebut adalah hutang bukan pinjam.
Referensi:

& الأشباه والنظائر صحـ : 95 مكتبة دار الكتب العلمية
تَنْبِيهٌ إنَّمَا يَتَجَاذَبُ الْوَضْعُ وَالْعُرْفُ فِي الْعَرَبِيِّ أَمَّا الاعْجَمِيُّ فَيُعْتَبَر عُرْفُهُ قَطْعًا إذْ لا وَضْعَ يُحْمَل عَلَيْهِ اهـ
& نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج الجزء 5 صحـ : 124 مكتبة دار الفكر
وَلَوْ شَاعَ أَعِرْنِي فِي الْقَرْضِ كَمَا فِي الْحِجَازِ كَانَ صَرِيحًا فِيهِ قَالَهُ فِي الانْوَارِ وَعَلَيْهِ فَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْلِهِمْ فِي الطَّلاقِ لا أَثَرَ لِلإِشَاعَةِ فِي الصَّرَاحَةِ بِأَنَّهُ يُحْتَاطُ لِلابْضَاعِ مَا لا يُحْتَاطُ لِغَيْرِهَا وَظَاهِرُ كَلامِهِمْ صَرَاحَةُ جَمِيعِ هَذِهِ الالْفَاظِ وَنَحْوِهَا وَأَنَّهُ لا كِنَايَةَ لِلْعَارِيَّةِ وَفِيهِ تَوَقُّفٌ ظَاهِرٌ ( قَوْلُهُ كَانَ صَرِيحًا ) وَعَلَيْهِ فَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ تَتَمَيَّزُ الْعَارِيَّةُ بِمَعْنَى الإِبَاحَةِ عَنْهَا بِمَعْنَى الْقَرْضِ بِالْقَرَائِنِ فَإِنْ لَمْ تُوجَدْ قَرِينَةٌ تُعَيِّنُ وَاحِدًا مِنْهُمَا فَيَنْبَغِي عَدَمُ الصِّحَّةِ أَوْ يُقَيَّدُ حَمْلُهُ عَلَى الْفَرْضِ بِمَا اُشْتُهِرَ فِيهِ بِحَيْثُ هَجَرَ مَعَهُ اسْتِعْمَالَهُ فِي الْعَارِيَّةِ إلا بِقَرِينَةٍ وَظَاهِرُهُ أَنَّ ذَلِكَ شَائِعٌ حَتَّى فِي غَيْرِ الدَّرَاهِمِ كَأَعِرْنِي دَابَّتَك مَثَلا اهـ
Source Piss-KTB

Belajar Agama kok dari Internet?

Belajar Agama kok dari Internet?


Sejak semakin berkembangnya teknologi informasi, ada banyak hal yang bisa diketahui dengan mudah dan cepat. Topiknya pun beragam, entah itu masalah kesehatan, pendidikan sampai tentang keagamaan, semuanya tersedia luas dan bisa didapatkan dengan gratis selama ada quota internet tentunya. Dengan adanya kemudahan ini tidak perlu repot-repot lagi datang ke dokter kalau hanya sekedar untuk konsultasi, karena cukup buka browser dengan kata kunci tertentu maka google akan menampilkan segundang informasi, bahkan terkadang ia juga bertanya -"apakah ini yang anda maksud?"- ketika pencarian kita salah.

Internet juga banyak mengubah perilaku, jika dulunya diskusi dilakukan di forum-forum ilmiah namun sekarang dimana saja bisa, asal tetap terhubung maka diskusi sambil tiduran pun juga bisa dilakukan. Sehingga jangan heran ketika terjadi diskusi diforum2 online dalam hitungan menit sudah ada ratusan referensi yang ditampilkan demi meruntuhkan argumen lawan. Berbeda halnya jika harus berguru secara langsung, harus mengkaji kitab-kitab yang terkadang baris pun tidak ada, untuk bacanya saja susah apalagi pemahamannya. Namun untunglah, berkat Al-mukarram google semua jadi mudah, semua pendapat terhadap suatu masalah bisa ditampilkan dengan cepat, tinggal memilih saja yang sesuai dengan selera.

Namun demikian akan ada banyak kumungkinan negatif yang dihasilkan jika belajar ilmu syariah hanya lewat laman-laman google ini. Sebab, beliau itu hanya mesin pencari yang sama sekali tidak bisa membedakan mana yang rajih atau tidak rajih. Mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.

Dan kemungkinan negatif yang paling nyata adalah tersembunyinya ilmu. Karena memang Almukarram google hanya menampilkan apa yang sudah diunggah ke laman dunia maya, yang tidak terunggah, maka takkan bisa terakses oleh mesin pencari tersebut. Sehingga jika ada satu kelompok yang rajin sekali ngeposting, maka yang akan ditampilkan ya dari kelompok itu-itu saja.

Sebagai contoh, jika kita cari mengenai masalah tahlilan, maulid atau ziarah kubur, mungkin akan muncul pada laman pertama google yang memuat berbagai laman web yang postingannya mengharamkan bahkan mengkafirkan praktek-praktek demikian. Bermodalkan dalil "kullu bid'ah dhalalah", maka semuanya sesat, yang sesat itu tempatnya neraka.

Belajarlah dengan Berguru

Pada akhirnya, orang yang hanya belajar lewat laman google hanya tahu pendapat yang memang ada di dunia maya, padahal dalam masalah tersebut, pendapat ulama tidak satu suara, ada pandangan lain yang tidak diketahuinya. Pada akhirnya akan membuat orang menjadi -terkesan- jumud ketika melihat adanya perbedaan pendapat, dan membuatnya menjadi sangat militan dalam mendominasi -yang katanya- kebenaran mutlak, padahal sejatinya itu adalah masalah yang diperselisihkan, ada pendapat berbeda dari kolompok ulama lain yang kebetulan tidak mahir ber-internet dan tidak mempublish pendapatnya.

Imbas lainnya ketika tersembunyinya ilmu maka bakal tersembunyi juga kebenaran. Hal ini akan sangat mendhalimi orang yang berbeda pandangan dengannya, karena bisa saja dituduh sebagai pelaku bid'ah akibat ceteknya pemahaman murid Mbah Google ini.

Bahkan terkadang kita dapati ada yang mengambil pernyataan imam syafie untuk meruntuhkan pendapat yang memang sudah rajih dalam mazhab syafie. Sebagai contoh dalam masalah qunut subuh, mazhab syafie telah mengukuhkan bahwa qunut subuh hukumnya sunat ab'adh, namun oleh peselancar dunia maya yang kebetulan dia dapati bahwa hadist tentang qunut subuh lemah, bahkan yang kuat adalah tidak ada qunut. Walhasil dia ambil pernyataan Imam Syafie yang menyatakan "apabila sahih hadist maka itulah mazhabku", menurutnya hadist yang shahih tidak ada qunut sehingga ia simpulkan bahwa qunut subuh dalam mazhab syafie tidak ada, dan imbasnya adalah secara tidak langsung ia telah menganggap imam syafie bodoh lantaran tidak mengetahui hal ini.

Padahal kalau ia mau mencermati masalah tersebut langsung berguru kepada ulama-ulama yang bermazhab syafie niscaya hal yang demikian tidak akan terjadi. Sebab sebagaimana telah diketahui oleh khalayak ramai bahwa Al-Imam Asy-Syafie itu seorang pakar hadits nomor wahid yang disebut-sebut sebagai Nashirus sunnah. Mustahil beliau tidak tahu mana hadits shahih dan mana hadits dhaif. Kemungkinan negatif lainnya, di era jejaring sosial ada banyak artikel seputar masalah syariah yang terserak di dunia maya, dan tidak sedikit bermunculan ustaz medsos yang terkadang hanya memakai nama anonim saja yang tak jelas siapa orangnya. Hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafie “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).

Apa yang dikatakan oleh Imam Syafie memang sangat beralasan, sebab jika hanya mengandalkan apa yang didapat dari laman web maka ilmunya tidak ada mata rantai yang jelas alias terputus sanad. Dan yang amat dikhawatirkan adalah sangat rentan terjadinya kesalahpahaman jika tak ada bimbingan guru. Andaipun ia sangat mahir dengan bidang ilmu tertentu, maka hanya pantas digelari dengan shahafi alias otodidak karena tidak belajar langsung pada guru.

Efek negatif yang tidak kalah bahayanya adalah hilangnya sosok yang dihormati, karena ia hanya belajar pada al-mukarram google saja maka hilanglah peran guru yang sebenarnya sehinga tidak ada lagi sosok yang menjadi panutan, kalaupun ada yang menjadi sosok panutan itupun ia ikut dengan sikap fanatik yang sangat anti kritik. Berbeda halnya belajar dengan berguru secara langsung, dengan adanya guru kita menjadi sadar bahwa status hanyalah seorang murid sehingga akan mudah membuat hati semakin tawadhu, tidak merendahkan penuntut ilmu lain, dan tidak merasa sebagai orang yang paling cerdas lagi dalam kebenaran.

Orang yang menuntut ilmu tanpa guru, hanya lewat buku dan laman internet, dia tidak punya sosok yang harus ia hormati, sebab ilmu yang didapat adalah hasil kerja sendiri. Karena kerja sendiri, berarti ini murni muncul dari kecerdasan diri, tanpa bantuan dan bimbingan guru. Tinggi hati pun akhirnya menjadi sikap bawaannya, jika ada yang menyelisih bawaannya hanya ingin mendebati bukan menghormati dan hanya mau menang sendiri saja, sehingga tidak perlu heran di forum-forum debat dunia maya tak akan pernah selesai pembahasan. Padahal pembahasan yang sedang diperdebatkan sudah lama selesai dibahas oleh ulama-ulama tempo dulu.

Allahumma.

Perkataan Ulama Saja Masih Salah Paham


Perkataan Ulama

Oleh Saiful Hadi

Peranan alim ulama dalam menyebarkan islam tidak diragukan lagi, sejarah mencatat bagaimana islam bisa sampai ke daratan eropa tidak terlepas dari peran para mujahid dan ulama, demikian juga dengan kiprah dari walisongo yang berdakwah di tanah jawa sehingga islam merata diseluruh nusantara. Karenanya sangat wajar bila Rasulullah memberi apresiasi yang tinggi terhadap ulama, bahkan beliau sebut-sebut bahwa ulama merupakan pewarisnya para nabi.

Ditangan para ulama, umat digembleng sedemikian rupa agar tidak salah jalan. Dan ditangan mereka pula, islam didokumentasikan dengan baik melalui kitab-kitab karangannya.

Kitab para ulama adalah mutiara yang tiada ternilai harganya. Melalui karyanya itu mereka jelaskan dengan rinci maksud dari quran dan hadist dengan sebenarnya. Mereka kerahkan segala upaya agar kedua sumber islam tersebut menjadi mudah untuk dicerna.

Namun demikian, ketika mempelajari agama dengan hanya merujuk kepada karya ulama tanpa berguru, bukannya mendapat petunjuk tapi bisa saja malah menjadi semakin jauh dari kebenaran lantaran salah dipahami. Imbas dari salah paham ini akhirnya lahirlah debat kusir yang tidak ada titik temunya.

Sebagai contoh, ketika membahas mengenai sampai tidaknya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat, kalangan yang berpendapat tidak sampai pahala biasanya mengambil pendapat Imam Syafie sebagai rujukannya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Nawawi:
فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل
Pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan beberapa jamaah adalah tidak sampai (Pahala bacaan al-Qur’an). [1]

Bermodalkan kutipan dari Imam Nawawi tersebut secara masiv mereka serang pengikut mazhab syafie, "katanya ikut mazhab syafie tapi kenapa tidak ikut imam syafie". Padahal jika mereka mau meneliti dengan seksama dan belajar langsung dengan ulama-ulama yang bermazhab syafie, tentunya tidak segampang itu menyalah-salahkan pengikut mazhab syafie.

Sebab dikesempatan yang lain, Imam as-Syafi’i juga pernah menyatakan:
قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا
Imam as-Syafi’i mengatakan: Disunnahkan membaca al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu lebih baik. [2]

Sehingga jika dikatakan bahwa Imam syafie berpendapat tidak sampai pahala, lantas kenapa beliau mensunnahkan bacaan al-Quran kepada mayat yang telah dikubur. Tidak mungkin sekaliber Imam Syafie mengeluarkan pendapat plin plan begitu.

Lantas bagaimana juga maksud sebenarnya dari kalam Imam Syafie tersebut? Syaikh al-Islam Zakaria Al-Anshari as-Syafi’i (w. 926 H) dan Ibnu Hajar Al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H), sebagai ulama dalam madzhab as-Syafi’i menjelaskan bahwa, maksud bacaan al-Quran itu tidak sampai jika tidak diniatkan atau tidak dibacakan di hadapan si mayit. [3]

Oleh karenanya jika hendak memahami maksud Imam Syafie maka rujuklah kepada ulama yang bermazhab syafie. sebab jika merujuk kepada yang non syafie sangat rentan terjadi penguntingan pernyataan atau kesalahan dalam memahami perkataan.

Dari contoh diatas, perkataan ulama saja masih salah paham, bagaimana caranya hendak memahami quran dan hadist yang jelas-jelas bukan seperti kalam manusia biasa. Beranjak dari sini, maka ajakan kembali ke quran dan sunnah menjadi amat berbahaya jika tidak ada ilmunya, karena besar kemungkinan melahirkan pemahaman yang keliru sebab dangkalnya ilmu. Yang benar, kembalilah kepada quran dan sunnah dengan mempelajarinya bersama para ulama.
Wallahu A'lam.

Rujukan:
[1] Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Adzkar, h. 278
[2] Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Riyadh as-Shalihin, h. 295
[3] Syaikh al-Islam Zakaria al-Anshari w. 926 H, Fath al-Wahhab, h. 2/ 23 dan Ibnu Hajar Al-Haitami w. 974 H, Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, 2/ 27).

Bumi Aceh Sudah Sejak Dulu Bermazhab Syafi'i


Dalam catatan sejarah yang ditulis oleh seorang penjelajah dunia muslim pada abad pertengahan, Ibnu Bathuthah (1304-1368M) yang beliau beri judul "Tuḥfatun Nuẓẓār fī Gharāʾibil Amṣār wa ʿAjāʾibil Asfār" setebal 797 halaman, ia menceritakan kisah perjalanannya ke Aceh dan pertemuannya dengan Sulthan Malik Az-Zahir, Raja Samudera Pasai dalam satu bab yang berjudul "Cerita tentang Raja di Jawi (Indonesia)", karena saat itu wilayah Indonesia lebih dikenal dengan nama Jawi.

Ibnu Bathuthah mengisahkan bahwa Sang Sultan merupakan seorang Raja Muslim yang menerapkan hukum berdasarkan mazhab syafi'i dalam negerinya, beliau sangat mencintai para fuqaha (ahli fiqih) dan penduduk negeri beliau juga bermazhab syafi'i.

Aceh dan Mazhab Syafi'i

Berikut petikan dari catatan Ibnu Bathuthah

Kutipan Kitab Rihlah Ibnu Bathuthah hal. 630

 terjemahan;

"Ia adalah Sulthan Malik Az-Zahir, salah seorang raja yang agung dan mulia. Ia bermazhab Syafi'i dan sangat mencintai Para Fuqaha'. Mereka (Para Fuqaha') hadir ke majlisnya untuk membaca kitab dan berdiskusi. Ia juga sering berjihad, rendah diri dan pergi untuk menunaikan shalat jumat dengan berjalan kaki. Penduduk negerinya bermazhab Syafi'i dan suka berjihad yang keluar bersamanya secara suka rela. Mereka memenangkan pertarungan dengan orang-orang kafir sehingga orang-orang kafir harus membayar pajak untuk solusi damai."

(Dikutip dari Kitab Tuḥfatun Nuẓẓār fī Gharāʾibil Amṣār wa ʿAjāʾibil Asfār, Cet. Dar Ihya al-Ulum, hal. 630)

Berdasarkan penuturan dari Ibnu Bathuthah tersebut, dari sejak dulu kaum Muslimin di Aceh telah terbiasa hidup damai dalam kultur fiqih mazhab Syafii dengan aqidah Ahlussunnah Waljamaah. Dan sejak dulu pula para ulamanya juga sangat menghargai tradisi-tradisi baik yang berjalan di tengah-tengah masyarakat, jauh dari sikap saling mengkafirkan dan membid'ahkan.

Semoga saja kondisi ini dapat terus dipertahankan, sehingga kita mewariskan Aceh kepada generasi yang akan datang masih dalam konsep yang sama sebagaimana diwariskan oleh ulama-ulama sebelumnya, konsep yang telah membawa Aceh ke puncak kekayaan.

Sumber: Facebook Tgk. Iqbal Jalil

Seluruh Imam Mazhab Sepakat Hukum Qunut Sunah

doa qunut

Dirangkum dari Kitab Al-Fiqh 'ala al-madzahib al-khamsah, berikut ini pandangan imam mazhab mengenai hukum qunut:
  1. Hanafi : Dalam shalat tidak ada qunut kecuali pada shalat witir
  2. Syafi'i : Pada shalat subuh dan witir pada pertengahan kedua ramadhan disunatkan qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku' pada rakaat kedua sebagaimana disunahkan membaca surah Al Quran setelah fatihah.
  3. Maliki : Sunah membaca qunut pada shalat subuh saja.
  4. Hambali : Qunut hanya pada shalat witir saja.
  5. Imamiyah : Qunut disunatkan pada setiap shalat fardhu.
Melihat seluruh pendapat para Imam Mazhab, terlihat tidak ada perbedaan yang mencolok diantara pendapat mereka, bisa dikatakan seluruh Imam mazhab memandang bahwa qunut hukumnya sunah, namun posisinya saja yang berbeda-beda.

Memahami Quran Tidak Cukup Bermodalkan Terjemahan

Paham Al-Quran

Al-Qur'anul Karim, yang turun dalam bahasa Arab, tentu saja tidak keluar dari karakter bahasa Arab dalam pemakaian kata dan kalimat-kalimatnya. Sebab, ada kalanya bermakna secara haqiqah (pemakaian kata dalam makna aslinya), dan ada juga dalam bentuk majaz (pemakaian kata dalam suatu makna lain yang bukan makna asli kata itu karena adanya suatu 'alaaqah [hubungan] antara makna asli dan makna lain tersebut). Sehingga untuk memahami Al-Quran tidak akan memadai jika hanya mengandalkan terjemahannya saja, bukannya mendapatkan petunjuk namun malah jadi tersesat.

Ulama-ulama terdahulu telah menetapkan standar yang bisa dikatakan sebagai sebuah aturan dalam memahami Al-Quran. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân, beliau menyebutkan ada lima belas ilmu yang harus dikuasai baru boleh menjadi seorang pentafsir Al-quran. Ke lima belas ilmu tersebut antara lain:

1. Bahasa Arab,
karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”

2. Nahwu,
karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan irab.

3. Tashrîf ,
(sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata. 
 
4. Isytiqâq,
(derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).

5. Al-Ma‘âni,
karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.

6. Al-Bayân,
karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.

7. Al-Badî‘,
karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat. Ilmu Ma'ani, Bayan dan Badi' disebut sebagai ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.

8. Ilmu qirâ’ah,
karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.

9. Ushûluddîn,
(prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.

10. Ushul fikih,
karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth. 

11. Asbâbun Nuzûl,
Yaitu (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.

12. An-Nâsikh wa al-Mansûkh
agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.

13. Fikih.
14. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15. Ilmu muhibah,
yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
“Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui.”

Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki wewenan untuk menjadi mufassir jika tidak menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan rayu (akal) yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan rayu (akal) yang dilarang.

Rujukan:
[1] Muqaddimah Tafsir Al-Munir
[2] Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân, fi Ma'rifati Syurutil Mufassir wa adabihi, Juz 4 hal. 507