Menikah itu Mudah

Di dalam kitab Al Mukhtar fii shuhbatil akhyar, disampaikan nasehat tentang pernikahan. Sesungguhnya pernikahan itu mudah tetapi diri kita sendirilah yang terkadang membuatnya menjadi sulit. Jika seseorang menyukai perempuan, janganlah mengajaknya berpacaran. Jika seseorang mengajak seorang wanita untuk berpacaran, ketahuilah bahwa dirinya melakukan hal yang salah. Wanita yang mau untuk diajak berpacaran bukanlah wanita yang dapat menjaga kehormatannya. Jika seorang laki-laki menyukai seorang wanita maka yang harus dilakukan adalah melamarnya. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki sejati. Ajaklah orang tua atau keluarga untuk datang melamar sang wanita. Diterima atau tidaknya itu tergantung bagaimana seorang laki-laki memberi pertanggungjawaban kepada orang tua sang wanita yang ingin dinikahinya. Terkadang orang tua jika ingin anaknya menikah seakan tidak memberi izin tetapi sebenarnya orang tua tersebut ingin melihat seberapa besar kesiapan anaknya dalam bertanggung jawab terhadap wanita yang akan dinikahinya.

Sesungguhnya seseorang yang sudah menikah akan menjadi lebih dewasa walaupun dalam hal umur masih muda. Seseorang yang masih muda akan lebih dewasa pemikirannya dibandingkan dengan seseorang yang sudah lebih tua tetapi belum menikah. Zaman sekarang banyak diproklamirkan untuk dilarang menikah di umur muda, namun sesungguhnya orang tua dan kakek-kakek mereka terdahulu menikah dalam umur yang muda. Ketahuilah sesungguhnya pemikiran ini diambil dari pemikiran barat. Disana tidak ada yang menikah dalam usia muda. Sebagian besar mereka menikah di usia tua, namun mereka sengaja menyembunyikan kenyataan pahit bahwa dari sejak usia muda mereka telah tinggal dengan pasangannya dalam satu rumah tanpa ikatan pernikahan. Dan ini adalah bentuk khianat yang menghancurkan generasi muda kita.

Seseorang yang beriman tidak akan takut mengarungi hidup dalam pernikahan.
Kemudian mereka (orang barat) juga memproklamirkan bahwasannya cukup mempunyai dua anak. Nabi SAW bersabda : “Menikahlah dan perbanyaklah keturunan. Saya akan membanggakan jumlah kalian yang banyak di hari kiamat nanti.” Namun zaman sekarang terdapat pemikiran bahwasanya cukup mempunyai dua anak saja, entah pemikiran ini datang darimana. Ironisnya banyak orang yang setuju dengan pemikiran ini dibandingkan dengan hadist Rasulullah SAW. Pemikiran dan adat kita sudah banyak di rusak oleh pemikiran dan adat barat. Mengambil dari orang yang menyimpang dari ajaran Allah yang padahal sesungguhnya kita tidak butuh dengan adat dan pemikiran itu. Kita mempunyai kekayaan dalam adat istiadat yang baik dan janganlah kita gadaikan kekayaan itu hanya untuk berhutang kepada orang lain.

Rasul SAW bersabda: “Seorang wanita itu dinikahi laki-laki karena kecantikannya, kekayaannya, kehormatannya dan agamanya”. Banyak seorang laki-laki mencari wanita yang sangat cantik namun terkadang laki-laki ini tidak sadar akan dirinya yang tidak sejelas dengan mimpinya. Satu hal yang perlu disadari kecantikan itu hanyalah sementara, jika kita hanya sekedar mencari kecantikan ketahuilah kecantikan itu hanya sementara dan akan berakhir. Secantik apapun wanita pasti ada kekurangan pada dirinya namun terkadang kita hanya melihat luarnya saja tetapi tidak melihat dalamnya.

Dua hal yang harus diperhatikan jika seorang lelaki ingin memiliki seorang istri yang cantik sempurna. Pertama adalah Al Qana’ah yaitu merasa cukup. Jika seseorang sudah merasa cukup maka sesungguhnya ialah orang yang paling kaya, apapun yang ia miliki adalah yang terbaik dan lebih dari yang lainnya. Kedua adalah menjaga mata dari pandangan yang haram. Seseorang yang tidak menjaga pandangannya, jika ia melihat wanita yang ia sukai, wanita itu terlihat cantik. Namun, ketika ia menikah, ia akan melihat kekurangan dalam diri istrinya yang cantik, kemudian ia merasa wanita diluar terlihat lebih cantik dari istrinya dan begitu seterusnya. Hal ini bukan karena sang istri yang tidak menarik tetapi karena laki-laki ini tidak bisa menjaga pandangannya. Dan sungguh jikalau ia menikahi wanita di seluruh dunia ia akan tetap menyukai yang haram. Maka jagalah mata dari pandangan yang haram maka niscaya kita akan merasa istri kita adalah istri yang tercantik di seluruh dunia.

Diantara salah satu hikmah Allah memerintahkan para wanita menutup auratnya dan melarang laki-laki melihat wanita yang bukan mahramnya adalah demi kebaikan wanita itu sendiri. Sebab ketika laki-laki tidak melihat kecuali isterinya saja maka dimatanya tidak ada yang cantik kecuali hanya istrinya. Kerena dia tidak pernah mengetahui kecantikan dan kelebihan wanita selain isterinya.

Seorang laki-laki terkadang memperisterikan seorang wanita karena kekayaannya. Cara memandang seperti ini adalah cara memandang yang salah. Jika mencari istri sebab kekayaannya ketahuilah bahwa sesungguhnya yang menafkahi itu suami bukanlah istri. Jadi untuk apa kita mencari seorang istri yang kaya dan meninggalkan yang miskin jikalau kita juga yang harus menafkahinya?!.

Seorang laki-laki terkadang mencari istri dari keluarga terhormat, namun belum tentu ia memiliki sifat yang terhormat. Zaman sekarang banyak yang mencari istri dengan melihat kecantikan, kekayaan dan kehormatan tetapi mencari isteri dengan kriteria keteguhan dalam berpegang agamanya adalah kreteria yang paling terakhir. Nabi SAW bersabda, “Carilah wanita yang berpegang teguh terhadap agamanya, maka engkau tidak akan pernah rugi untuk selamanya”. Kecantikan yang hakiki adalah ketakwaan kepada Allah SWT dan kehormatan seorang istri adalah ketakwaannya kepada Allah SWT. Sesungguhnya tidaklah susah untuk mencari seorang istri yang bertaqwa tetapi terkadang seseorang banyak menaruh pilihan terhadap wanita.

Tujuan pernikahan bukan hanya sekedar membangun rumah tangga tetapi pasanglah niat. Diantara niatnya adalah agar tumah tangga kita dibanggakan oleh Rasulullah SAW. Al Imam As Syekh Ali bin Abi Bakar As Sakran, beliau menulis niat-niat dalam pernikahan yang sangat banyak dan diantaranya niatnya adalah agar pernikahannya dibanggakan Nabi SAW. Diantara niatnya juga adalah jika Allah meridhoi, beliau ingin mempunyai tabungan di akhirat yaitu mempunyai anak dan anaknya meninggal sebelum umurnya baligh. Al Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab yang sewaktu muda belajar dengan Habib Abdurrahman Al Masyhur, ketika akan menikah beliau datang kepada Habib Abdurrahman Al Masyhur untuk dibacakan niat Asy Syekh Ali bin Abi Bakar As Sakran.

Hendaknya dari pihak wanita (orang tua atau keluarga) ketika anaknya ingin dilamar, maka janganlah menahannya dengan berbagai hal. Sebagaimana seorang laki-laki memilih perempuan yang beragama maka demikian juga seorang wanita ketika dilamar, terimalah suami karena agamanya sebab ketakwaan adalah pondasi segalanya. Ketakwaan seorang suami akan mendorongnya untuk membahagiakan istrinya dan mendorongnya untuk bertanggungjawab.

Seorang wanita tidak dilarang mempunyai karir yang tinggi, tetapi karir yang tinggi bukanlah segalanya. Ketika karir runtuh, maka ia akan kembali kepada keluarganya. Jangan menyalahartikan kalimat ta’aruf yang sesungguhnya untuk berpacaran. Hal ini menodai islam. Janganlah juga membuat acara pernikahan yang berlebihan dengan alasan karena acara pernikahan diadakan seumur hidup sekali, bahkan di dalamnya terdapat hal-hal yang di haramkan oleh Allah dengan bercampurnya laki-laki dan perempuan. Seharusnya karena seumur hidup sekali maka jadikan hal ini penuh dalam keberkahan.

Di kota Tarim Hadromaut, jika ingin menemui Auliya berkumpul secara bersamaan dalam jumlah besar di sana susah. Tetapi kita bisa temui mereka kumpul menjadi satu dalam acara pernikahan. Para awliya di kota Tarim berkumpul menjadi satu dalam acara pernikahan karena ketika mereka hadir dalam acara pernikahan, mereka mencari dan memata-matai keberkahan dan dikabulkannya doa pada acara pernikahan. Mengapa? sebab tidak terdapat keharaman dalam acara pernikahan mereka. Ada marawis dan semua yang meriah ada di acara pernikahan mereka, dan sedikitpun tidak ada perkara haram.

Yaa Allah bittaufiq. Mudah-mudahan kita semua diberi jodoh yang bagus dan diberi kemudahan oleh Allah untuk menjauhi hal-hal yang haram.

Oleh: Al-Habib Ahmad bin Novel bin Jindan, Pengasuh Majelis Rasulullah SAW Jakarta, dalam Pembahasan kitab Al Mukhtar Fii Shuhbatil Akhyar | elhooda.net

Baca Juga:

Video: Tilawah Quran oleh Ustaz Taqdir Feriza


Anak muda Aceh mencatat prestasi membanggakan di level internasional. Takdir Feriza Hasan, anak muda Aceh kelahiran 20 Juli 1986, berhasil menjadi juara pertama kompetisi membaca alquran di Istanbul, Turki.

Diajang Turkey International Holy Quran Memorization and Recitation Competition yang selenggarakan oleh Kementerian Agama Turki pada 6-12 Juli 2015 itu, Takdir Feriza memenangkan kategori tilawah dalam ajang yang diikuti 98 peserta dari 52 negara itu. Setelah Takdir, di urutan kedua dimenangkan oleh peserta dari Filipina. Sementara peserta dari Iran menduduki peringkat ketiga.

Usai tampil membaca Alquran, Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan langsung mendaratkan sebuah kecupan di wajah Takdir. Erdogan pula yang langsung menyerahkan penghargaan untuk Takdir.

“Lon icom lee Erdoğan bang, leh kubeut dilikee gopnyan, kupegah awak Aceh, tsunami, tsunami (Saya dicium Presiden Erdogan usai mengaji di depan beliau, saya bilang orang Aceh, tsunami..tsunami, ” kata Taqdir lewat komunikasi via Facebook dengan Azwir Nazar, pemuda Aceh yang sedang kuliah doktoral di Turki namun sedang di Jakarta saat Takdir memenangkan perhelatan itu.

Lahir di Lampuuk, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, Takdir telah menoreh segudang prestasi di bidang lomba baca alquran. Simak Lantunan beliau pada video berikut:


Narasi: PEUGAH#HABA ONLINE

Memperdayai Iblis

Sudah kita maklumi bersama, Iblis adalah sosok makhluk yang kerjaannya terus saja menipu daya umat manusia agar lupa terhadap Tuhannya dan mengikuti jejak langkahnya sehingga ia punya banyak teman di neraka kelak.

Ada sebuah kisah menarik perihal Iblis, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Tanbihul Ghafilin. Biarpun ia sering memperdayai manusia, namun dalam kisah tersebut justru Iblis yang terpedaya. Singkat cerita, suatu ketika ada sesorang yang berjumpa dengan iblis, lalu terjadilah dialog antara mereka berdua. Orang ini berkata kepada iblis:

Orang : wahai iblis, apa yg harus saya kerjakan agar bisa menjadi seperti kamu?

Iblis : celaka kamu wahai manusia, belum ada seorang pun yang meminta agar menjadi seperti diriku. kenapa kamu memintanya?

Orang : Saya benar-benar menginginkannya.

Iblis : jika kamu benar-benar ingin seperti aku, maka lalaikanlah shalat dan bersumpahlah semaumu baik itu benar maupun bohongan.

orang : Baiklah kalau demikian, saya telah berjanji kepada Allah untuk tidak meninggalkan shalat dan tidak mengucapkan sumpah untuk selama lamanya.

Iblis : hari ini kamu telah berhasil memperdayai aku, karena saya telah berjanji kepada Allah untuk tidak menasehati mengenai hal yang baik kepada manusia, dan pada hari ini engkau telah menerima nasehat yang baik dari diriku.

Mengapa kita mudah terlena dan diperdaya, bisa jadi karena Shalat sering kita lalaikan. Padahal telah ditegaskan dalam al-Quran bahwa shalat bisa mencegah dari perbuatan yang keji dan munkar, dan lagi kita diperintahkan untuk shalat sebagai salah satu media untuk memohon pertolongan dari Allah Ta'ala, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam al-Baqarah: 45.

"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'," (Qs. Al-Baqarah: 45)

Benarkah Talqin Mayat Tidak Ada Dasarnya?

Bagi kaum muslimin yang masih hidup dibebankan secara fardhu kifayah untuk mengurusi saudara-saudaranya yang telah meninggal, mulai dari memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya.

Dalam praktek penyelenggaraan jenazah sesaat setelah mayat dikuburkan sering kita saksikan adanya talqin terhadap mayat. Namun dewasa ini ada kalangan tertentu yang beranggapan bahwa talqin mayat tidak ada dasarnya, dan tidak jarang vonis bid'ah di alamatkan bagi pelaku talqin mayat.

Lantas, benarkah talqin mayat tidak ada dasarnya? Untuk menjawab hal ini mari kita simak penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Al-Azkar sebagai berikut:

Dalam Al-Azkar pada Bab مايقوله بعد الدفن، Imam Nawawi menjelaskan:

وأما تلقين الميت بعد الدفن فقد قال جماعة كثرون من أصحابنا باستحبابه

"Adapun mentalqin mayat setelah dikuburkan, maka sesungguhnya telah berkata kebanyakan ulama dari Ashab kami mengenai kesunahan melakukan hal tersebut"[1]

Masih dalam Al-Azkar, Imam Nawawi juga mengutip sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Imam Abu Umar bin Shalah mengenai masalah Talqin. Dalam Fatwanya Imam Abu Umar menjawab sebagai berikut:

التلقين هو الذي نختاره ونعمل به

"Kami memilih pendapat yang membolehkan talqin dan mengamalkan talqin tersebut."[2]

Ibnu Taimiyah juga pernah ditanyakan perihal talqin mayat, berikut penjelasan beliua:

(وَسُئِلَ) عَنْ تَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ دَفْنِهِ هَلْ صَحَّ فِيْهِ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ عَنْ صَحَابَتِهِ ؟ وَهَلْ إذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شَيْءٌ يَجُوزُ فِعْلُهُ أَمْ لاَ ؟ (فَأَجَابَ) هَذَا التَّلْقِيْنُ الْمَذْكُورُ قَدْ نُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ أَمَرُوْا بِهِ كَأَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ. وَرُوِيَ فِيْهِ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنَّهُ مِمَّا لاَ يُحْكَمُ بِصِحَّتِهِ وَلَمْ يَكُنْ كَثِيْرٌ مِنَ الصَّحَابَةِ يَفْعَلُ ذَلِكَ فَلِهَذَا قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ إنَّ هَذَا التَّلْقِيْنَ لاَ بَأْسَ بِهِ فَرَخَّصُوْا فِيْهِ وَلَمْ يَأْمُرُوْا بِهِ وَاسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَكَرِهَهُ طَائِفَةٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَغَيْرِهِمْ (مجموع الفتاوى لابن تيمية 24 / 296)

"Ibnu Taimiyah ditanya tentang talqin di kubur setelah pemakaman. Apakah hadisnya sahih dari Rasulullah Saw atau dari sahabat? Dan jika tidak ada dalilnya apakah boleh melakukannya atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: Talqin ini diriwayatkan dari kelompok sahabat, bahwa mereka memerintahkan talqin, seperti Abu Umamah dan lainnya. Talqin juga diriwayatkan dari Rasulullah  Saw tetapi tidak sahih, dan banyak sahabat yang tidak melakukannya. Oleh karenanya, Imam Ahmad dan lainnya berkata: Talqin ini boleh. Mereka memberi dispensasi dan tidak memerintahkannya. Sementara sekelompok ulama dari kalangan Syafiiyah dan Ahmad menganjurkannya. Dan sekelompok ulama dari kalangan Malikiyah dan lainnya menilainya makruh" [3]

Apakah Talqin ada Dalilnya?
Dalam menjelaskan masalah talqin ini, Imam Abu Umar bin Shalah melanjutkan uraiannya sebagai berikut:

وذكره جماعة من أصحابنا الخراسانيين قال: وقد روينا فيه حديثا أبي أمامة ليس بالقائم إسناده، ولكن اعتضد بشواهد وبعمل أهل الشام به قديما.

"Sekelompok Ulama, Ashab kami dari khurasan menjelaskan: Sungguh telah kami riwayatkan mengenai masalah talqin sebuah hadist dari Abi Amamah yang tidak ditegakkan sanadnya, akan tetapi amalan tersebut didukung dengan kesaksian dan amalan penduduk Negeri Syam yang terdahulu." [4]

Dari uraian Imam Nawawi dan Imam Abu Umar bin Shalah, telah jelaslah ternyata mentalqinkan mayat sunah hukumnya, sehingga tuduhan bahwa hal tersebut tidak ada landasannya jutru telah dimentahkan oleh pendapat para Imam-imam ini.

Rujukan:
[1] Al-Azkar hal. 150, cet. Darul Hadist-Kairo
[2] Ibid
[3] Majmu' al-Fatawa XXIV, hal. 296
[4] Al-Azkar hal. 150, cet. Darul Hadist-Kairo

Baca juga:

Menjadi Suami Romantis

Dalam kitab al-Azkar, Imam Nawawi menyebutkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah ra, Nabi Saw bersabda: "orang beriman yang imannya paling sempurna ialah mereka yang paling baik akhlaq dan paling lembut terhadap keluarganya".(HR. Tirmizi dan Nasa'i)

Seorang suami sejatinya harus memperlakukan sang istri dengan sebaik mungkin, serta menjaga rasa cemburu agar keharmonisan selalu hadir ditengah-tengah keduanya. Dalam menciptakan suasana harmonis tentu saja seorang suami harus bisa selalu bersikap romantis, usia boleh tua dimakan zaman namun rasa cinta tetap memancar bersinar dengan terang.

Sebagai lelaki, kita bisa belajar dari Sayyidina Ali, pada suatu hari, beliau sedang mendapati sang istri tercinta Fathimah sedang bersiwak dengan kayu arak. kemudian Sayyidina Ali melantunkan sebait syair sebagai tanda cinta dan kecemburuan yang mendalam kepada sang istri.

wahai tangkai kayu arak!
alangkah bahagianya engkau

dirimu dapat menyentuh gigi Fathimah

apakah engkau tidak takut?
jika aku melihatmu.
andai saja engkau
adalah seorang ksatria perang,
niscaya telah aku bunuh.
ketahuilah
tidak ada seorang pun
yang dapat mengalahkanku.



Mutiara Penyemangat Jiwa

Seorang santri, maka bukanlah sekedar siswa, pelajar ataupun mahasiswa, sekalipun harus bersifat seperti mereka. Dalam belajar seorang santri mengejar nilai kemanfaatan ilmu pengetahuan, bukan hanya sekedar formalitas ilmiah semata. Ijazah sebenarnya bukanlah hal yang penting. Yang terpenting adalah mengantongi ilmu sebanyak mungkin lalu mengamalkannya.

Bukankah di negara-negara yang telah maju sekarang sudah tidak mutlak selalu mementingkan ijazah?, yang penting kenyataan prestasi kerjanya. Kita sendiri lebih percaya kepada seseorang yang walaupun tidak berijazah tetapi kerjanya bagus, daripada ijazahnya dah tinggi namun tidak ada kenyataan dalam prestasi kerjanya. Ijazah itu bisa dipalsukan, dalam hitungan jam bahkan menit semuanya akan siap dalam sekejap.

Lain halnya dengan kemanfaatan yang hanya Allah SWT dapat membuatnya dan menganugerahkan kepada yang dikehendaki Nya. Bukankah mengejar sesuatu yang hanya bisa dibuat oleh Allah itu lebih bernilai tinggi daripada yang bisa dibuat manusia? Silakan menjawabnya sendiri.
Wahai para santri, kita tidak perlu gusar dan bingung karena pengaruh gejolak sosial, atau budaya serta pola pikir yang sering diistilahkan dengan modern. Tetapi dengan bersikap tabah dan mantap bahwa dengan bekal keilmuan yang sempurna, cukuplah untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah.

Ada sebuah kata mutiara:

“orang paling bodoh ialah yang meninggalkan keyakinan diri sendiri, karena mengira yang dilakukan orang lain lebih berarti” (Taajuddin Athailah Iskandary: Taa-jul ‘Aruss)


Sebagai seorang pelajar, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Antara lain:
1. Buang jauh akhlak tercela
Ilmu itu ibarat air, sementara sombong laksana bukit, sehingga sukar rasanya air bisa naik ke bukit. Untuk itu hiaslah diri dengan akhlak mulia dengan selalu mengedapankan nilai2 luhur.

2. Jangan menenggelamkan diri dengan dunia
Ilmu pengetahuan yang bisa dipelajari akal ada dua, yaitu pengetahuan agama dan harta dunia. Keduanya ibarat jalan raya yang terbantang ke arah timur dan 1 lagi ke arah barat. Bisakah berjalan ke timur sampai ke barat, berjalan ke barat sampai ke timur atau sekali berjalan ke timur dan juga ke barat? Pada umumnya tidak bisa. Tetapi kalau berjalan ke barat sebagai sarana untuk mendapatkan yang di timur atau sebaliknya, mungkin bisa ditempuh.

3. Buang jauh-jauh rasa “sudah pandai”
Sebagai seorang pelajar, kita harus membuang sikap merasa pandai atau “lebih mengetahui” dari pada guru. Jangan remehkan suatu bidang ilmu pengetahuan, sebab ilmu saling berkaitan, bersambung dan menjelaskan. Contohnya untuk memahami kitab klasik, perlu ilmu nahwu dan saraf.

4. Urutkan kepentingan belajar
Hal ini pun juga tidak kalah penting, dengan penjadwalan yang baik maka belajar akan lebih terstruktur, susunlah mulai dari yang terpenting disusul dengan yang agak penting dan seterusnya.

Moga bermanfaat.. Wallahu A’lam

Disadur kembali dari Muqaddimah Terjemahan Kitab Fathul Muin

Santri Dayah Tidak Jumud

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Qs. Ali Imran: 110).

Dayah atau pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang paling tertua yang telah di perkenalkan sejak sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga dayah  yang dulunya di sebut zawiyah tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.

Banyak sekali keberhasilan aneuk beut atau santri yang telah terjun ke tengah masyarakat di berbagai profesi dan dapat mendorong pengembangan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan yang berguna. Keberhasilan aneuk beut dari pemberdayaan yang dilakukan oleh dayah juga dapat dilihat dari para alumninya yang telah berhasil dalam bidang pekerjaannya masing-masing. Ada yang berkerja sebagai penulis, peneliti, guru, kepala sekolah, bekerja di media massa, LSM, instansi pemerintah, dan ada juga yang telah berhasil mendirikan dan memimpin dayah-dayah besar di aceh dan sekitarnya.

Para aneuk beut atau santri yang kesahariannya bersama-sama mengaji kitab kuning di balai dan mesjid dari seorang guree (guru/pengasuh). mereka mendengarkan guree membacakan isi kitab, kata demi kata, lalu menjelaskannya dan guree juga menguraikan panjang lebar makna dari isi kitab tersebut. Sedangkan para santri semuanya menyimak melalui kitab yang dipegang mereka masing-masing.

Besarnya sikap ta’zim santri terhadap guru yang sedang mengajar di tunjukkan dengan semua santri duduk dengan bersila, tanpa bangku, menyimak pelajaran yang di berikan oleh guru dengan penuh rasa hormat. Cara mengajar seperti ini jika dibandingkan dengan teori belajar mengajar modern yang di praktekkan di sekolah-sekolah, sama sekali dianggap tidak tepat. Teori belajar mengajar modern, menganjurkan agar jumlah siswa harus dibatasi, menggunakan alat peraga, LCD, dan seterusnya. Selain itu juga berbagai ketentuan harus diikuti, misalnya bagaimana materi setiap pelajaran harus diorganisasi, seharusnya memulai pelajaran, bagaimana guru bertanya, murid menjawab dan seterusnya.

Metode Belajar di Dayah
Seorang guru di dayah dalam mengajar biasanya diikuti oleh puluhan bahkan ratusan dan ada juga terkadang sampai ribuan santri. Hal itu jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengajaran modern, yang seharusnya jumlah itu dibatasi. guru di dayah hanya membaca kitab, menerangkan, dan semua santri menyimak serta mencatat apa yang diterangkan oleh guru yang sekiranya dianggap perlu. Tetapi anehnya, apa yang dilakukan oleh guru di dayah tersebut ternyata berhasil menjadikan para santri menguasai kitab yang dipelajarinya. pembelajaran yang di terapkan di dayah dan di praktekkan saat ini cukup untuk memenuhi standarisasi kependidikan misalnya mengadakan evaluasi belajar setiap  empat bulan sekali. Tetapi tidak diakhiri dengan ujian nasional di kalangan dayah. Tidak pernah terdengar hal tersebut dilakukan.

Sangat berbeda dengan pengajaran di dayah, pendidikan formal di sekolah atau bahkan juga di perguruan tinggi semuanya serba diatur. Hal menyangkut tentang guru, bahan ajar, berbagai peralatan pengajaran yang dibutuhkan, termasuk buku pegangan dan lain-lain semuanya harus disediakan. Demikian pula jadwal kegiatan ditata rapi, termasuk berapa kali murid harus masuk mengikuti pelajaran, tidak terkecuali kapan para siswa atau mahasiswa harus mengikuti ujian tengah semester dan juga akhir semester. Semua proses pengajaran itu juga telah ditentukan waktunya, termasuk juga ujiannya.

Hanya anehnya, belum tentu pengajaran yang diatur secara rapi itu, memperoleh hasil yang lebih baik dari proses sederhana yang dilakukan di kalangan dayah. Hal seperti itu, tidak jarang kemudian melahirkan pertanyaan, di antaranya yakni, kekuatan apa yang menjadikan pengajaran di dayah lebih berhasil bilamana dibanding dengan proses belajar dan mengajar di sekolah umum. Sebagai contoh sederhana, para santri yang belajar di dayah dalam waktu tertentu, berhasil menguasai Bahasa Arab dan bahkan di beberapa dayah tertentu, juga Bahasa Inggris. Sedangkan di sekolah umum, sekalipun telah diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, SMU, dan juga telah dinyatakan lulus program S1 dan bahkan pascasarjana, belum juga berhasil menguasai bahasa asing tersebut.

Atas kenyataan tersebut, jika kita mau jujur, mestinya kita harus hormat pada lembaga pendidikan dayah. Lembaga pendidikan yang seringkali dianggap tradisional dan sederhana, ternyata proses belajar dan mengajar yang dilakukan, lebih berhasil dari pada pendidikan modern. Melihat kenyataan itu, maka dalam mencari model pengajaran yang terbaik, perlu dipertanyakan, siapa seharusnya meniru siapa. Penulis yang sedang menempuh pendidikan di salah satu dayah di aceh merasakan kagum dan terharu pola pendidikan yang di terapkan di dayah-dayah seperti Mudi Mesra samalanga, Labuhan Haji Aceh Selatan, dan beberapa dayah lainnya. Para santrinya, ternyata telah mampu menulis makalah dan berpidato dengan dua bahasa asing, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sekaligus. Padahal dari hasil pengamatan penulis selama ini, belum tentu semua siswa yang belajar di lembaga pendidikan modern, mampu menghasilkan prestasi seperti itu.

Atas kesederhanaannya itu, dayah-dayah ini telah melahirkan sejumlah ulama-ulama besar yang dikenal di negeri ini. Sehingga wajar jika kemudian muncul pertanyaan mendasar, yang perlu dijawab secara tuntas. Yaitu misalnya, kekuatan apa sesungguhnya yang menjadikan para aneuk beut atau santri berhasil menguasai sejumlah pengetahuan dan bahkan tatkala keluar dari dayah, mereka mampu memimpin lembaga pendidikan yang dipercaya masyarakat.

Dilihat dari sisi metodologi pengajaran, jelas pendidikan di dayah tidak tampak modern. Begitu pula sarana dan prasarana yang tersedia, adalah sangat terbatas. Para guree-guree yang mengajar juga bukan lulusan fakultas pendidikan, penyandang ijazah pascasarjana, dan apalagi Doktor atau S3. Tidak memenuhi kriteria seperti itu. Mereka yang mengajar di dayah, adalah tamatan dayah juga. Persoalan ini benar-benar menarik, dan kiranya perlu dikaji oleh para peneliti di bidang ini.
Dari beberapa fonomena yang terjadi dapat di ambil kesimpulan kenapa Aneuk Beut Hana Bangai hal itu karena pendidikan dayah sendiri, yang memang berbeda dari pendidikan di sekolah formal pada umumnya. Dayah memiliki model pendidikan yang khas. Beberapa di antara ke khasan pendidikan dayah itu adalah sebagai berikut.

Pertama, pendidikan di dayah diliputi oleh suasana keikhlasan. Para para guru-guru dan santri dalam menunaikan perannya masing-masing didorong oleh niat ikhlas. Mereka yang terlibat dalam proses belajar dan mengajar guru dan santri, tidak saja termotivasi untuk memberi dan mendapatkan ilmu, tetapi lebih dari itu adalah juga dirasakan sebagai kewajiban menunaikan amanah, yakni mengajar dan mencari ilmu, atas perintah dari Allah Yang Maha Kuasa, sebagai ibadah.


Dalam proses belajar dan mengajar selalu diliputi oleh nilai-nilai spiritual. Dalam bentuk yang paling sederhana kita lihat misalnya, tatkala memulai dan pengakhiri pelajaran selalu diiringi dengan doa dan bershalawat atas rasullullah yang dipimpin langsung oleh guru yang bersangkutan.

Kedua, dalam pendidikan di dayah tidak terjadi suasana transaksional. Ilmu tidak diperdagangkan. Tidak ada istilah upah atau gaji dari kegiatan mengajar. Para guru atau ustadz yang mengajar, tidak ada sedikit pun, didorong oleh maksud-maksud untuk mendapatkan imbalan material. Antara mengajar dan mencari rizki, di kalangan dayah bisa dipisahkan. Jika kegiatan itu mengharuskan para santri membayar biaya pendidikan, dan demikian pula para pengasuh mendapatkan sesuatu dari kegiatan dayah, tidak akan dimaknai sebagai imbalan atas pekerjaannya itu. Bahkan tidak sedikit guru yang harus menanggung biaya hidup para santri yang tidak mampu secara ekonomi.

Apa yang terjadi di dayah, kemudian kita bandingkan dengan di sekolah pada umumnya, memang benar-benar berbeda. Lembaga pendidikan pada umumnya selalu ramai berbicara soal upah guru dan atau dosen, sedangkan di dayah tidak pernah berbicara tentang biaya pendidikan itu. Bahkan, di sekolah umum, kadang kala energi untuk membicarakan besarnya biaya pendidikan melebihi forsi perbincangan tentang pendidikannya itu sendiri. Lebih dari itu, akhir-akhir ini muncul juga demonstrasi oleh guru tatkala menuntut hak. Akhirnya pendidikan menjadi lahan transaksional dalam mendapatkan rizki, sehingga gambaran itu tak ubahnya di pasar. Pemandangan seperti itu sesungguhnya tidak akan terjadi jika pihak-pihak yang terkait dengan itu, termasuk pemerintah, sejak awal memperhatikannya.

Suasana transaksional seperti digambarkan itu akan menghilangkan nilai-nilai kehormatan yang seharusnya justru ditumbuh-kembangkan di lembaga pendidikan. Dalam lembaga pendidikan seharusnya tertanam suasana kasih sayang, hubungan yang sedemikian dekat antara guru dan murid dan siapa saja yang terlibat dalam kegiatan pendidikan. Hubungan guru dan murid seharusnya dibangun bagaikan orang tua dan anak-anaknya sendiri. Guru seharusnya mencitai murid sepenuhnya dan demikian pula murid seharusnya menghormati dan memuliakan para guru-gurunya. Oleh karena itu, jika suatu misal, guru berdemonstrasi menuntut hak kenaikan gaji, maka suasana pendidikan telah gagal diciptakan. Pendidikan dengan demikian menjadi tidak akan menghasilkan apa-apa.

Hubungan guru dan santri di dayah, terbangun secara baik. Para guru-guru di dayah sekalipun pada saat ini masih tergolong berusia muda, mampu memerankan sebagai pendidik yang sebenarnya. Para guru menunjukkan kecintaannya pada seluruh santri dan demikian pula para santri sedemikian ta’dhim atau hormat kepada para guru pengasuhnya. Inilah kiranya sebagian kunci keberhasilan pendidikan di dayah. Hubungan batin seperti ini, tidak pernah kemudian memunculkan penyimpangan dalam pendidikan. Kecurangan dalam penyelesaian tugas atau juga dalam ujian tidak terjadi di lingkungan dayah. Pengawasan terhadap masing-masing para santri diserahkan kepada santri sendiri. Jika melakukan kesalahan, para santri dibuat malu terhadap dirinya sendiri.

Ketiga, di dayah guru berhasil menjadi tauladan sepenuhnya dalam berbagai kegiatan hidupnya. Misalnya, dalam kegiatan spiritual shalat misalnya, guru bertindak sebagai imam dan begitu juga pada doa-doa lainnya. Para pengasuh bertempat tinggal di lokasi dayah menjadikan kehidupan dan bahkan juga seluruh keluarganya menjadi contoh tauladan hidup yang sebenarnya. Para aneuk beut atau santri tidak saja belajar dari buku atau kitab yang dipelajari, melainkan juga dari kehidupan nyata para pengasuh dayah. Para aneuk beut atau santri dengan begitu tahu, bahwa para guru pengasuhnya tidak saja mengajarinya, melainkan lebih dari itu berdoa dan memohon kepada Allah swt., atas keberhasilan para santrinya dalam menuntut ilmu di dayah.

Suasana seperti inilah yang menjadikan dayah memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan proses pendidikan di lembaga pendidikan lain pada umumnya. Pendidikan di dayah, dengan demikian tampak lebih utuh atau komprehensif.

Hanya saja memang, satu sisi kekurangannya jika hal itu boleh disebut, bahwa pendidikan di dayah baru lebih menitik beratkan pada pengembangan jiwa keberagamaan. Umpama saja, dayah mengembangkan bidang-bidang keilmuan yang lebih luas, termasuk pendidikan sains, kita yakin akan jauh lebih maju dan berhasil dari model pendidikan pada umumnya. Hal itu sangat mungkin terjadi karena sebenarnya dayah memiliki pendekatan, tradisi, dan wawasan tentang kehidupan manusia yang jauh lebih luas dan mendalam. Wawasan tentang kehidupan yang dimaksudkan itu, disadari atau tidak, sesungguhnya bersumber dari kitab suci dan serjarah hidup para nabi serta orang-orang shaleh lainnya. Allahu a’lam.

Disadur dari:  santridayah.com


Kala Pengadilan Memvonis Potong Tangan Sultan Muhammad Al Fatih

Sultan Muhammad Al Fatih, Sang Penakluk, divonis oleh Mahkamah Syariat agar tangannya dipotong. Vonis itu dikeluarkan oleh qadhi, karena Sultan Al Fatih memerintahkan memotong tangan seorang insiyur Romawi. Sultan Al Fatih mematuhi perintah pengadilan itu. 

Bagaimana ceritanya? Sultan Al Fatih secara nyata telah membuktikan kebenaran Hadist Rasulullah akan takluknya Konstantinopel di tahun 1453 M. Penaklukkan itu membuat gempar seantero dunia. Sultan Al Fatih kemudian mengubah Konstantinopel menjadi pusat ibukota Utsmaniyah. Selama kepemimpinan Sultan Al Fatih, Utsmaniyah mencapai puncaknya. Kehidupan berjalan baik dan maju. Namun hasrat Sultan Al Fatih untuk terus menaklukkan tak terhenti. Bahkan dia sempat merangsek menuju kota Roma. 

Hal inilah yang membuat penguasa Roma, mengungsi dari singgasananya. Meski demikian, kepemimpinan Sultan Al Fatih di dalam negeri bisa dibilang cukup adil. Hukum yang diterapkan benar-benar berwibawa. Malah dia sendiri sempat divonis bersalah hukuman potong tangan oleh Mahkamah al Isti'naf (pengadilan) di era itu. Kasusnya bermula ketika Sultan Al Fatih berniat mendirikan sebuah masjid Jami di kota Islambol itu. Dia kemudian menugaskan seorang Insinyur Romawi, Epsalanti, untuk memimpin dan mengawasi proyek pembangunan Masjid itu. Epsalanti memang dikenal insinyur yang mumpuni. 

Salah satu perintah Sultan, bahwa tiang-tiang masjid Jami itu mesti dibuat dari bahan marmer. Tiang-tiang itu juga harus dibuat tinggi, agar masjid Jami' bisa dilihat dari berbagai penjuru. Sultan Al Fatih pun menentukan batas ketinggian yang harus dicapai itu. Perintah itu langsung ditujukannya kepada Epsalanti tadi. Akan tetapi dalam pembangunannya, Epsalanti malah memotong tiang-tiang itu. Hingga ketinggian tiang Masjid Jami' itu tak seperti yang dipesan oleh Sultan. Epsalanti bersikap demikian karena suatu sebab. 

Ketika Sultan mengetahui hal itu, dia marah besar. Epsalanti dianggap melakukan pencurian karena mengurangi ketinggian tiang-tiang tadi. Sultan Al Fatih pun memerintahkan agar tangan Epsalanti dipotong. Ternyata keputusan itu langsung dieksekusi. Tangan Epsalanti dipotong. Pasalnya tiang-tiang yang sudah dibawa dari tempat yang jauh, menjadi tak berguna sama sekali. Perintah potong tangan itu dikeluarkan Sultan Al Fatih dalam keadaan emosi dan marah. Tapi nasi sudah jadi bubur. Tangan Epsalanti sudah terpotong. Sultan Al Fatih pun sempat menyesali keputusannya itu. Karena dianggapnya perintah itu terlalu berlebihan. 

Namun di mata Epsalanti, tindakan Sultan itu sudah kelewatan. Itu sudah dianggap sebuah kedzaliman, begitulah pandangan Epsalanti. Alhasil dirinya pun mengadukan Sultan Al Fatih kepada Mahkamah Al Isti'naf itu. Di Mahkamah itu ada seorang qadhi yang dikenal adil. Namanya Syaikh Shari Khidr Jalabi. Dialah yang kemudian mengadili kasus ini. Qadhi Syakh Shari Khidr Jalabi kemudian mengutus orang untuk memanggil Sultan Al Fatih untung datang ke pengadilan. Karena, walau sebagai Sultan, Al Fatih mendapat aduan dari seorang rakyatnya yang menuntut keadilan. Mendapat panggilan dari qadhi, Sultan tak ragu menghadiri pengadilan itu. 

Ketika hari persidangan, Sultan Al Fatih pun masuk ke ruangan sidang. Sultan Al Fatih kemudian duduk di barisan tempat duduk yang disediakan. Tapi sikap Sultan itu kemudian dihardik oleh qadhi Syaikh Shari Khidr Jalabi. "Anda tidak boleh duduk, Tuan!" hardik sang Qadhi, tanpa ragu. Sultan Al Fatih terkejut. Dia terdiam. "Engkau harus tetap berdiri di samping lawan engkau itu," tegas Qadhi lagi. Sultan Al Fatih pun menurut. Sosok yang begitu disegani oleh belantara Eropa, diam seribu bahasa didepan sang Qadhi. Karena Al Fatih sangat mematuhi hukum Islam. 

Kemudian Sultan Al Fatih berdiri berjejer dengan Epsalanti itu. Sang Insiyur itu kemudian membeberkan kedzaliman yang telah diterimanya itu. Ketika giliran Sultan berbicara, Al Fatih mendukung apa yang telah dijelaskan oleh sang Insiyur. Dia tak membantahnya. Setelah Sultan Al Fatih selesai bicara, ia pun diminta berdiri. Qadhi Syakh Shari Khidr Jalabi berpikir sejenak. Tidak lama kemudian Qadhi itu mengeluarkan vonisnya untuk Sultan Al Fatih. "Berdasarkan aturan-aturan Syariat, maka tangan Engkau juga harus dipotong sebagai bentuk qishash, wahai Sultan!" Yang terkejut justru sang insinyur ketika mendengarkan putusan itu. Dia tak menyangka, seorang Sultan Islam, yang menunjuk Qadhi itu sebagai hakim, malah dikenakan hukuman potong tangan oleh qadhi itu sendiri. Tubuh Epsalanti sampai bergetar mendengar putusan qadhi itu, atas kasus yang dilaporkannya. Sultan Al Fatih hanya terdiam sembari berdoa. 

Epsalanti sama sekali tak menyangka vonis seperti itu yang bakal dikeluarkan oleh qadhi. Padahal niat awal Epsalanti adalah dia menuntut ganti rugi karena tangannya telah dipotong. Epsalanti kemudian bangkit. Dengan suara gemetar, tercekak dan terbata-bata, dia malah memutuskan untuk menarik kasusnya itu. "Saya tak menyangka hasilnya seperti ini, saya memutuskan untuk menarik pengaduan saya terhadap Sultan," tutur Epsalanti terbata-bata. Padahal Sultan Al Fatih sudah sangat menerima putusan itu. Karena hal itu merupakan konsekwensi yang harus ditegakkan bagi seorang muslim. Epsalanti pun berujar lagi bahwa sesungguhnya dia berharap adanya ganti rugi belaka atas kasus yang dialaminya. 

Karena dia beralasan memotong tangan Sultan Al Fatih sama sekali tak member manfaat buat dirinya. Karena permintaan Epsalanti yang seperti itu, Qadhi pun memutuskan agar Sultan Al Fatih membayarkan 10 keping Dinar kepada Epsalanti, sebagai ganti rugi atas memotong tangannya. 10 Dinar itu mesti dibayarkan Sultan Al Fatih setiap bulan kepada Epsalanti. Begitulah hukuman itu dijatuhkan. 

Namun Sultan Al Fatih memutuskan untuk membayar 20 Dinar setiap hari sepanjang hidupnya kepada sang insinyur itu. Hal itu dilakukan Sultan Al Fatih sebagai hadiah atas ungkapan kegembiraannya karena lolos dari hukuman qishash dan bentuk penyelesaiannya atas kasus itu. Begitulah sistem peradilan Islam. Kisah keadilan seperti ini tentu sangat muskyl ditemui dalam sistem hukum yang tak merujuk pada Al Quran dan As Sunnah. sumber: Kitab Rawai' min at-Tarikh al-'Usmani. 

Puasa Setahun Penuh

Puasa enam hari di bulan syawal mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan:

قال صلى اللَّهُ عليه وسلم من صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا من شَوَّالٍ كان كَصِيَامِ الدَّهْرِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ ) فيه دلالة صريحة لمذهب الشافعى وأحمد وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة وقال مالك وأبو حنيفة يكره ذلك قال مالك في الموطأ ما رأيت أحدا من اهل العلم يصومها قالوا فيكره لئلا يظن وجوبه ودليل الشافعى وموافقيه هذا الحديث الصحيح الصريح واذا ثبتت السنة لا تترك لترك بعض الناس أو أكثرهم أو كلهم لها وقولهم قد يظن وجوبها ينتقض بصوم عرفة وعاشوراء وغيرهما من الصوم المندوب قال أصحابنا والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر فان فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى اواخره حصلت فضيلة المتابعة لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال قال العلماء وانما كان ذلك كصيام الدهر لان الحسنة بعشر امثالها فرمضان بعشرة أشهر والستة بشهرين وقد جاء هذا في حديث مرفوع في كتاب النسائي وقوله صلى الله عليه و سلم ( ستا من شوال ) صحيح ولو قال ستة بالهاء جاز أيضا قال أهل اللغة يقال صمنا خمسا وستا )

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun." (HR. Muslim).

Dalil ini yang dibuat pijakan kuat madzhab syafi’i, Ahmad Bin Hanbal dan Abu Daud tentang kesunahan menjalankan puasa 6 hari dibulan syawal, sedang Abu Hanifah memakruhkan menjalaninya dengan argument agar tidak memberi prasangka akan wajibnya puasa tersebut.

Para pengikut kalangan Syafi’i menilai yang lebih utama menjalaninya berurutan secara terus-menerus (mulai hari kedua syawal) namun andaikan dilakukan dengan dipisah-pisah atau dilakukan diakhir bulan syawal pun juga masih mendapatkan keutamaan sebagaimana hadits diatas.

Ulama berkata “alasan menyamainya puasa setahun penuh berdasarkan bahwa satu kebaikan menyamai sepuluh kebaikan, dengan demikian bulan ramadhan menyamai sepuluh bulan lain (1 bulan x 10 = 10 bulan) dan 6 hari di bulan syawal menyamai dua bulan lainnya (6 x 10 = 60 = 2 bulan). [Syarah Nawawi ‘ala Muslim VIII/56 ].

Hadist: Muslim yang Kuat Lebih Dicintai Allah



Hari ini kita terinjak-injak dan tak berdaya, ditambah lagi sengketa dengan sesama yang pada akhirnya melemahkan persatuan dan runtuhlah kekuatan.  Kita ini adalah satu tubuh, dan yang namanya tubuh akan saling senasib dan sepenanggungan, tangan kanan menerima uang, tangan kiri yang memakai jam, jika ada satu yang sakit maka yang lain akan menolong.

Kita harus bersatu, sebab seperti pepatah yang sering kita dengar, dengan bersatu kita menjadi teguh, dan kekuatan pun menjadi tangguh. Muslim yang kuat lebih dicintai oleh Allah Ta'ala. Dalam sebuah Hadist, Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.

Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356).

Jadilah Pemaaf

Tekad laki-laki berbadan kekar itu bulat. Pikiran dan hatinya telah kompak. Iya, “Aku mau membunuh Muhammad,” teriaknya setiap ada yang bertanya kepadanya. Laki-laki itu bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah al-Yamamah. Ia pergi ke Madinah dengan satu tujuan, membunuh Rasulullah saw. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal itu.

Setelah sampai di Madinah, ia berapi-api, semangat berkobar mencari majelis Rasulullah. Setelah ia berhasil medatanginya. Umar bin Khathab yang melihat gelagat buruk dari Tsumamah menghadangnya, “Apa tujuan kedatanganmu kesini? Bukankah engkau seorang musyrik?”
Dengan lantang dan penuh percaya diri, Tsumamah menjawab, “Aku datang kesini hanya untuk membunuh Muhammad,”

Mendengar perkataannya, Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah.

Rasulullah dengan segera tapi tetap penuh ketenangan keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya, “Apakah ada di antara kalian sudah ada yang memberinya makan?”

“Makanan wahai Rasulullah? Bukankah orang ini datang ke sini ingin membunuh engkau?” Kata Umar penuh kekagetan.

Rasulullah SAW tersenyum, dan beliau kembali berkata, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu.”

Perasaan heran masih menghuni Umar, tapi ia pun tetap mematuhi perintah Rasulullah. Setelah segelas susu dihadirkan, dengan lembut Rasul memberikan kepada Tsumamah, beliau meminumkannya dengan tangan mulia beliau. Rasulullah dengan senyum penuh santun berkata kepadanya, “Ucapkanlah Laa ilaha illa-Llah (Tiada Tuhan selain Allah).”

Tsumamah menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya.” Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.” Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengucapkannya!”

Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Terutama Umar bin Khattab. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi. Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negrinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad Rasul Allah.”

Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memintanya kepadamu?” Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keredhaan Allah Robbul Alamin.”

indah akhlak Rasul saw. Beliau selalu berprinsip membalas kebaikan dan kebaikan, dan selalu menjadi pemaaf, bahkan kepada orang yang jelas ingin membunuhnya. Benar saudaraku, karena segala yang dibalas dengan kebaikan, akan melahirkan kebaikan. Jika tidak engkau yang mendapatkan kebaikan, anak, keluarga dan orang-orang terdekat yang merasakannya. Allah SWT berfirman, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendir.” (al-Isra’ : 7)

Ketika Abu Abdillah al-Jadali berttanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah. Aisyah ra menjawab, “Rasulullah tidak pernah bicara dan berlaku kotor. Beliau tidak pernah mengangkat suara, sekalipun itu di pasar. Beliau tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan. Beliau pemaaf dan lapang dada.'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Memaafkan adalah pilihan yang cukup sulit untuk dilakukan, terutama bila berkenaan dengan kesalahan yang sangat berat dan menorehkan luka yang dalam di hati kita. Benar, lebih mudah meminta maaf daripada memaafkan bukan? Tapi Islam justru memerintahkan kita menjadi mengambil sikap memaafkan orang lain. Allah swt memerintahkan kita, ''Tetapi, orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.'' (asy-Syuura: 43).

Inilah kemuliaan yang agung, inilah pesona yang tertinggi, yaitu menjadi pemaaf. Pernah saat bersama para sahabatnya, Rasulullah pernah bersabda, ''Maukah kalian aku beri tahu sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan dan meninggikan derajatmu?'' Para sahabat menjawab, ''Tentu, wahai Rasulullah.'' Rasulullah lalu bersabda, ''Bersabar terhadap orang yang membencimu, memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menyambung silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu.'' (HR Thabrani).

Di antara proses utama menjadi pemenang setelah melaksanakan bulan Ramadhan adalah menang dalam hubungan dengan sesama. Selain silaturahim, juga ada tradisi saling meminta dan memaafkan. Mengingat Allah tidak memafkan dosa-dosa yang terkait dengan sesama manusia, kecuali telah terjadi saling memafkan di antara mereka. Inilah jalan menuju takwa, karena di antara tanda orang-orang yang bertakwa adalah siapa yang senang memafkan kesalahan sesamanya. Allah berfirman, ''Dan, orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (Ali Imran: 133-134). Iya, memafkan tiu adalah ksatria, mulia, dan luhur. Memaafkan bukan tentang kalah atau menang, tapi tentang takwa dan kebaikan.

Ustaz AlHabsyi

Kemenangan Untuk Siapa ?

Alhamdulillah Sebulan penuh telah kita laksanakan ibadah puasa ramadhan. Dan tibalah saatnya hari nan fitri kita rayakan sebagai sebuah wujud kemenangan. Dan kemenangan yang terbesar adalah lahirnya jiwa baru sebagai sosok insan yang bertaqwa. Demikianlah hikmah dari puasa sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Baqarah ayat 183.

Makna kata تتقون ,agar dengan adanya puasa maksiat terhindar, sebab puasa mematahkan syahwat -yang merupakan penggerak utama terjadinya maksiat-, mencegah pesta pora, kesombongan, dan perbuatan keji, serta tidak terlena dengan kenikmatan dunia. Sikap-sikap inilah yang menjadi cerminan seorang pemenang yang telah belajar dengan bersungguh-sungguh di kampus ramadhan.

Dalam pembukaan surah al-Baqarah, telah dijelaskan empat sifat orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang beriman dan membenarkan perkara-perkara gaib yang diberitakan al-Quran, seperti: kebangkitan, perhitungan amal, shirath, surga dan neraka. Jadi mereka tidak terpaku dengan hal-hal yang bersifat materi yang mudah dijangkau oleh indra dan mudah difahami akal, mereka juga memahami alam-alam lain di luar jangkauan indra seperti malaikat, jin, dan ruh.

Dan selanjutnya sikap taqwa juga tergambarkan dalam pelaksanaan shalat, mereka menunaikan dengan sempurna, lengkap syarat rukun dan adab-adabnya, serta hadirnya kekhusukan dan perenungan tentang apa yang didapatinya dari al-Quran.

Kemudian, ciri mereka juga tergambar dari sikapnya yang gemar menginfakkan harta dalam berbagai bidang kebaikan, seperti zakat, shadaqah, dan nafkah untuk keluarga. Sehingga dari sini, dapatlah kita tarik sebuah benang merah bahwa puncak kemenangan itu adalah dengan terbentuknya sikap taqwa, yang dengannya hubungan dengan Sang Khaliq akan terbina dengan baik melalui shalat dan puasa, dan hubungan antar makhulq akan terbina dengan adanya infak dan shadaqah yang merupakan fondasi perekonomian sehingga terciptalah kemajuan dan kesejahteraan umat.

Namun, ketika puasa sebulan penuh tidak memberi efek apa-apa, maka kemenangan sesungguhnya adalah milik syaitan, sebab ia telah berhasil memperdaya sehingga puasa hanya memberi bekas lapar dan dahaga saja.


Tradisi Salam-Salaman


Lebaran identik dengan bersalam-salaman, kebiasaan ini tidak keluar dari ketentuan syariat, dan lagi bersalaman dengan sesama kaum muslimin bisa menggugurkan dosa,hal ini sebagaimana hadist dari Bara bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرق

"Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalam melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud,At Tirmidzi, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)

Secara tersurat, bersalam-salaman adalah sebuah anjuran yang baik untuk dilakukan, karena mempunyai banyak faedah. Selain semakin menambah kedekatan emosional antar sesama juga mendatangkan pahala. Namun demikian, akan lain ceritanya jika yang bersalaman adalah antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Bukannya menggugurkan dosa tapi malah menambah dosa, sebab yang namanya wanita non mahram dipandang tanpa ada keperluan saja tidak dibenarkan apalagi main pegang-pegang tangan saat salaman. Kemudian dalam Mazhab Syafie menjadi batal wudhu jika bersalaman bersalaman, ini  karena sudah bersentuhan kulit antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahram, oleh karenanya biasakan yang benar bukan membenarkan kebiasaan.

Akan tetapi jika bersalam-salaman dengan orang tua sambil cium tangan bahkan sungkem sekalipun itu tidak mengapa, karena ini sebuah sikap takdhim (penghormatan) terhadap keduanya, demikian juga istri yang mencium tangan suami, hal ini malah akan lebih menentramkan. Bagi yang bukan mahram ada baiknya bersalaman secara isyarat saja, atau dengan memakai penghalang semisal kain bungkus agar tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung. Dan langkah yang paling bijaksana ketika berhadapan dengan bukan mahram adalah menikahinya agar kedepan bukan hanya bersalaman yang bisa kita lakukan. ^_^

Shalat Ied dan Shalat Jumat Dalam Satu Hari

Memang ada kebingungan di tengah umat Islam terkait dengan kasus hari Jumat yang jatuh berbarengan dengan salah satu dari dua hari raya, yaitu Idul Fithr atau Idul Adha, apakah shalat Jumat gugur hukumnya dan boleh tidak dikerjakan, ataukah tetap wajib dikerjakan.
Penyebab kebingungan ini karena adanya nash yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan sebagian shahabat untuk tidak melaksanakan shalat Jumat ketika harinya tetap jatuh di hari raya.

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata,“Aku melihat Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah ketika bersama Rasulullah SAW Anda pernah menjumpai dua hari raya bertemu dalam satu hari?” Zaid bin Arqam menjawab, “Ya, saya pernah mengalaminya”. Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika itu?. Zaid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ
Siapa yang mau shalat Jumat maka lakukanlah shalat Jumat (HR. Ahmad)

Dalam hal ini, umumnya para ulama dari jumhur sepakat mengatakan bahwa hukum shalat Jumat tetap wajib dikerjakan, meski jatuh pada hari raya. Namun ada pendapat yang mengatakan sebaliknya, yaitu mazhab Al-Hanabilah.

1. Tetap Wajib
Jumhur ulama, yaitu para ulama dalam mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah sepakat menegaskan bahwa hukum shalat Jumat tetap wajib dikerjakan meski jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fithr atau Idul Adha.

Mazhab Asy-Syafi'iyah membedakan antara penduduk suatu negeri dengan mereka yang hidup di padang pasir (nomaden). Keringanan untuk tidak shalat Jumat ini hanya berlaku buat mereka yang tinggal di daerah pedalaman, yang memang pada dasarnya tidak memenuhi syarat-syarat kewajiban shalat Jumat. Karena mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat Jumat setelah shalat Ied dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka.

Ada banyak dalil yang dijadkan hujjah atas hal ini, antara lain :

a. Kuatnya Dalil Kewajiban Shalat Jumat
Shalat Jumat itu diwajibkan dengan ayat Al-Quran, yang dari segi nash merupakan nash sharih (jelas) dan qathi, baik dari segi tsubut maupun dari segi dilalah. Sehingga statusnya qath'iyuts-tsubut dan qath'iyud-dilalah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli..(QS. Al-Jumu’ah : 9)

Sedangkan kebolehan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat hanya didasarkan pada nash yang tidak sharih dan juga tidak qath'i, yaitu hadits-hadits yang ketegasan dan keshahihannya masih diperselisihkan para ulama.

b. Rasulullah SAW dan Para Shahabat Tetap Shalat Jumat
Meski ada dalil dari Rasulullah SAW yang membolehkan sebagian orang untuk tidak shalat Jumat, namun dalam kenyataannya, Rasulullah SAW sendiri dan umumnya para shahabat tetap melakukan shalat Jumat. Hal itu terbukti dari hadits-hadits berikut ini :

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Rasulullah SAW bersabda,"Dua hari raya jatuh di hari yang sama. Siapa tidak shalat Jumat silahkan, tetapi kami tetap mengerjakan shalat Jumat. (HR. Abu Daud)

Artinya meski hari itu bertemu dua hari raya, tidak berarti masjid Nabawi meliburkan shalat Jumat. Shalat Jumat tetap dilakukan oleh penduduk Madinah saat itu, terkecuali hanya beberapa orang saja yang dibolehkan untuk tidak ikut, karena udzur-udzur tertentu.

c. Yang Tidak Mewajibkan Tetap Menyarankan Shalat Jumat
Meski ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat Jumat hukumnya tidak wajib, seperti mazhab Al-Hanabilah, namun mereka tetap menganjurkan untuk tetap melakukan shalat Jumat, demi keluar dari khilaf dan kehati-hatian. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama yang berpendapat tidak wajibnya shalat Jumat sekalipun juga tidak secara gegabah dalam berpendapat.
Oleh karena itu jumhur ulama menyimpulkan bahwa shalat Ied (hari raya) tidak bisa menggantikan shalat Jumat.

2. Tidak Wajib
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa shalat Jumat tidak wajib adalah mazhab Al-Hanabilah. Dalil yang mereka jadikan landasan tetap sama dengan dalil-dalil di atas, namun mereka mengambil kesimpulan bahwa keringanan itu berlaku untuk seluruh umat Islam, bukan hanya untuk penduduk yang tinggal di padang pasir.

Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc. MA | rumahfiqih.com

Akhir Ramadhan

Ramadhan beranjak memasuki malam ke dua lapan,
Suara tadarusan saling bersahutan sepanjang malam,
sabarlah dalam menerima taqdir Tuhan,
Dan bersyukurlah ketika nikmat telah dalam genggaman.
Cinta kepada Tuhan adalah melalui taqwa
Cinta dengan Rasul adalah menegakkan sunnahnya
Cinta terhadap ayah bunda adalah berbakti padanya
Cinta terhadap istri dengan membimbingnya
Cinta pada suami dengan mematuhinya
Cinta pada anak dengan mengajarinya

Ketahuilah,
Segala sesuatu akan ada ujiannya
Bahagia akan teruji dengan syukur
Susah akan teruji dengan sabar

Sebatas Mana Melihat Calon Istri ?

Mengenai hal ini, Imam Malik hanya membolehkan melihat pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain membolehkan melihat seluruh bagian badan kecuali dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali.

Sedang Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan dua telapak tangan.

Sebab Perselisihan Pendapat
Silang pendapat dalam persoalan ini disebabkan terdapat suruhan (anjuran) untuk melihat wanita secara mutlaq, dan terdapat pula larangan secara mutlak, serta ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat kebanyakan ulama berkenaan dengan firman Allah:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
"dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya". (Qs. An-Nur: 31)

Yang dimaksud adalah muka dan dua telapak tangan. Di samping itu juga diqiyaskan dengan kebolehan membuka muka dan dua telapak tangan pada waktu berhaji bagi kebanyakan fuqaha. Sedangkan fuqaha yang melarang melihat sama sekali berpegangan dengan aturan pokok, yaitu larangan melihat wanita.

Bidayatul Mujtahid - Ibnu Rusyd, Bab. Nikah | catatanfiqih.com

Baca Juga: