Mengenal Ilmu Warisan


Ilmu Faraid adalah ilmu tentang pembagian harta warisan kepada setiap ahli waris yang berhak dengan kaidah-kaidah tertentu. Pengertian faraidh secara bahasa adalah ketentuan, sedangkan menurut istilah syara’ adalah bahagian yang ditentukan oleh syara’ kepada ahli waris.

Kenapa Ilmu ini penting? dari sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni, Rasulullah bersabda:
"Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada yang lain, karena masalah itu adalah separuh ilmu, dan mudah dilupakan, serta ilmu yang pertama yang akan dicabut dari umat ku" [HR. Ibnu Majah dan Daruquthni]

Sumber Hukum
Ayat-ayat mawaris utama hanya ada tiga ayat di dalam Al-Qur’an, yang ketiganya berada dalam Surat An-Nisa’, yaitu ayat 11, 12, dan 176. Terjemahan ketiga ayat ini adalah sebagai berikut:

1. Q.S. An-Nisa’ ayat 11:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian anak perempuan:
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
Asabah (sisa) jika bersama dengan anak laki-laki
Bagian anak laki-laki:
Asabah (sisa)

Bagian ibu:
1/6 jika si mayit mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih
1/3 jika si mayit tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih
1/3 dari sisa (dalam masalah gharrawain yang ahli warisnya terdiri dari suami atau isteri, ibu, dan bapak)

Bagian bapak:
1/6 jika si mayit mempunyai anak laki-laki
Asabah (sisa) jika si mayit tidak mempunyai anak laki-laki

2. Q.S. An-Nisa’ ayat 12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian suami:
1/2 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/4 jika si mayit mempunyai anak

Bagian isteri:
1/4 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/8 jika si mayit mempunyai anak

Bagian saudara laki-laki/perempuan seibu (kasus kalalah):
1/6 jika seorang
1/3 dibagi rata jika dua orang atau lebih
(Catatan: kalalah adalah seseorang yang wafat tanpa meninggalkan bapak dan anak)

3. Q.S. An-Nisa’ ayat 176:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari gabungan) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian saudara perempuan kandung atau sebapak (kasus kalalah):
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
Asabah (sisa) jika bersama saudara laki-laki kandung atau sebapak

Bagian saudara laki-laki kandung atau sebapak (kasus kalalah):
Asabah (sisa)

Siapa yang Paling Berhak Menjadi Imam?


Siapa yang lebih berhak menjadi imam, Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut ini :

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِنًّا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُل الرَّجُل فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah orang yang lebih aqra' pada kitabullah. Bila peringkat mereka sama dalam masalah qiraat, maka yang lebih paham dengan sunnah. Bila mereka sama, maka yang lebih dahulu berangkat hijrah. Bila peringkat mereka sama, maka yang lebih banyak usianya. Namun janganlah seorang menjadi imam buat orang lain di wilayah kekuasaan orang lain itu, jangan duduk di rumahnya kecuali dengan izinnya. (HR. Muslim)

Menyikapi Dalil yang Bertentangan


Tidak bisa dipungkiri dalam melakukan kajian terhadap Al-Quran dan Hadist bakal didapati beberapa dalil yang secara zhahir bisa dikatakan saling bertentangan, bahkan Imam Asy-syafie sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah ini.

Kalau ada beberapa hadits yang kekuatannya sama-sama shahih tetapi matannya saling bertentangan, lantas apa yang harus kita lakukan? Menjawab permasalahan ini Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaful Hadits, disitu dengan detail beliau uraikan kaidah-kaidah dalam memahami dalil-dalil yang kelihatannya saling bertentangan.

Generasi setelah Imam Syafie juga banyak yang mengikuti jejak beliau dalam hal membahas dalil-dalil yang saling kontradiksi tersebut. Salah satunya seperti Imam Haramain, beliau adalah Ulama Besar dalam mazhab Syafie sekaligus gurunya Imam Al-Ghazali.

Pembahasan mengenai Ta'arudh (kontradiksi) bisa kita jumpai dalam kitab karangan beliau yang berjudul waraqat, kitab ini membahas tentang ushul fiqih dan ukurannya pun cukup ringkas sehingga lebih mudah untuk dikaji bagi yang baru mendalami masalah ushul fiqih.

Jika bertemu dengan dalil yang saling bertentangan, lantas harus bagaimana? Imam Haramain dalam kitab Waraqat menjelaskan beberapa metode yang bisa ditempuh, antara lain:

1. Al-Jam'u (Mengkompromikan)
Adakalanya lafaz suatu hadist masih Aam (umum), sementara yang lain Khas (Khusus), ataupun lafaz hadist tersebut memang sama-sama umum. Sebagai Contoh: Dalam sebuah Hadist Rasulullah Bersabda : “Sejelek-jelek saksi adalah orang yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”, sedangkan dalam hadist lain beliau bersabda : “Sebaik-baik saksi adalah yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”.

Dari dua contoh hadist di atas, disatu kesempatan Nabi menyatakan “sejelek-jelek saksi”, dan pada hadist yang lain “sebaik-baik saksi”. Jelas sekali antara dua hadist ini terlihat saling bertentangan, namun oleh para Ulama menjelaskan kedudukan hadist pertama dibawa kepada suatu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu sudah mengetahui isi kesaksian tersebut, oleh karena demikianlah Rasulullah mengecapnya sebagai sejelek-jelek saksi. Sementara hadist kedua dibawa kepada satu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu tidak mengetahui isi kesaksian yang dimaksud. Setelah dikompromikan antara kedua dalil tersebut kontradiksi antara keduanya tidak terlihat lagi.

Bersambung...

Tujuh Huruf dan Tujuh Bacaan Al-Quran

Umar Ibnul Khathab r. a. Meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Sesungguhnya Al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah Al-Quran dengan bacaan yang mudah bagimu. (HR. Bukhari)

Tujuh huruf artinya tujuh cara baca, yaitu tuiuh bahasa dan dialek di antara bahasa-bahasa, dan dialek-dialek bangsa Arab. Al-Qur'an boleh dibaca dengan masing-masing bahasa itu. Ini tidak berarti bahwa setiap kata dan Al-Qur'an dibaca dengan tujuh cara baca, melainkan bahwa ia (Al-Quran) tidak keluar dari ketujuh cara tersebut.

Jadi, kalau tidak dengan dialek Quraisy (yang merupakan bagian terbanyak), ia dibaca dengan dialek suku lain (sebab dialek suku ini lebih fasih). Dialek-dialek itu, yang dahulu masyhur dan pengucapannya enak. Antara lain: dialek Quraisy, Hudzail, Tamim, al-Azd, Rabi'ah, Hamzin dan Sa'd bin Bakr. Inilah pendapat vang paling masyhur dan kuat.

Menurut pendapat lainnya, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah cara-cara qiraat (bacaan Al-Qur'an). Sebuah kata dalam Al-Qur'an, betapa pun bervariasi cara pengucampannya dan beraneka ragam bacaannya, perbedaan di dalamnya tidak keluar dari tujuh segi berikut :

1. Perbedaan dalam i'raab suatu kata atau dalam harakat binaa'nya, tetapi perbedaan itu tidak melenyapkan kata itu dari bentuknya (tulisannya) dalam mushaf dan tidak mengubah maknanya, atau mengubah maknanya. Contohnya: fa-talaq-qaa aadamu dibaca aadama.

2. Perbedaan dalam huruf-huruf, mungkin disertai dengan perubahan makna (seperti : ya'lamuuna dan ta'lumuunaj, atau hanya perubahan bentuk tanpa disertai perubahan makna (seperti : ash-shiruuth dan as-siraath).

3. Perbedaan wazan isim-isim datam bentuk tunggal, dua, jamak, mudzakkar, dan mu'annats. Contohnya : amaanaatihim dan amaanatihim.

4. Perbedaan dengan penggantian suatu kata dengan kata lain yang kemungkinan besar keduanya adalah sinonim, seperti : kal'Ihnil manfuusy atau kash-shuufil manfhusy. Kadang pula dengan penggantian suatu huruf dengan huruf lain, seperti : nunsyizuhaa dan nunsyiruhaa.

5. Perbedaan dengan pendahuluan dan pengakhiran, seperti : wa-yaqtuluuna wa-yuqtaluuna dibaca Ta-yuqtaluuna wa-yaqtuluuna.

6. Perbedaan dengan penambahan dan pengurangan, seperti : wa maa khalaqadzdzakara wat-untsaa dibaca wadz-dzakara wai-untsaa.

7. Perbedaan dialek dalam hal fathah dan imaalah, tarqiiq dan tafkhiim, hamz dan tashiil, peng-kasrah-an huruf-huruf mudhaara'ah, qalb (pengubahan) sebagian huruf, isybaa'miim mudzakkar, dan isymaam sebagian harakat. Contohnya : wa hal ataaka hadiitsu Muusaa dan balaa qaadiriina'alaa an nusawwiya banaanahu dibaca dengan imaalah : atee, Muusee, dan balee. Contoh lainnya : khabiiran bashiiran dibaca dengan tarqiiq pada kedua huruf ra'-nya ; ash-shalaah dan ath-thalaaq dibaca dengan talkhiim pada kedua huruf lam nya.

Disadur dari : Muqaddimah Tafsir Al-Munir

Bid'ah Menurut Imam Syafie


Manusia mempunyai potensi yang beragam baik dalam kehidupan maupun pemikiran. Biarpun secara fisik mempunyai struktur yang sama, namun dari segi kecerdasan, kecakapan, dan pemahaman ternyata manusia satu dengan yang lain tidak sama.

Fiqih secara bahasa diterjemahkan dengan pemahaman. Sehingga menjadi wajar ketika mazhab fiqih menjadi beragam, hal ini karena tempat dan inteletualitas masing-masing sangat mempengaruhi pola pikir sehingga melahirkan pemahaman yang beragam. Ketika berhadapan dengan teks nash baik al-Quran maupun Sunnah, sebagian orang ada yang memahaminya sebatas tekstual yang merujuk kepada zhahir nash. Namun ada juga yang mencoba memahami esensi yang dikandung oleh nash dengan pertimbangan akal.

Sebagai contoh dalam memahami masalah bid'ah, ada kalangan yang memahami secara zhahir teks bahwa semua bid'ah dihukumi sesat. Namun ada juga yang moderat sehingga tidak memahami demikian. Salah satunya adalah Imam Syafie, dalam memahami masalah bid'ah beliau berkata : 

اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”

Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
"Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela".

Mengacu pada teritorial yang dibuat oleh Imam Syafie, Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syariah”.

Sehingga menurut Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam bid'ah itu ada yang wajibah, muharramah, mandzubah, makruhah dan mubahah. Contohnya sebagai berikut:
Bid'ah Wajibah, seperti meletakkan ilmu bahasa Arab dan mengajarkannya.
Bid'ah Mandzubah (sunah), seperti mendirikan sekolah-sekolah.
Bid'ah Makruhah, seperti menghias-hias mesjid.
Bid'ah Muharramah (haram), seperti mengumpulkan bacaan Al-Quran yang dapat mengubah arti suatu lafaz dari letak asli kearabannya, termasuk bid'ah haram juga seperti aliran Mu'tazilah, khawarij.
Bid'ah Mubahah, seperti bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman.


Kesombongan bisa Menggelincirkan


Jauh-jauh hari sebelum Allah Ta'ala menciptakan Nabi Adam As, Allah telah duluan menciptakan Iblis dan Malaikat yang setiap saat selalu tunduk dan patuh terhadap Nya. Bahkan pada saat itu Iblis adalah guru besarnya para malaikat dan hamba yang sangat alim lagi taat.

Namun cerita menjadi lain ketika Nabi Adam telah diciptakan. Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud sebagai penghormatan terhadap Nabi Adam As, semuanya sujud mematuhi perintah Allah kecuali Iblis seorang. Pada saat itu dengan pongahnya Iblis membangkang perintah Allah, ia berdalih bahwa dirinya lebih baik dari Adam karena tercipta dari api sementara Adam dari tanah yang hina. Peristiwa ini sebagaimana yang terekam dalam Surat Al-Hijr ayat 33

Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk" (QS.Al-Hijr : 33)

Karena kesombongannya, sejak saat itu Iblis dikutuk dan diberi gelar Laknatullah karena telah berani membangkan perintah Allah.

Kisah Ibnu Malik dengan Ibnu Mu'thi *)
Dalam catatan sejarah, sikap sombong juga nyaris mengelincirkan Ibnu Malik sang Ahli Nahwu yang mengarang kitab Alfiyah yang terkenal itu.

Kitab Alfiyah merupakan sebuah kitab yang sangat populer di kalangan penuntut ilmu Bahasa Arab dalam dunia Islam, sehingga tidak heran kalau banyak bermunculan syarah dan hasyiah-nya oleh ulama-ulama besar sesudahnya. Kitab Alfiyah ini merupakan hasil karya gemilang dari Ibnu Malik dalam ilmu Nahwu. Nama lengkap beliau adalah al-Imam Abu Abdullah Muhammad Jamal al-Din bin Abdullah bin Malik  al-Tha’iy al-Syafi’i  al-Jayany. Lahir di Jayan, sebuah kota di Andulusia. Beliau wafat di Syria pada tahun 672  H dalam usia 75 (tujuh puluh lima) tahun.[1] 

Ada sebuah kisah menarik mengenai perjalanan beliau dalam mengarang kitab Alfiyah ini. Dikisahkan ketika Ibnu Malik menulis nadham (bait syair) dalam Alfiyah dan sampailah pada nadham :
فائقة ألفية ابن معطي
“(Kitab Alfiyah yang aku tulis ini) mengungguli kitab Alfiyah karya  Ibnu Mu'thi"[2]

Setelah menulis penggalan nadham tersebut beliau tak bisa lagi melanjutkan menulis nadhamnya, sehingga pada  suatu malam beliau mimpi bertemu dengan seseorang: Orang itu bertanya pada beliau:

"Aku dengar kamu mengarang kitab Alfiyah dalam ilmu nahwu"  Beliau menjawab : "Iya benar". Orang itu bertanya lagi : "Sampai pada nadham mana engkau menulisnya?"Ibnu Malik menjawab : "Sampai pada 'fa'iqatan...."  "Apa yang menyebabkanmu tidak menyempurnakannya?" tanya orang itu. Beliau menjawab : "Sudah beberapa hari aku tidak bisa melanjutkan menulis nadham". Orang itu berkata lagi : "Apa kamu ingin menyempurnakannya?" "Tentu" jawab Ibnu Malik. Orang itu berkata : "Orang yang masih hidup bisa saja mengalahkan seribu orang yang sudah mati".Terperangah dengan perkataan itu, Ibnu Malik bertanya : "Apakah anda  Ibnu Mu'thi?" "Betul" jawab orang itu. Ibnu Malik merasa malu kepada beliau.

Begitu pagi harinya, jatuhlah lembaran tersebut, maka setelah itu beliau menambahkan kalimat pujian pada Imam Ibnu Mu'thi dalam nadhamnya sebagai rasa penyesalan dan penghormatan pada beliau, nadham yang beliau tambahkan :

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
“Beliau (Ibnu Mu’thi) lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah”

وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
“Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat..”[3]

Catatan
Sekilas biografi Ibnu Mu'thi, Nama lengkap beliau adalah al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Mu’thi al-Zawawy al-Magribi. Lahir di Magribi, menetap dalam masa yang lama di negeri Syam (Syria), kemudian melakukan perjalanan ke Mesir sehingga beliau wafat pada 628 H, umur beliau ketika itu 64 (enam puluh empat) tahun dan dikebumikan dekat kubur Imam Syafi’i di Mesir.[4]
ketika kita sadar akan apa yang selalu terjadi pada tanah dimana dia selalu terinjak,dikotori atau bahkan sampai diludahi maka akan runtuhlah sifat kesombongan yang selayaknya tidak patut dimiliki oleh makhluk tanah ini. namun ironis,kita selalu lupa tentang siapa diri ini

Rujukan:
[1] Al-Khudhari, Hasyiah ‘ala Syarh Ibnu Aqil ‘ala alfiyah. Al-Haramain, Juz. I, Hal. 7
[2] Ibnu Malik , Alfiyah, Syirkah Bankul Indah, Surabaya, Hal. 2
[3] Ibnu Hamdum bin al-Haj, Hasyiah Ibnu Hamdun ‘ala Syarh Alfiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz I, Hal. 23
[4] Ibnu Hamdum bin al-Haj, Hasyiah Ibnu Hamdun ‘ala Syarh Alfiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz I, Hal. 23
*) kitabkuning[dot]blogspot[dot]com


Khutbah Jumat, Keistimewaan Bulan Rajab


الحمد لله, الحمد لله الذى خلق الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله.  اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد فياأيهاالحاضرون اتقوالله, اتقوالله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون, وقال الله تعالى إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena masih memberi kesempatan kepada kita ini memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab dan itu artinya kita telah semakin dekat dengan Ramadhan. Dan telah masyhur pula bahwa pada bulan Rajab ini terjadi peristiwa isra dan mi'raj dalam rangka menerima perintah shalat.

Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam tulisan yang singkat ini, kita akan membahasnya.

Rajab Di Antara Bulan Haram
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakrah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqa’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Kenapa disebut Bulan Haram?
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut.


Bulan haram adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latha-if Al Ma’arif, 214)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?
Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini.


Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latha-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan dengan Bulan Rajab
Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak.


Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, ”Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathaif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ’atiirah atau Rajabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ’atiirah sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
”Tidak ada lagi fara’ dan  ’atiirah.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Fara’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.


Puasa pada Bulan Rajab
Al-'Izz ibnu Abdissalam (w. 660 H) berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami, dimana beliau berfatwa sebagai berikut :

والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه
Orang yang melarang puasa Rajab itu jahil dari sumber-sumber hukum syariah. Bagaimana bisa puasa rajab diharamkan, sedangkan para ulama yang men-tadwin-kan syariah ini tidak satu pun dari mereka yang membenci puasa rajab tersebut. (Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, jilid 2 hal. 54)

بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Saiful Hadi | catatanfiqih.com

Belajar dengan Berguru



Sudah menjadi kebiasaan setiap ulama, baik generasi salaf maupun khalaf selalu menggunakan metode talaqi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Talaqqi itu sendiri yakni belajar ilmu secara langsung kepada guru yang mempunyai kompetensi ilmu, tsiqah, dhabit dan mempunyai mata rantai keilmuan yang sambung menyambung hingga sampai ke Rasulullah Shallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Belajar dengan berguru tentu akan sangat jauh berbeda dengan belajar dari buku. Sebab, ketika ada sesuatu hal yang sukar dipahami maka bisa bertanya langsung kepada sang guru dan ketika pemahamnya salah maka dengan tegas ia akan ditegur. Berbeda dengan belajar pada buku, ia tidak bisa menegur dikala salah dalam memahami, bahkan tidak bisa menghilangkan kebingungan dikala sukar dalam memahami.

Imam Syafie sendiri mengatakan: “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).

Persiapan dalam Belajar
Dalam Ta'lim Muta'alim disebutkan, setidaknya ada enam hal yang harus dilakukan dalam rangka mencari ilmu pengetahuan. Sebagaimana syair yang di gubah oleh Sayyidina Ali bin Abu Thalib sebagai berikut:

وقيل إنه لعلى بن أبى طالب كرم الله وجهه شعرا:
ألا لـن تنــال الــعـلم إلا بســتة سأنبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطباروبلغة وإرشاد أستاذ وطـول زمان

"Tak bisa kau raih ilmu, tanpa memakai 6 senjata. Kututurkan ini padamu, kan jelaslah semuanya. Cerdas, sabar dan tamak, jangan lupa mengisi saku, Sang guru mau membina, dan dalam waktu yang lama."

Syarat pertama cerdas, yaitu mau mempergunakan akal pikirannya untuk berpikir, tidak ada manusia yang terlahir langsung pintar, akan tetapi butuh usaha keras untuk menuju ke arah sana dengan cara tekun dan rajin dalam belajar.

Belajar itu adalah pekerjaan yang melelahkan, karenanya belajarlah bersabar dalam belajar. Dalam menempuhkan pendidikan, seorang pelajar harus "tamak" dengan ilmu pengetahuan, jangan mencukupkan diri dengan hanya sekedar sudah mengetahui suatu permasalahan lalu berhenti tanpa melanjutkan lagi, selesai S-1 lanjutkan lagi Program master hingga seterusnya.

Tidak ada istilahnya selesai dalam hal belajar, ini adalah pekerjaan yang tidak ada batas akhir. Selama nyawa masih dikandung badan maka selama itu pula harus belajar.


Bolehkah Mahar Hafalan Quran?

mahar hafalan quran



Oleh: Ustaz Ahmad Sarwat, Lc., MA | Rumah Fiqih Indonesia

Dewasa inj memang seringkali kita temukan, kepada calon istri diberikan mahar hafalan Quran. Memang mahar seperti ini tidak sebagaimana lazimnya yaitu emas, uang, harta atau perabotan rumah tangga lainnya.

Lalu sang pengantin pria membacakan hafalan surat yang ada di kepalanya di depan sang calon istri saat itu juga. Dan tentunya juga didengar oleh seluruh hadirin yang ada.

Kiyai yang memberikan penjelasan kepada Anda itu memang tidak salah. Sebab memang ada hadits yang menyebutkan mahar hafalan quran untuk sang istri.

Dan tidak bisa dipungkiri bahwa teks hadits itu secara ekplisit memang menyebutkan bahwa mahar hafalan quran. Sehingga wajar kalau tidak sedikit orang yang memahami bahwa boleh mahar hafalan quran. Lengkapnya hadits itu sebagai berikut :

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: ياَرَسُولَ اللهِ إِنّيِ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ. فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَارَسُولَ اللهِ زَوِّجْنِيْهَا إِنْ لَـمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَة. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ
Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhari Muslim).

Secara zahir kalau ada orang berpendapat bolehnya mahar hafalan quran, memang tidak bisa dipungkiri dan wajar.

Pendapat Ulama menganai Mahar Hafalan Quran

Namun bukan rahasia lagi bahwa dalam menarik kesimpulan hukum kita menemukan pendapat-pendapat yang berbeda, meski tetap mengacu kepada dalil yang sama.

Sebagian ulama memandang bahwa hakikat mahar itu adalah pemberian yang berupa harta, berapa pun nilainya. Sedangkan kalau hanya berupa hafalan ayat Al-Quran, meski zahir nashnya demikian, namun tetap harus dipahami dengan benar sebagaimana maksudnya.

a. Mahar Adalah Pemberian
Seorang calon suami boleh saja merasa dirinya sudah menjadi hafidz (penghafal) Al-Quran. Tetapi hafalan yang ada di kepalanya bukanlah sesuatu yang bisa diberikan kepada orang lain.

Bila mahar berupa hafalan Al-Quran, justru melanggar pengertian mahar itu sendiri. Karena mahar itu pemberian dan hafalan Al-Quran tidak bisa diberikan. Sebab otak kita tidak bisa dicopykan hafalan Al-Quran seperti komputer.

b. Memahami Dalil Dengan Benar
Kalau harus berupa harta, lantas bagaimana dengan hadits di atas yang tegas menyebutkan mahar dengan hafalan Al-Quran?

Jawabnya bahwa hadits di atas harus dibaca dengan utuh dan tidak boleh dipakai sepotong-sepotong. Hadits di atas memang menceritakan bagaimana Rasulullah SAW menyarankan atau membolehkan laki-laki itu memberi mahar berupa hafalan Al-Quran. Tetapi kalau dilihat secara seksama, sebenarnya ada proses sebelumnya. Tidak ujug-ujug beliau bilang begitu.

Awalnya Rasulullah SAW meminta agar mahar berupa harta, tetapi karena laki-laki itu terlalu miskin, beliau SAW membolehkan harta dengan nilai yang amat kecil, hanya berupa cincin dari besi. Namun sudah dicari dan diupayakan, ternyata tetap tidak didapat juga, akhirnya apaboleh buat, Rasulullah SAW pun mempersilahkan maharnya berupa hafalan ayat Al-Quran.

Kesimpulannya, kalaupun mau bayar mahar dengan hafalan Al-Quran, maka posisinya harus diletakkan pada pilihan terakhir, setelah mengupayakan memberi harta meski cuma sedikit pun tidak punya. Jangan ujug-ujung langsung mahar berupa hafalan Al-Quran.

c. Memahami Hadits Dengan Mengaitkan Kepada Hadits Lain
Menarik kesimpulan hukum secara terburu-buru dengan menggunakan sepotong dalil adalah sebuah keteledoran. Seorang faqih dan mujtahid wajib menggunakan semua hadits dan tidak boleh hanya berdalil dengan sepotong hadits.

Sebab bila kita hanya menggunakan hadits ini saja, tanpa melihat dan membandingkan dengan sekian banyak hadits dan dalil-dalil syar'i lainnya, kita jadi orang yang memakai dalil sepotong-sepotong. Dan memakai dalil sepotong-sepotong itu bukan perbuatan terpuji. Bahkan para ahli kitab di masa lalu dilaknat Allah karena salah satunya karena mereka menggunakan kitab secara sepotong-sepotong. Dan Al-Quran sendiri mempertanyakan tindakan ini sebagai tindakan yang keliru.

Maka selain hadit di atas, kita juga harus melihat hadits lainnya tentang mahar dan nilainya di masa Rasulullah SAW. Rasululah SAW sendiri tidak pernah bayar mahar pakai bacaan atau hafalan Al-Quran. Padahal beliau adalah oran yang paling tinggi derajatnya dalam hafalan Al-Quran.

Tetapi mahar beliau kepada para istrinya tetap berupa harta. Kepada Khadijah radhiyallahuanha diriwayatkan maharnya berupa 10 atau 100 ekor unta. Kepada Aisyah dan lainnya berupa uang sebanyak 500 dirham perak.

كَانَ صِدَاقُهُ لأَزْوَاجِهِ ثِنْتَى عَشْرَةَ أوْقِيَةً وَنَشًّا قَالَ: قَالَتْ: أتَدْرِى مَا النَّشُّ ؟. قَالَ: قُلْتُ: لاَ! قَالَتْ: نِصْفُ أوْقِيَةٍ ؛ فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ. فَهَذَا صِدَاقُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَزْوَاجِهِ.
Aisyah berkata,"Mahar Rasulullah kepada para isteri beliau adalah 12 Uqiyah dan satu nasy". Aisyah berkata,"Tahukah engkau apakah nash itu?". Abdur Rahman berkata,"Tidak". Aisyah berkata,"Setengah Uuqiyah". Jadi semuanya 500 dirham. Inilah mahar Rasulullah saw kepada para isteri beliau. (HR. Muslim)

Di masa Rasulullah SAW, uang 1 dinar emas bisa untuk membeli seekor kambing sebagaimana hadits Urwah Al-Bariqi. Dan perbandingan nilai dirham dengan dinar berkisar antara 1 : 10 hingga 1 : 12. Maksudnya, satu dinar di masa itu setara dengan 10 hingga 12 dihram.

Jadi kalau mahar Rasululah SAW itu 500 dirham, berarti dengan uang itu kira-kira bisa untuk membeli kurang lebih 41 ekor kambing. Tinggal kita hitung saja berapa harga kambing saat ini. Anggaplah misalnya sejuta rupiah per-ekor, maka kurang lebih nilai 500 dirham itu 40-an juta rupiah.

d. Bukan Memamerkan Hafalan Tetapi Mengajarkan
Dan hadits di atas juga harus disesuaikan dengan hadits lainnya yang menjelaskan. Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

اِنْطَلِقْ لَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَعَلِّمْهَا مِنَ اْلقُرْآنِ

Dan dalam riwyat lain oleh Muslim : Nabi SAW bersabda, “Pergilah, sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya, maka ajarilah dia dengan Al-Qur’an”.

Maka yang dijadikan mahar bukan pameran hafalan Al-Quran di majelis akad nikah, melainkan berupa 'jasa' untuk mengajarkan Al-Quran berikut dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya.

Dan kita dapati dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

Kesimpulan
Kalau yang dimaksud bahwa mahar hafalan Al-Quran itu sekedar memamerkan hafalan Al-Quran, nampaknya masih agak jauh dari makna dan maksud mahar yang sesungguhnya.

Namun kalau yang dimaksud adalah dengan hafalannya itu seorang suami mengajarkan Al-Quran, maka jasa mengajar itu adalah salah satu wujud harta juga. Logika ini menurut hemat penulis agak lebih masuk akal dan nalar kita.

Bukankah mahar Nabi Musa 'alaihissalam kepada istrinya juga berupa jasa juga. Jasa yang dimaksud adalah jasa menggembala kambing selama 10 tahun lamanya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Gara-gara Puasa Rajab Dianggap Bid'ah Lantas Kita Masuk Neraka?


Sebenarnya masalah puasa di bulan Rajab itu bukan masalah yang disepakati kebid'ahannya. Memang benar banyak sekali beredar fatwa-fatwa yang membid'ahkan, tetapi kalau kita perhatikan sekian banyak fatwa itu, isi dan sumbenya cuma sebatas itu-itu saja.

Padahal sebenarnya para ulama masih berbeda pendapat tentang hukum berpuasa di bulan Rajab. Sebagian kalangan menetapkan bahwa hukumnya sunnah, sebagian lagi bilang makruh dan ada juga yang bilang haram atau bid'ah. Berikut ini petikan fatwa-fatwa mereka yang berbeda-beda.

1. Bid'ah
Ada beberapa fatwa dari para ulama khalaf (kontemporer) yang mengatakan bahwa puasa di bulan Rajab hukumnya bid'ah. Diantaranya fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan juga Syeikh Shalif Fauzan. Kebanyakan dari mereka inilah berbagai situs dan tulisan di internet yang membid'ahkan puasa Rajab itu mengambil sumber tulisan.

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (w. 1420 H) ketika ditanya terkait dengan berpuasa pada tanggal 8 dan 27 Rajab menjawab di dalam kitabnya Fatawa Nurun 'ala Ad-Darbi sebagai berikut :
تخصيص هذه الأيام بالصوم بدعة فما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم يوم الثامن والسابع والعشرين ولا أمر به ولا أقره فيكون من البدع
Mengkhususkan hari-hari itu dengan puasa adalah bid'ah. Nabi SAW tidak pernah berpuasa pada tanggal 8 dan 27 Rajab, tidak memerintahkannya dan tidak mentaqrirnya. Maka hukumnya bid'ah. [1]

Ibnu Utsaimin (w. 1421 H) ketika ditanya tentang hukum puasa pada tanggal 27 Rajab dan shalat sunnah di malam harinya, beliau pun menjawab sebagaimana yang tertuang di dalam kitabnya Majmu' Fatawa wa Rasail Fadhilatusysyeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin sebagai berikut :
صيام اليوم السابع العشرين من رجب وقيام ليلته وتخصيص ذلك بدعة وكل بدعة ضلالة .
Puasa pada hari ke 27 bulan Rajab dan bangun malam dan mengkhususkan hal itu adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah itu sesat.[2]

Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan di dalam kitab Majmu' Fatawa Fadhilatusysyeikh Shalih bin Fauzan menuliskan sebagai berikut :
شهر رجب لم يثبت فيه شيء من العبادات خاص، لا صيام ولا صلاة ولا عمرة، ولا شيء خاص بشهر رجب، والذين يخصونه بعبادات؛ هؤلاء هم المبتدعة
Tidak ada landasan kuat untuk ibadah khusus di Bulan Rajab, tidak itu puasa, shalat ataupun umrah. Tidak ada yang khusus dengan bulan Rajab. Mereka yang mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah adalah tukang bid'ah. [3]

2. Makruh
Pendapat kedua hukumnya adalah makruh, yaitu pendapat dari sebagain para ulama salaf, khususnya mazhab Al-Hanabilah. Dalam hal ini fatwa kemakruhannya terwakili oleh ulama mazhab ini, seperti Ibnu Qudamah dan Al-Mardawi.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
فصل - إفراد رجب بالصوم : ويكره إفراد رجب بالصوم قال أحمد: وإن صامه رجل، أفطر فيه يوما أو أياما، بقدر ما لا يصومه كله. ووجه ذلك، ما روى أحمد، بإسناده عن خرشة بن الحر، قال: رأيت عمر يضرب أكف المترجبين، حتى يضعوها في الطعام. ويقول: كلوا، فإنما هو شهر كانت تعظمه الجاهلية
Pasal Mengkhususkan Rajab Untuk Puasa : Dan dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa. Imam Ahmad berkata bahwa kalau mau seseorang berpuasa sehari dan tidak puasa sehari tetapi jangan puasa sebulan. Dasarnya adalah hadits riwayat Ahmad dari Kharsayah bin Al-Hurri, dia berkata,"Aku melihat Umar memukul telapak tangan orang yang mutarajjibin (puasa di bulan Rajab) sambil berkata,"Makanlah". Karena bulan Rajab itu bulan yang diagungkan oleh orang Jahiliyah [4]

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan dalam kitabnya Al-Inshaf sebagai berikut :
قوله (ويكره إفراد رجب بالصوم) هذا المذهب وعليه الأصحاب
Pendapatnya mengkhususkan puasa Rajab (sebulan penuh) hukumnya makruh. Itulah pendapat mazhab dan para pendukungnya.[5]

3. Sunnah
Sebagian besar ulama (jumhur) di luar mazhab Al-Hanabilah umumnya justru menghukumi sunnah berpuasa pada bulan Rajab. Walaupun dari sisi hadits-hadits yang tersedia banyak yang dianggap dhaif. Namun manhaj salaf yang asli dari umat ini jelas sekali, yaitu hadits shahih masih bisa dijadikan sumber rujukan, khususnya untuk fadhailul-a'mal (keutamaan).
Setidaknya jumhur ulama punya dua hujjah. Pertama, adanya hadits yang menganjurkan untuk berpuasa sunnah. Kedua, adanya hadits yang menganjurkan untuk puasa pada bulan-bulan haram (mulia). Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Harits yang bertanya kepada beliau SAW tentang puasa sunnah.
صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَثَلاثَةَ أَيَّامٍ بَعْدَهُ وَصُمْ أَشْهُرَ الْحُرُمِ
Berpuasalah kamu di bulan kesabaran (Ramadhan), kemudian berpuasalah 3 hari setelahnya, dan kemudian puasalah pada bulan-bulan haram”. (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)

Bulan-bulan haram itu adalah Dzul-Qa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab yang menyendiri. Tetapi jelas sekali bahwa Rajab termasuk salah satu di antara empat bulan haram. Sehingga dasar berpuasa di bulan Rajab adalah hadits shahih di atas.

Adapun para ulama yang membolehkan atau malah menyunnahkan puasa di bulan Rajab antara lain Ibnu Shalah, Al-Izz Ibnu Abdissalam, As-Sututhi, Ibnu Hajar Al-Haitsami, Ash-Shawi, dan juga Asy-Syaukani serta masih banyak lagi yang lainnya. Mari kita lihat fatwa mereka dengan adil :

Ibnu Shalah (w. 643 H), yang juga salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyyah menuliskan dalam fatwanya, Fatawa Ibnu Shalah sebagai berikut :
لا إثم عليه في ذلك ولم يؤثمه بذلك أحد من علماء الأمة فيما نعلمه بلى قال بعض حفاظ الحديث لم يثبت في فضل صوم رجب حديث أي فضل خاص وهذا لا يوجب زهدا في صومه فيما ورد من النصوص في فضل الصوم مطلقا والحديث الوارد في كتاب السنن لأبي داود وغيره في صوم الأشهر الحرم كاف في الترغيب في صومه وأما الحديث في تسعير جهنم لصوامه فغير صحيح ولا تحل روايته والله أعلم
Tidak berdosa bagi yang berpuasa Rajab, dan tidak ada satupun ulama umat ini yang mengatakan ia berdosa dari yang kami tahu. Ya memang benar banyak ahli hadits yang mengatakan hadits-hadits rajab –secara khusus- tidak shahih. Dan ini tidak menjadikan puasa Rajab itu terlarang, karena adanya dalil-dalilnya anjuran puasa secara mutlak, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dadud dalam kitab Sunan-nya juga ulama lain dalam anjuran puasa pada bulan Rajab, dan itu cukup untuk memotivasi umat ini untuk puasa Rajab. Sedangkan hadits nyalanya api neraka Jahannam untuk mereka yang sering berpuasa Rajab, itu hadits yang tidak shahih, dan tidak dihalalkan meriwayatkannya. Wallahu a’lam.[6]

Al-'Izz ibnu Abdissalam (w. 660 H) juga punya pendapat yang dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami, dimana beliau berfatwa sebagai berikut :
والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه
Orang yang melarang puasa Rajab itu jahil dari sumber-sumber hukum syariah. Bagaimana bisa puasa rajab diharamkan, sedangkan para ulama yang men-tadwin-kan syariah ini tidak satu pun dari mereka yang membenci puasa rajab tersebut. [7]

Nampaknya fatwa beliau juga senada, yaitu tindakan melarang orang berpuasa pada bulan Rajab adalah kebodohan, karena tidak ada ulama yang melarang itu.

As-Suyuthi (w. 911 H) ketika menjelaskan hadits-hadits terkait dengan puasa bulan Rajab, beliau menyimpulkan bahwa hadits-hadits itu bukan hadits palsu, melainkan sekedar dhaif. Dan tetap dibolehkan periwayatannya untuk keutamaan amal. Beliau menuliskan dalam fatwanya itu pada kitab Al-Hawi lil Fatawa sebagai berikut :
ليست هذه الأحاديث بموضوعة، بل هي من قسم الضعيف الذي تجوز روايته في الفضائل
Semua hadits ini bukan palsu (maudhu'), melainkan termasuk lemah (dhaif) yang dibolehkan periwayatannya untuk keutamaan (fadhail).[8]

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) dalam fatwanya yang terkumpul dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra menuliskan sebagai berikut
أني قدمت لكم في ذلك ما فيه كفاية، وأما استمرار هذا الفقيه على نهي الناس عن صوم رجب فهو جهل منه وجزاف على هذه الشريعة المطهرة فإن لم يرجع عن ذلك وإلا وجب على حكام الشريعة المطهرة زجره وتعزيره التعزير البليغ المانع له ولأمثاله من المجازفة في دين الله تعالى
Sudah saya jelaskan tentang kesunahan puasa Rajab, dan itu sudah cukup. Adapun tindakan 'ahli fiqih' ini yang terus menerus melarang orang-orang untuk puasa Rajab, itu adalah sebuah kebodohan dan bentuk pengacak-acakan terhadap syariah yang suci ini. kalau ia tidak merujuk fatwanya tersebut, wajib hukumnya bagi para hakim syariah yang suci ini untuk melarangnya dan memberikan hukuman yang keras baginya dan juga bagi orang-orang semisalnya –yang melarang puasa Rajab- karena mereka semua sudah mengacak-acak agama Allah SWT ini.[9]

Dari fatwanya kita mendaptkan kesan bahwa beliau mengecam keras mereka yang melarang umat untuk berpuasa Rajab. Konon di masa hidupnya, ada beberapa orang yang mengaku ahli agama tetapi melarang-larang puasa Rajab dengan alasan.

Imam Ash-Shawi (w. 1241 H) dari kalangan ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Bulghatus-Salik ketika menjelaskan tentang puasa-puasa sunnah, beliau memasukkan di dalamnya puasa Rajab.
وصوم رجب : أي فيتأكد صومه أيضا وإن كانت أحاديثه ضعيفة لأنه يعمل بها في فضائل الأعمال
Puasa Rajab: yakni dikuatkan (untuk kesunahan) puasa Rajab juga walaupun hadits-haditsnya dhaif, karena hadits dhaif boleh diamalkan dalam hal fadhail a’mal.[10]

Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitabnya Nailul Authar mengomentari hadits-hadits terkait dengan puasa bulan Rajab sebagai berikut :
ظاهر قوله في حديث أسامة إن شعبان شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان أنه يستحب صوم رجب
Pemahaman yang dzahir dari hadits Usamah (bin Zayd) di atas adalah bahwa bulan Sya'ban adalah bulan yang banyak dilupakan orang yang letaknya antara bulan Rajab dan Ramadan. Dan bahwa sunnah hukumnya berpuasa pada bulan Rajab.[11]

Jadi kesimpuannya bahwa puasa bulan Rajab ini memang ada kalangan yang membid'ahkannya. Pendapat ini wajib kita hormati. Namun ada juga yang tidak sampai membid'ahkannya, hanya sebatas makruh saja. Pendapat ini juga wajib kita hormati. Dan jangan lupa, ada juga pendapat yang membolehkan atau malah menyunnahkannya. Pendapat yang terakhir ini pun juga wajib kita hormati.
Tidak perlu ada yang merasa paling pintar dan paling tinggi imannya, apalagi merasa paling benar dan pendapat orang lain yang berbeda tidak perlu dijelek-jelekkan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Ustaz Ahmad Sarwat, Lc., MA | Rumah Fiqih

[1] Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatawa Nurun 'ala Ad-Darbi, jilid 11 hal. 2
[2] Ibnu Utsaimin, Majmu' Fatawa wa Rasail Fadhilatusysyeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, jilid 20 hal. 50
[3] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Majmu' Fatawa Fadhilatusysyeikh Shalih bin Fauzan, jilid 2 hal. 438
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3 hal. 171
[5] Al-Mardawi, Al-Inshaf, jilid 3 hal. 346
[6] Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, hal. 180
[7] Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, jilid 2 hal. 54
[8] As-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawa, jilid 1 hal. 419
[9] Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, jilid 2 hal. 53
[10] Imam Ash-Shawi, Bulghatussalik, jilid 1 hal. 692
[11] Asy-Syaukani, Nailul Authar, jilid 4 hal. 292

Interpretasi Mengenai Aurat Wanita Secara Komprehensif


Aurat wanita terbagi kedua hukum,ada ulama yang mewajibkan menutup aurat  dengan memakai purdah(cardar) dan ada yang tidak mewajibkan memakainya(hanya memakai jilbab saja) Dalam kajian ini,Tujuannya bukan mencari titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan Irsyad (memberikan petunjuk gambaran) yang lengkap tentang dasar isitmbath kedua pendapat ini agar kita bisa berbaik sangka dan tetap menjaga hubunngan baik dengan kedua belah pihak.

Istri yang Shalihah adalah Sumber Kebahagian

Sebagai agama yang sempurna di sisi Allah Swt, islam yang di bawa oleh Rasulullah Saw membawa banyak keberuntungan bagi kehidupan manusia. Setiap orang yang mengikuti perintah Allah dengan baik dan ikhlas akan mendapatkan banyak keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat.

Kesempurnaan islam juga Allah buktikan melalui ragam mukjizat yang diberikan kepada Rasulnya-Nya. Allah Swt memberikan karunia kepada Rasulullah berupa akhlak yang mulia, iman yang teguh, mendapatkan sahabat yang setia, hingga keluarga yang patuh dan taat kepadanya.

Allah tidak hanya memberikan nikmat seperti ini kepada Rasulullah, tetapi nikmat serupa juga Allah janjikan kepada ummat Muhammad Saw yang juga mencontohi ketaatan beliau. Patuh kepada ajarannya, dan beriman dengan sesungguhnya kepada Allah serta Rasul-Nya.

Berbicara mengenai pasangan (menjalin hubungan keluarga), islam yang dibawa oleh Baginda Saw juga merupakan agama keluarga. Segala tugas dan kewajiban seorang mukmin terhadap keluarga serta anggota rumah tangganya telah ditetapkan dalam islam. Mulai dari tata cara memilih pasangan hingga tertib dalam keluarga telah diatur dengan rapih dalam syariat islam yang berlandaskan Al-qur'an dan hadist.

Keluarga yang berisi beberapa anggota berupa anak hingga seterusnya dipimpin oleh seorang bapak (suami) dan diwakili oleh pedampingnya yang di sebut ibu (isteri). Dimana kekuasaan utama dalam keluarga berada pada pimpinan dan wakilnya untuk mengatur bagaimana jalannya sebuah pemerintahan keluarga tersebut.

Semakin baik pemimpin dan wakilnya dalam memerintah, maka pemerintahan tersebut akan semakin sukses dan memperoleh banyak keuntungan di dunia maupun di akhirat. Begitu juga sebaliknya, jika pemimpinya (kedua-duanya atau salah satu diantaranya) tidak baik, pasti akan menjadikan pemerintahan keluarga menjadi buruk dan mendapat kemurkaan dari Allah Swt.

Jika melihat kepada realita, pada dasarnya seoarang laki-laki sangat di tuntun menikahi seorang perempuan yang taat dan berjiwa pendidik. Mengingat laki-laki sebagai kepala rumah tangga akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari nafkah, sedangkan isterinya bertugas di rumah untuk memepersiapkan makanan serta mendidik anak.

Memberi pendidikan kepada anak merupakan pekerjaan yang sungguh berat bagi seorang ibu dirumah. Terkadang beratnya mendidik anak lebih terasa dari pada mengandung anak tersebut selama sembilan bulan. Bagi seorang ibu mendidik anak tidaklah memiliki batas. Mulai dari memberikan ASI, menjaga kesehatan anak, memberi pendidikan, hingga anak tersebut betul-betul di sebut dewasa dan sanggup membina keluarga.

Tidak hanya itu, mendidik anak dengan aktifitas bernilai keagamaan juga tuntutan bagi seorang ibu. Selain mengajarkan anak untuk bisa berbicara, anak juga harus sering diperdengarkan bacaan Al-qur'an, zikir atau juga shalawat kepada telinganya. Seorang ibu juga wajib menanamkan benih kecintaan terhadap islam kedalam hati anaknya selama hayat masih dikandung badan.

Oleh karena itulah Rasulullah Saw berpesan, "Pilihlah (calon isteri) untuk menyamaikan benih (keturunanmu) karena wanita itu akan melahirkan anak menyerupai saudara-sausaranya!"
Rasulullah Saw. juga bersabda, "Pilihlah untuk (meletakkan) benih keturunanmu pada tempat-tempat yang baik (shalihah)!" (HR: Daruquthni dari Aisyah r.a).

Selain memperhatikan rupa, harta dan asal usul keluarga calon isterinya, seorang suami juga wajib memperhatikan  pengetahuan yang dimiliki oleh isteri yang nantinya akan mendidik anak-anaknya. Dengan bekal pengetahuan yang baik, maka semakin baik pula pendidikan yang akan diberikannya kepada anak. Oleh karena itulah seorang perempuan harus mencari bekal ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga. Karena tanpa pengetahuan, akan menjadikannya sebagai orang yang gagal dalam kehidupannya.

Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bagaimana kisah ketika pada suatu hari Asma' binti Yazid yang pada saat itu mewakili kaum perempuan menghadap Rasulullah Saw untuk menyampaikan perasaan mereka (kaum perempuan) . Asma' pada ketika itu mempertanyakan kelebihan yang dijanjikan kepada kaum laki-laki dengan shalat berjamaah, menghadiri kematian dan berjihad fi sabilillah. Apakah jika mereka keluar berjihad sedang kami menjaga harta dan mendidik anak-anak, mendapat pahala seperti mereka? tanya Asma'.
Lalu Rasulullah Saw menjawab seraya memerintahkan Asma' untuk pulang memberi kabar kepada kaum perempuan bahwa seorang isteri yang baik kepada suaminya, usahanya untuk menyenangkan hati suami dan  mengikuti apa yang diinginkannya, pahalanya berbanding dengan apa yang didapati oleh mereka suaminya ( seperti jihad, shalat berjamaah, dan sebagainya). (HR.Muslim)

Khalifah Umar, sebagaimana dinukil oleh Imam Mawardi mengatakan bahwa, "Hak pertama seorang anak yang mesti dipenuhi oleh orang  tuanya adalah memilihkan calon ibu (yang melahirkannya). Sebelum mempertimbangkan kemampuan untuk melahirkan anak, terlebih dahulu diutamakan faktor-faktor kemuliaan dan kebaikan agama, kesucian diri dan pemahaman terhadap segala urusannya, keluhuran budi pekerti dan teruji kecerdikan  menyenangkan hati suami dalam segala keadaan".

Maka sangatlah penting bagi seorang laki-laki melihat dan memilih calon isterinya dengan mendahulukan ketaatannya kepada Allah, berilmu pengetahuan dan berkahlak mulia. Niscaya kebahagian akan semakin dekat kepada keluarga yang dibangun dengan iman kuat, berisi suami yang taat  isteri shalihah serta melahirkan penerus (anak) yang mampu meneruskan ketaatan orang tuanya.
Wallahu a'lam bi shawab.


Video: Nikah Muda


Masa muda adalah usia yang penuh gairah dan cinta, dan pernikahan adalah jalan terbaik untuk saling mencintai dengan sesungguhnya. Menikah di usia muda insyaAllah lebih menentramkan dan menenangkan, karena disinilah tali cinta dirajut dengan sebenar-benarnya.

Disini kita belajar memahami, belajar bertoleransi, belajar bertanggung jawab sejak dini, dan belajar menggapai kesuksesan sejak dari nol. 


Baca Juga:

Bertawaqal dan Bersikap Adil


Saya, kamu, anda, dan semua pasti punya impian masing-masing yang ingin digapai suatu saat kelak. Impian juga bermacam-macam, bagi yang masih lajang berimpian untuk segera meminang si gadis gebetan, bagi yang sedang kuliah ingin segera menuntaskan, dan yang sudah wisuda ingin mendapat pekerjaan yang layak. 

Setiap pekerjaan yang halal itu layak untuk dikerjakan, karena jika intinya adalah "tetap berpenghasilan" maka bisa bekerja apa saja yang penting halal sehingga setiap harinya tetap ada penghasilan biarpun terkadang dalam jumlah yang tidak tetap. Namun jika prinsipnya "berpenghasilan tetap" maka solusinya bisa dengan menjadi pengawai atau yang sejenis dengannya, dimana setiap bulannya penghasilan sudah ada ketetapan sekian dan sekian.

Kenapa Harus Bermazhab?

Kenapa Harus Bermazhab?

Di era kejayaan Umat Islam bahasa Arab adalah bahasa Internasional dan bahasanya dunia akademisi. Pada masa itu buku karangan kita akan menjadi sangat bernilai tinggi jika ditulis dalam bahasa arab. Sehingga, pada saat itu kita tidak perlu repot-repot untuk mendapatkan nilai Toefl tinggi karena memang tidak dibutuhkan, tentu saja berbeda kondisi dengan sekarang, dimana dunia telah terbalik arah.

Tidak seperti bahasa yang lain, perbedaan baris saja dalam bahasa Arab bisa menyebabkan terjadinya perbedaan makna. Sebagai contoh, kalimat غسل jika dibaca dengan dhummah pada huruf  غ  (gruslu) akan bermakna mandi, namun jika dibaca dengan fatah غ   (graslu) artinya menjadi basuh. Contoh lainnya seperti kata حب . Jika kalimat tersebut dibaca dengan fatah kha (habb) artinya menjadi bijian, namun dengan kassrah kha (hibb) berarti mencintai. Namun demikian, cinta dalam bahasa arab semua berakar dari kalimat حب ,sehingga cinta itu terkadang didefinisikan laksana sebuah bijian yang tumbuh mengakar dari hati sehingga berbuahlah berbagai macam rasa yang indah.

Bahasa Alquran

Bahasa arab semakin berkelas karena AlQuran diturunkan dalam bahasa tersebut. Biarpun diturunkan dalam bahasa arab, namun belum ada satu makhluk pun yang sanggup menandinginya. Bahkan banyak ayat yang menantang mereka yang tidak beriman untuk bisa membuat yang serupa dengannya walau satu ayat saja. Sebagaimana ilustrasi di atas, perbedaan harakat bisa mempengaruhi makna kandungan Al-Quran. Seperti yang terjadi pada masa Abul Aswad Ad-Duali (w.688 M) dimana mushaf Al-quran masih belum dilengkapi dengan harakat seperti yang kita lihat sekarang, sehingga sangat rentan terjadi salah dalam membaca.

Ad-Duali pernah mendengar seseorang membaca ayat ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺮﻱﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ “Anna Allahabari'un-mina-l musyrikiin wa rasuulihi, (QS. At-Taubah : 3), seharusnya dibaca “Rasuluhu”. Jika diartikan akan sangat jauh berbeda. Bacaan pertama tersebut berarti “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya ...” Tentu saja arti tersebut menyesatkan, karena Allah tidak pernah berlepas dari utusanNya. Kalimat yang semestinya seharusnya berarti “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” Hanya karena satu harakat, tapi mengubah arti yang begitu banyak.

Itu baru masalah baris, belum lagi mengenai penafsiran isi kandungannnya. 
Dalam Al-Itqan fil Ulumil Quran [1], Imam As-Suyuti menuliskan, sesorang baru boleh menafsirkan quran jika telah menguasai 15 (lima belas) cabang ilmu, diantaranya Ilmu Lughah, Nahwu, Sharaf, Isytaq, Ma'ani, Bayan, Badi',  ilmu qiraat, ushuluddin, ushul fiqih, asbabun nuzul, Nasikh mansukh, fiqih, serta hadist. Sehingga slogan kembali ke Al-Quran dan Sunnah tidaklah semudah lidah berucap, tidak bisa sembarangan seenak perut mentafsirkan quran, apalagi hanya bermodalkan terjemahan saja, perlu diingat bahwa terjemahan bukanlah penafsiran.

Ketika Hadis Saling Bertentangan

Setelah Al-Quran, hadist Rasulullah menduduki urutan selanjutnya sebagai pegangan utama dalam Ajaran Islam. Kedudukannya sama penting dengan Al-quran, dan hadist ini pula yang menjadi sumber utama yang menafsirkan isi Al-Quran. Lantas, apabila didapati sebuah hadist yang shahih apakah harus langsung dijadikan sebagai dalil begitu saja? Bahkan ada yang berkata lagi, bukankah Imam Syafi’i mengatakan "Apabila sahih hadits maka itulah mazhabku", sehingga jika kita mendapati sebuah hadist shahih ya ikuti.

Namun ternyata tidaklah semudah itu, sebab terkadang kita dapati ada beberapa hadist yang statusnya sama-sama shahih namun sekilas makna antara keduanya malah saling bertentangan, sehingga bukannya mendapat petunjuk malah membingungkan. Hal ini bisa terjadi karena terkadang lafaz suatu hadist masih Aam (umum), sementara yang lain Khas (Khusus), ataupun lafaz hadist tersebut memang sama-sama umum. Sebagai Contoh: Dalam sebuah Hadist Rasulullah Bersabda : “Sejelek-jelek saksi adalah orang yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”, sedangkan dalam hadist lain beliau bersabda : “Sebaik-baik saksi adalah yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”.[2]

Dari dua contoh hadist di atas, disatu kesempatan Nabi menyatakan “sejelek-jelek saksi”, dan pada hadist yang lain “sebaik-baik saksi”. Jelas sekali antara dua hadist ini terlihat saling bertentangan, namun oleh para Ulama menjelaskan kedudukan hadist pertama dibawa kepada suatu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu sudah mengetahui isi kesaksian tersebut, oleh karena demikianlah Rasulullah mengecapnya sebagai sejelek-jelek saksi. Sementara hadist kedua dibawa kepada satu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu tidak mengetahui isi kesaksian yang dimaksud [3]. Setelah ada penjelasan  dari para ulama maka jelaslah kedudukan masing-masing hadist sehingga tidak menimbulkan kontrakdiksi.

Kembali ke Quran dan Sunnah agar Hilang Khilafiyah?

Sering kita dengar bahwa mazhab dikatakan sebagai biang terjadinya perpecahan. Untuk itu umat harus dikembalikan ke sumber dasarnya, yakni quran dan sunnah agar terhindar dari khilafiyah. Namun nyatanya, perbedaan pendapat memang sesuatu yang tidak bisa dihindari, sebagai contoh dalam masalah iddah thalaq, Al-Quran menyatakan wanita yang dithalaq maka iddahnya adalah "tlasata quru" tiga kali quru. 

Dalam memaknai kata-kata "quru" timbul perbedaan pendapat, ada yang menyatakan bahwa quru itu bermakna suci, dan pula yang berpendapat bahwa quru itu justru bermakna haid. Lantas apa konsekuensinya? Bagi yang berpegang pada makna haid, apabila telah memasuki haid yang ketiga maka telah boleh untuk menikah lagi dengan lelaki lain. Sementara yang berpegang pada makna suci ya harus menunggu tiga kali suci dulu yang tentunya lebih lama dibanding tiga kali haid.

Namun kedua pendapat ini ada plus minusnya, untuk yang menyatakan quru bermakna haid biarpun nikah sah tapi tetap belum bisa melakukan hubungn suami istri karena sang istri masih dalam keadaan haid, sedangkan yang pendapat satunya jika siwanita telah menikah maka ya boleh melakukan apa saja karena dia telah suci dari haid.

Kenapa Harus Bermazhab?

Rasulullah telah berpesan bahwa Ulama adalah pewaris beliau, sehingga sebagai orang yang awam sudah sepantasnya mengikuti petunjuk-pentunjuk dari ulama, bukan malah sebaliknya. Sebab jika ilmu belum mumpuni namun nekat yang ada bakal nyasar dalam memahami dalil. Bukan dalilnya yang salah namun pemahamannya yang kurang benar. Bahkan Imam As-Syathibi (w. 790 H) dalam as-Muwafaqat menuliskan:

Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).

Apa yang disampaikan oleh Imam As-Syathibi cukup beralasan, karena dalil syari’ bagi orang awam ibarat bahan mentah, jika tidak bisa memasak untuk apa diberi bahan mentah, bukankah lebih baik memakan saja apa yang telah diracik oleh para Imam Mujtahid yang memang sudah ahli dibidangnya. Inilah salah satu alasan kenapa harus bermazhab bagi orang awam, karena usaha gigih para mujtahid telah membantu kita dalam memahami quran dan hadist dengan baik.

Kita patut bersyukur karena para Imam Mujtahid telah membuat segalanya menjadi serba mudah, dari formulasi yang telah mereka ciptakan pemahaman terhadap quran dan sunnah pun menjadi lebih terarah. Dan lagi, pekerjaan yang dilakukan para Imam mujtahid ini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh sekelompok ulama-ulama yang ahli. Tentu saja pekerjaan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang ahli dibidangnya bakal lebih dekat dengan kebenaran dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan seorang diri.

Catatan kaki
[1] Al-Itqan fil ulumil Quran, hal. 555
[2] Syarah Waraqat, Fasal Tentang Ta'arudh (Kontradiksi)
[3] Ibid