Sebuah Nasehat

Oleh Teuku Farhan

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman" (Kami mendukung syariat, bla..bla...bla). Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka (kembali ke lingkungannya), mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok. " Qs. Al-Baqarah:14

Self SARA - Secara tidak sadar sebagian kecil kelompok anak muda dan orang tua "galau" ada yang bersikap menyingggung dan mengolok-olok Agama-nya sendiri, padahal biasanya kita mendengar yang sering terjadi orang mengolok-olok suku,agama orang lain dan ini dilarang oleh Islam dan undang-undang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, mereka malah mengolok-olok agamanya sendiri, inilah hasil jerih payah iblis yang berhasil menghimpun pengikutnya berupa komunitas yang mengolok-olok agama / aturan hidup-nya sendiri yang sesungguhnya bermanfaat bagi dirinya sendiri,harkat dan martabat keluarganya dan marwah bangsanya sendiri. Kasian..mereka bukan hanya mengolok-olok Agama tapi jg menciptakan citra buruk bagi kota yang sedang dia tempati, kota yang nyaman dan aman ditinggali, kota yang dicintai oleh orang-orang shalih dari berbagai belahan dunia, kota yang diharapkan muncul sebagai cahaya islam bagi dunia, inilah akibar mereka kurang bersyukur padahal mereka nasibnya tidak melarat seperti pengungsi rohingya. Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan? Jangan sampai makin banyak muslim sejak lahir seperti ini justru semakin meninggalkan Agamanya, padahal para mualaf yang trennya semakin meningkat di seluruh dunia dan baru menjadi muslim malah lebih cinta kepada ajaran Agama Islam.

Ada pihak yang ingin menertibkan pintu-pintu keburukan untuk menyelamatkan generasi muda dari potensi perbuatan yang menyimpang tapi yang terjadi seperti biasa setan-setan pada protes, ciri mereka : mengolok-ngolok syariat, berbicara seakan mendukung syariat tapi dibelakangnya menertawakan dan jarang sekali terlihat di dalam jamaah kebaikan seperti pengajian, masjid, zikir, mereka bicara juga bukan sesuai kapasitasnya, asal bunyi saja demi terkenal dan dipuji di kalangannya, komentarnya sesuai nafsu tanpa akal sehat, mengulang-ulang persoalan yang lampau dan kadang tidak ada kaitannya dgn pokok masalah.

Mereka malah berkomentar seakan-akan mendukung syariat tapi dikalangannya syariat diolok-olok. Kritik ada cara dan tempatnya, tapi kritik menolak kebaikan, itu bukan kritik tapi bagian dari suara-suara setan, jadi kalau ada yang melawan, mereka bukan melawan dirimu wahai saudaraku, tapi mereka melawan setan yang meminjam jasad dan suaramu.

Contoh : Sebelum tsunami, perempuan keluar malam itu merupakan hal yang tabu di Aceh, kecuali hal darurat/mendesak, mendapat izin orang tua/suami dan terkait kemashalatan umat, tapi sekarang malah nongkrong2 di kedai kopi sampai larut malam. Perempuan malah kelayapan malam dengan alasan kerjain PR, cari bahan, padahal bahan bisa dicari di rumah sendiri, hanya dengan 10 ribu rupiah sudah dapat koneksi internet. Wajar lah kalau ada yg tegur sebagai bentuk perhatian ibu kepada anaknya, kakak kepada adiknya, bayangkan kalau itu menimpa anak, adik kita, apakah kita biarkan anak perempuan kita nongkrong di cafe sampai tengah malam, kalau dibiarkan, ke depan sampai besok pagi dia baru pulang. Jadilah Aceh, the next dolly seperti target "mereka" dan dijadikan alasan Syariat Islam di Aceh dianggap gagal dan tidak layak diterapkan di daerah lain. Na'udzubillah.

Yang parahnya lagi, ada juga pembela cukong-cukong cina beragama harta membuka tempat usaha yang melanggar dan tidak menghormati aturan pemerintah setempat. Apa mau tunggu Banda Aceh punya Dolly seperti Surabaya? Dolly surabaya yang fenomenal se-Asia tenggara itu saja sudah ditutup malah ada sebagian kelompok kecil anak muda galau seperti mengisyaratkan ingin Dolly pindah ke Aceh. No way bro, Aceh tanah para pejuang Islam, syuhada, tanah keramat, siapa saja yg ingin merusak Islam,Adat,Adab di Aceh tinggal tunggu balasannya yang akan menimpa, mulai musibah rusaknya kehidupan pribadi spt diberikan lingkungan yang salah, calon istri/suami yg jauh dari agama, anak2 yg durhaka, rezeki dr hasil riba dan korup, maupun musibah yang juga akan menimpa orang-orang baik seperti kejadian gempa dan tsunami 10 tahun silam. Multi effectnya luas bro, pikirkan lagi sebelum berkomentar.

Alhamdulillah,ini peluang kita untuk sabar,tantangan saat ini belum apa-apa dibanding masa perjuangan nabi,mungkin mereka belum mengerti dan belum pernah diberi pengertian, kita doakan semoga Allah berikan hidayah kepada mereka dan kita tetap dalam hidayah, sebelum maut menjemput, pintu hidayah dapat diberikan kepada siapapun yang Allah kehendaki. Jangan berputus asa. Mari bersatu, bersama-sama melawan hantu di dalam diri, Allah selalu memberi kesempatan bagi orang-orang yang mau bersabar dan memperbaiki diri. Insyaallah.

Banda Aceh, 31/5/2015

#SayaDukungKebijakanWalikota vs #BandaAcehMasukAkal

Hadist Shahih Amalan Nisfu Sya'ban

Diantara keutamaan Sya’ban karena di dalamnya ada malam Nishfu Sya’ban. Banyak dari umat Islam yang di malam tersebut melakukan amalan tertentu, misalnya dzikir, membaca al-Quran dan sebagainya yang intinya adalah meminta ampunan kepada Allah.

Amaliyah ini memang tidak dilakukan di awal generasi sahabat, namun Rasulullah dalam sabda-sabdanya yang masuk dalam kategori sahih telah memberi isyarat akan kemuliaan malam tersebut. Dan jika sebuah amaliyah memiliki dasar dalam Islam, maka amaliyah tersebut tidak termasuk bid’ah tercela, terlebih lagi telah diamalkan sejak generasi Tabi’in dan ulama Salaf.

A. DALIL-DALIL HADIS NISHFU SYA’BAN

1. Hadis Pertama


عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ عَن ِالنَّبِيِّ e قَالَ يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ (رواه الطبراني في الكبير والأوسط قال الهيثمى ورجالهما ثقات. ورواه الدارقطنى وابنا ماجه وحبان فى صحيحه عن ابى موسى وابن ابى شيبة وعبد الرزاق عن كثير بن مرة والبزار)

“Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah memperhatikan hambanya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban, kemudian Ia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyahin (orang munafik yang menebar kebencian antar sesama umat Islam)”. (HR Thabrani fi Al Kabir no 16639, Daruquthni fi Al Nuzul 68, Ibnu Majah no 1380, Ibnu Hibban no 5757, Ibnu Abi Syaibah no 150, Al Baihaqi fi Syu’ab al Iman no 6352, dan Al Bazzar fi Al Musnad 2389. Peneliti hadis Al Haitsami menilai para perawi hadis ini sebagai orang-orang yang terpercaya. Majma’ Al Zawaid 3/395)

Ulama Wahabi, Nashiruddin al-Albani yang biasanya menilai lemah (dlaif) atau palsu (maudlu’) terhadap amaliyah yang mereka anggap bid'ah, namun dalam menilai hadist tentang Nishfu Sya’ban, beliau berkata tentang riwayat diatas: “Hadis ini sahih” (Baca as-Silsilat ash-Shahihah 4/86)

1563 – إِنَّ اللهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ (صحيح)  اهـ السلسلة الصحيحة للالباني (4/ 86)

2. Hadis Kedua

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ اللهَ تَعَالَى يَدْنُوْ مِنْ خَلْقِهِ فَيَغْفِرُ لِمَنِ اسْتَغْفَرَ إِلاَّ الْبَغِيَّ بِفَرْجِهَا وَالْعَشَّارَ (رواه الطبراني في الكبير وابن عدي عن عثمان بن أبي العاص وقال الشيخ المناوي ورجاله ثقات اهـ التيسير بشرح الجامع الصغير 1/551)

“Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya (rahmat) Allah mendekat kepada hambanya (di malam Nishfu Sya’ban), maka mengampuni orang yang meminta ampunan, kecuali pelacur dan penarik pajak” (HR al-Thabrani dalam al-Kabir dan Ibnu ‘Adi dari Utsman bin Abi al-’Ash. Syaikh al-Munawi berkata: Perawinya terpercaya. Baca Syarah al-Jami’ ash-Shaghir 1/551)

3. Hadis Ketiga

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ اللهُ تَعَالَى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِكُلِّ نَفْسٍ إِلاَّ إِنْسَانًا فِي قَلْبِهِ شَحْنَاءُ أَوْ مُشْرِكًا بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ (قال الحافظ ابن حجر هذا حديث حسن أخرجه الدارقطني في كتاب السنة عن عبد الله بن سليمان على الموافقة وأخرجه ابن خزيمة في كتاب التوحيد عن أحمد بن عبد الرحمن بن وهب عن عمه اهـ الأمالي 122)

Artinya “Rasulullah Saw bersabda: (Rahmat) Allah turun di malam Nishfu Sya’ban maka Allah akan mengampuni semua orang kecuali orang yang di dalam hatinya ada kebencian kepada saudaranya dan orang yang menyekutukan Allah” (al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadis ini hasan. Diriwayatkan oleh Daraquthni dalam as-Sunnah dan Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid, Baca al-Amali 122)

al-Hafidz Ibnu Hajar juga meriwayatkan hadis yang hampir senada dari Katsir bin Murrah:

عَنْ كَثِيْرِ بْنِ مُرَّةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَبَّكُمْ يَطَّلِعُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى خَلْقِهِ فَيَغْفِرُ لَهُمْ كُلِّهِمْ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ مُشْرِكًا أَوْ مُصَارِمًا (المطالب العالية للحافظ ابن حجر العسقلاني 3 / 424)

4. Hadist/ Hasan Tentang Malam Nisfhu Sya'ban
Tidak mungkin bagi sebagian sahabat dan Tabiin yang mengetahui keutamaan malam Nishfu Sya’ban tanpa didasari hadis-hadis sahih dari Rasulullah Saw tentang keutamaan Nishfu Sya’ban, terlebih jika Wahabi membesar-besarkan amalan ini dari Israiliyat. Ini terbukti dengan banyaknya riwayat hadis sahih tentang malam tersebut, bahkan yang menilai sahih / hasan justru datang dari ulama Wahabi, Syaikh Albani:
 
صحيح وضعيف الجامع الصغير – (ج 2 / ص 273)
773 – إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ اطَّلَعَ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيُمْلِي لِلْكَافِرِيْنَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوْهُ .
تخريج السيوطي ( هب ) عن أبي ثعلبة الخشني .
تحقيق الألباني ( حسن ) انظر حديث رقم : 771 في صحيح الجامع .

“(Hadis) Jika ada malam pertengahan dari bulan Sya’ban, maka Allah memperhatikan makhluk-Nya dengan penuh rahmat. Allah akan mengampuni orang yang beriman, menangguhkan orang kafir dan meninggalkan orang yang iri dengan sifat iri hatinya hingga mereka meninggalkannya”. As-Suyuthi berkata: “HR al-Baihaqi dari Abu Tsa’labah al-Khusyani”. Tahqiq Syaikh Al-Bani "Hasan"”

صحيح وضعيف الجامع الصغير – (ج 7 / ص 147)
2700 – إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ .
تخريج السيوطي ( هـ ) عن أبي موسى .
تحقيق الألباني ( حسن ) انظر حديث رقم : 1819 في صحيح الجامع .

“(Hadis) Sesungguhnya Allah memperhatikan makhluk-Nya dengan penuh rahmat di malam Nishfu Sya’ban. Maka Allah akan mengampuni semua hamba-Nya, kecuali orang musyrik dan yang memiliki kebencian (permusuhan)”. As-Suyuthi berkata: “HR Ibnu Majah dari Abu Musa”. Tahqiq Syaikh Al-Bani "Hasan"”

صحيح وضعيف الجامع الصغير – (ج 7 / ص 226)
2779 – إِنَّ اللهَ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيُمْلِي لِلْكَافِرِيْنَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوْهُ .
تخريج السيوطي ( طب ) عن أبي ثعلبة .
تحقيق الألباني ( حسن ) انظر حديث رقم : 1898 في صحيح الجامع .

“(Hadis) Sesungguhnya Allah memperhatikan hamba-hamba-Nya dengan penuh rahmat di malam Nishfu Sya’ban. Allah akan mengampuni orang yang beriman, menangguhkan orang kafir dan meninggalkan orang yang iri dengan sifat iri hatinya hingga mereka meninggalkannya”. As-Suyuthi berkata: “HR al-Thabrani dari Abu Tsa’labah al-Khusyani”. Tahqiq Syaikh Al-Bani "Hasan"

صحيح وضعيف الجامع الصغير – (ج 16 / ص 364)
7717 – فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَغْفِرُ اللهُ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ .
تخريج السيوطي ( هب ) عن كثير بن مرة الحضرمي مرسلا .
تحقيق الألباني ( صحيح ) انظر حديث رقم : 4268 في صحيح الجامع .

“(Hadis) Pada malam pertengahan dari bulan Sya’ban, Allah akan mengampuni penduduk bumi, kecuali orang musyrik dan orang yang memiliki kebencian (permusuhan)”. As-Suyuthi berkata: “HR al-Baihaqi dari Abu Katsir bin Murrah al-Hadlrami, secara mursal”. Tahqiq Syaikh Al-Bani "Hasan"

Pernyataan lain dari Syaikh al-Albani dapat dilihat di kitab-kitab berikut:

- صحيح الترغيب والترهيب – (ج 1 / ص 248)
 1026 – ( حَسَنٌ صَحِيْحٌ )
 وعن معاذ بن جبل رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال يطلع الله إلى جميع خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن  (رواه الطبراني وابن حبان في صحيحه)
- صحيح الترغيب والترهيب – (ج 3 / ص 33)
 2767 – ( حَسَنٌ صَحِيْحٌ )
 وعن معاذ بن جبل رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال يطلع الله إلى جميع خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن (رواه الطبراني في الأوسط وابن حبان في صحيحه والبيهقي)
- صحيح الترغيب والترهيب – (ج 3 / ص 34)
 2770 – ( صَحِيْحٌ لِغَيْرِهِ )
 وعن مكحول عن كثير بن مرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال في ليلة النصف من شعبان يغفر الله عز وجل لأهل الأرض إلا مشرك أو مشاحن (رواه البيهقي وقال هذا مرسل جيد)
- صحيح الترغيب والترهيب – (ج 3 / ص 34)
 2771 – ( صَحِيْحٌ لِغَيْرِهِ )
 قال الحافظ ورواه الطبراني والبيهقي أيضا عن مكحول عن أبي ثعلبة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يطلع الله إلى عباده ليلة النصف من شعبان فيغفر للمؤمنين ويمهل الكافرين ويدع أهل الحقد بحقدهم حتى يدعوه (قال البيهقي وهو أيضا بين مكحول وأبي ثعلبة مرسل جيد قال الحافظ ويأتي في باب الحسد حديث أنس الطويل إن شاء الله تعالى)

5. Sahabat Telah Mengenal Keagungan Nishfu Sya’ban
Beberapa ulama, misalnya al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan bahwa amaliyah Malam Nishfu Sya’ban pertama kali dilakukan oleh kalangan Tabiin di Syam, seperti Luqman bin Amir, Makhul dan sebagainya (Lathaif al-Ma’arif). Namun sebenarnya kalangan sahabat sudah mengetahui keagungan malam Nishfu Sya’ban, sebagaimana riwayat berikut:

قَالَ الْوَاقِدِي: وَكَانَ فِي هَذِهِ السَّرِيَّةِ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ وَاثِلَةُ بْنُ الْأَسْقَعِ وَكَانَ خُرُوْجُهُمْ مِنْ أَرْضِ الشَّامِ وَهِيَ دِمَشْقَ إِلَى دَيْرِ أَبِي الْقُدْسِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَكَانَ الْقَمَرُ زَائِدَ النُّوْرِ. وَقَالَ وَأَنَا إِلَى جَانِبِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ. فَقَالَ لِي: يَا ابْنَ اْلأَسْقَعِ مَا أَحْسَنَ قَمَرَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَأَنْوَرَهُ، فَقُلْتُ: يَا ابْنَ عَمِّ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَهِيَ لَيْلَةٌ مُبَارَكَةٌ عَظِيْمَةٌ، وَفِي هَذِهِ تُكْتَبُ الْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ وَتُغْفَرُ فِيْهَا الذُّنُوْبُ وَالسَّيِّئَاتُ وَكُنْتُ أَرَدْتُ أَنْ أَقُوْمَهَا. فَقُلْتُ: إِنَّ سَيْرَنَا فِي سُبُلِ اللهِ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِهَا وَاللهُ جَزِيْلُ الْعَطَاءِ. فَقَالَ: صَدَقْتَ (فتوح الشام – ج 1 / ص 73)

Al-Waqidi berkata: “Di dalam pasukan ini bersama Abdullah bin Ja’far (bin Abdul Mutallib) ada Watsilah bin Asqa’. Kedatangan mereka ke Syam, yakni Damaskus ke daerah Abi Quds, adalah di malam Nishfu Sya’ban. Rembulan makin bersinar. Watsilah berkata: Saya berada di dekat Abdullah bin Ja’far. Ia berkata kepada saya: “Wahai putra Asqa’, betapa indahnya dan bersinarnya rembulan malam ini”. Saya berkata: “Wahai sepupu Rasulullah Saw. Ini adalah malam Nishfu Sya’ban, malam yang diberkahi nan agung. Di malam inilah rezeki dan ajal akan dicatat. Di malam ini pula dosa dan kejelekan akan diampuni. Saya ingin beribadah di malam ini”. Saya berkata: “Perjalanan kita di jalan Allah (perang) lebih baih dari pada beribadah di malamnya. Allah maha agung pemberiannya”. Abdullah bin Ja’far berkata: “Kamu benar” (al-Waqidi dalam Futuh asy-Syam 1/74)

Secara jelas dalam riwayat ini para sahabat sudah punya rencana untuk melakukan amaliyah di malam Nishfu Sya’ban. Namun karena para sahabat harus berperang untuk penaklukan negeri Syam, maka mereka mendahulukan Jihad. Kendati para sahabat belum melakukannya, namun melakukan amaliyah ini bukan kategori bid’ah. Sama seperti sunah ‘azm (rencana kuat) dari Rasulullah untuk berpuasa pada hari Tasua’ (9 Muharram), namun Nabi Saw wafat terlebih dahulu: “Sungguh jika aku masih hidup sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan” (HR Muslim)

Apakah hanya 2 sahabat saja? Ternyata yang tergabung dalam pasukan tersebut terdiri dari beberapa sahabat besar:

وَكَانَ عَلَى الْخَيْلِ خَمْسُمِائَةِ فَارِسٍ مِنْهُمْ رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ، وَكَانَ مِنْ جُمْلَةٍ مِنْ سِيَرِهِ مَعَ عَبْدِ اللهِ أَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِي وَعَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِيْ أَوْفَى وَعَامِرُ بْنُ رَبِيْعَةَ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ أَنِيْسٍ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ ثَعْلَبَةَ وَعُقْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللهِ السُّلَمِي وَوَاثِلَةُ بْنُ الْأَسْقَعِ وَسَهْلُ بْنُ سَعْدٍ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ بِشْرٍ وَالسَّائِبُ بْنُ يَزِيْدَ (فتوح الشام – ج 1 / ص 72)

“Pasukan berkuda terdiri dari 500 orang, diantaranya adalah para sahabat yang mengikuti perang Badar. Diantara yang menyertai perjalanan Abdullah bin Ja’far adalah Abu Dzar al-Ghifari, Abdullah bin Abi Aufa, Amir bin Rabiah, Abdullah bin Anis, Abdullah bin Tsa’labah, Uqbah bin Abdillah as-Sulami, Watsilah bin Asqa’, Sahal bin Sa’d, Abdullah bin Bisyr dan Saib bin Yazid” (Futuh asy-Syam 1/72)

B. AMALIAH PENDUDUK MAKKAH DI MALAM NISHFU SYA’BAN

Penduduk Makkah antusias menyambut malam Nishfu Sya’ban. Al-Fakihani berkata:

ذِكْرُ عَمَلِ أَهْلِ مَكَّةَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَاجْتِهَادِهِمْ فِيْهَا لِفَضْلِهَا . وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيْمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَلُّوْا وَطَافُوْا وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحِ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يَخْتُمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ وَيَصِلُوْا ، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِـ الْحَمْدِ ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ وَأَخَذُوْا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَشَرِبُوْهُ وَاغْتَسَلُوْا بِهِ وَخَبَؤُوْهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى ، يَبْتَغُوْنَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ ، وَيُرْوَى فِيْهِ أَحَادِيْثُ كَثِيْرَةٌ (أخبار مكة للفاكهي – ج 5 / ص 23)

“(Bab tentang amaliah penduduk Makkah di malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka di malam tersebut karena keutamaannya). Penduduk Makkah, dari dulu hingga sekarang, jika bertemu dengan malam Nishfu Sya’ban maka kebanyakan orang laki-laki dan perempuan mendatangi Masjidil Haram, mereka salat, tawaf, beribadah di malam harinya hingga pagi dengan membaca al-Quran di Masjidil Haram, hingga mengkhatamkan al-Quran keseluruhannya dan melanjutkan. Orang-orang diantara mereka yang melakukan salat di malam tersebut 100 rakaat, diawali dengan Hamdalah setiap rakaatnya, al-Ikhlas 100 kali, mereka juga mengambil air zamzam lalu meminumnya, menyiramkannya, dan diberikan kepada orang sakit dari mereka, adalah karena mengharap berkah di malam tersebut. Telah diriwayatkan beberapa hadis yang banyak tentang malam Nishfu Sya’ban” (Syaikh al-Fakihani, Akhbar Makkah 5/23)

(Catatan) Ulama Syafiiyah menegaskan bahwa salat 100 rakaat di malam Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang buruk, hadisnya adalah hadis palsu (Ianat ath-Thalibin)

C. NISHFU SYA’BAN MENURUT PARA ULAMA

1. Sahabat Abdullah bin Umar Ra

عَنِ ابْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ خَمْسُ لَيَالِيَ لاَ يُرَدُّ فِيْهِنَّ الدُّعَاءُ لَيْلَةُ الْجُمْعَةِ وَأَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَلَيْلَتَا الْعِيْدِ (أخرجه البيهقي في شعب الإيمان رقم 3711  وفي فضائل الأوقات رقم 149 وعبد الرزاق رقم 7927)

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Ada 5 malam yang doa tidak akan ditolak. Yaitu doa malam Jumat, malam pertama bulan Rajab, Malam Nishfu Sya’ban dan malam dua hari raya” (al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman No 3811 dan dalam Fadlail al-Auqat No 149, dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No 7928)

2. Imam asy-Syafi’I (150-204 H / 767-820 M)

قَالَ الْبَيْهَقِي قَالَ الشَّافِعِي وَبَلَغَنَا أَنَّهُ كَانَ يُقَالُ إِنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِي خَمْسِ لَيَالٍ فِي لَيْلَةِ الْجُمْعَةِ وَلَيْلَةِ اْلأَضْحَى وَلَيْلَةِ الْفِطْرِ وَأَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ (أخرجه البيهقي في السنن الكبرى رقم 6087 وفي معرفة السنن والآثار رقم 1958 وذكره الحافظ ابن حجر في تلخيص الحبير رقم 675)

Ahli hadis al-Baihaqi mengutip dari Imam Syafi’i: ” Telah sampai kepada kami bahwa doa dikabulkan dalam lima malam, yaitu awal malam bulan Rajab, malam Nishfu Sya’ban, dua malam hari raya dan malam Jumat” (as-Sunan al-Kubra No 6087, Ma’rifat as-Sunan wa al-Atsar No 1958, dan dikutip oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Talkhis al-Habir No 675)

3. Ulama Syafi’iyah

قَالَ الشَّافِعِي وَاَنَا اَسْتَحِبُّ كُلَّ مَا حُكِيَتْ فِي هَذِهِ اللَّيَالِي مِنْ غَيْرِ اَنْ تَكُوْنَ فَرْضًا هَذَا آخِرُ كَلاَمِ الشَّافِعِي وَاسْتَحَبَّ الشَّافِعِي وَاْلاَصْحَابُ اْلاِحْيَاءَ الْمَذْكُوْرَ (المجموع للنووي 5 / 43)

“asy-Syafii berkata: Saya menganjurkan semua yang diriwayatkan tentang ibadah di malam-malam tersebut (termasuk malam Nishfu Sya’ban), tanpa menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib. asy-Syafii dan ulama Syafi’iyah menganjurkan ibadah dengan cara yang telah disebutkan” (Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 5/43)

4. Ahli Hadis al-Hafidz al-Iraqi (725-806 H / 1325-1404 M)

قَالَ الزَّيْنُ الْعِرَاقِي مَزِيَّةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مَعَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ كُلَّ لَيْلَةٍ أَنَّهُ ذُكِرَ مَعَ النُّزُوْلِ فِيْهَا وَصْفٌ آخَرُ لَمْ يُذْكَرْ فِي نُزُوْلِ كُلِّ لَيْلَةٍ وَهُوَ قَوْلُهُ فَيَغْفِرُ ِلأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ وَلَيْسَ ذَا فِي نُزُوْلِ كُلِّ لَيْلَةٍ وَلأَنَّ النُّزُوْلَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مُؤَقَّتٌ بِشَرْطِ اللَّيْلِ أَوْ ثُلُثِهِ وَفِيْهَا مِنَ الْغُرُوْبِ (فيض القدير للمناوي 2/ 402)

“Zainuddin al-Iraqi berkata: Keistimewaan malam Nishfu Sya’ban dimana setiap malam (rahmat) Allah turun ke langit terendah, adalah karena memiliki karakteristik tersendiri yang tidak ada dalam setiap malam, yaitu ‘Allah akan memberi ampunan’. Juga karena di setiap malam ditentukan waktunya setelah lewat tengah malam atau sepertiga akhir, sementara dalam Nishfu Sya’ban dimulai setelah terbenam matahari” (Faidl al-Qadir, Syaikh al-Munawi, 2/402)

5. Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami (909-973 H / 1504-1567 M)

وَالْحَاصِلُ أَنَّ لِهَذِهِ اللَّيْلَةِ فَضْلاً وَأَنَّهُ يَقَعُ فِيْهَا مَغْفِرَةٌ مَخْصُوْصَةٌ وَاسْتِجَابَةٌ مَخْصُوْصَةٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِيْهَا (الفتاوى الفقهية الكبرى لابن حجر الهيتمي 2/ 80)

“Kesimpulannya, bahwa Malam Nishfu Sya’ban ini memiliki keutamaan. Di dalamnya terdapat ampunan khusus dan terkabulnya doa secara khusus. Oleh karenanya as-Syafi’i berkata: Doa dikabulkan di Malam Nishfu Sya’ban” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 2/80)

6. Syaikh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M)

وَمِنْ هَذَا الْبَابِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقَدْ رُوِىَ فِي فَضْلِهَا مِنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمَرْفُوْعَةِ وَاْلآثَارِ مَا يَقْتَضِي أَنَّهَا لَيْلَةٌ مُفَضَّلَةٌ وَأَنَّ مِنَ السَّلَفِ مَنْ كَانَ يَخُصُّهَا بِالصَّلاَةِ فِيْهَا وَصَوْمُ شَهْرِ شَعْبَانَ قَدْ جَاءَتْ فِيْهِ أَحَادِيْثُ صَحِيْحَةٌ وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مِنَ السَّلَفِ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الْخَلَفِ مَنْ أَنْكَرَ فَضْلَهَا وَطَعَنَ فِي اْلأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ فِيْهَا كَحَدِيْثِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ فِيْهَا ِلأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ بَنِي كَلْبٍ وَقَالَ لاَ فَرْقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ غَيْرِهَا لَكِنِ الَّذِي عَلَيْهِ كَثِيْرٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوْ أَكْثَرُهُمْ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ عَلَى تَفْضِيْلِهَا وَعَلَيْهِ يَدُلُّ نَصُّ أَحْمَدَ لِتَعَدُّدِ اْلأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ فِيْهَا وَمَا يُصَدِّقُ ذَلِكَ مِنَ اْلآثَارِ السَّلَفِيَّةِ وَقَدْ رُوِِىَ بَعْضُ فَضَائِلِهَا فِي الْمَسَانِيْدِ وَالسُّنَنِ وَإِنْ كَانَ قَدْ وُضِعَ فِيْهَا أَشْيَاءٌ أُخَرُ (اقتضاء الصراط 302)

“Keutamaan malam Nishfu Sya’ban diriwayatkan dari hadis-hadis marfu’ dan atsar (amaliyah sahabat dan tabi’in), yang menunjukkan bahwa malam tersebut memang utama. Dan sebagian ulama Salaf ada yang secara khusus melakukan salat sunah (mutlak) di malam tersebut … Kebanyakan ulama atau kebanyakan ulama dari kalangan kami mengatakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Ini sesuai dengan penjelasan Imam Ahmad karena banyaknya hadis yang menjelaskan tentang malam Nishfu Sya’ban dan yang mendukungnya dari riwayat ulama Salaf. Sebab riwayat Malam Nishfu Sya’ban terdapat dalam kitab-kitab Musnad dan Sunan, meskipun di dalamnya juga ada sebagian hadis-hadis palsu”  (Iqtidla’ ash-Shirat al-Mustaqim 302)

وَسُئِلَ عَنْ صَلاَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ ؟ (الْجَوَابُ) فَأَجَابَ: إذَا صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِيْ جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ. وَأَمَّا اْلاِجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلاَةٍ مُقَدَّرَةٍ كَاْلاِجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ  (مجموع فتاوى ابن تيمية ج 2 ص 469)

“Ibnu Taimiyah ditanya soal shalat pada malam nishfu Sya’ban. Ia menjawab: Apabila seseorang shalat sunah muthlak pada malam nishfu Sya’ban sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan ulama salaf, maka hukumnya adalah baik. Adapun kumpul-kumpul di masjid dengan shalat yang ditentukan, seperti salat seratus raka’at dengan membaca surat al Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuata bid’ah yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama”. (Majmú’ Fatáwá Ibnu Taymiyyah, II/469)

7. Syaikh al-Mubarakfuri (1361-1427 H / 1942-2006 M)

وَهَذِهِ اْلأَحَادِيْثُ كُلُّهَا تَدُلُّ عَلَى عَظِيْمِ خَطَرِ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ وَجَلاَلَةِ شَأْنِهَا وَقَدْرِهَا وَأَنَّهَا لَيْسَتْ كَاللَّيَالِي اْلأُخَرِ فَلاَ يَنْبَغِي أَنْ يُغْفَلَ عَنْهَا بَلْ يُسْتَحَبُّ إِحْيَاءُهَا بِالْعِبَادَةِ وَالدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالْفِكْرِ (مرعاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح 4/ 341)

“Hadis-hadis ini secara keseluruhan menunjukkan keagungan Malam Nishfu Sya’ban, dan malam tersebut tidak sama dengan malam-malam yang lain. Dan dianjurkan untuk tidak melupakannya, bahkan dianjurkan untuk menghidupinya dengan ibadah, doa, dzikir dan tafakkur” (Syaikh al-Mubarakfuri dalam Syarah Misykat al-Mashabih 4/341)

D. MEMBACA YASIN DI MALAM NISHFU SYA’BAN

وَأَمَّا قِرَاءَةُ سُوْرَةِ يس لَيْلَتَهَا بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَالدُعَاءِ الْمَشْهُوْرِ فَمِنْ تَرْتِيْبِ بَعْضِ أهْلِ الصَّلاَحِ مِنْ عِنْدِ نَفْسِهِ قِيْلَ هُوَ الْبُوْنِى وَلاَ بَأْسَ بِمِثْلِ ذَلِكَ (أسنى المطالب فى أحاديث مختلفة المراتب ص 234)

“Adapun pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban setelah Maghrib merupakan hasil ijtihad  sebagian ulama, konon ia adalah Syeikh Al Buni, dan hal itu bukanlah suatu hal yang buruk”. (Syaikh Muhammad bin Darwisy, Asná al-Mathálib, 234)

Berdasarkan hadis-hadis sahih diatas dan ijtihad para ulama hadis dan fikih menunjukkan bahwa amaliyah di malam Nishfu Sya’ban memiliki dasar yang kuat dan bukan perbuatan bid’ah yang sesat, karena telah diamalkan sejak generasi ulama salaf. Jika Tarawih di Madinah 39 rakaat yang baru dirintis di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah tidak ada yang menghukumi bid’ah bahkan menjadi acuan sah ijtihad ulama Malikiyah, lalu bagaimana bisa amaliyah malam Nishfu Sya’ban dituduh bid’ah yang sesat? Wallahu A’lam


Alangkah Beruntungnya Wanita

Beruntungnya seorang wanita yang telah dianugrahkan rahim oleh Tuhan, yang dengannya ia 'bekerja'  dengan Tuhan sebagai 'kilang' produksi manusia. Tiap-tiap bulan dia diberi cuti bergaji penuh. 7 hingga 15 hari sebulan dia tidak wajib shalat tetapi Allah anggap diwaktu itu shalat terbaik darinya.

Selesai melahirkan ia juga diberi cuti bersalin, ada yang selama 40 hari bahkan ada yang 60 hari. Cuti ini Allah beri sebab dia bekerja dengan Allah. sementara Kaum lelaki tidak ada cuti dari shalat, bagi lelaki wajib baginya shalat semenjak baligh hingga habis nyawanya.

Satu lagi berita gembira untuk wanita, sepanjang dia mengandung Allah sentiasa mengampunkan dosanya, lahir saja bayi seluruh dosanya habis. Inilah nikmat Tuhan yang diberi kepada wanita, jadi kenapa perlu takut untuk punya anak? marilah kita pegang kepada janji Allah. Seandainya wanita itu meninggal sewaktu bersalin, itu dianggap mati syahid, Allah izinkan terus masuk Syurga.
Dan alangkah beruntungnya lagi wanita, karena biarpun ibadahnya dalam sebulan tidak banyak lantaran banyak cuti, namun hanya dengan berbakti sebaik mungkin terhadap suami maka hal itu menjadi jaminan syurga bagi dirinya.

Dalam bidang harta warisan, wanita juga memperoleh keberuntungan. Memang benar, bagian untuk wanita adalah setengah bagian lelaki, namun harta warisan yang ia terima adalah sepenuhnya milik ia tanpa perlu dibagi dengan yang lain, sementara lelaki biarpun mendapat lebih banyak tapi ia memiliki tanggungan yang wajib ia nafkahi.

Baca Juga:



Bersyukur atas Nikmat Umur


Oleh: Saiful Hadi

Dalam sehari semalam telah dianugrahkan kepada kita waktu dengan durasi selama 24 jam. Saat siangnya digunakan untuk bermuamalah dengan sesama makhluk dan saat malam digunakan sebagai sarana beristirahat. Hal ini Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Surat An-Naba:

dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, (Qs. An-Naba: 9-11)

Demikianlah sebuah ketentuan yang telah digariskan oleh Nya. Tidur merupakan sarana istirahat bagi tubuh yang telah seharian bekerja, dan atas nikmat dari Nya saat pagi menjelang segala kepenatan telah sirna dan tubuh pun kembali bergairah serta penuh semangat untuk memulai segala aktivitas.

Pergantian siang dan malam yang ditandai dengan terbit dan terbenamnya matahari, serta beredarnya bulan kala malam telah datang, hal ini merupakan sebuah nikmat yang telah Allah berikan bagi manusia. Betapa tidak, dengan ada keduanya kita bisa menghitung masa, batas waktu, dan usia. Karena peredaran keduanya terjadi pergantian musim yang bermanfaat bagi manusia untuk menetukan masa bercocok tanam dan sebagainya. Sehingga sangat wajar ketika Allah Ta'ala mengulang-ulang kalimat فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَان "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" sebanyak 31 kali sebagai sebuah penekanan dan peringatan terhadap berbagai nikmat yang telah diberikan-Nya agar manusia bersyukur dan berterimakasih.

Lantas bagaimanakah cara mensyukuri nikmat? Abu Laits As-Samarqandi mengatakan, kesempurnaan syukur itu terletak pada tiga hal, yaitu:
1. Apabila Allah mengaruniakan sesuatu kepadamu, maka perhatikanlah siapa yang memberikannya, lalu pujilah diri-Nya.
2. Merasa puas atas nikmat yang telah Allah berikan.
3. Selama badan sehat, dan hidup tidak ada kurang sesuatu apapun maka jangan sesekali bermaksiat kepada-Nya.

Mensyukuri nikmat umur adalah dengan mempergunakannya pada jalan yang telah digariskan oleh-Nya. Sesungguhnya waktu itu amat sempit dan tidak mungkin bisa kembali kepada waktu yang telah berlalu. Abdullah Al-Muzanni pernah mengatakan "barang siapa yang telah mengikrarkan keislaman dan badanya sehat, maka telah terhimpun baginya puncak kenikmatan dunia dan akhirat, karena nikmat terbesar di dunia adalah sehat semetara puncak kenikmatan akhirat itu adalah islam.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Said Qatadah, Rasulullah bersabda:

"Empat hal siapa yang diberi kesemuanya itu, maka ia benar-benar telah diberikan kebaikan dunia dan akhirat, yaitu: lisan yang selalu berzikir, hati yang selalu syukur, badan yang selalu sabar, dan istri yang mukminah lagi shalihah".

Rujukan:
Tafsir Al-Munir, Tanbihul Gahifilin

Tips Mempelajari Kitab Kuning


Para ulama terdahulu telah meninggalkan warisan yang amat berharga bagi kita, yaitu karya yang berupa kitab-kitab yang di dalam terdapat berbagai mutiara ilmu dan hikmah dengan topik bermacam-macam, seperti hadist, tafsir, fiqih, tata bahasa arab dan lain sebagainya. 

Di Nusantara umumnya kitab-kitab tersebut dikenal dengan istilah kitab kuning, disebut demikian mungkin karena lembaran kitabnya yang agak kekuningan. Mengkaji kitab kuning di Dayah atau Pesantren bukanlah hal yang asing lagi, karena umumnya disana memang memakai rujukan kitab-kitab klasik karya ulama2 salaf maupun khalaf. Untuk bisa membacanya dibutuhkan teknik khusus, harus paham mana mubtada dan khabar, harus tau yang mana fiil fail dan maf'ul, hal ini lantaran kitab kuning tersebut umumnya gundul alias tidak berbaris.

Sebenarnya membaca kitab kuning bukanlah hal yang sulit asalkan kita paham tata caranya. Modal yang dibutuhkan adalah kesungguhan yang dipadukan dengan mempelajari teori nahwu dan sharaf serta praktek langsung, sebab yang namanya bahasa jika hanya hafal qaidah tanpa praktek ya nol besar.

Dalam kitab Imrithi, disebutkan melalui salah satu baitnya:
والحو أولى اولا أن يعلم إذالكلام دونه لن يفهم

"Nahwu harus lebih diprioritaskan untuk dipelajari, sebab pembahasan tanpa ilmu nahwu tidak dapat dimengerti."


Berikut ini beberap tips yang insyaAllah bermafaat dalam rangka mempercepat kemampuan untuk membaca kitab kuning.[*]
1. Berdoa sepenuh hati, terutama setelah shalat lima waktu dan pada waktu-waktu mustajab lainnya.
2. Menganggap bahwa membaca kitab kuning itu mudah.
3. Menghafal dan memahami kaidah nahwu dan sharaf yang meliputi definisi, jenis-jenisnya, dan contoh-contohnya.
4. Dalam waktu tiga atau empat bulan sebaiknya garis-garis besar nahwu dan sharaf sudah harus dikuasai, sehingga secapatnya bisa dipraktekkan.
5. Banyak praktek, jangan sibuk dengan teori, ada bagusnya setelah mempelajari satu teori langsung mempraktekkn.
6. Menghafal kosa kata, sebab pengaruh kosa kata dalam memahami teks aran lebih dari 75%. Sehebat apapun dan sebanyak apapun kaidah yang dihapal jika tidak menguasai kosa kata ya akan kesulitan juga dalam memahami bahasa arab. Kuasai kosa kata minimalnya 1500 kata.
7. Gunakan dua kitab, satu kitab gundul untuk latihan membaca dan satu lagi yang sudah ada afshahahnya (makna dan kode nahwu) yang berfungsi untuk mengecek bacaan kita. Dan yang paling bagus adalah jika ada ustaz atau teman yang menyimak.
8. Jangan bosan membuka kamus, salah satu tips mencari kalimat pada kamus adalah memahami bentuk dasar dari kata yang hendak dicari, sebab umumnya kata-kata pada kamus ditulis dalam bentuk masdar.
9. Setiap mendapati kalimat, perhatikan bagaimana susunannya, tasrif dan maknanya.
10. Jangan malas,

Demikian beberapa tips yang bisa kita terapkan dalam mempelajari kitab kuning.

[*] Nahwu Kilat


Bidayatul Mujtahid, Perpaduan Fiqih dan Ushul Fiqih


Kitab Bidayatul Mujtahid adalah buah karya dari Al-Fakih Abul Walid Muhammad bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Rusyd (w 595H). Beliau merupakan seorang filosof terkenal kelahirah Cordova. Selain ahli dibidang fiqih beliau juga menekuni matematika, fisika astronomi, kedokteran dan logika sehingga menjadikannya sebagai ulama atau filosof yang sulit ditandingi. 

Bidayatul Mujtahid adalah satu-satunya karya fiqih dan ushul fiqih yang lebih menekankan pada pemakaian kaedah-kaedah Fiqih dan ushul fiqih, yang lekat pada gaya berlogika tanpa meninggalkan landasan tekstual (Nash). Kitab ini walaupun pengarangnya bermadzhab Fiqih Maliki, namun Ibnu Rusyd tidak hanya menyediakan pendapat-pendapatnya sebagai bagian dari punggawa ulama-ulama Malikiyah, akan tetapi beliau uraikan semua pendapat madzhab, dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, Zahiriyah, dan Hanabilah.

Secara metodelogis, cakupan analisa dari kitab ini dapat digambarkan dalam lima lapis lingkaran. lingkaran paling dalam (pertama) adalah cerminan dari mazhab yang paling sedikit mengunakan ra'yu (logika). Prinsip mereka dalam mengeluarkan hukum tidak memperkenankan menggunakan akal, tapi mesti sesuai zahir nash saja. Kelompok yang paling berpengang teguh pada prinsip ini adalah Mazhab Zhahiri, yang dilanjutkan oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla.

Lingkaran kedua adalah kelompok yang menggunakan rasio agak lebih intens. Lapisan ini dipelopori oleh Imam Ahmad Bin Hanbal. Mereka beranggapan bahwa hadist dhaif harus lebih didahulukan daripada rasio atau akal.

Lingkaran ketiga, kelompok yang sedikit lebih bebas dibandingkan dua kelompok sebelumnya. Kelompok ini menisbahkan diri pada Imam Malik. Dalam kelompok ini rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslhatan sehingga lahir kaedah al-Mashalih al-Murshalah. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid tersebut cenderung mempertahankan teori yang digagas oleh Imam Malik.

Lingkaran keempat adalah kelompok yang ingin memadukan antara sumber teks dan analisa rasional. Sehingga dalam kelompok ini mengajukan teori analogi (qiyas) dalam mengistimbat hukum. Pola pemikiran ini dipelopori oleh Imam Syafi'i.

Sementara lingkaran yang kelima adalah kelompok yang penggunaan rasio dan akal lebih banyak dibanding hanya bersandar pada teks. Kelompok ini dipelopori oleh Abu Hanifah, yang kemudian lebih dikenal dengan Mazhab Hanafi.

Sekilas, demikianlah gambaran singkat dari kitab Bidayatul Mujtahid, semoga bermanfaat.

Download: Part 1 | Part 2

Disadur dari Pengantar Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Penerbit Pustaka Amani - Jakarta

  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BSI 7122653848 an. Saiful Hadi

Warisan: Masalah Minbariyah

Saat itu, Ali Ibn abi Thalib berada diatas mimbar. Dari sinilah salah satu kasus ‘aul yang populer dalam fiqih mawaris itu disebut dengan mimbariyah. Ali ibn abi Thalib yang dikenal bukan saja sangat amat cerdas ini, diatas mimbarnya ia ditanya. Saat itu, ia baru saja akan membuka khutbahnya. Pertanyaannya adalah seputar kematian seseorang yang meninggalkan ahli waris ; seorang istri, dua putri, ayah dan ibu.

Dalam hitungan yang sebenarnya membutuhkan proses sedikit rumit ini, bisa dijelaskan bahwa istri mendapatkan hak 1/8 karena adanya dua putri. Sedangkan dua putri ini mendapatkan 2/3 yang dibagi dua untuk mereka secara merata. Adapun ayah dan ibu, masing-masing mendapatkan 1/6 dari peninggalan anaknya. Untuk mempermudah perhitungan, semua penyebut dari empat pecahan tersebut kita samakan menjadi 24. Hasilnya ; istri mendapatkan 3/24, dua putri 16/24, ayah 4/24 dan ibu 4/24 yang kalau kita jumlahkan semuanya menjadi 27/24. Inilah ‘aul, yaitu sebuah kondisi dimana pembilangnya jauh lebih banyak daripada penyebutnya.

Dalam rumusan para ulama fiqih mawaris di kemudian hari, ashlul masalah 24 merupakan satu-satunya ashlul masalah yang paling sedikit ‘aulnya yaitu hanya sekali saja. Ashlul masalah 24 ber ‘aul ke 27. Jadi, kalau kita terapkan pecahan kasus mimbariyah diatas dengan merubah ashlul masalah ke ‘aulnya, maka akan didapatkan perubahan dari 3/24 untuk istri menjadi 3/27, yang kalau pecahan ini kita kecilkan akan menjadi 1/9 yang dalam bahasa arab disebut tusu’ (menggunakan ‘ain).
    
Proses yang rumit ini ternyata berjalan dengan amat cepat dalam akal cerdas Ali ibn Abi Thalib. Maka seperti tanpa jeda untuk berpikir, Ali ibn Abi Thalib langsung memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dari atas mimbar tepat setelah pertanyaan selesai diajukan. Lebih mengagumkan lagi, fatwa beliau yang seolah tanpa dipikir itu, ia selipkan dalam muqaddimah pidatonya yang bersajak-sajak. Dalam rima ‘ain berfathah itulah jawaban indah atas pertanyaan tersebut beliau sampaikan secara spontan. Dengan membaca hamdalah, beliau memulai untuk menjawab :

الحمد لله الذي يحكم بالحق قطعًا، ويَجْزي كلَّ نفسٍ بما تسعى، وإليه المآب والرجعى، صار ثُمْنُ المرأة تُسعًا

Rangkaian tulisan ini bukan hendak menghadirkan terjemahannya secara harfiah. Karena betapapun penulis sanggup untuk menemukan terjemahan kata demi kata, himpunan kata-kata terjemahannya nanti benar-benar belum mewakili dan mewadahi setiap rasa dan makna. Penulis terlalu miskin diksi-diksi untuk mengalihbahasakan keindahannya.

Sebab keindahan sastra dalam muqaddimah pidato ini memang benar-benar hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memahami bahasa Arab. Demikian juga dengan hikmah-himah dan fatwa-fatwa Ali Ibn Abi Thalib yang lain. Untuk bisa menikmatinya, dibutuhkan satu ketrampilan dalam memahami bahasa Arab. Yang ingin dijelaskan dalam tulisan ini hanyalah kalimat jawaban yang menyoroti pertanyaan. Itu saja. Kalimat itu ada pada penggal terakhir dari potongan pidato diatas. Maka berubahlah 1/8 hak istri itu menjadi 1/9 (Tusu’a). [Rumahfiqih.com]


Baca juga:

Empat Hal Penting dalam Beribadah

Sebagian orang bijak mengatakan bahwa dalam melaksanakan amal ibadah harus ada empat hal, antara lain yaitu:

1. Mempunyai ilmu sebelum memulai pekerjaan, karena sebuah amal perbuatan itu tidak akan benar dan sempurna kecuali dilandasi dengan ilmu. Amal perbuatan yang tanpa ilmu itu akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.

2. Niat pada saat memulai pekerjaan, karena amal perbuatan itu tidak akan sah kecuali dengan niat, sebagaimana Sabda Rasulullah saw. :

"Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu (tergantung) dengan niatnya, dan seseorang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan."

Puasa, salat, haji, zakat dan ibadah-ibadah yang lain itu tidak sah tanpa dibarengi dengan niat. Oleh karena itu, seseorang harus berniat sewaktu memulai sesuatu amal perbuatan supaya amalnya itu sah.

3. Sabar sewaktu mengerjakan amal perbuatan, sehingga ia akan bisa mengerjakarurya dengan tenang.

4. Ikhlas sewaktu selesai mengerjakan amal perbuatan, karena amal yang tidak ikhlas itu tidak akan diterima, dan hanya amal yang dikerjakannya dengan ikhlas saia yang diterima oleh Allah.

Sumber: Tanbihul Ghafilin, Bab. Iklas.

Andalusia dan Perkembangan Madzhab Maliki

Dalam Tarikh Tasyri', mazhab Maliki dan Hanbali dikenal sebagai pengembang metode tekstual (madzhab ahl al-hadist) dibanding dengan mazhab Hanafi yang lebih cenderung menggunakan rasio/akal. oleh karena itu, mazhab ini dikenal dengan mazhab rasional (madzhab ahl al-ra'yi). Sedang mazhab Syafi'i dikenal sebagai pengembang teori komprehensif yang berupaya memadukan antara pendekatan rasional tanpa harus lepas secara mutlak dari bingkai teks (thariqah al-jami' baina al-nash wa al-'aql).

Dalam kasus Andalusia yang rakyatnya dikenal cenderung rasional, justru mazhab Maliki yang berkembang di sana. Kenyataan ini jika tanpa pelacakan sejarah mazhab-tampak antagonistik karena saling berbenturan. Tetapi berkembangnya mazhab Maliki di Andalusia tak lepas dari peran penguasa, sehingga secara sosiologis rakyat merasa terikat dengan mazhab yang didukung oleh penguasa itu.

Tersebarya mazhab Maliki ini bermula dari pujaan dan dukungan pendiri mazhab Maliki, Imam Malik bin Anas (93-179 H/712-795 M) terhadap kebijakan politik Dinasti Umayyah di Andalus yang cenderung dekat dan mematuhi fatwa-fatwa ulama. Pujian Imam Malik dari Madinah itu menggema di Andalus, hingga terdengar oleh khalifah kedua Dinasti Umayah, Hisyam bin Abdurrahman. Oleh karena itu, Hisyam yang sangat membutuhkan dukungan para ulama Timur untuk memperkuat posisi Dinasti Umayyah dalam persaingannya dengan Dinasti Abbasiyah,ia memberi dukungan penuh untuk menyebarkan fiqih mazhab Maliki.

Dukungan tersebut dibuktikan dengan mengangkat murid-murid Imam Malik yang pernah belajar di Madinah, diantaranya Ziyad bin Abdurrahman dan Yahya bin Yahya al-Laitsi untuk menduduki jabatan penting di lembaga peradilan. Dan di antara ulama mazhab Maliki ada yang mendapatkan kepercayaan menduduki jabatan politik. 

Buku-buku tulisan Malik dan murid-muridnya dapat subsidi dari pemerintah untuk disebar ke pusat-pusat ihnu pengetahuan dan masyarakat luas. Oleh karena itu, fiqih Maliki berkembang menjadi mazhab resmi negara. Dan para fuqaha ikut ambilbagian dalam mengatur roda pemerintahan di Andalusia. Pegaruh Fuqaha Maliki terus berlanjut sampai masa Ibnu Rusyd, bahkan sampai dinasti ini sirna dari Andalusia.

Disadur dari Pengantar Terjemah Bidayatul Mujtahid

  • [accordion]
    • Support Catatan Fiqih
      • Catatan Fiqih berjalan atas kerja keras seluruh jejaring penulis dan editor. Jika kamu ingin agar kami bisa terus melahirkan catatan atau video yang mengedukasi publik dengan nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil Alamin, silakan sisihkan sedikit donasi untuk kelangsungan website ini. Tranfer Donasi mu di sini:

        Paypal: hadissoft@gmail.com | atau 
        BSI 7122653848 an. Saiful Hadi

Mengejar Hati yang Bahagia

Oleh: Adz-Zikri Bin Abdullah

Kegelisahan, kesedihan, sulitnya hati khusyu', galau, sesaknya dada. Semua itu bisa hilang dengan berbuat baik pada orang lain. Seseorang pernah mengeluh kepada Nabi tentang kerasnya hatinya, maka Nabi bersabda: "Usaplah kepala anak yatim dan berilah makan kepada si miskin".

Hati yang perhatiann terhadap orang lain maka akan diperhatikan dan dilapangkan oleh Allah. Hati yg turut merasakan kesulitan saudaranya, akan luluh dari kesombongan dan kenikmatan dunia yg menipu. Janganlah pernah meremahkan sikap berbuat baik kpd orang lain, bahkan sebuah senyuman kepada saudaramu semoga merupakan sebab membahagiakan hatimu.

Orang yang prihatin terhadap orang lain sesungguhnya telah prihatin terhadap hatinya sendiri. orang yg berbuat baik pd orang lain sesungguhnya dialah yg lebih dahulu meraih kebaikan itu sendiri. Nabi bersabda : "Sebaik-baik kalian adalah yg paling bermanfaat bagi manusia".

"Amalan yg paling dicintai oleh Allah adalah rasa senang yg kau masukan ke hati seorang muslim".

Kunjungilah orang sakit, Bantulah fakir miskin, Saudaramu Seiman, Senangkanlah hati anak yatim. Ibnu Taimiyyah berkata : "Barangsiapa yg ingin sampai derajat al-abraar (shalihin) maka hendaknya setiap hari ia berniat untuk memberi kemanfaatan kepada manusia" (Dalam Kitab al-Iman al-Awshath).

Bersabarlah, Dibalik Kesulitan ada Dua Kemudahan


Oleh: Saiful Hadi

Dalam menjalani kehidupan, adakalanya hati menjadi gelisah dan gundah karena sedang dirundung masalah. Misal saja karena Skrisi yang belum kelar-kelar, atau karena lagi tersangkut utang-piutang, karena jodoh yang belum datang-datang, atau ada juga yang sudah lama menikah namun sang buah hati juga belum hadir menemani. Semua masalah tersebut merupakan warna warni kehidupan yang harus dijalani dengan penuh kesabaran.

Sebagai seorang Muslim kita harus yakin bahwa janji Allah itu pasti dan benar adanya. Sebab, Allah Ta'ala berjanji untuk memudahkan segala sesuatu yang sulit, memberikan solusi setiap masalah, menghilangkan berbagai ujian dan bencana serta memberi kabar gembira bahwa kemenangan sudah dekat. Dalam surat Al-Insyirah Allah berfirman:

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan" (Qs. Al-Insyirah: 5 - 6)

Penafsiran Ayat
Pengulangan kalimat "kesulitan" dan "kemudahan" dalam ayat tersebut agar maknanya semakin merasuk ke dalam hati. Sementara penggunaan kata العسر dalam bentuk yang dima'rifahkan dengan "alif" dan "lam" maka maknanya menjadi mufrad (tunggal). sedangkan kata يسرا dalam bentuk nakirah (tanpa alif dan lam pada awal kata) memberi makna muta'addid (berbilang).

Para ulama berkata, sesungguhnya termasuk kebiasaan orang-orang Arab adalah jika mereka menyebutkan isim ma'rifah kemudian mengulanginya lagi, hal itu tepat dihitung satu. Sementara jika menyebutkan isim nakirah kemudian mengulanginya, maka hal itu adalah isim yang lain, sehingga dihitung ada dua.

Dalam ayat tersebut kata العسر yang pertama, juga merupakan kata العسر yang kedua, sehingga biarpun penyebutannya sebanyak dua kali namun memberi pengertian bahwa hanya ada satu kali kesulitan. Sementara kata يسرا yang pertama bukan merupakan kata يسرا yang kedua, sehingga pengulangan sebanyak dua kali itu berarti ada dua kemudahan.

Oleh karena itu, pada ayat tersebut memberi pemahaman bahwa Allah Ta'ala menjadikan kemudahan dan rahmat bagi para hamba sebanyak dua kemudahan dalam setiap satu kesulitan. Jika ada sebuah kesulitan maka didepannya akan ada dua kemudahan.

Kesimpulan
Setiap menghadapi suatu kesulitan maka yakinlah bahwa Allah Ta'ala akan membukakan bagi kita dua pintu kemudahan terhadap kesulitan tersebut. Hal ini diperkuat juga dengan  sebuah hadist yang diriwayatkan secara marfu' oleh Hakim dari Ibnu Mas'ud, "Seandainya kesulitan ada di dalam sebuah batu, pastilah akan diikuti oleh sebuah kemudahan hingga ia masuk ke dalam batu tersebut dan mengeluarkan kesulitan tersebut dari dalamnya. Sebuah kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan".

Ada juga yang berpendapat, yang dimaksud dengan dua kemudahan dari ayat tersebut adalah jenisnya, yakni kemudahan tersebut merupakan janji secara umum bagi seluruh orang-orang beriman pada setiap masa. Kemudahan tersebut mencakup kemudahan di dunia dan akhirat, serta kemudahan dalam waktu dekat maupun di masa yang akan datang.

Sementara pesan pada ayat terakhir dalam surat Al-Insyirah adalah anjuran untuk senantiasa melakukan amal shaleh secara kontinu. Serta tidak menyia-nyiakan waktu dalam kemalasan. Hendaknya ia mencurahkan segala kekuatannya untuk memperoleh apa yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Dan setelah selesai mengerjakan segala sesuatu, hanya kepada Allah lah bertawaqal dan berharap.

Cukuplah Al-Quran sebagai sebaik-baik motivasi untuk memacu kita agar tetap bersemangat dalam menjalani kehidupan. Setelah selesai satu perkara maka bersiap-siaplah untuk mengerjakan hal yang lainnya.

Rujukan: Tafsir Al-Munir Juz 15, Surat Al-Insyirah

Menjadi Guru yang Baik


Seorang guru ibarat lentera yang menerangi gulita. Perilaku terbaik dari serorang guru ialah, sebagaimana dikatakan "Siapa yang mempelajari suatu ilmu, kemudian mengamalkannya dan setelah itu mengajarkannya kepada orang lain, maka ia termasuk kelompok yang disebut sebagai pembesar di kerajaan Langit".

Tidak sepetutnya seorang guru berlaku seperti sebatang jarum yang mengaitkan benang dengan kain, sementara ia sendiri berlepas dari keduanya, atau laksana sebatang lilin yang menerangi lingkungan di sekitarnya namun malah membakar dirinya sendiri.

Menekuni propesi sebagai seorang guru merupakan hal yang sangat mulia. Oleh karena itu ia harus senantiasa menjaga adab dan tugas yang menyertainya. Meskipun seorang guru berjasa atas ilmu yang didapat oleh para muridnya, namun murid-muridnya juga berjasa atas dirinya. Karena ada muridlah yang menjadi sebab ia bisa dekat kepada Allah ta'ala, dengan cara menamkan iman dan taqwa dalam hati sang murid.

Guru adalah penuntun murid untuk menyempurnakan ilmu dan makrifat. Syarat  menjadi guru memiliki sikap terpuji sebab ruh murid masih lemah dibandingkan gurunya, apabila guru bersifat sempurna, murid akan menyesuaikan diri dengan gurunya.

Maka seorang guru mestinya bertaqwa, tawadhu (merendahkan hati), berlaku lemah lembut, agar murid simpatik padanya, maka akan bermanfaat untuk murid tersebut. Seorang guru juga harus bijaksana, sopan santun supaya murid mengikutinya, disamping itu harus ada rasa kasih sayang pada murid agar menyukai apa yang diajarkan, dan gurupun selalu menasehati dan mendidik kesopanan serta memperbaiki adab muridnya dan tidak membebankan mereka dengan suatu pemahaman yang  tidak mampu mereka pikirkan.

Untuk itu sampaikanlah ilmu sesuai dengan kapasitas telinga pendengar. Anak usia play grup tentu saja akan sulit memahami persamaan aljabar, yang lebih cocok untuknya adalah pengenalan angka-angka. Sebagaimana sebuah pepatah "tempatkan sesuatu menurut tempatnya masing-masing", sehingga dengan demikian akan lebih terarah dan tercapai target.

Referensi : Ihya Ulumuddin bab Ilmu dan Belajar, Taisirul Khallaq Bab Adab Guru.

Video: Melatih Jiwa dengan Kebiasaan Baik


Allah Ta'ala telah menciptakan manusia secara fisik dari unsur tanah, sedangkan batinnya terdiri dari ruh. Dengan Akhlaq yang baik, maka kondisi batin pun akan menjadi baik. Ketahuilah bahwa sesungguhnya jiwa itu memiliki potensi untuk berbuat nista sehingga harus selalu dibersihkan. Karenanya menjadi sebuah keniscayaan untuk selalu melatih dan membiasakan jiwa dengan kebaikan-kebaikan.

Pada tahap awal, yang sebaiknya di dahulukan adalah bersikap sabar, hingga benar-benar tidak merasa lagi terbeban atas  pelaksanaannya. Sebab, fitrah manusia menghendaki kebaikan untuk batinnya. Berikut ini beberapa kebiasaan baik yang perlu kita biasakan demi kebaikan jiwa.


Hati Tenang dengan Mengingat Allah

Pernah ku bertanya,
ya Allah, engkau dimana?
Ia pun berkata: Aku dekat saja.
Allah Maha melihat apa yg kuperbuat,
Ia pengabul doa, hamba-Nya yg meminta.
Setiap langkah yang kutempuh,
hendaklah tuju pada-Nya,
Sebab bila bukan karena-Nya
semua kan sirna.
Bila kuluruskan niatku,
Allah kan selamatkanku,
Kutanamkan dalam hatiku,
Allah dekat selalu.[*]

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku," Qs. Al-Baqarah: 186

"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." QS. Ar-Ra'd: 28

[*] Lirik : Allah Dekat Slalu
Album : Perjalanan Cahaya
Munsyid : Nuansa

Video: 5 Akhlaq Al-Quran



Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ketika ditanya oleh sahabat Hisyam bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu tentang bagaimana akhlak Rasulullah saw. Maka Aisyah berkata:

ألست تقرأ القرآن؟ قلت بلي قالت : فإن خلق نبي الله كان القرآن
"Bukankah engkau selalu membaca Alquran?” Jawabnya: “Ya.” Aisyah berkata: “Maka sesungguhnya akhlak Nabi itu sesuai dengan Alquran.” (HR Muslim)

Simak Video Berikut ini:

Qiraah Tujuh Imam


Istilah qiraat yang biasa digunakan adalah dialek atau cara pengucapan. Contoh yang paling sering adalah imaalah. Sebagian orang Arab mengucapkan vocal 'e' sebagai ganti dari 'a', pada beberapa lafadz Al-Quran. Misalnya ucapan "wadh-dhuhee wallaili idza sajee. Maa wadda'aka rabuka wa maa qolee ...."

Ini adalah sebuah bentuk qiraat, di mana masing-masing imam punya beberapa lafadz bacaan yang berbeda. Namun di dalam mushaf yang kita pakai sehari-hari tidak terdapat tanda perbedaan bacaan itu. Kecuali kalau kita menelusuri kitab-kitab tafsir yang klasik. Biasanya kita akan menemukan penjelasan tentang perbedaan para imam dalam membaca masing-masing lafadz itu.

Sedangkan masalah perbedaan melagukan bacaan Al-Quran, tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat ini. Khusus untuk masalah melagukan Al-Quran, biasanya dijelaskan dalam nagham, yaitu seni melantunkan Al-Quran.

Nagham ini sendiri sebenarnya merupakan seni, bukan disiplin ilmu. Tepatnya seni melantunkan bacaan Al-Quran. Rupanya, dari berbagai wilayah negeri Islam berkembang seni membaca Al-Quran. Dalam pelajaran nagham, kita mengenal ada jenis-jenisnya, seperti Nahawand, Bayati, Hijjaz, Shaba, Rast, Jaharkah, Sika dan lainnya.Semua jenis lagu atau irama itu tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat sab'ah. Semata-mata hanya seni melantunkan, tidak ada kaitannya dengan bagaimana melafadzkan ayat Al-Quran.

Umumnya para pembaca Al-Quran dari Mesir yang membawa seni baca Al-Quran ke negeri kita. Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan beragam variasinya serta membuat harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang seringkali diperlombakan di even Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Meski bukan satu-satunya jenis perlombaan, tetapi biasanya yang paling mencuat memang masalah seni membaca.

Sedangkan bacaan qiraat sab'ah justru merupakan cabang ilmu Al-Quran yang bersifat syar'i. Bahkan dalam banyak hal, perbedaan qiraat ini pun berpengaruh kepada perbedaan makna dan kesimpulan hukum. Sedangkan seni baca Al-Quran, sama sekali di luar hal ini. Sebab tujuannya adalah menyuguhkan bacaan Al-Quran seindah mungkin.

Wallahu a'lam bish-shawab
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Ustazd Ahmad Sarwat, Lc, MA | Rumah Fiqih

Keutamaan Menikah


Penikahan adalah sunnah Rasulullah, beliau amat menganjurkan pemuda-pemuda yang masih lajang untuk menikah. Salah satu tujuannya adalah memperoleh keturunan, dengan lahir keturunan maka semakin banyak umat beliau, dan beliau pun juga sangat bangga melihat jumlah umatnya banyak.

Dalam kitab Jam'ul Jawamik musannafat tersebut beberapa hadist mengenai keutamaan-keutamaan dari menikah, antara lain:

1. Menikah itu berkah, dan anak adalah rahmad dari Allah Ta'ala, karenanya muliakanlah anakmu karena hal tersebut juga termasuk ibadah.
2. Menikahlah dengan wanita yang merdeka, sebab rumah lebih terpelihara pada tangan wanita yang merdeka dibandingkan wanita yang berstatus hamba sahaya.
3. Gapailah rezki melalui pernikahan.
4. Barangsiapa yang menikah niscaya diberi pahala setengah agama.
5. Barangsiapa yang memuliakan istri maka ia telah memuliakan Allah Ta'ala.
6. Barangsiapa yang menikah maka ia telah memelihara agamanya.
7. Seburuk-buruk pemuda adalah yang melajangkan dirinya (tidak menikah).
8. Nafkah yang diberikan untuk istri bernilai sedekah.

Rujukan : kitab Jam'ul Jawami' musannafat, Bab 24 Tentang Fadhilah Menikah, hal. 56

Baca Juga:

Ingat, Rukun Nikah itu cuma Lima

Oleh: Saiful Hadi

Rasa cinta adalah bagian dari fitrah, dan cara penyalurannya yang dibenarkan oleh syariat adalah melalui jalan pernikahan. Ketika ingin memasuki jenjang pernikahan terkadang ada saja kendala-kendala yang menyebabkan anak muda menjadi ciut nyalinya bahkan sampai mengurungkan niat mereka.

Terkadang ada yang menunda menikah dengan alasan belum selesai kuliah, belum punya pekerjaan yang tetap, serta ada juga yang dilarang oleh orang tua dengan alasan masih terlalu muda. Padahal menikah diusia muda itu baik, terutama sebagai antisipasi dalam mencegah terjadinya pergaulan bebas yang tidak berbatas. Dan lagi semua alasan-alasan tersebut hanya merumitkan keadaan, padahal jika bisa dipermudah untuk apa dipersulit? Baginda Rasulullah sendiri menganjurkan kita untuk membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah, hal ini sebagaimana yang direkam oleh Imam Bukhari dalam kitab shahih beliau, Rasulullah bersabda:

حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ لَمَّا بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَالَ لَهُمَا يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا قَالَ أَبُو مُوسَى يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا بِأَرْضٍ يُصْنَعُ فِيهَا شَرَابٌ مِنْ الْعَسَلِ يُقَالُ لَهُ الْبِتْعُ وَشَرَابٌ مِنْ الشَّعِيرِ يُقَالُ لَهُ الْمِزْرُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Mudahkanlah setiap urusan & janganlah kamu mempersulit, berilah kabar gembira & jangan kamu membuatnya lari, & bersatu padulah! Lantas Abu Musa berkata; Wahai Rasulullah, di daerah kami sering dibuat minuman dari rendaman madu yg biasa di sebut dgn Al Bit'u & minuman dari rendaman gandum yg biasa di seut Al Mizru. Maka Rasulullah menjawab: Setiap yg memabukkan adl haram. [HR. Bukhari No.5659].

Perlu kita pahami bahwa rukun nikah itu cuma lima perkara saja, yaitu adanya wali, dua orang saksi yang adil, calon mempelai lelaki dan perempuan, serta ijab dan qabul. Oleh karenanya jangan menambah rukun dengan harus ada gelar sarjana, punya pekerjaan yang wah, keturunan ninggat, wajah rupawan dan hal-hal lain yang sebenarnya hanya faktor administratif semata. Apalagi kalau membuat persyaratan sang calon haruslah "akhwat" atau "ikhwan" yang berasal dari institusi yang sama. Kadang ada juga institusi yang justru melarang anggotanya menikah kecuali harus dengan sesama anggota institusi yang sama. Bahkan harus ada rekomendasi dari atasan, ketika menentukan pilihan. 

Syarat Syar'i
Secara syar'i atau secara hukum fiqih, syarat sah nikah yang harus ada pada seorang calon suami adalah muslim, laki-laki, berakal dan jumlah istrinya tidak lebih dari empat orang, serta bukan mahram bagi calon istri. Sementara syarat seorang calon istri adalah bukan istri orang, tidak dalam masa iddah dan yang paling penting adalah bukan mahram bagi calon suami. Selama syarat-syarat itu terpenuhi, maka calon mempelai tersebut adalah calon yang sah. Dan sebaliknya, bila salah satu syarat dasar itu tidak terpenuhi, maka pernikahan tidak sah.

Sehingga jika sang suami bukan muslim, gila, atau telah mempunyai istri lebih dari empat orang maka tidak sah menikah. Demikian juga jika calon istri masih menjadi istri orang lain, atau masih dalam masa iddah juga tidak sah menikah dengannya.

Menikahlah, engkau akan Kaya
Mengenai perkara rezki, Allah Ta'ala menjamin rezki setiap makhluq ciptaan Nya, sebagaimana yang tersebut dalam surat Hud ayat 6 :

"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)." (QS. Hud: 6)

Dan lagi dengan menikah insyaAllah jalan untuk menggapai rezki akan lebih mudah, yang penting biarpun belum mempunyai pekerjaan tetap akan tetapi tetaplah bekerja. Hewan yang melata yang tidak sekolah pun terjamin rezkinya, apalagi manusia yang telah diberi akal fikiran.

Dalam surat An-Nur, Allah Ta'ala berfirman:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur : 32)

Telah benar janji Allah: Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan menganugrahkan karunia-Nya. Jika mereka miskin, Allah yang akan membuat mereka jadi kaya. Berlandaskan dari ayat tersebut, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberikan nasehat: “Carilah kecukupan dalam nikah.” Jika engkau ingin cukup, ingin kaya, maka menikahlah.

Baca Juga: