Rasulullah dan Seorang Yahudi Tua


Oleh: Saiful Hadi
Suatu ketika setelah Baginda Rasulullah saw wafat, Sayidina Abu Bakar bertanya pada Aisyah yang merupakan anak beliau dan juga istri Baginda Nabi. "Wahai Aisyah, kebiasaan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah namun belum pernah saya ketahui, karena saya pun akan melakukan kebiasaan itu".

Jadi perlu diketahui, bahwa Abu Bakar selalu saja meniru segala tingkah laku Rasulullah, tidak hanya dalam hal ibadah tapi juga hal-hal kecil lainnya. Yang intinya beliau berusaha meniru apapun tindak tanduk Rasulullah.

Lalu dijawab oleh Aisyah, duhai Ayahku, di pinggir kota Madinah ini ada seorang kakek tua yang sudah rabun matanya, ia hidup sebatang kara tanpa ada yang mengurus. Oleh Rasulullah setiap harinya selalu mengunjungi kakek, dan beliau pula yang menyuapinya makan setiap waktu.

Setelah jelas dimana alamat kakek tua yang disuapi makan oleh Rasulullah, lantas Abu Bakar bergegas menuju ke tempat sang kakek untuk melakukan hal yang sama sebagaimana Rasulullah lalukan dulu pada saat beliau masih ada.

Tetiba dirumah sang kakek, tanpa memperkenalkan diri, Abu Bakar pun duduk didekat si kakek dan mulai menyuapi makanan untuknya. Baru sesuap Abu Bakar menyuapkan makanan, si kakek lantas memuntahkan kembali makanan itu. Abu Bakar pun terheran, ada apa wahai orang tua? Si kakek pun menjawab, "kemana orang yang biasa menyuapi saya?" Abu Bakar pun bertanya kembali, "memangnya yang biasa menyuapi kakek bagaimana?" Orang tua itu kembali menjawab, "orang yang biasa menyuapi saya, sebelum ia masukkan makanan ini ke mulut saya terlebih dahulu ia kunyah agar lunak sehingga saya mudah memakannya. Saya tidak bisa memakan seperti yang barusaja kamu suap karena terlalu keras untuk saya kunyah".

Terhenyak Abu Bakar mendengar penuturan sang kakek, sambil menahan bulir air mata yang berjatuhan karena mengenang Baginda Rasulullah yang telah wafat, lalu beliau mengatakan pada si kakek, "wahai kakek, ketahuilah, orang yang biasa menyuapi dirimu telah tiada, beliau telah wafat". Kemudian si kakek pun bertanya, "Jika saya boleh tahu, siapa orang yang selalu menyuapi saya? Abu Bakar pun menjawab, "beliau adalah Muhammad Rasulullah saw". 

Sekarang giliran si kakek yang terkejut ketika mendengar nama "Muhammad". Dengan perasaan yang begitu menyesal dan berlinang air mata, si kakek pun bercerita pada Abu Bakar bahwa ketika Baginda Nabi datang menyuapinya makan, tak pernah sekalipun beliau memperkenalkan diri, dan saya selalu mencaci Muhammad selesai sesuap makan. Lanjut lagi kata si kakek, saya ini seorang yahudi dan sangat membencinya ketika itu. Andai saya tahu itu Muhammad, ternyata apa yang saya dengar tentangnya dan apa yang saya rasakan saat bersama dengannya sungguh sesuatu yang amat bertolak belakang, ia sangat-sangat baik dan lembut sekali dalam merawatku selama ini.

Mulai hari ini, persaksikan oleh mu, saya yakin terhadap kenabian nya, dan mulai hari ini pula saya ikrarkan dua kalimat syahadat. Akhirnya, sang kakek yahudi ini resmi menjadi seorang muslim dihadapan Sayidina Abu Bakar. Demikianlah akhlaq Rasulullah, begitu agung dan mulia sekali hati beliau, bahkan untuk seseorang yang selalu mencacinya namun dengan penuh kelembutan beliau rawat dengan baik tanpa membalas sedikit pun celaan darinya. 

Allahumma Shalli ala Muhammad.

  • [accordion]
    • Donasi Kamu Untuk Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI 3906-01-010624-53-8 an. Saiful Hadi

Kisah Hikmah: Ketika Bos Preman Insaf

Ketika Bos Preman Insaf


Oleh: Saiful hadi

Dulunya, ada sebuah kampung yang mana seluruh penduduknya preman semua. Kepala desanya merangkap sebagai kepala preman bernama Jundub bin Junadah, dan Kampung itu bernama Kampung Ghifar. Dan yang uniknya, kampung itu berada dilokasi yang amat strategis yang menjadi jalur perdagangan pada masa itu. Semua orang yang hendak berniaga baik ke Syam, Yaman dan sekitarnya mestilah lewat itu kampung, dan saat melintas mesti nyetor "Pajak Nanggroe" ke preman setempat, jika tidak maka nyawa bisa melayang nantinya.

Namun pada suatu ketika, atas iradah Allah Ta'ala, Jundub ini berjumpa dengan Rasulullah. Seketika itu juga ia merasa insaf dengan tingkah laku selama ini serta secara tegas ia nyatakan masuk islam dengan bersyahadat di hadapan Nabi. Setelah itu Jundub berkata pada Nabi, "wasiatkan sesuatu kepadaku ya Rasulullah", lalu Nabi katakan: "pulang dulu, perbaiki diri dan dakwahkan kampung mu".

Sebelum ia pulang ia katakan pada Rasulullah, ya Rasulullah, saya hendak mengumumkan ke-Islaman saya ini di dekat Ka'bah, tapi kata Nabi, sebaiknya jangan, nanti kamu bisa digebuki oleh orang-orang musyrikin, tapi Jundub telah bertekat, saya dulunya jadi preman terang-terangan merampok, jadinya sekarang pun akan saya nyatakan islam secara terang-terangan.

Lantas kemudian, Jundub pun ke Ka'bah yang lagi ramai dikerumuni orang, lalu ia secara lantang menyatakan dirinya muslim, walhasil apa yang Nabi khawatirpun terjadi, ia dipukuli oleh orang-orang musyrik sampai pingsan, akhirnya datang Sayidina Ali meleraikan, cukup jangan pukul lagi dia, jika ia mati akan sangat susah nantinya melewati kampung Ghifar karena ia bos premannya disana.

Selang beberapa lama kemudian, penduduk Madinah dihebohkan dengan kedatangan serombangan orang berkuda yang di pimpin oleh Jundub bin Junadah. Dan rupanya mereka adalah penduduk kampung ghifar yang semuanya telah masuk islam berkat dakwah dari Jundub.

Tahukan anda, doa bangun tidur yang sering kita baca, tau-taunya diriwayatkan oleh seorang mantan preman yang bernama Jundub bin Junadah yang berasal dari kampung Ghifar, yang kemudian hari nama beliau dikenal dengan Abu Dzar Al-Ghifari. Penambahan kata-kata "al-Ghifari" untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari kampung Ghifar, dimana dulunya kampung itu isinya preman2, akan tetapi sekarang sudah berubah menjadi insan-insan yang beriman. Indahnya Islam mengubah sesuatu yang dulunya buruk menjadi sebaik-baiknya bentuk.

Allahumma shalli ala muhammad.

Malulah, agar Tidak Memalukan

Malulah, agar Tidak Memalukan

Oleh: Saiful hadi

Aurat didefinisikan sebagai sesuatu yang memalukan jika terlihat kepada khalayak ramai. Untuk itu, menutup aurat sama artinya dengan menutupi hal-hal yang bisa membuat malu. Berbicara tentang malu, Baginda Nabi pernah mengatakan bahwa malu tersebut adalah bahagian dari keimanan, setiap orang yang beriman sudah sepatutnya untuk bersikap malu, terutama malu kepada Tuhan sehingga selalu menunaikan titahNya tanpa pernah merasa jemu. 

Dewasa ini sering kita dapati gaya berpakaian yang ala kadar sehingga terlihatlah apa yang seharusnya tidak perlu terlihat. Bagi yang telah terbiasa dengan lingkungan yang demikian bisa jadi hal yang seperti itu akan di anggap sebagai sebuah bentuk yang wajar saja. Misalkan seperti di negara-negara barat, jalan-jalan di pusat kota dengan pakaian yang minim ya biasa saja, tidak ada yang perlu dipermasalahkan bahkan itu disebut sebagai manusia yang modern.

Sementara di belahan bumi yang lain, dimana sebagian penduduknya masih ada yang pakaiannya hanya sekedar menutup kemaluan malah disebut primitif. Padahal jika di cermati dengan seksama, dari segi bentuk tidak jauh berbeda, hanya bahannya saja yang beda. Di belahan dunia yang disebut modern itu bahan bakunya sudah terkena sentuhan teknologi, sementara satu lagi masih berbahan alami dari alam.

Karenanya, malu itu mesti ada pada setiap diri kita. Jika ia seorang murid, ketika punya rasa malu terhadap gurunya, maka dia akan belajar dengan sebaik mungkin agar tidak mendapat nilai yang memalukan. Demikian juga, seroang guru yang punya rasa malu, dia akan berusaha semaksimalnya agar seluruh murid yang diasuhnya bisa menggapai sukses. Para orang tua yang punya malu juga bakal mendidik anak-anaknya agar tidak bertindak yang memalukan. 

Ketika malu hilang maka akan sangat memalukan. Perzinaan dan perselingkuhan akan sangat memalukan apalagi jika diketahui orang banyak. Andai punya malu pasti tidak berani melakukannya, meskipun ditempat yang sunyi,  sebab Tuhan maha melihat. Untuk itu malulah kepada Sang khaliq agar tidak memalukan di hadapan makhluq.

short link > bit.ly/budayakanmalu

  • [accordion]
    • Donasi Kamu Untuk Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI 3906-01-010624-53-8 an. Saiful Hadi

Sederhana Saja, Jangan Berlebihan

Sederhana Saja, Jangan Berlebihan

Oleh: Saiful Hadi

Membasuh sebanyak tiga kali dalam berwudhu hukumnya sunnah, namun jika lebih dari itu maka menjadi lain cerita, bahkan Rasulullah mencela tindakan tersebut lantaran dinilai terlalu berlebih-lebihan, dan digolongkan kedalam perbuatan yang makhruh. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad yang shahih, Rasulullah bersabda:

سيكون فى هذه الامة قوم يعتدون فى الطهور والدعاء
Selagi akan ada pada umatku suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdoa (HR.Abu Dawud)

Para ulama menjelaskan, yang dimaksud dengan berlebihan dalam bersuci adalah melakukan الاسراف (berlebihan memakai air). Hal tersebut dihukumi makruh jika menggunakan air milik pribadi, dan hukumnya menjadi haram jika menggunakan air yang diwaqafkan.

Pengertian dari الاسراف adalah menggunakan air melebihi dari keperluan yang ada, misalkan saja untuk membasuh muka seharusnya cukup dengan segengam air tapi jika membasuh dengan segayung air maka inilah yang disebut dengan berlebih-lebihan biarpun belum lebih dari tiga kali basuh. Selain itu, disebut juga dengan الاسراف apabila membasuh setiap anggota wudhu lebih dari tiga kali basuhan.

Sementara yang dimaksud dengan berlebihan dalam berdoa adalah dengan meminta sesuatu melebihi kapasitasnya sendiri, misalnya ada sesorang yang sehari-hari berpropesi sebagai pedangan sayur kecil-kecilan namun setiap berdoa ia memohon agar memperoleh keuntungan yang berlipat dan setara dengan pedagang emas. Biarpun mungkin saja Allah Ta'ala mengabulkan doanya karena tidak ada yang mustahil bagi Nya, namun berdoa seperti itu menjadi kurang beradab. Termasuk juga dianggap berdoa yang berlebihan apabila memohon agar diberi derajat yang tinggi dengan diangkat menjadi nabi.

Untuk itu berdoalah dengan santun dan layak, serta berwudhu dengan memakai air seefisien mungkin agar tidak terjadi pemborosan. Sikap boros amat dicela, sementara syaitan sangat menyukai sikap tersebut. Dan kita sadar bahwa iblis dan syaitan adalah musuh yang nyata.

Waktu Terbaik untuk Berdoa

Waktu Terbaik untuk Berdoa

Al-Quran adalah wahyu yang mempunyai kandungan makna yang sangat mendalam, pemahaman terhadap teksnya tidak bisa sekedar berpedoman pada apa yang tersurat saja. Terkadang menggunakan redaksi bahasa yang umum dan ada juga yang khusus, juga ada ayat yang memakai Tasybih (perumpamaan), dan majaz, kesemua hal ini menambah kedalaman isi kandungan Al-Quran.

Dalam ilmu ushul fiqih, keberadaan hadist nabi bisa menjadi pentaksis (yang mengkhususkan) penjelasan untuk ayat-ayat yang masih bersifat umum. Sebagai contoh, surat Al-Ghafir ayat 60, secara umum Allah nyatakan berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Disini tak ada perincian mengenai kapan waktunya untuk berdoa, apakah saat siang atau malam, hujan atau kemarau. Kapan saja bisa karena memang tidak disebutkan waktu tertentu.

Lantas kemudian, kenapa ada waktu-waktu terbaik terbaik untuk berdoa, padahal dalam ayat tidak ada kaitannya dengan masalah waktu? Hal ini tidak terlepas dari apa yang telah Rasulullah sabdakan. Berangkat dari sana akhirnya kita mengetahui mengenai waktu-waktu terbaik untuk berdoa.

Waktu-waktu Terbaik untuk Berdoa
1. Sepertiga Malam

“Waktu yang paling dekat Allah kepada seorang hamba adalah pada malam yang terakhir. Oleh karena itu, jika kamu sanggup berada pada waktu itu sebagai orang yang berdzikir kepada Allah, maka lakukanlah.” (HR. Tirmidzi)


2. Setelah Shalat Fardhu

"Di malam yang terakhir dan akhir shalat fardhu.” (HR. Tirmidzi)


3. Antara Azan dan Iqamat
"Berdoa tidaklah ditolak antara azan dan iqamat.” (HR. Tirmidzi)

4. Ketika Turun Hujan

Imam Syafi’i meriwayatkan dalam al-Umm, 1:223-224 dengan sanadnya yang sampai kepada Makhul, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda: "Carilah waktu pengabulan doa ketika pasukan berhadapan, ketika shalat ditegakkan, dan ketika hujan turun.”


Tafsir Surat Al-Ghafir ayat 60

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".

Berdoa dalam ayat ini berarti permintaan dan mendekatkan diri kepada Allah dalam semua urusan duniawi maupun ukhrawi, permintaan itu berwujud perkara-perkara yang besar maupun perkara-perkara yang remeh (al-haqirah). Sedangkan Allah akan mengabulkannya (al-ijabah), bisa dimaknai sebagai janji Allah untuk mengabulkan semua permintaan hambanya.

Kalau memang Allah berjanji akan mengabulkan permintaan hambanya, mengapa kadang manusia memohon kepadannya tidak dikabulkan doanya?. Mungkin pertanyaan ini dapat dijawab, bahwasanya orang berdoa itu ada syarat-syaratnya, maka seandainya seseorang berdoa sesuai dengan syarat-syarat berdoa, pasti akan dikabulkan, tetapi sebaliknya doa yang tidak memenuhi syaratnya juga tidak akan dikabulkan.

Di antara syarat-syarat doa, pertama, iqbal al-abdi bikuliyatihi ala Allah wakta al-du’a, bi haystu la yahsulu fi qalbihi ghayra rabahu. Seorang hamba harus menghadap kepada Allah secara totalitas, dengan tidak ada sedikitpun sesuatu selain Allah. kedua, wa an la yakuna li mafasida, doanya bukan bertujuan untuk membuat kerusakan. Ketiga, wa an layakuna fihi qathi’atu rahmin, di dalam doa tidak bermaksud memutus silaturahmi atau memutus tali persaudaraan. Keempat, wa an la yasta’jila al-ijabah, tidak keburu-buru untuk dikabulkan. Ke lima, wa anyakuna muqinan biha, dan orang yang berdo’a  harus yakin akan dikabulkan doanya oleh Allah Swt.

Maka barang siapa dalam berdoa sesuai dengan syarat-syarat doa di atas, niscaya Allah akan mengabulkan semua permintaannya, baik pemenuhan doa tersebut diwujudkan Allah dengan segera atau mungkin masih tertunda, bahkan nanti dapat dikabulkan di akhirat kelak. Untuk itu orang yang berdoa harus menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah atas semua permintaannya tersebut. Karena bisa jadi terkabulnya doa itu nanti dapat berwujud diampuninya semua dosa-dosa hamba.

Ayat 60 surat ghafir di atas ditutup dengan ungkapan, yang artinya ”….. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” Dalam Tafsirnya dimaknai dengan barang siapa sombong lagi kasar di dunia, maka di akhirat akan dihinakan atau direndahkan oleh Allah, dan barang siapa di dunia bersikap rendah diri, maka di akhirat dia akan dimulyakan oleh Allah.

Di ceritakan dalam sebuah riwayat, bahwa Dawud AS bertanya kepada Allah, wahai Tuhanku bagaimana caranya aku dapat wushul (mendekatkan diri kepadamu), Allah menjawab, wahai Dawud rendahkanlah dirimu kemudian mendekatlah kepadaku. (Al-Shawi al-Maliki, Hasyiyah al-Shawi, al-Haramain, Juz IV, hal. 16)

Orang Tua yang Shalih Membawa Berkah Sampai Tujuh Turunan

Orang Tua yang Shalih

Hari jumat merupakan hari yang sangat di anjurkan untuk membaca surat Al-Kahfi. Pada surat tersebut terdapat kisah perjumpaan Nabi Musa dg Khidir, dimana dalam perjumpaan itu Khidir pernah memperbaiki sebuah rumah yang nyaris roboh.

Rumah yang diperbaiki oleh Khidir dimiliki oleh dua orang anak yatim. Dan alasan Khidir memperbaiki rumah itu karena rupanya disitu tersimpan harta yang bakal bermanfaat bagi anak2 itu kala mereka dewasa kelak.

Yang menariknya, dalam kisah tsb disampaikan bahwa kedua orang tua anak yatim itu adalah orang yang shalih. Merujuk pada kitab2 tafsir sebagaimana dalam Tafsir Al-Munir Juz 8, rupanya kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat adalah kakek bukan ayah secara langsung , dan kedua anak yatim itu merupakan generasi yang ke-tujuh. Sementara harta yang terpendam di bawah rumah tadi merupakan anugrah dari Allah Ta'ala yang merupakan berkah dari keshalihan kakek mereka dulu.

Dari kisah ini terdapat sebuah pelajaran bagi kita semua, baik yang masih jomblo atau yang sudah berpasangan untuk bersungguh-sungguh dalam menata diri agar menjadi insan yang bertaqwa. Sebagaimana dalam kisah pada surat Al-Kahfi tersebut, keshalihan orang tua membawa berkah sampai tujuh turunan.

  • [accordion]
    • Donasi Kamu Untuk Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI 3906-01-010624-53-8 an. Saiful Hadi


Belajar Tidak Putus Asa dari Nabi Zakaria

Belajar Tidak Putus Asa dari Nabi Zakaria

Oleh: Saiful hadi

Mengawali surat maryam, Allah Ta'ala membuka dengan kisah Nabi Zakaria alaihissalam. Beliau adalah seroang nabi yang sudah lanjut usia, demikian juga dengan istrinya, selain sudah lanjut usia juga ternyata mandul sehingga tidak bisa memberikan keturunan.

Melihat kisah Nabi Zakaria, ditengah situasi yang demikian, dimana beliau sudah sangat tua dan istri beliau mandul, namun hal itu tidak membuat beliau putus asa dengan Rahmat Allah. Nabi Zakaria tetap berdoa memohon pada Allah Ta'ala dengan suara yang lembut seraya memohon agar di anugerah seorang anak.

Dalam ayat selanjutnya dikisahkan, Allah ta'ala berfirman, bahwa memberikan seorang anak dari lelaki yang tua renta dan wanita mandul itu mudah saja baginya. Sehingga dengan izin Allah, akhirnya istri Nabi Zakaria mengandung, dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Yahya.

Dari kisah beliau kita belajar bagaimana caranya bersikap agar tidak putus asa. Ada yang sudah berkali-kali ikut tes cpns misalnya, tapi lagi-lagi gagal. Ada yang sudah berkali-kali melamar namun lagi-lagi ditolak. Semua itu jangan menyebabkan tenggelam dalam kekecewaan dan keputusasaan, selama kita bergantung pada Allah ta'ala insyaAllah tidak akan pernah kecewa. Akan tetapi jika berharap pada manusia maka bersiap2lah untuk kecewa.

Pada ayat berikutnya dalam surat maryam, setelah menjelaskan kisah Nabi Zakaria disusul dengan Kisah Maryam. Dan kisah ini terdapat hal yang lebih hebat. Jika tadi sebelumnya Allah mengisahkan seorang Zakaria yang sudah tua renta, dan istri yang tua lagi mandul, namun dengan izin-Nya akhirnya beroleh keturunan. Pada kisah Maryam, Allah hendak mengisahkan bagaimana seorang wanita bisa melahirkan seorang anak bahkan tanpa ada kehadiran seorang suami.

Hal penting yang harus kita yakini, bahwa Allah Ta'ala maha kuasa sehingga mampu melakukan apa saja, bahkan untuk hal2 yang tidak masuk akal bagi nalar manusia. Dari dua kisah (Nabi Zakaria dan Maryam), begitu jelasnya kekuasaan Allah dalam penciptaan termasuk untuk hal yang tidak logis sekalipun. Untuk itu bermohonlah pada-Nya semata, biarpun dalam pandanganmu tidak mungkin akan tetapi menjadi mungkin jika Allah yang kehendaki.

  • [accordion]
    • Donasi Kamu Untuk Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI 3906-01-010624-53-8 an. Saiful Hadi

InsyaAllah Nabi Musa dan Nabi Ismail

InsyaAllah Nabi Musa dan Nabi Ismail

Kalimat insyaAllah bukan sekedar pemanis kata ketika berbahasa. Sebab, ucapan tersebut menjadi sebuah sunnah dan etika bagi kita untuk selalu mengaitkan apapun yang akan dikerjakan dengan kehendak Allah melalui ucapan InsyaAllah.

Terkadang sering timbul kurang percaya kala ada yang mengaitkan sesuatu rencana dengan kalimat tersebut. Dan lebih parah lagi dianggap sebagai sebuah bentuk ketidakseriusan atau ketidakpastian.

Di dalam Al-Quran sendiri terdapat tiga kisah mengenai pengucapan InsyaAllah. Ada InsyaAllah yang serius dikerjakan dan ada yang menjadi ketidakpastian. Malahan ada yang ditegur oleh Allah lantaran lupa mengucapkan InsyaAllah.

Untuk InsyaAllah yang serius kita dapatkan dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, sementara yang tidak pasti kita dapati dalam kisah Nabi Musa ketika berjumpa dengan Khaidir. Sementara Rasulullah saw pernah ditegur oleh Allah karena lupa mengucapkan InsyaAllah.

Mengenai kisah ditegurnya Rasullah kita dapati dalam surat al-Kahfi ayat 23 s.d 24 Allah ta'ala berfirman:

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَاْيۡءٍ إِنِّي فَاعِلٞ ذَٰلِكَ غَدًا

Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” (QS. Al-Kahfi, Ayat 23)

إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ وَٱذۡكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلۡ عَسَىٰٓ أَن يَهۡدِيَنِ رَبِّي لِأَقۡرَبَ مِنۡ هَٰذَا رَشَدٗا

kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.” (QS. Al-Kahfi, Ayat 24)

Pada ayat ke 23 s.d 24 tersebut Allah ta'ala mengingatkan Rasulullah  agar jangan pernah mengatakan "aku akan melakukannya besok" untuk sesuatu yang telah diazamkan, melainkan menyertainya dengan mengatakan kalimat "In Syaa Allah".

Latar belakang dibalik turunnya ayat ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Tafsir Al-Munir Juz 8, menurut Muhammad bin Ishaq suatu ketika kaum Qurays menemui para Rahib Yahudi di Madinah bertanya perihal kenabian Nabi Muhammad saw. Lalu para Rahib tersebut berkata: "Tanyakanlah pada Muhammad tentang tiga hal: yaitu tentang pemuda yang tertidur di dalam Gua, kisah seorang laki-laki yang menjelajah dunia dari barat ke timur, dan tanyakan juga ia mengenai ruh, jika ia mampu menjelaskan kepada kalian tentang itu semua, berarti ia adalah seorang Nabi. Sebaliknya jika ia tidak mampu maka ia hanya mengaku2 nabi.

Lalu mereka kembali ke Mekkah dan selanjutnya bertemu dengan Rasulullah utk menanyakan hal2 yang telah disampai Rahib yahudi sebelumnya. Saat Rasulullah ditanyakan mengenai hal tersebut, beliau bersabda: "Saya akan menjawab pertanyaan kalian besok. Namun beliau tidak mengatakan InsyaAllah".

Hari berganti hari hingga berselang lima hari sejak pertanyaan di ajukan, akan tetapi Rasulullah belum menjawabnya lantaran belum turun wahyu. Tak lama kemudian datanglah Jibril yang membawa surat Al-Kahfi yang didalamnya berisikan kisah Pemuda yang tertidur di gua dan kisah Raja Iskandar Zulkarnen yang menjelah dunia, serta juga berisi teguran bagi Rasulullah untuk senantisa mengaitkan keinginan dengan kehendak Allah melalui ucapan "InsyaAllah".

Dalam kisah selanjutnya pada surat Al-Kahfi diceritakan mengenai Nabi Musa dan Nabi Khidhir alaihimassalam. Saat Nabi Khidhir meragukan kesabaran dan keteguhan hati Nabi Musa dalam mengikuti dan mentaatinya, spontan keluar kata insyaallah dari mulut Nabi Musa bahwa beliau akan bersabar.

قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا 

Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (QS. Al-Kahfi : 69)

Meski sudah mengucapkan insyaAllah, ternyata Nabi Musa akhirnya tidak mampu bersabar sebagaimana yang telah ia ucapkan. Dari tiga peristiwa aneh yang dilakukan oleh Nabi Khaidir, beliau tidak mampu menahan diri untuk bersabar agar tidak bertanya sebelum dijelaskan.

Sementara dalam surat Ash-Shaaffaat ayat 102 dikisahkan mengenai ucapan InsyaAllah dari Nabi Ismail As. Ketika Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih Ismail yang mana hal itu merupakan perintah Allah SWT, dan hal itu lalu diceritakan kepada Ismail, ternyata dengan tegas dan pasti beliau mengiyakan perintah itu dengan disertai lafadz InsyaAllah juga.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. Ash-Shaaffaat : 102)

Dan insyaallah yang diucapkan Nabi Ismail itu benar-benar beliau wujudkan. Buktinya beliau bersedia menyerahkan lehernya untuk disembelih ayahandanya sendiri.

  • [accordion]
    • Donasi Kamu Untuk Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI 3906-01-010624-53-8 an. Saiful Hadi

Kunci Ilmu adalah Bertanya

Kunci Ilmu adalah Bertanya

Oleh: Saiful Hadi

Sering kita dengar pepatah mengatakan "Malu bertanya bakal sesat di jalan" dan pada akhirnya hanya jalan-jalan namun tidak pernah sampai pada tujuan. Ilmu tersimpan di dalam dada ahlinya, dan bertanya adalah kunci untuk membuka pintu ilmu pengetahuan. Dalam proses belajar mengajar bisa saja ada hal-hal yang mungkin lupa disampaikan oleh para pengajar, oleh karenanya perlu untuk bertanya agar ilmu ilmu yang mengendap di dada pengajar bisa mengucur keluar sebanyak-banyaknya. Sebuah kelas yang tidak ada tanya jawab akan menimbulkan kejenuhan, suasana kelas terasa monoton, dan pengajar pun juga tidak bersemangat untuk menyampaikan hal-hal baru. Yang lebih parah lagi, akan sulit bagi pengajar untuk mengetahui seberapa jauhkah pelajaran yang telah diajari diserap oleh peserta didik.

Dalam bertanya ada adab-adab yang perlu dipahami, jika bertanya hanya sekedar untuk menguji guru itu kurang beradab. Penting untuk diingat, tujuan dari bertanya adalah agar menjadi jelas sesuatu yang masih samar, sehingga mendapatkan petunjuk yang jelas. Namun demikian, terkadang ada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan, tapi saat ditanyakan bukannya menjadi lebih jelas malah mendatangkan kepayahan. Hal seperti ini pernah terjadi pada masa Nabi Musa as dalam kisah penyembelihan Sapi betina untuk mengungkap sebuah kasus pembunuhan.

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan? ” (QS. Al-Baqarah: 67)

Pada ayat-ayat selanjutnya dikisahkan, mereka bertanya kepada Nabi Musa mengenai ciri-ciri dari sapi yang harus mereka sembelih. Walhasil, setiap kali bertanya kriteria menjadi semakin bertambah sehingga sapi tersebut semakin sulit untuk didapatkan. Singkat cerita, pada akhirnya sapi yang cari ketemu juga, namun mereka harus membayar mahal untuk bisa mendapatkannya. Andai saja mereka langsung menuruti perintah Nabi Musa tanpa terlalu banyak bertanya mungkin semuanya akan berjalan lebih mudah.

Dilain hal, dalam menjawab pertanyaan penting juga melihat siapa yang bertanya agar jawaban tepat sasaran dan memuaskan. Pada masa Rasulullah, pernah ada yang menanyakan kepada beliau tentang hilal (anak bulan) kenapa awalnya kecil lama kelamaan semakin membesar akhirnya kecil kembali. Baginda Nabi menjawab, yang demikian itu adalah sebagai penanda waktu bagi manusia, jika telah sangat besar itu artinya sudah malam yang ke-15, yang bertanya pun puas mendapat jawaban tersebut. Andai saja Rasulullah menjawab dengan istilah ilmu falaq tentunya si penanya pasti bingung sendiri dalam memahami jawaban yang diberikan oleh Rasulullah.

Pelajaran penting bagi kita, perhatikan dulu siapa saja pendengar agar apa yang disampaikan bisa diserap dengan mudah. Jangan karena pertahankan gengsi lantaran bertitel tinggi, sehingga saat berbicara atau mengisi ceramah untuk masyarakat umum malah menggunakan istilah-istilah yang rumit. Akhirnya, para pendengar menjadi mengantuk gara-gara tidak paham mengenai topik yang sedang dibicarakan. Lain ceritanya jika sedang mengisi seminar ilmiyah, para pendengar bisa dipastikan adalah orang2 yang selalu bergelut dengan topik yang dibicarakan, sehingga ya memang cocok. Sebuah pepatah mengatakan "tempatkan sesuatu pada tempatnya masing-masing". Ada satu hal lagi yang unik, saat ada acara resepsi pernikahan, masing-masing mempelai membubuhkan gelar akademis pada namanya, padahal ini bukan sebuah acara seminar ilmiyah sehingga rasanya kurang tepat untuk digunakan.

Demikian juga dengan penggunaan istilah fiqih dalam kehidupan sehari-hari. Umumnya masyarakat indonesia memberi istilah "menyamak" untuk mensucikan najis berat yang berasal dari anjing dan babi. Padahal kalau dikembalikan ke dasarnya masing-masing, dalam literatur kitab-kitab klasik istilah samak dipakai untuk mensucikan kulit bangkai yakni dengan menghilangkan seluruh lendir yang lengket pada kulit tersebut sehingga tidak akan membusuk lagi. Sementara mensucikan najis berat dari anjing dan babi dengan cara menyiram air sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya adalah dengan air yang bercampur tanah. Bisa dibayangkan lantaran salah penempatan istilah akhirnya menjadi salah kaprah, kulit bangkai akan semakin membusuk karena dicuci dengan air.

Wallahu a'lam

Ibnu Hajar al-Asqalani, Potret Suami yang Melejitkan Prestasi Istri



Oleh: Saiful hadi

Ulama-ulama tempoe dulu biarpun tidak bergelar Doktor atau Professor, ditengah keterbatasan sarana dan prasarana yang ada, mereka kaya akan karya yang sampai hari ini masih dapat kita baca, berkahnya ilmu mereka merupakan buah dari keiklasan dalam menghidupkan agama. Keseharian mereka tidak lepas dari aktivitas belajar mengajar maupun menyusun karya.

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani salah satu contohnya, karya tulis beliau mencapai seratus lima puluh buah dalam berbagai cabang ilmu. Diantara karyanya yang sangat fenomenal adalah Fathul Bari fi syarhi Sahihil Bukhari, kitab ini benar-benar luar biasa, baik isi maupun ketebalan jilidnya. Penulisan kitab tersebut berlangsung selama 25 tahun, dimulai dari awal tahun 817 H dan selesai pada tahun 842 H. Setelah usai dari penulisannya, beliau membuat acara walimah atau syukuran yang dihadiri oleh kaum muslim terkemuka dengan memakan biaya 500 Dinar pada masa itu.

Selain sukses di bidang akademis beliau juga seorang Nahkoda handal yang membawa bahtera rumah tangganya menuju ke pulau penuh bahagia. Beliau beristrikan seorang cendikia shalihah yang juga pakar dalam bidang Hadist, Uns (Anas) binti Abdul Karim namanya . Wanita yang lahir tahun 780 H ini memang bukanlah orang yang terkenal, namun ia hidup mendampingi orang terkenal.

Pernikahan Ibnu Hajar bersama istrinya dilangsungkan pada bulan sya'ban tahun 798 H. Saat itu usia Ibnu Hajar 25 tahun, sementra istrinya 18 tahun. Pernikahan ini membawa berkah yang luar biasa, rupanya Uns adalah wanita yang sangat menyukai pengetahuan dan beruntungnya beliau mendapatkan suami yang berilmu dan berwawasan luas. Dengan penuh kesabaran dan ketelitian Ibnu Hajar mengajarkan ilmu hadis kepada sang istri. Sampai pada akhirnya ia menjadi wanita ahli hadis, dan namanya pun mulai melambung dan dikenal masyarakat luas. Meski demikian, beliau tetap tidak lupa terhadap status dirinya sebagai seorang istri, dimana ia melayani suaminya sekaligus menjadi ibu rumah tangga yang membuat suasana selalu penuh dengan cinta. Ibnu hajar menjadikan rumah tangga sebagai sarana untuk menerpa jiwa, selain meningkatkan kualitas diri, juga berhasil melejitkan potensi istrinya.

Berkaca pada rumah tangga Ibnu Hajar, pernikahan itu bisa menjadi sarana untuk meraih bahagia dan melejitkan potensi diri. Pernikahan bukanlah penjara yang mengukung dan menghambat perkembangan karier. Demikian juga, meencintai bukan berarti mengekang dan mematikan potensi, melainkan untuk semakin mengispirasi. Budak menjadi raja, yang lemah menjadi kuat itu semua dari cinta.

Sehingga pesan moralnya adalah, menikahlah. Ibarat dua kaki, baru bisa melangkah karena ada kanan dan kiri, meniti jalan menggapai sakinah mawaddah dan rahmah.

>_<

Sumber biografi Imam Ibnu Hajar: Syarah Bulugul Maram, Prof Dr. Abd Rasyid Salim


  • [accordion]
    • Donasi Kamu Untuk Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI 3906-01-010624-53-8 an. Saiful Hadi

Imam Nawawi, Tidak Menikah Namun Punya Ratusan Karya


Oleh: Saiful hadi

Imam An-Nawawi adalah seorang ulama besar dengan karya tulis yang luar biasa besar. Nama lengkap beliau Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, dan dilahirkan pada tahun 630 H / 1233 M di tanah Nawa, sebuah negeri di sebelah selatan Damaskus - Syria. Diantara karya-karyanya yang luar biasa itu, salah satunya adalah kitab Al-Majmuk, kitab ini merupakan syarahan (uraian) dari kitab Al-Muhazab yang tebalnya hanya 140 halaman, namun di tangan Sang imam, kitab yang awalnya cuma 140 hal berubah menjadi sembilan jilid tebal, dan itu pun belum tuntas semua beliau selesaikan karena ajal mendatanginya.

Kitab Al-Majmuk ini memang sesuai dengan namanya, majmuk (kumpulan), karena didalamnya tidak hanya membahas masalah fiqih dari sudut pandang mazhab syafie saja, tapi juga beliau komparasikan dengan mazhab-mazhab yang lain. Selain itu, beliau juga menguraikan dalil2 berupa ayat quran dan hadist dari setiap masalah, uraian terhadap dalil mulai dari mufradatnya, tafsirnya, riwayat2 yang berkenaan dll. Sehingga bisa dikatakan kitab tsb telah menjadi sebagai sebuah ensiklopedia mengenai fiqih islam.

Biarpun sudah berlalu 700 tahun  sejak beliau meninggal dunia, karya beliau masih tetap relevan dengan situasi hari ini, dan setiap ahli hukum fiqih islam mestilah membaca kitab tersebut. Selain itu, Imam Nawawi juga menulis berbagai macam karya di bidang ilmu hadits, tasawuf, dan tafsir, yang banyak dipelajari pada dayah atau pesantren di Indonesia. Jika dibuat sebuah perbandingan antara usia beliau dengan karya tulisnya, seolah-olah beliau telah menulis sejak umur 10 tahun karena saking banyaknya.

Sang Imam wafat di Nawa pada hari Selasa malam Rabu tanggal 24 Rajab 676 H / 21 Desember 1277 M dalam usia 46 tahun. Sepanjang hayat beliau, tidak ada satupun wanita yang ia nikahi, sebab, segenap cinta beliau telah tercurah kepada ilmu pengetahuan.

Pesan moralnya, jadilah jomblo berkualitas sebagaimana yang dicontohkan oleh Imam An-Nawawi. Tidak perlu galau jika belum berpasangan, imam Nawawi lebih galau jika ilmu agama hilang, karenanya beliau curahkan segenap kemampuan dalam belajar dan mengarang dengan penuh keiklasan sehingga karyanya menjadi penerang bagi setiap generasi di masa depan. Allahumma.

  • [accordion]
    • Donasi Kamu Untuk Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BRI 3906-01-010624-53-8 an. Saiful Hadi

Tahun Baru dan Semangat Untuk Bersatu

Tahun baru hijrah

Oleh: Saiful Hadi

Shalat Jamaah bukan sekedar merapatkan shaf, namun nilai-nilainya juga harus diterjemahkan dalam kehidupan. Belakangan ini kita hanya fokus untuk hal-hal dhahir saja, sehingga terkadang melupakan nilai yang ada dibaliknya.Kita sibuk saling merapatkan kaki, namun terlupa untuk merapatkan hati.

Shalat berjamaah itu mengajarkan keteraturan, tapi parkir saja masih berhamburan. Bukan hanya itu, urusan alas kaki saja masih belum mampu kita benahi, hampir selalu pemandangan alas kaki yang berantakan didapati di mesjid-mesjid atau mushalla.

Hari berubah jadi minggu, dan berganti jadi bulan dan seterusnya tahun pun juga berganti, namun sudahkah kita menjadi lebih baik, Atau malah menjadi lebih buruk dibandingkan tahun sebelumnya. Rasulullah dalam sebuah hadist bersabda:

من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون. رواه الحاكم   
“Barang siapa hari ini LEBIH BAIK dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang BERUNTUNG, Barang siapa yang hari ini SAMA DENGAN hari kemarin dialah tergolong orang yang MERUGIdan Barang siapa yang hari ini LEBIH BURUK dari hari kemarin dialah tergolong orang yang CELAKA” (HR. Hakim)

Secara tegas Rasulullah menyatakan, apabila hari ini lebih buruk dibandingkan yang kemarin maka tergolong orang yang celaka. Dan betapa celakanya kita, sehari semalam mengerjakan shalat lima waktu namun belum menjadikan kita sebagai pribadi yang lebih baik. Sebab, shalat itu merupakan benteng diri terhadap hal keji dan munkar.

Memasuki tahun yang baru, mari berbenah diri, tidak cukup hanya sekedar rapat kaki, tapi harus saling merapatkan hati. Berjamaah akan menjadikan kita kuat, tidak mudah disusupi apalagi digoyah. Kesendirian membuat kita rapuh sehingga mudah untuk diruntuh. Kita jatuh bukan karena musuh, tapi karena persatuan yang sudah mulai layuh. Berharap untuk berjaya maka mulai sekaranglah saatnya saling bekerjasama.

Peranan Dayah Dalam Melahirkan Generasi Pejuang

Dayah Generasi Pejuang

Oleh: Saiful Hadi

Jauh sebelum kemerdekaan diperoleh, sejarah mencatat ada berbagai perlawanan heroik dalam melawan tirani kaum kolonialis. Sebut saja seperti Teungku Fakinah, beliau termasuk salah satu sosok perempuan yang juga mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah. Ketika meletus perang, jiwa dan raganya tak gentar menghadapi rongrongan penjajah bahkan maju ke garda depan dalam menghadapi mereka semua.

Sebelum pecah perang dengan Belanda, beliau telah membangun Dayah (pesantren) di Aceh sebagai pusat pendidikan Islam. Gelar "Teungku" yang melekat pada namanya karena beliau adalah seorang ulama. Pesantren yang beliau bangun dikenal dengan nama Dayah Lam Diran yang merujuk kepada nama lokasi di Desa Lam Diran.

Sejak kecil Teungku Fakinah belajar dari Ayah dan Ibunya sendiri. Khusus dari ayah, beliau belajar bahasa Arab, fiqih, tasawuf, sejarah dan tafsir serta hadist nabi. Selain pendidikan agama beliau juga ikut pendidikan militer menjelang pecahnya perang Aceh.

Yang namanya cinta lokasi bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pada seorang Teungku Fakinah. Beliau menikah dengan seorang perwira muda yang juga ulama, namanya Teungku Ahmad. Awal mula mereka berkenalan ketika sama-sama menempuh pendidikan militer hingga pada akhirnya berlanjut ke pelaminan. Setelah menikah, sepasang pengantin baru ini mengabdikan diri sebagai pengajar di pusat pendidikan islam Dayah Lam Pucok yang dibangun oleh ayah Teungku Fakinah.

Pada tahun 1873, saat Belanda memulai agresinya di Aceh. Suami beliau syahid ketika melakukan perlawanan dengan belanda di Pantai cermin. Setelah suami beliau syahid, Teungku Fakinah mengadakan kampanye perang ditengah kaum wanita. Atas izin dari sultan Alaidin muhammad Daud syah, beliau membentuk sebuah pasukan tingkat resimen yang terdiri dari empat batalion.
Bermula dari sini perjuangan beliau dimulai. Bersama para santri, berjuang tak kenal lelah melawan para penjajah. Setelah berbakti kepada agama, bangsa dan tanah air , pada tanggal 3 oktober 1933 M, Ulama sekaligus pahlawan besar tersebut berpulang kerahmatullah dalam usia 76 tahun.

Sementara di tanah jawa kita mengenal sosok KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyari, rekan seperguruan ini yang masing-masing berkendarakan Muhammadiah dan Nahdhatul Ulama, keduanya berjuang demi tergapainya kemerdekaan. Sejarah mencatat bagaimana peranannya ketika mengusir penjajah Belanda dan Jepang, pernah muncul fatwa dari KH. Hasyim mengenai haramnya memakai dasi bagi umat islam karena dianggap menyamai penjajah kuffar. Fatwa ini tak lain adalah untuk membangun pola pikir bagi masyarakat tentang betapa pentingnya untuk bersikap anti terhadap penjajah.

Selain tiga tokoh yang tersebut di atas, tentu saja masih ada segudang pejuang lainnya yang tidak mungkin disebutkan semua kontribusinya dalam tulisan singkat ini. Yang menarik dari ketiganya adalah, mereka sama-sama berasal dari lembaga pendidikan islam yang berupa Dayah atau Pesantren. Hal ini menggambarkan betapa besarnya peranan pendidikan dari Dayah atau pesantren sehingga lahirlah kader-kader unggulan yang berani melawan penindasan.

Kita semua tahu, Dayah atau pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia, di bawah bimbingan para ulama, generasi berkualitas digembleng sedemikian rupa supaya siap menghadapi tantangan dunia.

Rujukan:
Rethinking Pesantren, Prof. Nasiruddin Umar

Faraidh, Ilmu yang Mulai Terlupakan


Oleh: Saiful Hadi

Ilmu faraidh merupakan ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam Islam. Melalui ilmu ini, harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia dapat dibagikan secara adil kepada orang yang berhak menerimanya. Dengan adanya ilmu ini sekaligus dapat mencegah timbulnya perselisihan karena perebutan harta warisan.

Dewasa ini, dimana pengetahuan dan teknologi semakin berkembang pesat. Namun dalam hal pembagian harta warisan malah kembali ke zaman jahiliyah dikarenakan awamnya pemahaman terhadap ilmu mawaris. Permasalahan yang muncul sekarang adalah selain tidak paham ilmunya juga sangat jarang dikaji secara mendalam.

Faktor media terutama televisi juga banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam hal warisan. Tidak jarang kita saksikan, orang yang seharusnya tidak mendapat bagian warisan tapi dengan bermodalkan surat tertentu tiba-tiba sudah mendapatkan bagian. tontonan yang harusnya hanya berupa tontonan namun mirisnya sudah diajadikan tuntunan, walhasil pembagian harta warisan dilakukan menurut adat istiadat yang berlaku bukan melalui ketentuan syariat.

Faraidh, Ilmu yang Begitu Penting

Ilmu mawaris menjadi penting untuk dipelajari, salah satu alasannya adalah karena terdapat perintah khusus dari Rasulullah agar dipelajari dengan seksama. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Dalam hadist di atas terdapat perintah yang tegas dari Rasulullah agar belajar serta mengajarkan ilmu faraidh. Secara kaidah usul fiqih, setiap kalimat "amar" atau perintah selama tidak ada indikasi yang memberi pemahaman ke arah sunah atau mubah maka hukumnya adalah wajib. Sehingga mempelajari ilmu faraidh adalah sebuah kewajiban, setidaknya wajib secara kifayah.

Sementara seperti ibadah shalat, puasa, zakat maupun haji, tidak terdapat nash khusus yang menganjurkan untuk mendalami ilmu mengenai tata caranya, yang ada hanya perintah mengenai kewajiban ibadahnya saja. Hal inilah yang membuat ilmu faraidh menjadi istimewa.

Faraidh, Ilmu yang Mudah Terlupa

Selain itu, ilmu ini menjadi begitu penting karena begitu mudah dilupakan, dan termasuk ilmu yang pertama kali akan dicabut oleh Allah Ta'ala. Dalam hadist yang lain, Rasulullah menyatakan:
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Hadits ini juga menjadi landasan bagi kita yang menganjurkan untuk menghidupkan kajian-kajian yang secara khusus membahas dan mengajarkan ilmu faraidh. Dan lagi, ilmu waris merupakan setengah dari semua cabang ilmu, sehingga amat berhak untuk dipelajari secara mendalam. Namun yang terjadi selama ini, pelajar lebih memilih mendalami ilmu matematika karena khawatir tidak lulus ujian akhir, padahal ilmu faraidh harus lebih diprioritaskan, dan sebenarnya dengan mempelajari matematika akan lebih mudah dalam memahami faraidh.

Kemudian, berdasarkan hadist tersebut, memberi gambaran kepada kita bahwa belajar agama itu bukan hanya masalah wudhu dan shalat saja. Sebab islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk masalah pembagian harta warisan ini.

Selain alasan-alasan yang tersebut di atas, mempelajari ilmu faraidh merupakan langkah nyata dalam upaya penegakan syariat. Selama ini kita beranggapan bahwa syariat islam itu hanya masalah potong tangan dan rajam, padahal masalah warisan juga tidak kalah penting. Bisa dibayangkan ketika pembagian harta warisan tidak adil, besar kemungkinan bakal terjadi tindakan kriminal, baik itu pencurian, atau bahkan sampai ke tahap pembunuhan karena berebut harta warisan.

Tidak Mampu Bayar Kontan, Mahar Bisa Cicilan

Tidak Mampu Bayar Kontan, Mahar Bisa Cicilan

Oleh: Saiful Hadi

Para ulama fiqih telah panjang lebar menguraikan perihal mahar dalam kitab-kitab mereka. Mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istri tatkala ia menikahinya. Pemberian mahar ini bisa dilakukan secara tunai dan disebutkan saat akad nikah berlangsung, namun dapat juga dibayar sebagian dulu atau dengan kata lain secara cicilan. 

Nikah dengan mahar yang statusnya masih nyicil tetap sah dan tidak menjadi aib bagi para suami. Menurut para ulama fiqih, selama mahar tersebut belum dilunasi, maka makhruh bagi suami untuk menjimak istrinya, hal ini sebagaimana uraian dalam kitab Mughnil Muhtaj berikut:

.ويسن أن لا يدخل بها حتى يدفع اليها شيأ من الصداق خروجا من خلاف من أوجبه. مغني المحتاج (220 / 3)

Disunnahkan agar suami tidak menjimak dengan istri sehingga memberikan sebagian mahar, disunnahkan tersebut karena keluar dari yang mewajibkan menyebut mahar saat aqad. (Mughnil Muhtaj, Hal. 220 Juz 3)

Senada dengan Mughnil Muhtaj, dalam I'anatut Thalibin juga menyatakan demikian :

ويسن أيضا أن لا يدخل بها حتى يدفع شيئا من الصداق خروجا من خلاف من أوجبه إعانة الطالبين  (347 / 3)

Disunnahkan juga agar suami tidak menjimak istri sehingga memberi sebagian mahar, disunnahkan tersebut karena keluar dari pendapat yang mewajibkan menyebutkan mahar disaat aqad (I'anatut Thalibin, hal. 347 juz 3)

Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa tidak ada masalah biarpun mahar belum lunas, beranjak dari keterangan ini sebenarnya menjadi solusi bagi calon suami yang belum mampu membayar secara kontan kewajiban mahar yang telah ditetapkan oleh calon istri, sehingga dengan demikian perihal mahar tidak menjadi ganjalan dalam melanjutkan prosesi pernikahan, jika tidak mampu dibayar kontan maka boleh secara cicilan. Bukankah mempermudah nikah itu lebih baik guna menghindari terjadi hal-hal yang melanggar ketentuan syariat.

Short link > http://bit.ly/maharcicilan

Kenajisan Anjing dalam Pandangan Ulama Fiqih

Kenajisan Anjing dalam Pandangan Ulama Fiqih

Oleh: Ustaz Ahmad Sarwat, Lc., MA

Para ulama sepakat bahwa air liur anjing itu hukumnya najis. Namun mereka agak berbeda ketika menyebutkan apakah kalau air liuarnya najis, lantas tubuhnya juga najis.

A. Yang Disepakati Dalam Najisnya Anjing : Air Liur

Para ulama tidak berbeda pendapat ketika menyebutkan najisnya air liur anjing. Sebab ada banyak hadits shahih terkait kenajisan air liur anjing. Oleh karena itu bila sebatas air liuarnya, umumnya para ulama menyepakati kenajisannya.

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ ‏ ‏‏أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فيِ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا‏-‏متفق عليه ‏‏ ‏

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW bersabda"Bila anjing minum dari wadah air milikmu harus dicuci tujuh kali.(HR. Bukhari dan Muslim).

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُم إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Rasulullah SAW bersabda"Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. (HR. Muslim dan Ahmad)

أَنَّهُ  دُعِيَ إلَى دَارِ قَوْمٍ فَأَجَابَ ثُمَّ دُعِيَ إلَى دَارٍ أُخْرَى فَلَمْ يُجِبْ فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ: إنَّ فِي دَارِ فُلانٍ كَلْبًا، قِيلَ لَهُ: وَإِنَّ فِي دَارِ فُلانٍ هِرَّةً فَقَالَ: إنَّ الْهِرَّةَ لَيْسَتْ بِنَجِسَةٍ

Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua beliau bersabda"Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis". (HR. Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny).

B. Yang Tidak Sepakat : Apakah Tubuh Anjing Ikut Najis Juga?

Namun ketika berbicara masalah hukum kenajisan badannya, mereka terpecah setidaknya menjadi dua pendapat yang berbeda. Sebagian mengatakan bahwa tubuh anjing bukan termasuk najis, sementara sebagian yang lain menetapkan kenajisannya.

Penulis mencoba melakukan penelitian dan validasi lewat beberapa kitab para ulama yang mewakili empat mazhab. Kurang lebih hasilnya sebagai berikut :

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Para ulama mazhab Al-Hanafiyah umumnya berpendapat bahwa tubuh anjing yang masih hidup itu bukan merupakan najis 'ain. Yang najis dari anjing hanyalah air liur mulut dan kotorannya saja.

Al-Kasani (w. 587 H), salah satu dari ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya, Badai' Ash-Shanai' sebagai berikut :
وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْعَيْنِ فَقَدْ جَعَلَهُ مِثْلَ سَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ سِوَى الْخِنْزِيرِ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ لِمَا نَذْكُرُ

Dan yang mengatakan bahwa (anjing) itu tidak termasuk najis ain, maka mereka menjadikannya seperti semua hewan lainnya kecual babi. Dan inilah yang shahih dari pendapat kami.[1]

Ibnu Abdin (w. 1252 H) juga dari mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya, Radd Al-Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar, atau yang juga lebih dikenal dengan nama Hasyiyatu Ibnu Abdin, menuliskan sebagai berikut :
لَيْسَ الْكَلْبُ بِنَجِسِ الْعَيْنِ) بَلْ نَجَاسَتُهُ بِنَجَاسَةِ لَحْمِهِ وَدَمِهِ، وَلَا يَظْهَرُ حُكْمُهَا وَهُوَ حَيٌّ مَا دَامَتْ فِي مَعْدِنِهَا كَنَجَاسَةِ بَاطِنِ الْمُصَلِّي فَهُوَ كَغَيْرِهِ مِنْ الْحَيَوَانَاتِ (قَوْلُهُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى) وَهُوَ الصَّحِيحُ وَالْأَقْرَبُ إلَى الصَّوَابِ

Anjing bukan termasuk najis 'ain, kenajisannya karena daging dan darahnya yang belum menjadi najis ketika masih hidup selama ada dalam tubuhnya. Kenajisannya sebagaimana najis yang ada dalam perut orang yang shalat. Hukum anjing sebagai hukum hewan lainnya. [Dan itulah fatwanya], itulah yang shahih dan lebih dekat pada kebenaran.[2]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Al-Mazhab Al-Malikiyah juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, maka wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.

Ibnu Abdil Barr An-Namiri (w. 463 H) salah satu ulama dari mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, sebagai berikut :
ومذهب مالك في الكلب أنه طاهر

Dan pendapat mazhab Malik tentang anjing adalah bahwa anjing itu suci. [4]

Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741 H) di dalam kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah juga menuliskan hal yang sejalan bahwa semua hewan yang masih hidup termasuk anjing hukumnya suci. [5]
وَأما الْحَيَوَان فَإِن كَانَ حَيا فَهُوَ طَاهِر مُطلقًا

Sedangkan semua hewan yang hidup maka hukumnya suci secara mutlak.

3. Mazhab Asy-Syafi'iyah

Para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat.

Al-Mawardi (w. 450 H) yang bisa jadi representasi dari mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi'i sebagai berikut :

أَنَّ الْحَيَوَانَ كُلَّهُ طَاهِرٌ إِلَّا خَمْسَةً: وَهِيَ الْكَلْبُ، وَالْخِنْزِيرُ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَخِنْزِيرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ كَلْبٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ خِنْزِيرٍ وَحَيَوَانٍ طَاهِرٍ

Semua hewan itu hukumnya suci kecuali lima jenis, yaitu anjing, babi, anak perkawinan anjing dan babi, anak perkawinan anjing dengan hewan suci, anak perkawinan babi dengan hewan suci. [6]

Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) yang juga merupakan icon mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya, Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin juga menetapkan kenajisan anjing.
وَأَمَّا الْحَيَوَانَاتُ، فَطَاهِرَةٌ، إِلَّا الْكَلْبَ، وَالْخِنْزِيرَ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا

Adapun hewan-hewan semuanya suci kecuali anjing, babi dan yang lahir dari salah satunya.[7]

Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya.

Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu pun secara logika juga najis, baik air kencing, kotoran atau keringatnya.

4. Mazhab Al-Hanabilah 

Dalam masalah kenajisan tubuh hewan, umumnya para ulama di dalam mazhab Al-Hanabilah punya pendapat yang sejalan dengan pendapat para ulama mazhab Asy-Syafi'iyah,yaitu bahwa tubuh anjing yang masih hidup itu najis.

Ibnu Qudamah (w. 620H) dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam salah satu kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Al-Imam Ahmad menuliskan hewan itu ada tiga macam. Pertama adalah hewan suci, kedua hewan najis dan ketiga hewan yang para ulama berikhtilaf atas kenajisannya. Pada saat menyebutkan hewan yang najis, beliau memulainya dengan anjing.

القسم الثاني: نجس وهو: الكلب والخنزير وما تولد منهما فسؤره نجس وجميع أجزائه

Jenis kedua adalah hewan najis, yaitu anjing, babi dan yang lahir dari hasil perkawinannya. Semua bagian tubuhnya najis. [8]

Syamsuddin Abul Farraj Ibnu Qudamah (w. 682 H) menuliskan dalam kitab Asy-Syarhul Kabir 'ala Matnil Muqni' sebagai berikut :

لا يختلف المذهب في نجاسة الكلب والخنزير وما تولد منهما أنه نجس عينه وسؤره وعرقه وكل ما خرج منه

Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab (Hanbali) atas najisnya anjing dan babi serta hewan yang lahir dari keduanya. Bahwa semuanya najis ain, termasuk liur, keringat dan apa-apa yang keluar dari tubuhnya. [9]

Demikian sedikit hasil penelitian di dalam kitab fiqih para ulama terkait dengan perbedaan pendapat kenajisan anjing. 

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


[1] Al-Kasani, Badai' Ash-Shanai', jilid 1 hal. 63
[2] Ibnu Abdin, Radd Al-Muhtar 'ala Ad-Dur Al-Mukhtar , jilid 1 hal 209
[3] Ibnu Abdil Barr An-Namiri, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 1 hal. 161
[5] Ibnu Juzai Al-Kalbi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, jilid 1 hal. 27
[6] Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi'i, jilid 1 hal. 56
[7] Al-Imam An-Nawawi, Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin jilid 1 hal. 13
[8] Ibnu Qudamah, Al-Kafi fi Fiqhi Al-Imam Ahmad, jilid 1 hal. 40
[9] Syamsuddin Abul Farraj Ibnu Qudamah, Asy-Syarhul Kabir 'ala Matnil Muqni', jilid 1 hal. 284

Artikel ini disadur dari Rumahfiqih.com dengan judul: Mohon Rincian Khilafiyah Najisnya Anjing

Kisah Hikmah, Buah dari Taqwa

Buah dari Taqwa

oleh: Saiful hadi

Tersebut dalam kitab Taisirul Khallaq fil Ilmi Akhlaq buah dari Taqwa ketika di Dunia adalah terangkat derajat, memperoleh nama yang harum dan kasih sayang  dari manusia, serta disenangi oleh orang-orang kecil dan disegani orang besar. Ada sebuah kejadian menarik yang terjadi pada Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah (w.1334 H/1916 M) yang patut kita teladani, beliau adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[1]

Masa mudanya beliau gunakan untuk belajar ilmu agama ke berbagai tempat termasuk di Mekah. Ketika beliau berada di Mekah, salah satu kebiasaannya adalah mengunjungi toko Kitab milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram guna membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya beliau mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.

Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikh Ahmad Khatib muda berlanjut hingga menjadikannya sebagai menantu. Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putri pertamanya yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Awalnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sempat ragu menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang mengenai keadaannya, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.

Tentang pengambilan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’

Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).

Ternyata pernikahan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.

Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk kedua kalinya kembali menikahkan Syaikh Ahmad Khatib dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik.

Maha benar Allah Ta'ala dengan segala firmannya, dan itulah salah satu contoh nyata dari sikap taqwa.  Semoga kita pun bisa mengikuti jejak-jejak beliau.

"...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar." (QS. At Thalaq: 2)
"...Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. At Thalaq:3)
"...dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya." (QS. At Thalaq: 4)

catatan kaki

Guru itu Lentera Kehidupan

Guru itu Lentera Kehidupan

Guru merupakan propesi yang mulia. Seorang guru ibarat lentera yang menerangi gulita. Perilaku terbaik dari serorang guru ialah sebagaimana dikatakan:
"Siapa yang mempelajari suatu ilmu, kemudian mengamalkannya dan setelah itu mengajarkannya kepada orang lain, maka ia termasuk kelompok yang disebut sebagai pembesar di kerajaan Langit".

Dalam kitab Ihya, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa tidak sepetutnya seorang guru berlaku seperti sebatang jarum yang mengaitkan benang dengan kain, sementara ia sendiri berlepas dari keduanya, atau laksana sebatang lilin yang menerangi lingkungan di sekitarnya namun malah membakar dirinya sendiri.

Menekuni propesi sebagai seorang guru merupakan hal yang sangat mulia. Oleh karena itu ia harus senantiasa menjaga adab dan tugas yang menyertainya. Meskipun seorang guru berjasa atas ilmu yang didapat oleh para muridnya, namun murid-muridnya juga berjasa atas dirinya. Karena ada muridlah yang menjadi sebab ia bisa dekat kepada Allah ta'ala, dengan cara menamkan iman dan taqwa dalam hati sang murid.

Guru adalah penuntun murid untuk menyempurnakan ilmu dan makrifat. Syarat  menjadi guru memiliki sikap terpuji sebab ruh murid masih lemah dibandingkan gurunya, apabila guru bersifat sempurna, murid akan menyesuaikan diri dengan gurunya.

Maka seorang guru mestinya bertaqwa, tawadhu (merendahkan hati), berlaku lemah lembut, agar murid simpatik padanya, maka akan bermanfaat untuk murid tersebut. Seorang guru juga harus bijaksana, sopan santun supaya murid mengikutinya, disamping itu harus ada rasa kasih sayang pada murid agar menyukai apa yang diajarkan, dan gurupun selalu menasehati dan mendidik kesopanan serta memperbaiki adab muridnya dan tidak membebankan mereka dengan suatu pemahaman yang  tidak mampu mereka pikirkan.

Untuk itu sampaikanlah ilmu sesuai dengan kapasitas telinga pendengar. Anak usia play grup tentu saja akan sulit memahami persamaan aljabar, yang lebih cocok untuknya adalah pengenalan angka-angka. Sebagaimana sebuah pepatah "tempatkan sesuatu menurut tempatnya masing-masing", sehingga dengan demikian akan lebih terarah dan tercapai target.

Rujukan:
- Ihya Ulumuddin bab Ilmu dan Belajar,
- Taisirul Khallaq Bab Adab Guru.

Setia Pada Satu Cinta

Setia Pada Satu Cinta

Oleh: Saiful Hadi

Rumput tetangga terkadang sering nampak lebih hijau, hal itu wajar saja karena dilihat dari jarak yang jauh sehingga bias cahaya membuatnya lebih mempesona. Dan ketika coba didekati bisa jadi lebih jelek dari yang diduga sebelumnya. Pandangan mata terkadang bisa menipu, terik panas matahari disangka air, padahal hanya badan jalan yang silau karena uap panas.

Pada dasarnya, lumrah saja seorang lelaki bisa tertarik hatinya dengan banyak wanita. Karena ia lebih banyak diluar sehingga banyak hal yang terlihat oleh matanya.

Saat tertarik hati dengan banyak wanita, bukan berarti hal ini tercela. malahan syariat memberikan solusi yang membolehkannya untuk menikah dengan beberapa wanita, asalkan bisa berlaku adil, maka silakan menikah dengan wanita-wanita yang disukainya namun tidak lebih dari empat orang.

Menikah dengan beberapa wanita bisa saja tidak seasyik yang dibanyangkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, terutama dalam hal memenuhi pemberian nafkah. Selain itu, sebagaimana lelaki punya rasa cemburu, wanita pun juga mempunyai hal yang sama, bahkan dalam bidang ini kaum wanita adalah juaranya.

Karenanya lelaki dituntut untuk lebih giat dalam menjaga mata. Dengan menjaga mata akan lebih terpelihara hati dari getar-getar cinta yang sepantasnya tidak perlu ada. Untuk itulah Rasulullah berpesan "Bila seseorang di antara kamu melihat seorang wanita yang menarik, hendaklah ia datangi istrinya, karena pada diri istrinya ada hal yang sama dengan yang ada pada wanita itu.” (HR Tirmidzi)

Inilah hikmah pernikahan, membuat pandangan mudah untuk ditundukkan, serta terhindar dari hal yang sia-sia. Disaat hati diusik oleh cinta di luar pagar, maka istri menjadi penawar. Yang diluar sana hanya harapan kosong dan khayal belaka, sementara yang di rumah adalah sosok nyata yang dengannya bebas melakukan apa saja.

Beranjak dari apa yang Nabi sabdakan, setia dengan satu wanita bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Karena dasar teorinya adalah "apa yang ada pada wanita lain juga ada pada sang istri". Sehingga, apa saja yang engkau bayangkan dengan wanita lain bisa dilakukan bersama istri sendiri. Selain itu, sebagai lelaki perlu untuk mengenang betapa banyak jasa seorang istri, mulai dari mengandung, melahirkan serta mengasuh anak-anaknya, yang tentu saja tidak ternilai harganya. Oleh karena itu semua, ia sungguh sangat layak untuk didampingi dengan setia.

Kisah Hikmah: Batal Bercerai Karena Surat At-Tin

Batal Bercerai Karena Surat At-Tin

Ketika Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur naik tahta sebagai khalifah kedua bani Abbasyiah, tercatat sebuah kisah heboh perihal kasus perceraian. Bersebab gombal yang kelewatan, nyaris saja seorang suami kehilangan istri yang begitu dicintainya lantaran tertalaq tiga.

Kisah tersebut didokumentasikan dengan baik oleh imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, dan dikutip ulang oleh Syaikh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir juz 15 ketika menguraikan surat At-Tin.

Kejadian nyaris cerai itu terjadi pada seorang laki-laki yang bernama Isa bin Musa Al-Hasyimi. Pada suatu pagi ia bergegas menemui khalifah Al Manshur. Semalaman dia tidak bisa tidur akibat candaan konyol yang ia lontarkan kepada istrinya yang belum lama ia nikahi.

Awal mula cerita, semalam saat ia bercengkerama dengan istrinya sambil menikmati suasana malam bulan purnama. Meski purnama tidak terlihat karena langit mendung, namun sepasang suami istri yang tengah dalam suasana bulan madu, tetap membuat indah suasana obrolan mereka.

Sambil menatap langit, sambil bercanda Isa berkata kepada istrinya : " Sayangku...andai bulan purnama malam ini lebih cantik dari dirimu, maka aku ceraikan kamu talaq 3 sekaligus".

Selang beberapa saat kemudian, dengan izin Allah, bulan yang tadinya tertutup oleh awan mendung, perlahan mulai menampakkan parasnya yang begitu cantik. Maka canda tawa dan kebahagian yang di rasakan keduanya malam itu mendadak sirna seketika. Isa pun kaget luar biasa, demikian pula sang istri serasa langit runtuh menimpa dirinya. Maka malam itupun keduanya serasa kembali menjadi orang asing satu sama lain. Keindahan pernikahan yang baru di rasakan, serasa di rampas oleh keindahan rembulan lantaran ia merasa talaq telah terjatuhkan.

Maka pagi itu, bergegas ia menuju istana khalifah Al Manshur, Isa pun segera menceritakan peristiwa yang ia lalui semalam. Dia berharap ada solusi dari sang khalifah perihal musibah yang baru menimpanya. Apakah kata cerai yang semalam ia sampaikan kepada istrinya dengan maksud bercanda di hukumi sah ataukah tidak ? Jika sah apakah  dianggap jatuh thalaq satu atau thalaq tiga yang berarti dia tidak bisa rujuk lagi.

Untuk mendapatkan jawaban dari persoalan Isa bin Musa Al Hasyimi, khalifahpun mengumpulkan para ulama' untuk mendiskusikannya. Setelah para ulama' berkumpul, tanpa butuh waktu lama, satu persatu dari mereka menyampaikan pendapatnya. Kesimpulan dari semua ulama menyatakan bahwa thalaq yang di ucapkan Isa dianggap sah.

Namun ada satu ulama' yang belum mengemukakan pendapatnya. Khalifahpun meminta ulama' yang satu itu untuk mengemukakan pendapatnya. Begitu di minta mengemukakan pendapatnya, sang ulama' membaca surat At Tiin, dan ketika sampai pada ayat :

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)

”Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin. 95: 4)

Sang Ulama pun berkata : " Allah SWT menyampaikan kepada kita, bahwa Dia menciptakan manusia dalam bentuk atau rupa yang paling baik. Tidak ada sesuatu yang di ciptaan Allah SWT yang lebih indah  dari manusia. Maka Indahnya purnama tetap tidak seindah rupa manusia.

Demikian pula, sang khalifah pun sepakat dengan jawaban syeikh yang satu itu. Lalu ia pun berkata kepada Isa bin Musa : " Keputusanku seperti apa yang di kemukakan syeikh tadi, engkau masih tetap menjadi suami bagi istrimu, pulanglah.. ".

Kemudian khalifah mengirim seorang utusan kepada istri Isa bin Musa Al Hasyimi, menyampaikan bahwa ia masih tetap menjadi istri yang sah bagi suaminya.

Berkaca dari kisah ini, sudah sepatutnya terutama bagi para suami untuk tidak bercanda dalam hal talaq/cerai. Sebab, akan sangat fatal akibatnya jika talaq telah terlajur dilakukan. Apalagi jika talaq yang dijatuhkan berupa talaq tiga, maka sang suami tidak bisa rujuk kepada istrinya sebelum ia menikah dulu dengan lelaki yang lain, setelah diceraikan dan lalu iddah barulah boleh untuk menikah kembali dengan sang istri yang telah di talaq tiga.