Video: Selamat Menunaikan Ibadah Puasa


Ibadah puasa Ramadhan yang diwajibkan Allah kepada setiap mukmin adalah ibadah yang ditujukan untuk menghamba kepada Allah seperti yang tertera dalam QS. Al- Baqarah-2: 183. Hikmah dari ibadah puasa itu sendiri adalah melatih manusia untuk sabar dalam menjalani hidup dan menjadi insan yang bertaqwa. Puasa Ramadhan mulai disyariatkan pada tanggal 10 Sya`ban tahun kedua Hijriah atau satu setengah tahun setelah umat islam berhijrah dari Mekah ke Madinah, atau setelah umat islam diperintahkan untuk memindahkan kiblatnya dari masjid Al- Aqsa ke Masjidil Haram.

Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya Ihya al-'Ulumuddin telah membagi puasa ke dalam 3 tingkatan:

  1. Puasanya orang awam (shaum al-'umum): menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti makan dan minum.
  2. Puasanya orang khusus (shaum al-khusus): Selain menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa juga turut berpuasa dari panca indera dan seluruh badan dari segala bentuk dosa.
  3. Puasanya orang istimewa, super khusus (shaum khusus al-khusus): Selain menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa dan juga berpuasa dari panca indera dan seluruh badan dari segala bentuk dosa juga turut berpuasa 'hati nurani', yaitu tidak memikirkan soal keduniaan.

Penjelasan Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari Mengenai Hadist 11 Rakaat

Jumlah rakaat shalat tarawih selalu menjadi polemik, biarpun jumhur telah sepakat bahwa tarawih 20 rakaat, namun ada juga yang menyatakan bahwa tarawih yang sesungguhnya dan paling sesuai dengan sunnah nabi adalah 11 rakaat. Bagi pendukung 11 rakaat, mereka beragumen dengan hadist yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ قَالَ حَدَّثَنِيْ مَالِكٌ عَنْ سَعِيْدٍ اَلْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلَا فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّيْ أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّيْ أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّيْ ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِيْ

“…(diriwayatkan) dari Abu Salamah Ibn ‘Abdurrahman bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah bagaimana shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan. ‘Aisyah menjawab: “Beliau tidak pernah menambah di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam bulan lainnya lebih dari 11 raka’at.” Beliau shalat 4 raka’at; dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi 4 raka’at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat 3 raka’at. Kemudian saya bertanya: Wahai Rasulullah apakah anda tidur sebelum shalat witir? Beliau menjawab: Wahai ‘Aisyah, dua mataku memang tidur, tetapi hatiku tidak tidur.” (HR. Bukhari) [1]

Namun, apakah hadist tersebut bisa dijadikan landasan bahwa tarawih itu 8 rakaat plus 3 witir? Mengomentari hadist ini, Syeikhul Islam Zakariya Al-Anshari (w. 926 H/1520 M) dalam kitab Al-Ghurar Al-Bahiyyah Fii Syarhil bahjah Al-Wardiyyah 4/146 menerangkan:

وَأَمَّا خَبَرُ { مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً } فَمَحْمُوْلٌ عَلَى الْوِتْرِ

Adapun hadits “Baik di bulan Ramadhan ataupun bukan bulan Ramadhan Rasulullah shallaahu ‘alaihi wasallam  melakukan shalat malam  tidak lebih dari sebelas raka’at” adalah dimuhtamilkan (diarahkan) untuk shalat witir. [2]

Pentunjuk yang mengarah ke shalat witir adalah Pertanyaan Aisyah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ
Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat witir?

Dari penjelasan Syeikhul Islam Zakariya Al-Anshari, ternyata hadist yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah tidak tepat kalau diarahkan ke tarawih tapi yang lebih tepat adalah ke shalat witir, mengacu dari hadist tersebut sehingga disimpulkan bahwa rakaat shalat witir paling maksimal adalah 11 rakaat. Dan lagi andaipun hadist tersebut dipaksakan untuk shalat tarawih maka berarti tarawih bukan hanya dalam bulan ramadhan saja, tapi setiap bulannya ada tarawih.

Shalat Tarawih 20 Rakaat
Lalu apa dalil shalat tarawih 20 rakaat? Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi (w. 676 H /1277 M) dalam Kitab Majmu, Syarah Muhadzdzab, Tarawih 20 rakaat berdasarkan hadist diriwayatkan oleh Imam Baihaqi:


وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ بِالْإِسْنَادِ الصَّحِيْحِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ اَلصَّحَابِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ  كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً

Kawan-kawan kami berargumen dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan lain-lain dari shahabat As Saa`ib bin Yazid radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata: “Mereka qiyam Ramadhan (shalat tarawih) di zaman Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu dengan 20 rakaat.” Majmu, Syarah Muhadzdzab juz IV  halaman 32-33 [3]

Dan sebagaimana diketahui bahwa kita diperintah oleh Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wasallam agar mengikuti sunnah khulafa`urrasyidin, Rasulullah shallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
“….Maka ikutlah sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin.” HR. Tirmidzi dalam Kitab Sunannya (juz V halaman 44, hadits nomor 2676, dari shahabat Al ‘Irbaadh bin Saariyah (hadits Hasan Sahih)

Wallahu A'lam bis Shawab

Rujukan:
[1] Shahih Bukhari  3/7/1147  dan  5/145/2013 (maktabah syamilah) Link Kitab: http://www.ikfm.se/ig/bukhari/indexf3ca.html?saheh=37
[2] Link Kitab: http://www.al-islam.com/Page.aspx?pageid=695&BookID=547&PID=789&SubjectID=1216
[3] Majmu, Syarah Muhadzdzab juz IV  halaman 32-33 (maktabah syamilah)

Isi Fatwa MUI Soal Kriteria Pengkafiran

Ijtima ke-5 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang hukum kriteria pengkafiran hanya dilakukan oleh lembaga ulama yang disahkan negara dan umat atau lewat kewenangan MUI pusat dengan persyaratan dan prosedur ketat.

"Fatwa ini keluar karena ada dua kecenderungan masyarakat yaitu meremehkan perihal kafir dan juga mudahnya mengkafirkan orang atau suatu golongan," kata Ketua Tim Perumus Komisi A Muh Zaitun Rasmin di Tegal, Rabu Malam.

Dia mengatakan umat Islam harus terhindar dari pengkafiran dan mengambil pilihan moderat atau di antara menganggap enteng pengkafiran atau terlalu mudah mengkafirkan pihak lainnya. Dengan kata lain, kata Zaitun, pengkafiran merupakan hukum syariat yang tidak boleh dilakukan oleh orang per orang atau lembaga yang tidak kredibel dan berkompeten untuk itu.

Adapun penetapan kafir oleh lembaga ulama kredibel dan kompeten itu dilakukan secara ketat dengan verifikasi dan validasi seseorang atau kelompok terhadap iktikad, perkataan dan perbuatan yang menyebabkan kekufuran.

Selain itu, vonis kafir dilakukan secara hati-hati dan seksama sebagai langkah terakhir. Tujuannya agar umat Islam tidak terpecah belah dan membuat banyak umat yang terjatuh ke dalam jurang kekafiran.

Pengkafiran personal, lanjut dia, dilakukan dengan standar yang valid dengan bukti yang jelas dan hanya boleh dilakukan secara kolektif oleh ulama yang kompeten dan memahami agama dengan baik.

Terkait terdapatnya kelompok yang mengkafirkan seseorang atau kelompok karena melakukan dosa besar, MUI menyebutkan dosa besar tidak otomatis membuat seseorang atau kelompok itu kafir. Bagi yang bersangkutan diperkenankan untuk bertaubat tanpa harus melakukan syahadat kembali sebagaimana pedoman bagi Islam Sunni.

Sumber: Republika.co.id | http://republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/15/06/10/npqirh-isi-fatwa-mui-soal-kriteria-pengkafiran


Keteladanan Nabi Musa; Berbeda tidak Berati Salah

Salah satu kisah Nabi yang paling lengkap dalam al-Quran adalah kisah Nabi Musa, kisah sebelum kelahiran, pertumbuhan, saat beranjak dewasa hingga saat diangkat oleh Allah swt menjadi seorang Nabi dan Rasul. Karena kemuliaan dan keteguhan hatinya, Nabi Musa masuk kedalam kelompok 5 Rasul Allah yang menyandang predikat ulul azmi, Rasul yang (mempunyai kesanggupan).

Salah satu kisah menarik tentang Nabi Musa yang diabadikan al-Quran adalah kisah perjumpaan dan kebersamaannya dengan Nabi Khidir alaihi salam. Hakikat kebersamaan diantara keduanya dibahas oleh Syeikh Ibn Hajar al-Atsqalani dalam kitab fath al-bari pada Juz II.

Banyak pelajaran dari kisah Nabi Musa Alaihi salam saat berguru kepada Nabi Khidir Alaihi salam tersebut. Diantaranya adalah kesuhungguhan Nabi Musa dalam berguru, sampai rela menempuh perjalanan berhari-hari untuk menemukan sosok Khidir alaihi salam.
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.” (Qs. al-Kahfi: 60)

Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya, lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada muridnya, "Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”

Muridnya menjawab, "Tahukah engkau ketika kita mecari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”
Musa berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

Pelajaran lainnya adalah menyadari ketidak tahuan dengan bertanya bukan dengan mengkritik, padahal kedudukan Nabi Musa dalam kenabian jelas lebih tinggi daripada Nabi Khidir, bahkan sebagian ulama menyebut Nabi Khidir adalah Wali Allah tidak sampai menjadi Nabi. Namu demikian Nabi Musa tidak mengkritik Nabi Khidir dan menyadari ada wilayah yang tidak dipahaminya sedangkan Khidir diberi ilmu tentang hal itu oleh Allah swt. Demikian ayat berbunyi:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.
Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?"
Dia menjawab, "Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.
Dan bagaimana engkau dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
Musa berkata, "Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.

Dia berkata, "Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu.”
Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia (Khadhir) melubanginya. Musa berkata, "Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya?" Sungguh, engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”
Dia (Khadhir) berkata, "Bukankah sudah kukatakan, "Bahwa engkau tidak mampu sabar bersamaku.”
Musa berkata, "Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.”

Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka dia (Khadhir) membunuhnya. Dia (Musa) berkata, "Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.”
Khadhir berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?"
Dia (Musa) berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasan dariku.”

Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu) lalu dia (Khadhir) menegakkannya. Musa berkata, "Jika engkau mau, niscaya engku dapat meminta imbalan untuk itu.”

Dia (Khadhir) berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberikan penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu sabar terhadapnya.
Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu.

Dan adapun anak itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.

Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan seorang anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anak itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).

Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, sedang ayahnya seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.” (Qs. al-Kahfi: 82)

Selayaknya menurut Maulana Habib Luthfi pada dini hari tadi, (19/06/15) sikap Nabi Musa alaihi salam kisah ini diteladani, yaitu Nabi Musa tidak menghukumi perbuatan Nabi Khidir akan tetapi Nabi Musa bertanya.

Ini selayaknya ditiru dan menjadi akhlak kita, bahwa ilmu Allah swt sungguh maha luas dan tak terbatas. Jika ada yang berbeda dengan kita atau tidak sesuai dengan pengetahuan kita, sebaiknya tidak mudah menghukumi sesat, kafir, tidak sesuai dengan al-Quran dan sudah atau klaim-klaim yang seolah-olah kita paling benar dan tahu segalanya.

Nabi Musa, seorang Nabi terpilih dari empat orang Nabi yang mendapatkan kitab suci, seorang Nabi dari lima orang Nabi yang menyandang predikat ulul azmi, namun dengan segala kedalaman ilmunya, Nabi Musa tidak menghukumi bahwa Khidir salah, akan tetapi beliau bertanya. Dan ketika salah, kemudian diingatkan oleh Nabi Khidir, Nabi Musa lapang menerimanya, dan bersedia mendapatkan sanksi, yaitu menyudahi kebersamaannya dengan Nabi Khidir alaihi salam.

Sumber: habiblutfi.net

Melafazkan Niat Puasa Sesudah Shalat Tarawih


Ramadhan yang dinanti sudah tiba, alhamdulillah Ramadhan kali ini serentak dimulai kemarin tertanggal 18 juni 2015, ini adalah sebuah keadaan yang harus disyukuri, sudah lama kita menantikan kapan gerangan ummat Islam di Indonesia bisa puasa dalam waktu yang sama, dan mudah-mudahan juga akhirnya bisa berlebaran dihari yang sama.

Alhamdulillah untuk yang kedua kalinya patut juga kita ucapkan, hampir disetiap masjid sekarang ini dipenuhi oleh masyarakat, masjid yang selama ini rindu untuk didatangi ternyata dua malam ini penuh, sesak, sampai-sampai pengurus masjid harus menyiapkan karpet tambahan diluar, pemandangan yang yang indah dipandang dan semoga tidak segera menghilang.

Dari dulu sekali, entah kapan dimulai, hingga sekarang ini ritual shalat tarawih di masjid-masjid kita di Indonesia hampir mempunyai kesamaan, mulai dari ramainya jamaah ibu-ibu dan anak-anak, jumlah rakaat yang berkisar antara delapan hingga dua puluh, setiap jedah dua rakaat ada shalawatan, juga ada kultumnya, doa bersama, hingga akhirnya ditutup dengan bersama melafazkan niat puasa.

Tulisan ini tidak sedang membahas semua itu, tapi hanya sedikit berusaha mencari asal-usul mengapa disebagian masjid yang ada di negri ini mempunyai tradisi lokal seperti ini, apakah ini adalah akal-akalan saja atau ada sumbernya, sehingga jika memang ada sumber yang kuat kurang baik juga jika sebagian kita mencibir perilaku tersebut. Sumber yang dimaksud menimal pendapat ulama yang memang boleh untuk diikuti atau bertaqlid kepadanya.

Rukun Puasa
Seluruh ibadah yang dilakukan pada dasarnya membutuhkan niat, termasuk urusan ibadah puasa. Selama ini kita mengetahui bahwa rukun puasa itu hanya dua hal; niat dan imsak yaitu menahan diri dari segala yang bisa membatalkan puasa dari mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.


Dalam mazahab Syafi’i umumnya niat itu diartikan dengan:

قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ
“Bermaksud untuk suatu hal disertai dengan perbuatanya”
Pentingnya niat dalam segala ibadah ini sehingga amalan yang dikerjakan tidak dilandasi dengan niat diangap sebagai amalan yang sia-sia, dalam artian tidak mendapatkan nilai ibadah disisi Allah SWT, untuk itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meningatkan:

إِنَّمَا الأَعْماَلُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلٍّ امْرِءٍ مَا نَوَى
”Sungguh setiap pekerjaan itu bergantung dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari Muslim)

Niat Puasa Wajib Dimulai Sejak Malam
Memang mayoritas ulama termasuk didalamnya madzhab As-Syafi’i mensyaratkan khusus untuk niat puasa wajib, seperti puasa ramadhan, harus sudah ada semenjak malam dan sebelum subuh. Dalam istilah fikihnya sering disebut dengan istilah tabyit an-niyyah/membermalamkan niat, maksudnya berniat dimalam hari sebelum subuh. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat Hafshah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
”Barang siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud,  Tirmidzy, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, dan lainnya).

Memang dikalangan para ahli, hadits ini penuh dengan catatan terutama terkait apakah hadits ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau tidak. Namun pada intinya ada jalur yang menilai hadits ini hanya sampai kepada Hafshah saja, tapi sebagian jalur periwayatan lainnya menilai bahwa hadits ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sederhananya jika ada riwayat yang bisa dipertanggung jawabkan menilai bahwa hadits ini sampai maka selaku penguna hadits kita bisa menyandarkan lewat riwayat yang sampai.

Namun khusus untuk puasa sunnah maka syarat ini tidak berlaku, karenanya walaupun matahari sudah terbit jika perut belum diisi oleh makanan dan minuman semenjak subuh maka boleh pada saat itu kita berniat untuk puasa sunnah. Sandarannya adalah cerita Aisyah ra berikut:

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ  ذَاتَ يَوْمٍ فقال : هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاء ؟ فقُالْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنيِّ إِذاً صَائِم
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW datang kepadaku pada suatu hari dan bertanya, “Apakah kamu punya makanan?”. Aku menjawab, ”Tidak”. Beliau lalu berkata, ”Kalau begitu aku berpuasa”. (HR. Muslim)

Lebih lanjut, khususnya dalam madzhab As-Syafi’i, dalam kitab Al-Majmu’ jilib 6 hal 248-250 dijelaskan beberapa poin penting perihal niat:
a. Tidak sah puasa ramadhan atau puasa wajib lainnya juga puasa sunnah kecuali dengan niat.
b. Niat puasa ramadhan wajib setiap malam untuk setiap harinya.
c. Memasang niat di malam hari (tabyit an-niyah) merupakan syarat sahnya niat untuk puasa ramadhan dan puasa wajib lainnya.
d. Jika seseorang berniat puasa beberapa saat sebelum magrib atau berniatnya setelah fajar/subuh maka niatnya tidak sah, namun jika niatnya bertepatan dengan fajar masih dianggap memenuhi kriteria tabyit an-niyyah.
e. Waktu berniat di malam hari itu selama rentang waktu malam, yaitu waktu setelah terbenamnya mata hari/ setelah magrib, hingga terbit fajar, sehingga dinilai sah jika setelah sholat magrib niat sudah dipasang untuk puasa esoknya.
f. Jika sudah memasang niat diawal malam, maka tidak mengapa untuk tetap makan, minum, atau berhubungan suami istri, karena yang demikian tidaklah membatalakan niat puasa yang sudah diapasang untuk esok harinya.


Melafazkan Niat
Seluruh ulama sepakat bahwa yang namanya niat tempatnya ada di hati. Namun yang menjadi perbedaan para ulama itu terkait melafazkan niat, antara mustahab/disukai atau makruh/kurang disukai. Perbedaan ini setelah mereka semua sepakat bahwa niat itu wajib ada didalam hati dan tidak wajib dilafazkan. Bahkan Imam As-Syafi’i seperti yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, jiid 6, hal. 248 menegaskan:

ومحل النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف، ولا يكفي عن نية القلب ولكن يستحب التلفظ مع القلب.
“Tempat niat itu adalah hati dan tidak disyaratkan diucapkan dengan lidah, dan tidak cukup dengan niat hati, namun dianjurkan/disukai untuk melafazkan (dengan lidah) bersamaan dengan niat di hati.”

Perbedaan ini sebenarnya sudah sangat lama, dan masing-masing pengikut pendapat harus memahaminya sesuai dengan porsinya. Bagi masyarakat yang berfaham bahwa melafazkan niat sudah menjadi kebiasaan mereka, jangan sampai menjadikan lafaz niat seakan-akan bagian dari rukun, padahal tidak ada ulama yang mewajibkannya, sehingga menilai bahwa tidak sah ibadah mereka yang tidak melafazkan niat.

Terlalu banyak penulis temui dilapangan bahwa ada sebagian masyarakat yang belum mengerjakan ibadah tertentu lantaran mereka mejawab karena belum bisa/belum hafal lafaz niatnya. Atau pernah sekali waktu penulis mendengar bahwa sebagian jamaah meragukan keabsahan shalatnya imam masjid hanya karena mereka tidak mendengar imam melafazkan niat shalat lewat mikrofon kecil yang menempel didada imam.

Namun bagi yang memakruhkan juga harus dalam porsinya, karena walau bagaimanapun sekedar melafazkan niat tidak mengurangi sedikitpun nilai yang ada didalam hati, mereka yang melafazkan niat itu juga bermanfaat setidaknya untuk pribadi mereka yang kadang dihinggapi keraguan apakah sudah berniat atau belum, rasanya niat dihati baru mantap jika dalam waktu yang bermasaan mereka juga melafazkan.   

Redaksi Niat dan Lafaz Niat Puasa Ramadhan
Masih didalam kitab Al-Majmu’, jilid 6, hal. 253 didapat penjelasan tambahan perihal niat puasa dalam madzhab As-Syafi’i, bahwa tidak kalah pantingnya selain niat dimalam hari yang dinilai mustahab/disukai untuk dilafazkan, niat puasa juga yang harus di ta’yin/ditentukan.

Untuk itu ulama Syafiiyah menawarkan tatacara berniat yang dimaksud untuk kemudian inilah yang dipakai dalam redaksi lafaz niat yang selama ini sering kita dengar dimasjid-masjid atau bahkan di madrasah-madrasah yang ada di negri kita khususnya dan negri yang mayoritas pendudukanya bermadzhab Syafi’i pada umumnya.
Imam An-Nawawi menuliskan bahwa:

صِفَةُ النِّيَّةِ الْكَامِلَةِ الْمُجْزِئَةِ بِلَا خِلَافٍ أَنْ يَقْصِدَ بِقَلْبِهِ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ لِلَّهِ تَعَالَى
“Bentuk niat yang sempurna adalah dengan sengaja hati bermaksud berpuasa esok hari dalam rangka menunaikan fardhu Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala”.

Dari sini hadirlah redaksi lafaz niat puasa yang sering diucapkan:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لله تَعَالىَ
“Sengaja aku berpuasa untuk esok hari dalam rangka menunaikan kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ini karena Allah Ta’ala”.

Kesimpulannya -dalam husnu zhonnya- bahwa tradisi melafalkan bersama lafaz niat puasa ramadhan itu tidak lepas dari pedoman niat berpuasa dalam pandangan madzhab As-Syafi’i sesuai dengan penjelasan singkat diatas, walaupun tidak juga persis diajarkan untuk melafalkannya secara bersama juga tidak diajarkan persis untuk diucapkan setelah shalat tarawih.

Namun demi kemaslahatan bersama, akhirnya para kiayi mengambil inisiatif untuk dibaca bersama setelah shalat tarawih takut nanti sebagian masyarakat lalai atau lupa perihal niat ini, mengingat keabsahan puasa ramadhan pertama-tama dinilai dari niatnya. Dengan tetap meyakini bahwa walaupun tidak diucapkan setelah shalat tarawih atau bahkan tidak ucapkan sama sekali, yang penting dari sejak malam dan sebelum subuh hati kita sudah berniat untuk berpuasa, itu sudah dinilai sah.

Semoga Allah menerima amal ibadah puasa kita, dan semoga Allah menganugerahkan ketaqwaan kepada kita semua. Aamiin. 

Wallahu A'lam Bisshawab
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc. MA. | Rumahfiqih.com

15 Hal Penting Seputar Pelaksanaan Jumat


Khusus bagi lelaki, setiap seminggu sekali syariat telah membebankan kewajiban untuk melaksanakan ibadah shalat jumat, bahkan Rasulullah mengeluarkan ancaman yang keras dengan label munafik bagi yang meninggalkan jumat tanpa uzur.

Shalat Jum’at hukumnya wajib ‘ain dengan ijma' ulama yang berdasarkan firman Allah, berbunyi :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(Q.S. al-Jum’at : 9)

Berikut ini adalah beberapa adab dan tata cara dalam pelaksanaan jumat:

1. Rasulullah SAW Memegang Tongkat Ketika Berkhutbah
Rasulullah SAW berkhutbah sambil memegang tongkat sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.

عَنْ شُعَيْبِ بْنِ زُرَيْقٍ الطَائِفِيِّ قَالَ شَهِدْناَ فِيْهَا الجُمْعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka  Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824)
 
2. Rasulullah SAW Berdiri Ketika Berkhutbah
Berdiri dalam berkhutbah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,
 
وإذا رأوا تجرة أو لهوا انفضوا اليها وتركوك قائما
“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri berkhutbah (Al-Jumu’ah :11)”
 
Maksudnya, Rasulullah SAW sedang berdiri di atas mimbar berkhutbah.
 
3. Rasulullah SAW Berkhutbah di atas Mimbar
 
Ada pun asal kata mimbar  (المنبر), ialah dari kata ( نبر الشيء ) yang berarti mengangkat atau meninggikan sesuatu. Dari sinilah dinamakan “mimbar” karena tempatnya itu tinggi.
 
Jumlah Tangga Mimbar
Mimbar Rasulullah SAW terdiri dari 3 tingkat bertangga. Rasulullah SAW berkhutbah pada tingkat tangga yang kedua ,dan beliau duduk pada tingkat tangga yang ketiga.
 
Adapun dasar dalil untuk hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a yang panjang, diantaranya terdapat kalimat;
 
فصنع له منبر له درجتان ويقعد على الثالث...
“..maka orang tersebut membuat untuk beliau mimbar dua tingkat dan beliau duduk pada tingkat ketiga”
 
4. Rasulullah Saw Menjiwai Khutbahnya Dalam Berkhutbah
Rasulullah SAW apabila berkhutbah sampai memerah matanya dan tinggi tekanan suaranya, dan terlihat kemarahannya. Sehingga bagaikan pemberi semangat pasukan tentara yang sedang bertempur, adapun dasar dalil untuk itu hadist Jabir bin Abdullah ra,
 
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خطب إحمرت عيناه وعلا صوته واشتد غضبه حتى كأنه منذر جيش يقول : صبحكم ومساكم...
“Apabila Rasulullah SAW berkhutbah maka kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya sungguh-sungguh. Sehingga bagaikan komandan pasukan perang yang sedang berkata, ‘musuh menyerang kalian pada pagi hari !!Musuh datang sore-sore !!”( HR. Muslim)
 
Imam Nawawi. berkata, “dengan itu menunjukkan bahwa disunahkan bagi khatib untuk memantapkan urusan khutbah, meninggikan suaranya, membesarkan perkataannya, dan hendaknya pembicaraannya sesuai dengan bagian yang dibicarakan dari targhib (penekanan) atau tarhib (ancaman). Dan kemungkinan kemarahan yang terlihat sungguh-sungguh pada waktu ia memperingatkan sesuatu urusan yang sangat besar, dan mengancam dengan seruan yang sangat penting.”
 
 
5. Rasulullah Saw Menghadapkan Wajahnya Pada Jamaah Kemudian Memberi  Salam
Ibnu Umar ra.berkata,
 
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل المسجد يوم الجمعة سلم على منبره من الجلوس, فإذا صعد المنبر استقبل الناس بوجهه ثم سلم.
“Apabila Rasulullah SAW memasuki mesjid pada hari jum’at, beliau memberi salam kepada orang-orang yang sedang duduk dekat dengan mimbar. Dan apabila beliau naik ke mimbar, beliau menghadap manusia dengan wajahnya lalu beliau memberi salam.” (HR Ath-Thabrani)
 
‘Atha dan asy-Sya’bi berkata,
 
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صعد المنبر أقبل بوجهه على الناس ثم قال : السلام عليكم...
“Apabila Rasulullah SAW naik di atas mimbar, beliau menghadapkan mukanya kepada manusia lalu beliau berucap, ‘Assalamualaikum’.”(HR. Ibnu Abi Syaibah)
 
6. Rasulullah Saw Duduk di Atas Mimbar Setelah Memberi Salam Kepada JamaahUntuk itu hadist yang diriwayatkan oleh as-Saib bin Yazid ra. berkata,
 
كان التأذين يوم الجمعة حين يجلس الإمام, يعنى على المنبر
“Adzan  pada hari jum’at dilakukan pada waktu imam (khatib) duduk di atas mimbar.”
 
7. Rasulullah Saw Mengisyarahkan dengan Telunjuknya Pada Waktu Berdoa
Husain bin Abdurrahman as-Sulami berkata. “aku pernah berada disebelah umarah bin Ruwaibah (shahaby ra.) sedangkan Bisyir (Ibnu Marwan al-‘Amawi ; penguasa di irak) sedang memberikan khutbah kepada kami, tatkala bisyir berdoa, beliau mengangkat kedua tangannya, maka Imarah ra. Pun berkata. “semoga Allah memburukkan dua tangan ini, aku pernah melihat Rasulullah berkhutbah; pada waktu beliau berdoa,beliau berkata demikian sambil mengangkat jari telunjuk saja.”
 
8. Rasulullah Saw Memotong Khutbah untuk Suatu Keperluan.
Apabila ada keperluan yang terjadi dan dilihat Rasulullah SAW, maka beliau memotong khutbahnya dikarenakan halt ersebut.
 
Rasulullah memperingatkan keharusan shalat dua rakaat, tahiatulmesjid.Jabir ra.berkata,
 
بينما النبى صلى الله عليه وسلم يخطب يوم الجمعة إذ جاء رجل فقال له النبى صلى الله عليه وسلم : أصليت يا فلان ؟ قال : لا, قال: قم فاركعهما.
“Tatkala nabi berkhutbah pada hari jumat tiba–tiba dating seorang laki laki. Nabi menegurnya,’sudahkah anda shalat ya Fulan:’ Ia menjawab belum,’lalu nabi bersabda,’Bangunlah dan shalat dua rakaat’.” (HR. Muslim)
 
Orang tersebut bernama Sulaik al-Ghathafani. Shalat sunnah dua rakaat tersebut merupakan shalat yang ringan.
 
9. Rasulullah Saw  Duduk di Antara Dua Khutbah dan Beliau Tidak Berbicara Dalam Duduknya Ini.
Dalil untuk itu hadist Ibnu Umar ra., ia berkata,
 
كان النبى صلى الله عليه وسلم يخطب خطبتين يقعد بينهما.
“rasulullah pernah berkhutbah dua khutbah, duduk diantara keduanya.” (HR. Bukhari)
 
Jabir bin Samurah ra. berkata,
 
رأيت النبى صلى الله عليه وسلم يخطب قائما, ثم يقعد قعدة لا يتكلم.
“Aku melihat Rasulullah SAW berkhutbah berdiri lalu duduk tidak bicara.”(HR. Abu Daud).
 
Imam asy-Syafi’I berpendapat atas wajibnya duduk diantara dua khutbah, karena nabi terus menerus melakukan seperti itu.
 
Lamanya Duduk di Atas Mimbar
Para ulama membatasi lamanya duduk tersebut sekedar untuk duduk istirahat, selama (satu kali pembacaan surat Al-Ikhlas.

Ibnu hajar mengatakan, “Lama duduk antara dua khutbah itu tidak memakan waktu lama.”
Dan  hikmahnya menurut sebagian orang mengatakan untuk membagi bagian dua khutbah tersebut, dan yang lainnya mengatakan untuk istirahat. Sedangkan Ibnu hajar sepakan dengan pendapat yang pertama.
 
10. Rasulullah Saw Memendekkan Khutbah dan Memanjangkan Shalat
Rasulullah dalam khutbahnya menghimpun kalimat kalimat yang mempunyai arti yang luas, dan dari mulut beliau berhamburan kata kata yang banyak mengandung hikmah. Oleh karena itu wasiat yang diberikan oleh rasulullah kepada sahabat beliau dengan menggunakan khutbah yang singkat dan terutama sekali khutbah jumat.

Nabi menjelaskan bahwa khutbah khutbah yang singkat menunjukkan atas kecerdikan pemahaman seorang yang memberikan khutbah. Beliau bersabda,
 
من مئنة فقه الر قصره خطبته وطول صلاته
“Diantara tanda tanda seorang yang mempunyai pemahaman yang dalam ialah khutbahnya singkat dan shalatnya panjang” (HR. Muslim)
 
11.Rasulullah Saw  Mengangkat Kedua Tangannya Pada Waktu Berdoa Meminta Hujan.
Bedasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. Ketika berkhutbah dalam shalat minta hujan Rasulullah mengatkat keduatangannya di atas mimbar lalu berdoa, “ya Allah turunkanlah hujan kepada kami” (HR. Muslim).
 
 
12. Rukun Khutbah Jum’at.
a. Hamdalah, yakni Puji-pujian kepada Allah swt. berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir r.a

“Sesungguhnya Nabi SAW. berkhutbah pada hari Jum’at, maka (beliau) memuji Allah (dengan mengucap Alhamdulillah) dan menyanjung-Nya”.(HR.Muslim)
  
b. Shalawat atas Nabi Muhammad saw, misalkan seperti:
اللهم صلى على محمد
 
c. Wasiat dengan Taqwa kepada Allah Swt, antara lain ucapan “Ittaqullah haqqa tuqaatih”.
d. Membaca ayat Al-Qur’an, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir  bin Samurah r.a.:
“Adalah Rasulullah SAW. berkhutbah (dalam keadaan) berdiri dan duduk antara dua khutbah, membaca ayat-ayat Al-Qur’an serta memberikan peringatan kepada manusia”. (HR. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Tirmidzi).
 
e. Berdo’a, Semua rukun khutbah diucapkan dalam bahasa Arab.
 
13. Syarat Sah Khutbah Jum’at.
a. Dilaksanakan sebelum shalat Jum’at. Ini berdasarkan amaliyah Rasulullah SAW.
b. Telah masuk waktu Jum’at, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Anas bin Malik r.a. ia berkata:

“Sesungguhnya Nabi SAW. melaksanakan shalat Jum’at setelah zawal (matahari condong ke Barat)”. (HR. Bukhari).
 
c. Rukun khutbah dengan bahasa Arab, ittiba’ kepada Rasulullah SAW. serta berturut-turut antara dua khutbah dan shalat
d. Khatib dalam keadaan suci dari hadats dan najis, karena berkhutbah merupakan syarat sahnya shalat Jum’at.
e. Khatib menutup ‘aurat, sama dengan persyaratan shalat Jum’at.
f. Dilaksanakan dengan berdiri kecuali darurat, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Ibnu Umar r.a:
“Sesungguhnya Nabi SAW. apabila keluar pada hari Jum’at, beliau duduk yakni di atas mimbar hingga muadzin diam, kemudian berdiri lalu berkhutbah”. (HR. Abu Daud). 
g. Duduk antara dua khutbah dengan tuma’ninah, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Ibnu Umar r.a. ia berkata:

“Adalah Nabi SAW. berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk, dan berdiri lagi sebagaimana kamu semua melakukannya sekarang ini”. (HR. Bukhari dan Muslim).
 
h. Terdengar oleh semua jama’ah
i. Khatib Jum’at adalah laki-laki
 
14. Hal-Hal yang Perlu diperhatikan oleh Khatib.
Sebagai seorang khatib penting untuk memperhatikan hal-hal berikut:
a. Melakukan persiapan, mental, fisik dan naskah khutbah
b. Menjiwai isi khutbah
c. Menggunakan bahasa yang mudah difahami
d. Bersuara yang jelas, tegas, dan lugas
e. Berpakaian yang sopan
 
15. Materi Khutbah Jum’at
Materi yang disampaikan dalam khutbah jumat sebaiknya bertemakan tentang masalah yang erat hubungannya dengan urusan Akhirat, seperti tentang akidah, menjaga ukhuwah, dan tentang amalan-amalan ibadah.

Sebab-Sebab Tidak Mendapat Harta Warisan



1. Membunuh Orang Yang Akan Mewariskan
Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh orang yang akan mewariskan,orang tersebut tidak berhak menerima warisan. Baik membunuh secara sengaja ataupun tidak Menurut Madzhab Syafii tidak bisa menerima Warisan. Adapun pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat harta waris.

2. Berlainan Agama Dan Murtad
Ahli waris lain agama, misalnya yang meninggal dunia orang Yahudi, sedangkan ahli warisnya Muslim, maka ahli waris yang Muslim tersebut tidak boleh mewarisi hartanya. Dan demikian juga sebaliknya.

3. Anak Li'an
Apabila suami menuduh isterinya berzina dan bersumpah atas nama Allah empat kali, bahwa tuduhannya benar, dan sumpah yang kelima disertai dengan kata-kata " Laknat Allah atas diriku bila aku berdusta", kemudian isterinya juga membalas sumpahnya sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nur ayat 6, maka anaknya dinamakan anak li'an (tidak diakui oleh suami), maka anak tersebut tidak mendapat warisan bila yang meli'an meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya.

4. Anak Yang Lahir Hasil Zina
Hadits riwayar Amr bin Syu’aib dar bapak dari kakeknya bahwasannya Rosululloh bersabda :

أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد الزنا لا يرث و لا يورث

“Siapa saja lelaki yang berzina baik dengan wanita merdeka ataupun budak, maka anaknya anak zina tidak mewrisi dan tidak diwarisi.” (Shohih, lihat Shohih Turmudli 2113dan Tahqiq Misykah 3054).


Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir denganpernikahan syar'i.

UNTUK KASUS ZINA JIKA ORANG TUA/PELAKU TIDAK MENGAKUI BAHWA ANAK TERSEBUT HASIL ZINA MAKA DIPERINCI
Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan:
1. Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya)

2. Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.

* Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab sebab yang mendukung hubungan nasab.

Lihat : kitab YaqutunNafis Hal 143, *Mushnaf Ibnu abi Syibah (jus 8 hal 374), Bughyah Al Murtasyiddin Hal 249-250

Peringatan Allah Bagi Pengolok Kebenaran


Oleh: Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, MA, Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman

Sesungguhnya mereka Telah mendustakan yang Haq (Al-Quran) tatkala sampai kepada mereka, Maka kelak akan sampai kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan. Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang Telah kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) Telah kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah kami berikan kepadamu, dan kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, Kemudian kami binasakan mereka Karena dosa mereka sendiri, dan kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain. (QS. al-An’am 5-6).

Allah selalu memperingatkan manusia, agar menerima kebenaran dengan memberikan dalil-dalil dan bukti kekuasaan Allah dan kebenaran risalah-Nya, namun dalam rentetan sejarah kenabian, banyak kaum yang mengingkarinya. Oleh karena itu Allah akan membuktikan kebenaran risalah itu pada saat orang-orang yang mengolok-oloknya tidak dapat menarik diri dari ucapan dan pengingkaran mereka. Ini merupakan kecaman dan ancaman keras bagi mereka atas pendustaan mereka terhadap kebenaran. Bahwa pasti akan datang (kebenaran)berita yang mereka dustakan itu, pasti mereka akan mendapati akibatnya, dan pasti mereka akan merasakan akibat dari perbuatan mereka.

Generasi-generasi penentang kebenaran sampai sekarang dapat dilihat pada kota-kota tua dan yang ditinggalkan oleh penduduknya. Padahal pada waktu itu, kaum yang penentang tersebut memiliki banyak kemampuan dan kemapanan dalam kehidupan mereka. Mereka juga memiliki harta dan anak-anak serta bangunan – bangunan generasi terdahulu itu lebih banyak dan lebih kokoh. Mereka memiliki pengaruh yang luas, kedudukan yang kuat, serta mereka juga memiliki bala tentara. Lalu Allah memberikan nasehat kepada meraka, akan datangnya adzab dan pembalasan dunia yang menimpa mereka sebagaimana telah terjadi pada orang – orang terdahulu, yaitu umat yang melakukan perbuatan serupa dengan perbuatan mereka. Sedangkan orang – orang sebelum mereka itu adalah orang – orang yang lebih kuat dari mereka, jumlah mereka lebih banyak, harta dan anak mereka juga lebih banyak, mereka juga lebih perkasa, dan kebudayaan mereka lebih maju.

Allah terus menerus memberikan rahmat-Nya terhadap kaum itu agar mereka kembali ke jalan yang benar, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka ingkar dan mengolok-olok para nabi yang diutus kepada mereka, sehingga Allah menurunkan azabnya secara perlahan-lahan setelah diberikan kenikmatan, lalu dibinasakan dengan kematian yang hina, serta di akhirat mendapatkan azab. Kemudian Allah memunculkan generasi-generasi baru yang akan menggantikan mereka serta mereka juga akan diuji seperti layaknya kaum yang dimusnahkan. Tanpa kita sadari, kita juga sedang menjalani hidup sebagaimana kaum terdahulu yang dihancurkan, tergantung kepada kita, apakah kita mengikuti kebenaran atau malah mengolok-oloknya? Allahummaghfir lanaa ya Allah.

Shalat Tarawih 4 Rakaat Sekali Salam, Sah kah?

Seluruh Ulama Mazhab Syafi'i sepakat bahwa Shalat Tarawih dikerjakaan sebanyak 20 rakaat. Tata laksananya dikerjakan dua-dua rakaat sekali salam, sehingga totalnya ada 10 kali salam. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Al-Mawardi (w.450 H), di dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi mazhabi Al-Imam Asy-Syafi'i beliau menuliskan sebagai berikut :

فالذي أختار عشرون ركعةً خمس ترويحات كل ترويحة شفعين كل شفع ركعتين بسلام ثمّ يوتر بثلاث؛ لأنّ عمر بن الخطّاب رضي اللّه عنه جمع النّاس على أبيّ بن كعب فكان يصلّي بهم عشرين ركعةً جرى به العمل وعليه النّاس بمكّة

Yang saya pilih 20 rakaat dengan 5 kali istirahat. Setiap sekali istirahat diselingi 2 kali shalat, tiap satu shalat terdiri dari 2 rakat dengan satu salam. Kemudian witir tiga rakaat. Karena Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu mengumpulkan orang bermakmum kepada Ubay bin Ka'ab, dan Ubay mengimami dengan 20 rakaat. Dan itulah yang selalu dilakukan dan yang dilaksanakan orang-orang di Mekkah. [Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi mazhabi Al-Imam Asy-Syafi'i, jilid 2 hal. 291]

Senada dengan Imam Al-Mawardi, salah satu muhaqqiq dalam mazhab Asy-Syafi'iyah yaitu Imam An-Nawawi (w. 676 H) di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :

فصلاة التراويح سنة بإجماع العلماء ومذهبنا أنها عشرون ركعة فصلاة التراويح سنة بإجماع العلماء ومذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليماتٍ

Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijma' ulama. Dan menurut mazhab kami jumlahnya 20 rakaat dengan 10 kali salam. [An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 4 hal. 31]

Shalat Tarawih 4 Rakaat Sekali Salam, sah kah?
Pada dasarnya pelaksanaan shalat sunnah malam hari dilakukan satu kali salam setiap dua rakaat. Hal ini berdasarkan keterangan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah shalat malam itu?” Beliau menjawab:
« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »

“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)

Lantas apabila ada yang mengerjakan Shalat Tarawih 4 Rakaat sekali salam, bagaimana hukumnya, sah kah?

Menjawab hal ini, salah seorang Ulama Mazhab Syafi'i yakni Syaikh Zainuddin Al-Malibary, beliau menuliskan di dalam Kitab Fathul Muin sebagai berikut:

(وَ) صَلاَةُ (التَّرَاوِيْحِ) وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ، فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، لِخَبَرِ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاْحتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ، فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ ، بِخِلاَفِ سُنَّةِ الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَالضُّحَى وَاْلوِتْرِ. وَيَنْوِي بِهَا التَّرَاوِيْحَ أَوْ قِيَامَ رَمضَانَ) .

Shalat Tarawih 20 rakaat dengan 10 kali salam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Karena ada hadis: Siapa saja melaksanakan Qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahulu di ampuni. Wajib setiap 2 rakaat mengucapkan salam. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Berbeda  dengan shalat sunah Zuhur,  Ashar, Dhuha dan witir. Niat shalat tarawih, ia bisa berniat dengan niat Tarawih atau Qiyam Ramadhan. [Hasyiah Ianatuttalibin Juz 1, hal 265]

Tambahan keterangan dari Sayid Abi Bakri Syatha, dalam Hasyiah Ianatuttalibin beliua menuliskan:

(وقوله: لم تصح) أي أصلا إن كان عامدا عالما، وإلا صحت له نفلا مطلقا.

Yang dimaksud dengan tidak sah adalah jika sengaja melakukan 4 rakaat sekali salam dan mengetahui mengenai ketidak bolehannya. Namun jika tidak sengaja dan tidak tahu tentang hukum sebenarnya tapi tetap melaksanakan 4 rakaat sekali salam, maka shalat tersebut dihukumi sebagai shalat sunat mutlaq. [Hasyiah Ianatuttalibin Juz 1, hal 265]

Kesimpulan
Mengenai jumlah rakaat Shalat Tarawih tidak ada khilaf apapun dalam Mazhab Syafi'i, semuanya sepakat pengerjaannya sebanyak 20 rakaat dengan 10 kali salam.

Berbeda  dengan shalat sunah Zuhur,  Ashar, Dhuha dan witir yang dibenarkan dikerjakan 4 rakaat sekali salam, untuk shalat tarawih harus dikerjakan dua-dua rakaat sekali salam, tidak dibenarkan apabila dikerjakan empat rakaat sekaligus dengan sekali salam.

Point penting menjadi tidak sah adalah apabila sudah tahu tentang hukum tidak sah mengerjakan 4 rakaat sekali salam dan dikerjakan secara segaja, berbeda halnya jika masih belum paham dan lupa maka shalat tarawih yang 4 rakaat sekali salam tersebut dihukumi sah namun dianggap sebagai shalat sunah mutlaq. Perlu kita ketahui juga, bahwa fiqih itu penuh dengan warna dan beragam pendapat, dalam tulisan ini hanya menampilkan pendapat berdasar mazhab syafii saja karena keterbatasan penulis terhadap ilmu dan refernsi.


Wallahu A'lam bis Shawab

Jumhur Ulama Salaf Shalat Tarawih 20 Rakaat

Sejak zaman dahulu umat Islam seringkali disibukkan dengan perdebatan tentang jumlah rakaat shalat tarawih. Ada yang berpendapat 20 rakaat plus tiga rakaat witir, ada yang berpendapat 8 rakaat plus 3 rakat witir. Bahkan ada juga yang melakukannya dengan 36 rakaat, atau tidak membatasi jumlahnya.

Para pemuka ilmu fiqih Islam yang merupakan para salafush-shalih hakiki dan kadar keilmuannya sudah sampai level mujtahid mutlak, yaitu jumhur (mayoritas) ulama, baik dari mazhab Al-Hanafiyah, sebagian kalangan mazhab Al-Malikiyah, mazhab Asy-Syafi’iyah dan mazhab Al-Hanabilah telah berijma’ bahwa shalat tarawih itu berjumlah 20 rakaat.

1. Mazhab Al-Hanafiyah
As-Sarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah menyebutkan di dalam kitabnya Al-Mabsuth sebagai berikut :
فَإِنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ عِنْدِنَا

Dan shalat tarawih itu 20 rakaat di luar witir menurut pendapat kami.[1]

Al-Kasani (w. 587 H) yang juga merupakan salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya, Badai’Ash-Shana’i’ fi Tartib Asy-Syarai' sebagai berikut :
وَأَمَّا قَدْرُهَا فَعِشْرُونَ رَكْعَةً فِي عَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ فِي خَمْسِ تَرْوِيحَاتٍ كُلُّ تَسْلِيمَتَيْنِ تَرْوِيحَةٌ وَهَذَا قَوْلُ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ

Adapun jumlahnya 20 rakaat dengan 10 salam dan 5 kali istirahat. Tiap dua kali salam ada istirahat. Demikian pendapat kebanyakan ulama. [2]

Ibnu Abdin (w. 1252 H) yang juga merupakan salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah mengatakan di dalam kitabnya Raddul Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar atau lebih dikenal dengan nama Hasyiatu Ibnu Abdin bahwa shalat tarawih 20 rakaat adalah amalan yang dikerjakan oleh seluruh umat baik di barat maupun di timur.
قَوْلُهُ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ شَرْقًا وَغَرْبًا

Dan tarawih itu 20 rakaat adalah pendapat jumhur dan itulah yang diamalkan orang-orang baik di Timur ataupun di Barat. [3]

2. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah pada umumnya menyebutkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat. Selain itu juga ada pendapat yang menyebutkan 36 rakaat.

Ad-Dardir (w. 1201 H) yang merupakan salah satu ulama di dalam mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Asy-Syarhu Ash-Shaghir, menuliskan sebagai berikut :
والتراويح برمضان وهي عشرون ركعة بعد صلاة العشاء يسلم من كل ركعتين غير الشفع والوتر

Dan shalat Tarawih di Ramadhan 20 rakaat setelah shalat Isya', dengan salam tiap dua rakaat, di luar shalat syafa' dan witir.[4]

An-Nafarawi (w. 1126 H) yang juga ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Fawakih Ad-Dawani ala Risalati Ibni Abi Zaid Al-Qairuwani sebagai berikut :
(وكان السلف الصالح) وهم الصحابة رضى الله عنهم (يقومون فيه) في زمن خلافة عمر بن الخطاب رضى الله عنه وبأمره كما تقدم (في المساجد بعشرين ركع ) وهو اختيار أبي حنيفة والشافعي وأحمد، والعمل عليه الآن في سائر الأمصار

Para salafusshalih yaitu para shahabat radhiyallahuanhum menjalankan di masa khilafah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhum atas perintahnya di dalam masjid sebanyak 20 rakaat. Dan itulah pilihan Abu Hanifah, Asy-Syafi'i dan Ahmad, serta yang dijalankan sekarang di seluruh dunia. [5]

3. Mazhab As-Syafi'iyah
Semua ulama mazhab Asy-Syafi'iyah kompak menyebutkan bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat.

Al-Mawardi (w. 450 H) salah satu ulama terdahulu dari mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi mazhabi Al-Imam Asy-Syafi'i sebagai berikut :
فالذي أختار عشرون ركعةً خمس ترويحات كل ترويحة شفعين كل شفع ركعتين بسلام ثمّ يوتر بثلاث؛ لأنّ عمر بن الخطّاب رضي اللّه عنه جمع النّاس على أبيّ بن كعب فكان يصلّي بهم عشرين ركعةً جرى به العمل وعليه النّاس بمكّة

Yang saya pilih 20 rakaat dengan 5 kali istirahat. Setiap sekali istirahat diselingi 2 kali shalat, tiap satu shalat terdiri dari 2 rakat dengan satu salam. Kemudian witir tiga rakaat. Karena Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu mengumpulkan orang bermakmum kepada Ubay bin Ka'ab, dan Ubay mengimami dengan 20 rakaat. Dan itulah yang selalu dilakukan dan yang dilaksanakan orang-orang di Mekkah. [6]

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
فصلاة التراويح سنة بإجماع العلماء ومذهبنا أنها عشرون ركعة فصلاة التراويح سنة بإجماع العلماء ومذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليماتٍ

Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijma' ulama. Dan menurut mazhab kami jumlahnya 20 rakaat dengan 10 kali salam. [7]

Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) salah satu ulama besar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya, Asna Al-Mathalib fi Syarhi Raudhati Ath-Thalib sebagai berikut :
وهي عشرُون ركعة بعشر تسليمات في كلّ ليلة من رمضان

Dan (tarawih) itu 20 rakaat dengan 10 salam dilakukan tiap malam bulan Ramadhan. [8]

4. Mazhab Al-Hanabilah
Al-Khiraqi (w. 334 H) menuliskan dalam kitab Matan Al-Khiraqi 'ala Mazhabi Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani atau yang lebih dikenal dengan nama Mukhtashar Al-Khiraqi sebagai berikut :
وقيام شهر رمضان عشرون ركعة والله أعلم

Dan qiyamu Ramadhan 20 rakaat wallahua'lam. [9]

Ibnu Qudamah (w. 620 H) menuliskan dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
وقِيامُ شهْرِ رمضان عِشْرُون ركْعة يعْنِي صلاة التراوِيح وهي سنّة مُؤكدة وأولُ منْ سنّها رسُولُ اللهِ

Dan qiyam bulan Ramadhan 20 rakaat yaitu shalat tarawih. Hukumnya sunnah muakkadah dan orang yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah SAW. [10]

Al-Buhuti (w. 1051 H) sebagai salah satu dari ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan dalam kitabnya, Ar-Raudh Al-Murabba' Syarah Zad Al-Mustaqni' sebagai berikut :
(والتراويح) سنة مؤكدة سميت بذلك لأنهم يصلون أربع ركعات ويتروحون ساعة أي: يستريحون (عشرون ركعة) لما روى أبو بكر عبد العزيز في الشافي عن ابن عباس: «أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كان يصلي في شهر رمضان عشرين ركعة» (تفعل) ركعتين ركعتين (في جماعة مع الوتر) بالمسجد أول الليل (بعد العشاء)

Dan tarawih hukumnya sunnah muakkadah, dinamakan tarawih karena mereka beristirahat sejenak tiap 4 rakaat. Jumlah 20 rakaat sebagaimana riwayat Abu Bakar Abdul Aziz di dalam Asy-Syafi dari Ibni Abbas bahwa Nabi SAW shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat. Dikerjakan dua rakaat dua rakaat dengan berjamaah ditambah witir di masjid pada awal malam setelah shalat Isya'. [11]

5. Boleh Berapa Saja
Ibnu Taimiyah (w. 728 H) di dalam kitab Al-Fatawa Al-Kubra menuliskan sebagai berikut :
ما أن نفس قيام رمضان لم يوقت النبي - صلى الله عليه وسلم - فيه عددا معينا؛ بل كان هو - صلى الله عليه وسلم - لا يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة لكن كان يطيل الركعات.

فلما جمعهم عمر على أبي بن كعب كان يصلي بهم عشرين ركعة، ثم يوتر بثلاث وكان يخف القراءة بقدر ما زاد من الركعات لأن ذلك أخف على المأمومين من تطويل الركعة الواحدة.

ثم كان طائفةٌ من السلف يقومون بأربعين ركعة ويوترون بثلاث وآخرون قاموا بست وثلاثين وأوتروا بثلاث وهذا كله سائغٌ.

فكيفما قام في رمضان من هذه الوجوه فقد أحسن

Adapun qiyam Ramadhan, Rasulullah SAW tidak membatasi jumlah rakaatnya. Namun beliau tidak menambahi atau mengurangi dari 13 rakaat hanya saja beliau memanjangkan rakaatnya.

Tatkala Umar mengumpulkan orang shalat di belakang Ubay bin Kaab, beliau mengerjakan 20 rakaat dan witir 3 rakaat. Beliau meringankan bacaan sekedar lebih dari beberapa rakaat, dan menjadi lebih ringan bagi makmum ketimbang satu rakaat yang panjang.

Dan sebagian salah ada yang menjalankan dengan 40 rakaat dan witir 3 rakaat. Sebagian lainnya 36 rakaat dan witir 3 rakaat.

Semuanya boleh dan bagaimanapun bentuk qiyam Ramadhan dari cara-cara ini semua baik. [12]

Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi
Melihat pendapat mazhab Al-Hanabilah yang juga menetapkan 20 rakaat untuk tarawih, maka wajar kalau kita mendapat baik Masjid Al-Haram di Mekkah ataupun masjid An-Nabawi di Madinah Al-Munawwarah sampai kini masih menerapkan shalat tarawih dengan 20 rakaat, sebagaimana disaksikan dan dikerjakan oleh semua jamaah umrah Ramadhan secara langsung.

Yang menarik bahwa pendiri perserikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, semasa hidup beliau juga melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA. Hadhratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama, juga melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat di masa hidupnya. [13]

Tarawih 8 Rakaat
Adapun shalat tarawih 8 rakaat plus witir 3 rakaat, sepanjang hasil penelitian Penulis di berbagai kitab fiqih klasik dari empat mazhab, yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan AL-Hanabilah, masih belum menampakkan hasilnya. Nampak para ulama salaf sepakat, bahkan dianggap oleh sebagian ulama sebagai ijma', tentang jumlah rakaat yang dua puluh.

Pendapat yang merajihkan tarawih 8 rakaat baru kita dapat dari tokoh di akhir zaman, seperti Ash-Shan’ani (w.1182 H) di dalam kitabnya Subulussalam, Al-Mubarakfury (w. 1353 H) dan Al-Albani.

Ash-Shan’ani dalam Subulus-salam sebenarnya tidak sampai mengatakan shalat tarawih hanya 8 rakaat, beliau hanya mengatakan bahwa shalat tarawih itu tidak dibatasi jumlahnya.

Al-Mubarakfury memang lebih mengunggulkan shalat tarawih 8 rakat, tanpa menyalahkan pendapat yang 20 rakaat.

Dalam hal ini memang harus diakhi bahwa yang paling ekstrim adalah pendapat Al-Albani. Menurutnya pendapatnya yang menyendiri dalam kitabnya, Risalah Tarawih, bahwa shalat tarawih yang lebih dari 8 plus witir 3 rakaat, sama saja dengan shalat Dzhuhur 5 rakaat. Selain tidak sah juga dianggap berdosa besar bila dikerjakan.

Demikian sekelumit hasil penelitian dan tahqiq atas jumlah bilangan rakaat shalat tarawih berdasarkan kitab-kitab fiqih muktamad dari berbagai mazhab. Semoga bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam bermusyawarah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

[1] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 2 hal. 144
[2] Al-Kasani, Badai’us-shana’i’ fi Tartib Asy-Syarai', jilid 1 hal. 288
[3] Ibnu Abdin, Raddul Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 474
[4] Ad-Dardir, Asy-Syarhu Ash-Shaghir, jilid 1 hal. 404
[5] An-Nafarawi, Al-Fawakih Ad-Dawani ala Risalati Ibni Abi Zaid Al-Qairuwani, jilid hal.
[6] Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi mazhabi Al-Imam Asy-Syafi'i, jilid 2 hal. 291
[7] An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 4 hal. 31
[8] Zakaria Al-Anshari, Asna Al-Mathalib fi Syarhi Raudhati Ath-Thalib, jilid 1 hal. 200
[9] Al-Khiraqi, Matan Al-Khiraqi 'ala Mazhabi Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani, jilid 1 hal 2
[10] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2 hal. 122
[11] Al-Buhuti, Ar-Raudh Al-Murabba' Syarah Zad Al-Mustaqni', jilid 1 hal. 115
[12] Ibnu Taimiyah, Al-Fatawa Al-Kubra, jilid 2 hal. 120
[13] Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan, Prof Ali Musthafa Ya’qub, MA, hal. 70

Ahmad Sarwat, Lc., MA | Rumah Fiqih

Terceraikah Istri karena Suaminya Tidak Shalat?


Pernah penulis baca sebuah artikel dari akhwatindonesia.com, ada sebuah postingan yang berjudul "Istri Otomatis Tertalak, Jika Suami tak Shalat?", dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang meninggalkan shalat maka hukumnya adalah murtad sehingga konsekuensi dari murtad adalah bila ia tela menikah maka pernikahannya menjadi batal.

Menarik untuk dikaji kembali. Berangkat dari sini, ada dua hal penting yang menjadi objek kajian, yang pertama adalah mengenai hukum bagi yang meninggalkan shalat, dan selanjutnya adalah apakah pernikahan menjadi batal karena suami meninggalkan shalat?

Sebelum membahas lebih jauh mengenai masalah suami yang meninggalkan shalat, mari kita bahas terlebih dahulu mengenai ketentuan terhadap meninggalkan shalat.

Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah mukallaf baik lelaki maupun perempuan. Sehingga apabila tertinggal baik karena uzur seperti lupa dan tertidur atau ditinggalkan dengan sengaja, menurut jumhur Ulama wajib hukumnya untuk di qadha (mengganti) shalat yang telah ditinggalkan tersebut.

A. Dalil Kewajiban Qadha Shalat
Di antara dalil yang menjadi landasan pensyariatan penggantian shalat yang terlewat adalah hadits-hadits berikut ini :

1. Hadits Pertama
Rasulullah SAW menegaskan tentang shalat yang terlewat karena lupa harus diganti begitu ingat.


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Bukhari)

2. Hadits Kedua
Al-Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah tertinggal dari mengerjakan shalat Shubuh, yaitu ketika beliau SAW dan sebagian shahabat dalam perjalanan pulang dari perang Khaibar. Lalu mereka bermalam dan tertidur tanpa sengaja (ketiduran), meskipun sebenarnya beliau SAW telah memerintahkan Bilal bin Rabah untuk berjaga. Dan mereka tidak bangun kecuali matahari telah terbit dan cukup tinggi posisinya.

Hadits ini diriwayatkan dan diredaksikan oleh Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dan lengkapnya hadits tersebut sebagai berikut :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ حِينَ قَفَلَ مِنْ غَزْوَةِ خَيْبَرَ سَارَ لَيْلَهُ حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْكَرَى عَرَّسَ وَقَالَ لِبِلاَلٍ اكْلأْ لَنَا اللَّيْلَ .
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata,"Ketika Rasulullah SAW kembali dari perang Khaibar, beliau berjalan di tengah malam hingga ketika rasa kantuk menyerang beliau, maka beliau pun berhenti untuk istirahat (tidur). Namun beliau berpesan kepada Bilal,"Bangunkan kami bila waktu shubuh tiba".

فَصَلَّى بِلاَلٌ مَا قُدِّرَ لَهُ وَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ وَأَصْحَابُهُ
Sementara itu Bilal shalat seberapa dapat dilakukannya, sedang Nabi dan para shahabat yang lain tidur.

فَلَمَّا تَقَارَبَ الْفَجْرُ اسْتَنَدَ بِلاَلٌ إِلَى رَاحِلَتِهِ مُوَاجِهَ الْفَجْرِ فَغَلَبَتْ بِلاَلاً عَيْنَاهُ وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ رَسُولُ اللَّهِ وَلاَ بِلاَلٌ وَلاَ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ حَتَّى ضَرَبَتْهُمُ الشَّمْسُ
Ketika fajar hampir terbit, Bilal bersandar pada kendaraannya sambil menunggu terbitnya fajar. Namun rasa kantuk mengalahkan Bilal yang bersandar pada untanya. Maka Rasulullah SAW, Bilal dan para shahabat tidak satupun dari mereka yang terbangun, hingga sinar matahari mengenai mereka.

فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ أَوَّلَهُمُ اسْتِيقَاظًا فَفَزِعَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ أَىْ بِلاَلُ . فَقَالَ بِلاَلٌ أَخَذَ بِنَفْسِى الَّذِى أَخَذَ - بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ - بِنَفْسِكَ
Yang mula-mula terbangun adalah Rasulullah SAW. Ketika terbangun, beliau berkata,"Mana Bilal". Bilal menjawab,"Demi Allah, Aku tertidur ya Rasulullah".

قَالَ اقْتَادُوا . فَاقْتَادُوا رَوَاحِلَهُمْ شَيْئًا ثُمَّ تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ وَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَقَامَ الصَّلاَةَ فَصَلَّى بِهِمُ الصُّبْحَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ مَنْ نَسِىَ الصَّلاَةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ قَالَ (أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى)
Beliau bersada,"Bersiaplah". Lalu mereka menyiapkan kendaraan mereka. Lalu Rasulullah SAW berwudhu' dan memerintahkan Bilal melantunkan iqamah dan Nabi SAW mengimami shalat Shubuh. Seselesainya, beliau bersabda,"Siapa yang lupa shalat maka dia harus melakukannya begitu ingat. Sesungguhnya Allah berfirman,"Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Muslim)

Al-Imam An-Nawawi ketika menjelaskan hadits ini di dalam kitab Syarah Shahih Muslim menegaskan bahwa hadits ini menjadi dalil atas wajibnya mengqadha’ atau mengganti shalat yang terlewat. Dan tidak ada bedanya, apakah shalat itu ditinggalkan karena adanya ‘udzur syar’i seperti tertidur dan terlupa, atau pun ditinggalkan shalat itu tanpa udzur syar’i, seperti karena malas dan lalai.

B. Ijma' Ulama Atas Wajibnya Qadha Shalat
Seluruh ulama dari semua mazhab fiqih yang ada, baik yang muktamad atau yang tidak, tanpa terkecuali telah berijjma' atas wajibnya qadha' shalat. Para ulama empat mazhab tanpa terkecuali satu pun telah bersepakat bahwa hukum mengqadha' shalat wajib yang terlewat wajib. Tidak ada satu pun ulama yang punya pendapat yang berbeda. Sebab dasar-dasar kewajibannya sangat jelas dan nyata, tidak ada satu pun orang Islam yang bisa menolak kewajiban qadha' shalat.

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi sebagai berikut :


ومن فاتته صلاة قضاها إذا ذكرها وقدمها على فرض الوقت
Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat, maka dia wajib mengqadha'nya begitu dia ingat. Dan harus didahulukan pengerjaanya dari shalat fardhu pada waktunya.

Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :

أن كل صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة
Bahwa tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha', baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit.

2. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu diantara ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :


ومن نسي صلاة مكتوبة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فذلك وقتها
Orang yang lupa mengerjakan shalat wajib atau tertidur, maka wajib atasnya untuk mengerjakan shalat begitu dia ingat, dan itulah waktunya bagi dia.

Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu tokoh ulama besar dalam mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalamnya kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :

الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي الْقَضَاءِ وَهُوَ وَاجِبٌ فِي كُلِّ مَفْرُوضَةٍ لَمْ تفعل
Pasal pertama tentang qadha. Mengqadha' hukumnya wajib atas shalat yang belum dikerjakan.

Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah sebagai berikut :

الْقَضَاء إِيقَاع الصَّلَاة بعد وَقتهَا وَهُوَ وَاجِب على النَّائِم وَالنَّاسِي إِجْمَاعًا وعَلى الْمُعْتَمد
Qadha' adalah mengerjakan shalat setelah lewat waktunya dan hukumnya wajib, baik bagi orang yang tertidur, terlupa atau sengaja.

3. Mazhab As-Syafi'iyah
Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

ومن وجبت عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها
Orang yang wajib mengerjakan shalat namun belum mengerjakannya hingga terlewat waktunya, maka wajiblah atasnya untuk mengqadha'nya.

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq terbesar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

من لزمه صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور
Orang yang wajib atasnya shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab.

4. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :

إذا كثرت الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله
Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.

C. Pendapat yang Tidak Mewajibkan Qadha Shalat
Dari pembahasan di atas telah jelaslah bagi kita bahwa mengqadha shalat hukumnya wajib baik itu karena uzur ataupun tidak. Namun demikian ada sebagian ulama, di antaranya Ibnu Hazm dan kemudian banyak diikuti oleh tokoh-tokoh masa kini, yang berpendapat bahwa yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa udzur yang syar’i, maka sudah dianggap kafir, meski pun yang bersangkutan masih meyakini kewajiban shalat.

Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi Atsar, menegaskan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka statusnya kafir. Dan karena statusnya kafir, orang tersebut tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkannya secara sengaja. Dan bila kembali lagi memeluk Islam, cukup bertaubat saja tanpa perlu mengganti shalatnya.

Syeikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Kerjaan Saudi Arabia, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat secara total selama kurun waktu tertentu, tidak perlu mengganti shalatnya. Alasan yang dikemukakan pendapat ini adalah karena selama kurun waktu tertentu itu dirinya dianggap telah murtad atau keluar dari agama Islam. Dan sebagai orang yang bukan muslim, menurut pendapat ini, yang bersangkutan tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat.

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ رواه مسلم
Batas antara seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)

العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةَ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir.

Bila yang bersangkutan kembali menjalankan agamanya, maka dia harus bersyahadat ulang untuk memperbaharui keimanan dan keislamannya kembali, seperti orang kafir yang baru masuk Islam. Dan oleh karena itu, dia tidak perlu mengganti shalat-shalat yang ditinggalkannya.

Konsekuensi
Perhatikan alasan Ibnu Hazm dan pendukungnya ketika mengatakan bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tidak perlu mengganti shalatnya. Ternyata alasannya karena status orang tersebut kafir atau murtad. Dan oleh karena sudah kafir, maka tidak perlu mengganti shalat.

Padahal ketika seorang mufti memberi vonis murtad kepada seseorang, maka ada banyak konsekuensi yang tidak disadari oleh sang memberi fatwa. Di antara konsekuensi vonis murtad adalah :

1. Gugur Amal Sebelumnya
Seorang muslim yang murtad dan keluar dari agama Islam, maka gugurlah amal-amal yang pernah dilakukan sebelumnya. Dasarnya adalah firman Allah SWT :


وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 217)

وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah : 5)

Para ulama mengatakan bisa seorang sudah pernah mengerjakan ibadah haji dalam Islam, lalu murtad dan kembali lagi masuk Islam, maka ibadah haji yang pernah dikerjakannya menjadi gugur, seolah-olah dia belum pernah mengerjakannya. Dan oleh karena itu ada kewajiban untuk mengulangi ibadah haji.

2. Istrinya Haram
Seseorang yang murtad keluar dari agama Islam, maka bila dia punya istri atau suami, secara otomatis menjadi haram untuk melakukan hubungan suami istri. Hal itu karena Islam mengharamkan terjadinya pernikahan antara muslim dan kafir.

Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bila salah satu pasangan murtad dari agama Islam, maka status pernikahan mereka menjadi fasakh (dibatalkan) tetapi bukan perceraian.

Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa bila salah satu pasangan suami istri murtad, maka statusnya adalah talak bain. Konsekuensinya, mereka diharamkan menjalankan kehidupan rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri. Bila yang murtad itu kembali lagi memeluk agama Islam dengan bersyahadat, maka mereka harus menikah ulang dari awal.

Mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa bila salah satu pasangan murtad, maka belum terjadi furqah di antara mereka berdua kecuali setelah lewat masa iddah. Dan bila pada masa iddah itu, si murtad kembali memeluk Islam, mereka masih tetap berstatus suami istri.

Namun bila sampai lewat masa iddah sementar si murtad tetap dalam kemurtadannya, maka hukum pernikahan di antara mereka bukan cerai tetapi fasakh.

3. Haram Menikah Dengan Siapa pun
Pasangan suami istri bila salah satunya murtad, maka terlepaslah ikatan pernikahan di antara mereka berdua. Tetapi bila orang yang murtad ini belum menikah, maka para ulama sepakat bahwa haram hukumnya untuk menikah, baik dengan pasangan muslim, atau pun pasangan yang beragam lain, atau pun dengan pasangan yang sama-sama murtad.

Hal itu karena orang yang murtad itu statusnya tidak beragama. Disini ada perbedaan mendasar antara murtad dan pindah agama. Murtad itu sebatas divonis keluar dari agama Islam, namun tidak lantas memeluk agama yang lain. Jadi status orang murtad itu tidak memeluk agama Islam dan juga tidak memeluk agama selain Islam, dia adalah orang yang statusnya tanpa agama.

D. Kesimpulan
Sebenarnya pendapat yang lebih rajih dan kuat adalah pendapat jumhur ulama. Yakni wajib qadha shalat baik yang tertinggal karena uzur ataupun tidak. selama ia berkeyakinan bahwa shalat hukumnya wajib namun ia hanya malas melaksanakannya maka status tetap sebagai seorang muslim, akan tetapi apabila meninggalkan shalat karena mengingkari kewajiban shalat maka telah jelaslah bahwa hukumnya murtad, sebab salah satu penyebab murtad adalah mengingkari kewajiban yang telah dibebankan oleh syariat.

Mengenai masalah suami yang sering meninggalkan shalat. Selama si suami berkeyakinan bahwa shalat hukumnya wajib namun ia hanya malas melaksanakannya. Maka status pernikahan masih tetap sah dan istri tidak tertalak lantaran si suami statusnya masih seorang muslim.

Namun, jika mengacu pada pendapat Ibnu Hazm, seseorang yang meninggalkan shalat telah divonis kafir. Sehingga apabila seorang suami meninggalkan shalat maka pernikahannya menjadi gugur secara otomatis alias pernikahannya batal dan isterinya menjadi tidak halal baginya.

Perlu kita ketahui juga, ijma' ulama merupakan landasan hukum yang sangat kuat, sebagaimana dalam sebuah hadist Rasulullah menyatakan "Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan". Sehingga pendapat yang menyalahi ijma tidak masuk dalam perhitungan, dan pendapat tersebut tidak bisa menggugurkan ijma' yang telah ada.

Namun demikian, dalam menjalani bahtera rumah tangga, suami dan istri harus saling mengingatkan mengenai kewajiban shalat, jika suami malas maka menjadi tugas istri untuk mengingatkannya, sesekali "embargo" kan saja jika si suami malas. :D

Baca Juga: